18. Final Decision

Love is blind. Because whenever I get hurt by him, I can't do anything but to keep falling for him

Ada iblis membelah malam dengan membawa seluruh kemarahannya.

Satu tangannya berada di roda kemudi, tangan yang lain menahan ponsel tetap menempel di telinganya, mendengarkan apapun dengan bibir terkatup rapat dan mata semerah darah.

Sampai pada sebuah gang yang terletak tepat di samping sebuah bar ternama di kota ini, dia berhenti. Setelah membanting pintu mobil, ia menyimpan ponsel ke dalam saku dan berjalan memasuki gang dengan langkah mematikan.

Gang itu jalan buntu dan tidak terlalu dalam. Hanya difasilitasi oleh sebuah lampu jalan yang kini temaram. Sinar remangnya menerangi kardus-kardus milik klub malam. Beberapa di antaranya penuh dengan botol minuman keras hingga tumpah dan menggelinding.

Namun Dewa tidak mengindahkannya. Matanya terkunci pada kerumunan orang yang berada di ujung gang sana, tepat di bawah lampu. Dengan satu orang terduduk di atas bangku lusuh, tertunduk dengan sisi wajah terparut dan berdarah, dan jelas sekali dalam pengaruh alkohol.

Dewa berhenti tepat di depannya, mengawasi dan berusaha menahan diri di bawah pengaruh dengung kemarahan yang membuatnya buta dan tuli.

" Lo hajar, Yon?" Dewa bertanya dengan dingin.

Sosok yang merasa terpanggil menggeleng.

" Lo suruh kita ngawasi dia, De. Tapi namanya orang mabuk nggak punya otak, ya. Dia nyebrang jalan terus kesrempet sedan punya konglomerat kota sebelah." Ucap Yoni bersedekap. " Daripada kita ada masalah, gue bawa aja dia sembunyi."

Dewa mengawasinya beberapa saat, kemudian menghembuskan nafas panjang. Ia membungkuk untuk menatap wajah yang tertunduk itu.

" Samuel?" Panggil Dewa dingin, " Bisa mendengarku?"

Samuel hanya membuka matanya beberapa mili sebelum bergumam tidak jelas, kemudian menutup mata lagi dan terhuyung ke samping, yang buru-buru ditahan oleh orang lain selain Yoni.

" Ceweknya kabur." Ucap Juna jijik melihat sosok yang kini bersandar di tubuhnya.

" Sekarang giliran lo jelasin, De. Lo kenal dia?" Tanya Yoni menunjuk sosok menyedihkan itu dengan dagunya, " Dilihat dari penampilannya, dia bukan orang biasa. Racauannya juga pakai bahasa alien."

Dewa hanya mengangguk dengan mata masih terpancang pada Samuel. Yoni berdecak.

" Biasanya nih, kalau lo udah ngeliat orang pakai mata kayak gitu, gue bisa pastikan dia babak belur, De." Ucap Yoni, " Tapi paling nggak kasih tau gue siapa orang yang bikin lo sampai semarah ini. Dia bukan musuhnya Reno, kan?"

Dewa menggeleng, kemudian menghela nafas kembali, kali ini untuk menahan dorongan menenggelamkan tinju di hidung mancung itu.

" Bawa ke mobil gue." Kata Dewa datar dan berbalik.

" Hah?"

" Gue kenal dia dan dia bukan orang biasa. Ada baiknya kalian nggak terlibat."

" De! Elah! Lo tiba-tiba nyuruh kita datang dan ngawasi dia, cowok rambut mirip tikus yang mabuk dan baru aja keluar bar sama cewek! Gue nggak lihat masalahnya dimana kecuali jelas mereka mungkin mau ONS an, dan lo masih nggak mau kasih penjelasan? Kita nggak bisa seenaknya..."

" Yon!" Dewa memotong dengan suara rendah yang dia punya, membuat Yoni terbungkam seketika.

" Sori, tapi ada baiknya kalian cukup tahu sampai di sini saja." Ucap Dewa mengusap pelipisnya, " Bawa dia ke mobil."

Yoni, Juna dan tiga orang lainnya saling pandang, namun mereka tidak mempunyai pilihan selain patuh. Kelimanya membantu Samuel yang tengah dikuasai alkohol, memaksanya bangkit sehingga ia mengerang tidak suka. Kepalanya terasa berat sekali dan ia merasa melayang. Laki-laki itu membuka mata dengan susah payah dan mengerutkan kening ketika dalam sela ketidaksadarannya, ia masih mengenali sosok di depannya.

" Dewa?"

Panggilan serak itu menghentikan langkah Dewa. Sesaat, rombongannya ikut berhenti. Lalu ketika Dewa berbalik, kelima orang itu menelan ludah bersamaan.

Samuel nyengir lebar, sama sekali tidak menyadari bahaya yang mengancam.

" Itu benar-benar kamu? Astaga! Aku tidak menyangka seorang dokter sepertimu gemar bermain di klub." Ucap Samuel terkekeh.

" Kayaknya ini orang beneran pingin mati!" Celetuk Yoni mulai panik ketika Dewa mendekati mereka. Yoni melangkah ke depan Samuel. " De..."

" Meskipun tidak semenyenangkan di sana, tapi paling tidak aku bisa pergi sebentar dari tunanganku yang terlalu polos ituhmmhh!!"

Juna buru-buru menutup mulut Samuel ketika Dewa semakin dekat. Yoni menyambangi Dewa dan berusaha menahannya.

" Tahan, De!" Yoni menahan dada Dewa .

Samuel meronta. Dengan tingginya yang melebihi Juna, mudah saja ia terlepas dari sekapan Juna. Samuel terkekeh konyol lagi, " I love Kanala, very much. But sometimes she makes me dissapointed. Heheh...kapan-kapan mungkin kita bisa pergi bersa..."

Yoni terhempas ke samping ketika Dewa menyingkirkannya.

" Mampus!" Pekik Yoni panik ketika Dewa menghujamkan tinju dalam-dalam ke wajah Samuel.

Detik berikutnya, semuanya sibuk menjauhkan Samuel dari jangkauan Dewa.

**

" DON'T WANNA NO NO NO, WHOSE TAKING YOU HOME HOME HOMEE, LOVING YOU SO SO SO SOOO..."

"Every beat of your heart is mine, Kanala."

" THE WAY I USED TO LOVED YOU NOOOO, WASTED! THE MORE I..."

"Every beat of your heart is mine, Kanala."

Nala membuka matanya dan melemparkan sapu ke lantai.

" AAAARRRRGHHH!!" Teriaknya mengacak rambutnya.

Saat itu, Farel dan Tristan yang baru saja kembali dari basement mendatanginya dengan tergesa.

" Nona?! Ada apa?" Tanya Tristan terbelalak pada pecahan gelas yang terkumpul di sudut ruangan. Dengan segera laki-laki bongsor berkepala plontos itu mendekati Nala, " Dimana yang luka? Berdarah banyak?"

" Rumah sakit!" Pekik Farel. " Kita harus ke..."

" Stop!"

Nala mendelik.

Kalian dari mana saja? Memangnya ke basement harus kena macet, gitu? Iya?

Tentu saja, Nala hanya membatinnya. Dia tidak mungkin marah-marah pada dua orang yang tidak tahu apa-apa ini. Gadis itu menghirup nafas banyak-banyak sebelum melepasnya lewat mulut.

" Nggak papa. Cuma gelas dari kardus di atas tadi jatuh waktu aku mau ambil." Kata Nala setenang mungkin sembari mengambil sapunya kembali. Saat itu, Farel lebih cepat darinya dan menahan sapu di belakang tubuhnya.

" Nona tidak boleh dekat-dekat. Bisa bahaya." Katanya cemas. Nala menggeleng lelah. Ia mengulurkan tangannya.

" Farel, berhenti berlebihan seperti itu." Tepis Nala. Namun Farel keras kepala.

" Tapi nanti tuan Fabian pasti..."

" Berhenti!" Seru Nala membuat keduanya menegang. "Dia tidak perlu mengkhawatirkan aku seolah aku ini masih bayi umur dua tahun! Sudah cukup Fabian mengawasiku seperti stalker psikopat! Cukup satu saja psikopat gila di sini!"

Nala meraih sapu di belakang Farel dengan cepat dan mulai menyapu dengan gusar. Tapi rupanya, kini fokus kedua pengawal itu teralihkan.

" Stalker?" Tanya Farel dengan mata terbelalak.

" Anda diikuti?" Tristan menyipit waspada.

" YA!!" Seru Nala menghentakkan sapunya frustasi. " Harusnya kalian menikah saja sama Fabian! Anak itu gila karena tidak ada perempuan lain yang bisa dia awasi selain aku!"

" Maaf, Nona. Tapi saya sudah punya istri." Kata Tristan membungkuk dalam-dalam dengan penyesalan yang amat nyata.

Nala menutup wajahnya, merengek putus asa.

" Bagaimana kalau kita selesaikan agar bisa pergi dari sini lebih cepat?" Usul Nala lelah saat menurunkan tangannya. Tristan dan Farel hanya mrngangguk kaku, dan beberapa jam kemudian dihabiska. Ketiganya untuk mengosongkan apartemen ini.

Beberapa jam kemudian, bel pintu berbunyi dengan nyaring. Nala menoleh ke arah Farel yang bergegas ke pintu depan.

Suara gaduh yang mendadak terdengar membuat Nala mengerutkan kening. Ia berpandangan dengan Tristan beberapa saat sebelum memutuskan keluar dengan Tristan memasang badan di depan Nala dengan sikap protektif.

Ketika sampai di ruang tamu, ia melihat Farel dan Dewa memapah Samuel dan membaringkannya di salah satu sofa.

" Sam!" Seru Nala mendekati Samuel yang terkulai tidak sadarkan diri dengan wajah bersimba darah yang mulai mengering. Ia hendak bicara ketika membaui sesuatu dari tubuh Samuel, yang membuatnya bungkam.

Saat itu pula Nala menghela nafas.

" Farel, tolong rebuskan air, ambilkan kain bersih dan kotak P3K di dapur." Ucap Nala yang dipatuhi Farel. Gadis itu duduk di samping wajah Samuel, memeriksa lukanya.

" Apakah hidungnya patah?" Tanya Tristan melongok. Nala menggeleng sembari menuangkan cairan di sebuah kain.

" Kalau patah, Dewa pasti membawanya ke rumah sakit." Jawab Nala datar tanpa memandangi Dewa. Gadis itu mulai mengusapkan kain di wajah Samuel. " Tristan, Farel, tinggalkan kami berdua. Aku perlu bicara dengan Dewa."

Mereka berdua memandangi Dewa beberapa saat, kemudian membungkuk sebelum berbalik dan keluar.

Bukannya Nala sudah melupakan kejadian beberapa jam lalu. Dia masih sangat ingat kehanagatan dari ciuman Dewa.

Tapi itu bukan lagi hal yang pantas untuk diingat-ingat.

" Jadi..." Ucap Nala berhenti sejenak ketika Samuel mengerang pelan di tidurnya. " Bisa kamu jelaskan?"

Beberapa detik dan Dewa masih bungkam. Nala menghembuskan nafas dan akhirnya menatap Dewa, yang duduk di sofa single dan tengah mengamatinya.

" Dewa, aku tanya sama kamu." Celetuk Nala dingin.

"Sebenarnya orang seperti apa yang mau kamu nikahi, La?" Dewa balik bertanya dengan sama dinginnya. Dia marah, tentu saja. Saat ini saja dia menahan kepalan tangannya di lutut agar tidak melayang dan menambah remuk wajah polos di samping gadisnya.

" Itu bukan urusanmu." Ucap Nala semakin dingin. " Aku minta kamu menjelaskan!"

Bibir Dewa mengatup menjadi garis lurus. Bayangan Samuel yang memeluk erat pinggang seorang perempuan berpakaian minim saat keluar dari bar terlintas di kepalanya, membuat Dewa yang ketika itu dalam perjalanan pulang harus berhenti untuk memastikan dan meminta tolong Yoni untuk mengikutinya. Karena jelas, Dewa sekarang punya urusan dengannya.

" Dia terserempet mobil." Jawab Dewa singkat.

Nala menatapnya sejenak, " Itu bukan alasanmu untuk memukulinya. Apa alasannya? Aku sama sekali nggak paham sama tingkahmu!"

Nala bisa melihat otot di leher laki-laki itu menegang.

" Berapa kali kamu pukul dia?" Tanya Nala singkat.

" Lupa."Jawab Dewa membuat Nala mendengus dan berpaling untuk membersihkan darah dari wajah Samuel.

"Apa seperti dia laki-laki yang kamu pilih untuk jadi suamimu?"

Sesuatu dalam suara Dewa membuat Nala justru tersenyum kecil.

" Nggak ada orang yang sempurna." Jawab Nala membuat Dewa paham bahwa gadis itu sudah menyadari tingkah laku tunangannya, dan itu membuat Dewa naik pitam.

"Dia bukan laki-laki yang baik." Dewa menekan getar dalam suaranya.

" Baik itu relatif." Tukas Nala masih dalam ketenangannya.

" Nala, dia bukan hanya sekedar mabuk! Dia..."

" De!" Nala menoleh tajam padanya. " Aku tidak sebodoh itu. Aku tahu seperti apa tunanganku."

Dewa menggeram, " Lalu kenapa masih saja kamu teruskan? Dia brengsek!"

" Memangnya ada laki-laki yang nggak brengsek?" Seru Nala.

" Nala..."

" Apa, De? Apa ada di dunia ini yang benar-benar bebas dari kata brengsek?" Ucap Nala membuat Dewa terbungkam. " Aku kenal Samuel. Sebanyak apapun rahasia yang dia simpan, aku bisa mengetahuinya! Bagiku, itu lebih aman daripada bersama orang yang sama sekali nggak bisa aku baca! Sam menghormatiku, dan itu cukup menjadi alasanku untuk balik menghormatinya! Jadi jangan pernah menjelek-jelekkan Samuel. Dia tunanganku!"

Kalimat terakhir Nala menonjok keras hati Dewa. Laki-laki itu hanya bisa memandanginya beberapa saat.

" Kamu tidak mencintainya, Kanala." Ucap Dewa pelan, " Aku jadi tidak paham mengapa kamu mempertahankannya sampai seperti ini."

Rahang Nala menegang, " Kamu tahu apa tentang cinta, De?"

Nala kembali membersihkan wajah Samuel dengan telaten.

" Love is blind. Because how many times I get hurt by him, I can't do anything but to keep falling for him."

Sesaat, hanya hening yang menemani. Lalu tiba-tiba saja Nala terkejut ketika Dewa mendekatinya dan meraih tangan Nala yang mengusap wajah Samuel.

" Dewa!" Seru Nala.

Dewa membungkuk dan mencium dahi Nala, membuat gadis itu membeku.

" Aku marah karena dia bersikap kurang ajar padamu, bukan karena dia tunanganmu. Aku tidak pernah menganggapnya sebagai tunanganmu." Bisik Dewa dengan nafas berhembus di dahi Nala. Nala bisa mendengar laki-laki itu menelan ludah sebelum melanjutkan," Kamu tidak mencintainya. Jadi berhenti bersikap manis padanya. It hurts me, a lot."

Dengan satu tangan masih menahan tangan Nala, tangan yang lain meraih sisi wajah Nala dan membuat gadis itu mendongak untuk menatapnya.

"I never give up on you." Bisiknya lagi sebelum mengecup singkat bibir Nala.

Dewa melepaskan Nala dan meninggalkan gadis itu dalam keterkejutannya. Nala mengerjap, berusaha melenyapkan sorot pedih di mata Dewa yang jelas-jelas terlihat olehnya.

**

Beberapa hari berlalu sejak kepindahan Nala. Pikirannya saat ini sibuk dengan grand opening La Belle Femme di Indonesia.

La Belle Femme adalah nama sebuah brand tas tangan wanita. Berpusat di Paris, La Belle Femme mengembangkan pasar di sana. Sekarang, La Belle Femme merupakan salah satu brand ternama yang diperhitungkan dalam bidang fashion.

Kanala Radhinnabil Halid adalah seorang gadis jenius yang senang menantang diri sendiri. Beberapa tahun tinggal di Paris menyentil sisi kreatifnya sehingga Nala mencoba bereksperimen dengan tas tangan yang banyak digemari wanita. Ternyata, penerimaan pasar sangat baik hingga membuat La Belle Femme berkembang pesat seperti sekarang.

Meskipun dengan sakit hati yang amat sangat, kala itu Nala benar-benar mendengarkan kata-kata Dewa bahwa ia bisa menjadi apapun yang dia inginkan.

Jess, seorang perempuan cantik berambut pirang sepundak menyerahkan sesuatu pada Nala.

" Oh iya. Tamu kehormatan yang terpilih berdasar undian..."

Nala mengerjap.

" Ada apa?" Tanya Samuel yang juga berada di sana.

" Eh...tidak..." Kata Nala menggulung kertas kecil itu. " Tidak apa-apa."

Astaga! Padahal Nala sudah menepi sampai sejauh ini!

Esok paginya adalah hari yang sibuk bagi Nala. Jess dengan cerewetnya menyuruh Nala untuk berdandan rapi beberapa jam sebelum acara dimulai. Bukan tanpa alasan, karena Jess sangat paham betapa pemilihnya Nala dalam memakai gaun. Bosnya tidak akan pernah bersedia memakai gaun yang mencetak jelas lekuk tubuhnya.

Jadilah Nala bersiap dengan sebuah gaun maxi berwarna merah darah berlengan pendek dengan potongan yang menutupi bagian atas tubuhnya dengan baik. Bagian bawahnya terjatuh anggun hingga ke mata kaki. Sebuah bandana merah bertengger manis di rambut legamnya yang kali ini digulung ke belakang. Sepasang stiletto berwarna senada melengkapi penampilan sempurnanya. Tidak lupa, ia memoles lipbalm hingga membuat siapa saja akan terpaku pada bibir mungil merekahnya.

" Who is this angel?" Samuel menggaet pinggang Nala dan mencium puncak kepalanya dengan lembut. " You look so damn beautiful."

Nala tertawa dan mematuhi Samuel yang mengajaknya berdansa dengan singkat. Jess langsung masuk ruangan lagi begitu melihat mereka berdua.

" Kamu juga terlihat sempurna." Kata Nala memuji penampilan Samuel yang mengenakan jas abu-abu dengan kemeja merah, senada dengan gaunnya.

" Tentu saja. Aku harus bisa mengimbangi ratuku, kan?" Kata Samuel mengangkat alis. Nala memutar bola mata. Samuel memandangi wajah cantik tunangannya tanpa bosan.

" Sam..." Nala memperingatkan ketika Samuel mendekatkan kepalanya.

" Ah..." desahnya kecewa meskipun ia berusaha tersenyum. " Tentu saja." Katanya ganti mencium kening Nala. Nala mendengus untuk menutupi kecanggungan di antara mereka.

" Jangan dekat-dekat dulu. Aku masih marah padamu!" Celetuk Nala menjauh.

" Kanala, I am sorry, my love." Ucap Samuel dengan nada menyesal, " Aku sangat kecewa saat itu dan...everything I did, I lost control on my mind. Untung saja saat itu Dewa menyelamatkanku dari apapun yang akan terjadi." Samuel mendekati Nala, mencoba membuat gadisnya mengerti betapa menyesalnya dia saat ini.

" You're my queen, the one and only, Kanala." Kata Samuel Mengecup dahi Nala dengan lembut, " Always. I only want you."

Nala menghela nafas dan mengambut uluran tangan Samuel. " Alkohol itu setan. Makanya jangan dekat-dekat!"

Samuel terkekeh pelan dan mengangguk sebelum mengajak Nala berdansa lagi.

Sebuah tangan merebut Nala dari genggaman Samuel, membuat laki-laki itu memprotes.

" Look at this savage woman, eh?" Celetuk Fabian menatap Nala dari atas sampai bawah. " Siapa sangka kakakku yang galak itu bisa berubah jadi semanis ini?"

" Isss..." Decak Nala mencubit pelan Fabian.

" Makanya sering-sering dandan seperti ini. Kamu putri keluarga Halid." Kata Fabian memutar Nala. " Kamu hanya berdandan seperti ini kalau ada pertemuan penting saja."

" Kamu berharap apa? Aku memasak pakai gaun ini? You must be kidding!" Tepis Nala. Fabian terkekeh.

" Aku akan menyusul ke butik." Katanya mencium pipi Nala. " Kalian akan diantar Tristan dan anak buahnya. Tidak ada penolakan. Selamat pagi."

**

Dewa tidak pernah melepas matanya dari gadis bergaun merah itu barang sedetik pun. Gadis itu tampak sangat sempurna saat tersenyum bahagia dan memotong pita di ujung stage.

" Itu...Nala?" Seru Raya tidak suka, " Dia pemilik La Belle Femme? Yang benar saja?" Serunya jijik. " Nggak...dia bukan Nala. Nggak mungkin! La Belle Femme itu produk premium! Darimana dia dapet uang..."

Namun ketakutannya terbukti ketika pembawa acara memanggil tamu kehormatan untuk maju ke depan.

Raya mengerjap gugup. Ia membenahi penampilan dan tas tangan biru La Belle Femme miliknya. Dewa otomatis menepuk pelan tangan Raya, memberinya ketenangan.

Dewa mengawasi Raya yang menaiki panggung. Raya terlihat sangat bahagia ketika dirinya mendapat undangan spesial dalam grand opening cabang La Belle Femme di Indonesia. Dewa sedikit banyak tahu hobi belanja wanita itu, dan Raya pernah pergi ke Paris hanya demi produk limited edition La Belle Femme yang berbuah dia menjadi tamu kehormatan pada hari ini.

Nala mengawasi langkah Raya yang mendekatinya. Siapa yang menyangka jika Raya merupakan salah satu tamu kehormatan acara ini? Wanita itu memakai longdress biru muda dengan potongan rendah yang memperlihatkan belahan dada dan punggungnya. Raya yang berjalan angkuh menutupinya dengan sehelai selendang sutra, tapi siapapun masih bisa melihat apa yang ada di balik selendang itu dengan jelas. Namun saat ini, bukan itu masalahnya.

Sejak tadi, matanya terlalu sibuk berkilah agar tidak menatap laki-laki yang berdiri di samping Raya.

Nala melengkungkan senyumnya ketika Raya berdiri tepat di depannya. Wajahnya datar dan dingin, namun Nala mengabaikannya. Sang pembawa acara menyampaikan beberapa kalimat terima kasih kepada para tamu undangan karena sudah menjadi pelanggan setia La Belle Femme. Dan pada kesempatan kali ini, Kanala Radhinnabil sang founder La Belle Femme sendiri yang akan menyerahkan tanda terima kasih pada mereka.

Nala mengambil bingkisan dari nampan yang dibawa Jess dan menyerahkannya kepada tamu undangan satu per satu. Mereka terlihat sangat bahagia. Siapa yang tidak bahagia mendapatkan produk La Belle Femme gratis? Langsung dari sang owner pula?

Sesampainya di depan Raya, Nala menyambutnya ramah seperti tamu-tamu yang lain. Ia menyerahkan bingkisannya dan berterima kasih. Hanya itu. Nala menyadari keterkejutan dan ketidaksukaan di wajah Raya. Namun Nala memutuskan untuk mengabaikannya. Malam ini terlalu berharga untuk dikacaukan oleh siapapun.

**

" Dewa!" Seru Samuel saat menyadari bahwa ternyata mobil mereka bersebelahan.

" Astaga! Apa hanya aku yang mulai berpikir bahwa dunia ini sempit?" Kekeh Samuel bersalaman singkat dengan Dewa. Dewa hanya mengangguk singkat, sedangkan Raya bersedekap dengan sikap yang sangat defensif si sampingnya.

" Thank you for saving me, by the way. Kamu benar-benar menyelamatkanku." Samuel berkata dengan sungguh-sungguh.

Jess menyenggol pelan lengan Nala. " Who is this hottie?"

Bolehkah Nala menggetok Jess menggunakan stilettonya?

" Nobody." Balas Nala berbisik. " Neighbour."

Kerongkongan Nala mendadak kering ketika Dewa akhirnya menoleh padanya. Kejadian beberapa waktu lalu berkelebat, membuat pipinya memanas.

" Selamat ya." Katanya singkat. Namun suaranya membuat tengkuk Nala merinding seolah dirinya disiram air panas.

Nala membalas tatapan Dewa yang entah mengapa, selalu membuatnya hancur. Ia berusaha tersenyum.

" Terima kasih." Jawab Nala mempertahankan ketenangan.

" Hei, hei De..." Tiba-tiba Samuel menginterupsi dengan nada antusias. Ia melingkarkan satu tangannya di pinggang Nala. " Aku ingin memberitahumu sesuatu. Sebenarnya masih rahasia, tapi karena aku sudah menganggapmu teman, aku akan memberitahumu."

Senyum Samuel merekah. Ia menarik Nala mendekat.

" Kami akan menikah kurang dari dua bulan lagi. Jika kamu bisa, silahkan datang. Aku pasti akan memberimu undangan. Kamu akan menjadi tamu VVIP kami, jadi jangan cemaskan apapun di sana." Kata Samuel tulus. Nala mengalihkan pandangan begitu tatapan Dewa menghujamnya dalam-dalam.

Dua orang lain terkesiap dengan alasan yang berbeda.

" Menikah? Married?" Pekik Jess menangkup pipinya. " Kanalaa!" Serunya memeluk Nala.

Nala terkekeh singkat. " Pelankan suaramu, Jess. Itu masih rahasia!"

" Tapi tapi tapi maksudku si laki-laki tidak tahu diri ini sudah membuatmu menunggu lama!" Dengus Jess meninju lengan Samuel yang merintih, namun tawa bahagia tidak lepas dari wajahnya.

" Menikah?" Celetuk Raya menarik fokus Nala. Untuk pertama kalinya, gadis itu menatap Nala dengan binar di matanya. " kurang dari dua bulan lagi?"

" Iya, kami sudah menunggu terlalu lama." Samuel menjawab pertanyaan Raya.

Nala menelan ludah saat cengiran Raya melebar. " Astaga! Selamat ya! Kalau bisa kami akan kesana. Iya kan, De?"

Nala tidak sanggup lagi melihat mereka. Ia menurunkan tatapannya.

" Terima kasih, Raya." Jawab Samuel. "Aku juga berharap semoga kalian berdua langgeng."

" Ah, tentu saja. Kami juga akan menikah dalam waktu dekat." Kata Raya riang sambil menempelkan badannya pada Dewa. " Aku harap kalian juga bisa hadir di pernikahan kami."

" Sure. Iya kan, Nala?" Samuel mengusap singkat puncak kepala Nala, memaksanya menghadap ke depan demi menatap pemandangan paling ia benci.

" Tentu." Sebuah suara keluar dari kerongkongannya, membelah jiwanya. Nala menarik ujung jas Samuel.

" Ayo kita pulang. Aku masih ada kerjaan." Kata Nala.

" Hmm...kita duluan, kalau begitu." Kata Samuel ringan sembari mengusap lembut puncak kepala Nala yang membuahkan tonjokan dari Jess.

" Jangan sering-sering bermesraan begitu! Paling tidak cari ruangan, sana!" Gerutu Jess masuk ke mobil. " Harusnya aku ikut mobil Fabian saja. Tapi anak itu langsung menghilang selesai acara. Aku kan ingin jalan-jalan mumpung di sini!"

" Aku...duluan." Pamit Nala memutus pandangannya dan membuka pintu mobil untuk duduk di sebelah Samuel.

Jadi begini akhirnya?

Dewa sama sekali tidak menampik perkataan Raya tentang pernikahan. Yah, paling tidak ia bisa menyimpulkan sesuatu.

Betapa kerasnya usaha Dewa untuk membohonginya lagi. 

*TBC*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top