17. Hilang Akal

"Every beat of your heart is mine"

"Kamu beneran belum capek bermain, ya?"

Sesaat, kotak besi persegi kedap udara itu dipenuhi oleh gelak tawa Nala. Gadis itu tertawa dengan lelehan air mata mencapai dagunya, kemudian pada suatu titik ketika tenggorokannya menyempit, ia tersedak kecil dan membuka mata.

" Kamu..." Ucap Nala susah payah mengeluarkan suara dari tenggorokannya yang menyempit. Tawa singkatnya kini memudar, namun isakan itu menjadi semakin keras. Dadanya sesak sekali. " Bisa nggak berhenti main-main sama aku, De?"

Dengan Dewa masih menangkup kedua sisi wajah Nala, gadis itu memukuli dada Dewa, " Apa sih yang bikin kamu sebegitu sukanya bermain sama aku gini? Hm?"

Pandangannya mengabur. Isakannya semakin keras, namun Nala berusaha menahannya sekuat tenaga. Nala meninju Dewa dengan kekuatan yang tidak kecil. Namun laki-laki di depannya tidak bergeming.

" Dewangga Abirama..." Kata Nala tersendat di sela isakannya, " kamu laki-laki paling jahat yang pernah aku kenal!"

" Nala, aku..."

Dengan cepat Nala mengangkupkan tangannya di mulut Dewa. Gadis itu mendongak untuk menatap Dewa dengan tajam meskipun matanya mengabur, " Jangan..."

Nala menatap sejenak sepasang manik legam itu.

" Jangan bicara apapun." Bisik Nala, " Jangan bilang omong kosong tentang kamu yang tidak berbohong, Dewa. Kalau kamu berpikir aku masih bisa kamu bodohi, kamu salah."

Dalam interval waktu ketika Nala terdiam, mata mereka saling terkunci. Gadis itu menolak mengerti cara Dewa memandangnya. Nala terlalu mengenalnya. Terlalu mengenali kebohongan Dewa.

" Apa penyesalanmu sebegitu dalam sampai-sampai kamu berfikir untuk berbuat baik sama aku?" Celetuk Nala tiba-tiba. " Karena jika itu alasan kegilaanmu ini, kamu nggak perlu khawatir, De. Aku baik-baik aja."

Pandangan Dewa mengeras. Laki-laki itu merasa tidak terima. Namun Nala memotong apapun yang hendak diucapkan Dewa.

" Dua..." Kata Nala berusaha menenangkan diri. Ia menarik paksa telapak tangan Dewa dari pipinya. Namun bukannya melepaskan, Dewa justru membawa kedua telapak tangannya untuk menangkup di pipinya sendiri.

Nafas Nala berhenti ketika api tersulut dari kulit mereka yang bersentuhan. Menjalar hingga ke dadanya, bergemuruh di sana.

" Dua bulan lagi..." Nala menghirup nafas dalam-dalam. " Aku pulang ke Perancis."

Dewa tidak bergeming. Ia menatap Nala dengan ekspresi yang bisa membuat seluruh sel tubuh Nala luruh di lantai. Namun ia berusaha menatap sepasang mata legam itu dengan berani. Dia harus menunjukkan jika permainan laki-laki itu tidak lagi mempengaruhinya.

" Di sana akan ada banyak orang yang menungguku. Dan saat semuanya selesai, saat itu orang-orang akan mulai memanggilku nyonya Maximillien." Bisik Nala seolah mengeluarkan banteng dari lubang sedotan. " Jadi tolong berhenti bermain denganku. Kamu menggoda calon istri orang lain."

Seleret luka tertangkap di mata Dewa, membuat Nala terkekeh kecil.

" Jangan-jangan kamu aktor ya? Aku nyaris percaya kalau kamu terluka, De. You truly are a good liar."

Namun Dewa tidak menjawab. Laki-laki itu hanya menunduk menatap Nala yang terkekeh. Dewa mengusap punggung tangan Nala yang masih bertengger di pipinya dengan ibu jari, membuat kekehan Nala mereda dan menatapnya.

" Kamu cinta Samuel?" Tanya Dewa pelan.

" Do you need to know?" Nala tersenyum miring, " Aku bersedia menikah dengannya, Dewangga Abirama. Tentu saja aku mencintainya. Jadi berhenti bersandiwara. Berhenti menyesali diri sendiri. Berhenti bersikap brengsek hanya karena rasa bersalahmu. Itu sia-sia. Tidak ada gunanya sama sekali. Aku baik-baik saja, aku bahagia dengan apa yang aku punya. Aku bahagia dengan Samuel."

Nala melepaskan tangannya tepat ketika lift terbuka. Ia keluar dari lift, meninggalkan Dewa yang membatu.

Laki-laki brengsek! Nala menggeleng keras sembari mengusap kasar pipinya.Sampai kapan Dewa akan berbohong padanya? Sampai kapan laki-laki itu mengganggu ketenangan hidupnya?

Nala menekan dadanya yang terasa sakit. Mengapa ia tidak kunjung bisa menyingkirkan rasa ini! Ini menyiksanya!

**

Hal pertama yang dilihat Fabian ketika dirinya hendak keluar dari apartemen adalah Nala yang berwajah sembab.

Seketika itu juga langkahnya berhenti. Ponsel di telinganya masih mengirimkan suara sang sekretaris yang mengabarkan penerbangan akan dilakukan satu jam lagi. Tapi mendadak kini telinganya menuli. Kakaknya berhenti di sana, juga menatapnya.

Selama delapan tahun Fabian mengenal Nala, tidak pernah sekalipun ia mendapati Nala berwajah terluka seperti ini.

Sekejap saja, kemarahan menguar.

" Kana..."

Nala menghapus jarak di antara mereka dengan dua langkah panjang dan memeluknya, membuat ponsel di tangannya terjatuh. Tapi persetan dengan ponsel. Fabian balas memeluk Nala yang kini terisak dan gemetar hebat.

" Ian, bisa kita pindah apartemen?" Bisik Nala.

Fabian mengeratkan pelukannya ketika kata-kata Nala semakin memperjelas dugaannya. Fabian menempelkan hidungnya di puncak kepala Nala, menahan dirinya sendiri untuk tidak menyambangi apartemen sebelah dan melempar Dewa dari jendela.

" Ada apa Kana?" Tanya Fabian, " Siapa yang menyakitimu?"

Nala terkekeh pelan, " Makanan di depan tidak enak. Aku lebih suka makanan Bibi Sarbita." Nala mengeratkan pelukannya. Menyembunyikan wajah ketika senyum palsunya tidak lagi bertahan. "Kita kembali ke penthouse milikmu saja. Hari ini. Aku harus lebih berkonsentrasi pada La Belle Femme yang akan buka bulan depan. Berkasnya masih di penthouse."

" You're not good at lying, Kana. You know that." Geram Fabian.

" Am I?" Kekehan gadis itu kembali. Nala melepas pelukannya hanya untuk berganti memeluk leher Fabian, membuat laki-laki itu membungkuk agar Nala bisa menyandarkan dagunya di pundak Fabian dan memejamkan mata, " Jangan terlalu khawatir. Aku hanya ingin lebih berkonsentrasi pada La Belle Femme."

" Lalu jurnalmu?"

Nala terdiam sejenak, " Tidak masalah. Aku masih bisa mengatasinya." Nala menghirup nafas sejenak dan melepaskan Fabian. Membuat laki-laki itu menegakkan diri meskipun tangannya masih melingkar di tubuh Nala.

" Jadi? Bisa kita pindah hari ini?" Tanya Nala menyembunyikan ketergesaan dalam suaranya. Secuil dirinya merasa menyesal telah lepas kendali di depan Fabian, karena kini Fabian menatapnya dengan tajam.

" Under my condition. Under my protection."

Nala mengangguk, " Apapun inginmu, Ian."

Fabian menatap Nala sejenak. Atau mungkin dia justru harus berterima kasih karena kini Nala sendiri yang merelakan dirinya berada di bawah pengawasannya.

" Besok kita pindah. Hari ini kita hanya akan memindahkan barang-barang. Aku harus menata kembali berkas-berkasku untuk memberikanmu ruang."

Nala menghembuskan nafas lega. " Thank you, Ian."

Fabian menghapus bekas air mata di wajah Nala, "Anytime, Kana. Anytime."

" Ah, Nala...where are you...God! Are you okay?"

Samuel yang sudah sama rapinya dengan Fabian melintasi ruangan dan mendapati dua saudara itu tengah bercakap dengan Nala yang bermata sembab.

" I am fine, Sammy." Kekeh Nala melepaskan tangan Samuel dari pipinya.

" Aku akan mengantarmu. Sepertinya sedang tidak dalam keadaan yang baik." Kata Samuel masih mengerutkan kening.

" Hmmm..." Nala mengangguk patuh, tidak terlalu kepingin berdebat karena tenaganya surut meskipun hari masih pagi.

" Nala, kamu sudah ke dokter?" Tanya Samuel tiba-tiba. Nala mengerutkan kening.

" Untuk apa?" Tanyanya singkat.

"Hari ini aku akan mengantar kamu periksa. Kita akan menikah, dan aku mau keadaanmu baik-baik saja." Desak Samuel dengan tegas.

Nala mengerucutkan bibirnya. Namun ia mengangguk juga, " Terserah kamu saja."

Nala mengatakan semuanya dengan cepat sebelum melesat ke kamarnya sendiri.

" Apa itu perlu?" Suara dingin Fabian membuat Samuel menoleh. Laki-laki bermata kelabu itu mengangguk sebagai jawaban.

" We are going to marry, Fab." Jawabnya tegas.

**

Hari itu, Nala membawa Samuel ke panti asuhan miliknya untuk pertama kali.

" Hm... Nicely done." Kata Samuel bangga membuat Nala tersenyum.

" Ayo. Aku tunjukkan anak-anak didikku. Mereka pasti senang sekali melihat orang British asli." Kekeh Nala menarik Samuel ke dalam. Namun, sepertinya itu pilihan yang salah.

" Dewa?" tanya Samuel mengerutkan kening begitu melihat Dewa di lobi sedang duduk berhadapan dengan Qatar.

" Ah!" Seru Nala menarik perhatian ketiganya. Nala berdehem dan memutuskan tatapannya pada Dewa." Sammy, ini Qatar. Dia direktur panti asuhan di sini. Mas Qatar, ini Samuel."

Qatar yang tidak merasakan kecanggungan Nala menatap Samuel dengan antusias. Ia berdiri dan mengulurkan tangan. " Qatar."

" Samuel. Tunangan Nala." Jawab Samuel. Nala memutar bola mata.

" Apa kamu perlu menggembar-gemborkan hal itu, Sam?" Kata Nala lelah. Kemudian ia menatap Dewa. " Mumpung kamu di sini, aku mau bilang sesuatu. Sini, Sam. Duduk dulu."

Dewa terdiam. Ia hanya menatap Nala.

" Mulai besok, aku pindah ke penthouse Ian. Jadi tolong bilang itu sama Dafa karena pulang nanti, aku harus langsung berkemas." Kata Nala lancar.

Dewa menatap Nala beberapa saat, berusaha menelaah apa gerangan yang sedang dimainkan gadis itu. " Tentu."

Jika Nala terkejut karena jawaban Dewa yang di luar perkiraannya, gadis itu tidak menunjukkannya. Ia tersenyum dan beranjak seraya menarik tangan Samuel.

" Aku permisi dulu. Janji mengantar Sam berkeliling. Selamat siang, semuanya." Pamit Nala riang sebelum menghilang di koridor.

Qatar yang sedari tadi diam, kini mengangkat alis seraya menoleh pada Dewa. Yang ditatap tenang-tenang saja. Malah membaca brosur dengan serius.

" Kalau mau bilang sesuatu, bilang aja." Celetuk Dewa setelah beberapa saat Qatar mengamatinya tanpa bicara.

" Tahu nggak? Aku kira kalian kembali bersama. Beberapa kali kalian makan siang bareng, gitu. Ternyata aku salah, ya?" Tanya Qatar hati-hati.

" Nggak. Mas Qatar nggak salah." Tepis Dewa tenang. Qatar ternganga.

" Ha?"

**

" La! Nala!"

" Ah..." Nala mengerjap dan memfokuskan matanya. " Iya? Kenapa, Sam?"

Laki-laki berambut coklat itu menatap Nala sejenak. " Aku bicara dari tadi kamu tidak mendengarkan?"

Nala menangkap nada dingin dari suara Samuel. Gadis itu menghirup nafas dalam-dalam. Jika ada satu yang tidak Samuel suka, itu adalah tidak didengarkan. Yah, siapapun juga sepertinya tidak suka jika dirinya tidak didengarkan oleh orang lain yang diajaknya bicara.

" Maaf." Kata Nala akhirnya. Samuel bersedekap.

" Mengapa kambuh lagi?" Tanya Samuel menatap Nala tajam. " Dan mengapa kamu tidak pernah ke dokter, Kanala?! Enam bulan itu lama! Mengapa kamu membiarkan dirimu tidak terpantau selama itu?"

" Karena kata dokter Annabeth aku dinyatakan sembuh, Sam. Beliau bahkan bilang terapiku selesai." Kata Nala memijit dahinya. Pikirannya juga sama kacaunya.

" Kamu tahu apa jadinya jika sampai ovarium satu-satunya itu diangkat, kan?" Kata Samuel mendingin. " Begitu tahu kamu mempunyai riwayat pengangkatan salah satu indung telur, kamu tahu bagaimana reaksi orangtuaku, Nala. Aku tidak mau mereka mendengar kabar buruk lagi."

Hati Nala mencelos. Iya. Dia ingat sekali bagaimana kedua orangtua Samuel langsung menunjukkan sedikit keengganannya ketika Nala memberitahu keadaan dirinya. Namun Samuel mempertahankannya.

Enam tahun lalu, Nala akhirnya tahu mengapa datang bulan selalu menyiksanya. Ternyata ovarium kanannya mengalami endometriosis dan harus diangkat. Seakan itu belum cukup, dua tahun setelahnya Nala didiagnosis menderita infeksi pada satu-satunya ovarium yang dia punya. Namun untungnya, penyakit itu mampu dideteksi lebih dini sehingga berhasil disembuhkan. Dokternya bahkan menyatakan Nala sembuh dan tidak perlu menjalani check up rutin lagi kecuali jika dia menginginkannya atau ada keluhan. Berhubung dirinya akan menikah, Samuel memaksanya untuk periksa.

Dan di sinilah dia. Perempuan cacat yang kehilangan satu ovarium dan kini tengah terancam kehilangan keduanya.

Dia masih setengah tidak percaya ketika dokter Tiara menyatakan bahwa kemungkinan infeksi itu datang lagi. Namun beliau menenangkan Nala bahwa infeksi itu tidak mengarah pada hal yang tidak diinginkan karena tergolong ringan dan gampang diobati. Hanya saja, Nala harus berhati-hati dan belum bisa hamil sepanjang infeksi itu masih ada. Dalam keadaan sehat pun, satu ovarium yang tersisa tetap memperkecil kemungkinan untuk hamil.

" Tidak. Kamu mendengar kata dokter tadi? Infeksinya ringan. Bisa diobati." Kata Nala menenangkan Samuel, juga dirinya sendiri.

" Dia juga bilang kamu belum bisa hamil jika infeksi itu belum sembuh, Nala." Kata Samuel mulai gusar. " Mau sampai kapan? Apa yang akan dikatakan orangtuaku?"

Nala menunduk. Sungguh, dia merasa telah menjadi perempuan cacat. "Aku akan memastikan ini sembuh. Kamu tenang saja."

" Sebaiknya kamu rutin periksa setiap bulan." Tegas Samuel dingin. " Aku keluar dulu. Perlu menelfon wedding organizer kita."

Nala menghirup nafasnya yang terasa sesak. Wedding organizer, ya?

Nala memejamkan mata. Dia berharap, hanya sedikit, bahwa Samuel bisa mendukungnya setelah mendengar berita tadi. Karena toh yang menderita adalah dirinya. Bukan dia, bahkan bukan ayah dan ibunya. Tapi dia terlalu mengenal Samuel untuk tahu orang seperti apa dia. Tidak ada yang lebih penting daripada perusahaan miliknya.

Nala menghirup nafas panjang. Tidak ada manusia yang sempurna. Begitu juga Samuel. Dia memiliki beberapa kekurangan, Nala tahu itu. Tapi dia tahu Sam laki-laki yang baik. Dan yang terpenting, dia menghormati Nala.

Paling tidak itu yang membuat Nala bertahan pada pertunangan ini.

**

Sore itu, Samuel pergi entah kemana.

Mungkin dia masih sulit menerima kabar tadi sehingga Nala membiarkan Samuel menenangkan diri. Nala menghembuskan nafas panjang ketika tahu bahwa dia telah menyebabkan Samuel sangat kecewa.

" Yasss!!" Nala menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Dia harus mulai berkemas! Gadis itu sudah siap dengan kaus lengan pendek dan celana selututnya. Nala memasang sarung tangannya dan mulai mengangkati kardus-kardus yang berisi barang-barangnya.

" Nona, biar saya saja!" Seru Farel melihat Nala menggotong kardus keluar apartemen.

" Ini ringan kok. Kamu yang berat aja. Itu masih banyak di dalam." Kata Nala nyengir. Nala meletakkan kardusnya pada kereta dorong besar yang disiapkan Tristan untuk mempermudah membawanya ke lantai bawah. Ia berbalik dan langsung masuk. Berusaha tidak memperdulikan pintu di sebelah apartemennya yang tertutup rapat.

Farel dan Tristan bergantian masuk dan keluar apartemen. Mengosongkan ruangan itu dengan membawa barang satu per satu. Sedangkan Nala hanya membawa barang yang ringan saja. Bukan apa-apa, tapi Farel dan Tristan akan mendapat teguran dari Fabian karena membiarkannya membawa barang berat.

Fabian. Manis sekali kan dia? Hmph! Dasar bos menyebalkan!Saat mereka sangat butuh kekuatan otot-otot bertonjolan miliknya, dirinya justru asik berpergian ke Singapura! Cih!

" Bawa ke bawah dulu. Udah banyak ini." Kata Nala menepuk-nepuk kereta dorong yang sudah penuh itu. Farel dan Tristan setuju dengannya.

Nala kembali ke dalam sembari menepuk-nepuk tangannya. Setelahnya, ia menarik tangannya ke atas hanya untuk mendengarkan bunyi gemeretak dari punggungnya.

" Astaga! Aku setua ini, ya?" Kekeh Nala. Gadis itu melepaskan sarung tangannya. Entah mengapa balkon itu terasa sangat mengundang sehingga Nala melangkah kesana tanpa sadar.

Gadis itu menyentuh jeruji besi yang dingin, kemudian menoleh ke kiri dan mendapati balkon itu tengah kosong dengan pintu tertutup. Ia tertawa sedih. Memangnya apa yang dia harapkan?

Tidak boleh.

Nala segera berbalik dan memutuskan untuk bersih-bersih. Pikirannya tidak boleh kesana lagi. Ia sudah memutuskan mengakhiri semuanya. Termasuk rentetan kenangan dari dalam hatinya.

Nala teringat Dafa. Dia bisa menebak apa reaksi Dafa ketika dia mendapati Nala tidak lagi tinggal di sini. Nala menghirup nafas dalam-dalam dan menghembuskannya lewat mulut. Dia belum siap berpamitan dengan anak itu dan mendapat wajah kecewa darinya.

"Kenapa kamu bandel banget, wahai kardus?" Keluh Nala berusaha menggapai kardus berisi gelas yang diletakkan Fabian di atas rak bumbu. Nala merutuki tinggi tubuhnya. Bahkan setelah dia berjinjit di atas kursi kecil, ujung jarinya tidak menyentuh kardus itu.

Nala merentangkan tubuhnya semaksimal mungkin. Satu tangan bertumpu pada tepi konter, tangan yang lain berusaha menggapai pantat kardus.

" Ahh!!"

Nala terkesiap saat kakinya hilang keseimbangan. Kardus yang belum sempat terpegang sempurna pun terbalik tepat di atas Nala.

PRANG!!

Suara gelas pecah terdengar nyaring di sekitar Nala. Gadis itu tersungkur di lantai, menunduk dengan kedua mata terpejam erat-erat. Bersiap merasakan sakit yang pasti segera datang.

Atau tidak.

Karena saat ini, sesuatu yang jauh lebih besar melingkupinya rapat-rapat. Nala membuka matanya begitu mencium aroma yang ia kenal.

Nala merasa kepalanya ditolehkan ke kanan, ke kiri dan menunduk ketika Dewa memeriksanya.

" Ada yang sakit?" Tanya Dewa saat menyapu kepala Nala, mencari luka sekecil apapun di sana meskipun dia yakin dia sudah melindungi Nala dengan baik.

Nala menarik dirinya menjauh, sebagian untuk meredakan jantung yang menggedor rusuknya seperti tronton. Tapi bukannya mereda, jantungnya justru berhenti kala ia langsung berhadapan dengan sepasang mata legam milik Dewa.

Nala mendorong dirinya menjauh tanpa sadar. " Ka...kamu kenapa bisa?" Tanya Nala terbata.

Bukannya menjawab, Dewa justru menahan Nala dengan meraih punggung gadis itu agar tidak terjengkang ke lantai penuh pecahan. Tanpa bicara, Dewa berdiri dan menyapu belakang lutut Nala, membopongnya untuk menjauh dari lingkaran pecahan gelas dengan hati-hati.

Sedangkan Nala? Gadis itu mencengkram erat kemeja Dewa saking terkejutnya. Dewa mendudukkan Nala di atas meja makan, kemudian memeriksa kaki telanjang gadis itu.

Nala mengamatinya dalam diam. Kejadian di lift tadi pagi masih terekam jelas di ingatannya, membuat hatinya sakit dan bahagia di waktu yang sama. Hanya saja, dia lekas meredakan rasa bahagia semu itu.

Mana bisa hari sial itu menjadi kebohongan?

Nala menarik kakinya sehingga telapak kakinya meluncur dari telapak tangan Dewa.

" Kamu nggak papa?" Tanya Nala berusaha menenangkan diri. Ia mengamati Dewa yang masih dalam posisi lebih rendah darinya. Memeriksa dengan cemas kalau-kalau ada bercak merah di lautan rambut hitam itu, atau di wajahnya, atau di tubuhnya. Tapi dia kelihatan bersih.

Dewa menegakkan diri, refleks membuat Nala menarik dirinya ke belakang.

" Nggak, aku nggak papa." Jawab Dewa datar.

" Umm, makasih." Kata Nala bingung mau bicara apa lagi. Dia sedang tidak ingin menanyai mengapa tiba-tiba laki-laki itu ada di sana. Nala sedang sibuk dengan pikirannya sendiri hingga ia tidak sadar Dewa menumpukan kedua tangannya samping kanan dan kiri gadis itu.

"Mau apa?" Seru Nala semakin menjauhkan tubuhnya ketika tiba-tiba saja sepasang mata hitam legam itu berada tepat di depannya. Tatapan laki-laki itu serasa mengebor masuk ke dalam mata Nala. Kemudian, Dewa menghembuskan nafas panjang dan menunduk.

" Untung aja kamu nggak papa." Katanya pelan. " Aku bisa jantungan waktu lihat kamu naik-naik nggak jelas gitu."

Debaran Nala yang mulai mereda kembali bergemuruh saat mendengarnya.

" Pas apes aja, sih. Biasanya nggak kok." Kata Nala berusaha biasa saja.

Dewa mengangkat kepala. " Dasar keras kepala!"

" Biar, wleeeeee! Duh!" Pekiknya saat Dewa menjentik pelan dahinya dan berdecak kesal. Dewa berbalik dan menyahut sapu yang terjatuh di lantai, kemudian menyapu pecahan kaca ke sudut ruangan dengan cepat. Nala lega karena mereka tidak harus terperangkap dalam situasi canggung setelah kejadian kemarin. Lagipula, Dewa sepertinya baik-baik saja. Dia seakan sudah lupa begitu! Cih!

" Kenapa? Kepikiran omonganku di lift?" Tanya Dewa ketika dirinya kembali menghadapi Nala dan mencondongkan tubuhnya mendekat.

" Ak...nggaaak!!" Kilah Nala merayap ke belakang untuk menjauh. Melihatnya, Dewa tertawa geli.

Nala menatapnya kesal. " Iya kan? Beneran kan?"

" Beneran apa? Hm?" Tanya Dewa dengan satu sudut bibir terangkat.

" Issss! Beneran kalau omonganmu itu nggak bener!" Nala mendelik. " Mending nggak usah ngomong yang aneh-aneh deh, De! Aku udah maafin kamu buat kasus yang dulu itu! Jangan bikin ulah lagi! Jangan bikin aku marah lagi! Bis...!"

Dewa menarik punggung Nala dengan satu tangan, memaksa gadis itu mendekat sebelum menunduk.

Dan mencium bibir Nala.

Dewa hanya menempelkan bibir mereka, setengah ragu, setengah ingin tahu. Menunggu sambil memejamkan mata.

Sedangkan Nala merasa bumi berhenti berputar dan matahari mulai menabrak Merkurius.

Dia tahu, dia kenal, dia hafal benar tekstur bibir Dewa. Rasanya seperti menemukan potongan puzzle yang telah lama menghilang. Nala terpaku, seluruh syarafnya terhenti.

Ketika bibir Dewa mulai bergerak, Nala mendapatkan kembali akalnya. Dengan cepat, ia menampar pipi laki-laki itu. Sedetik kemudian, dadanya nyeri ketika melihat Dewa memejamkan mata.

Nala mengulurkan tangan pada bekas tamparannya, memaksa laki-laki itu menatapnya.

" What are you thinking, Dewangga Abirama?" Geram Nala dengan jemari mengusap bekas tamparannya.

Bukannya menjawab, Dewa justru menatapnya tanpa ekspresi. Kemudian, tiba-tiba laki-laki itu tersenyum kecil dan melepaskan tangannya dari meja.

"Every beat of your heart is mine, Kanala." Kata Dewa. Ia mengambil tasnya di lantai dan berjalan keluar.

Nala menatap kepergiannya dengan geram. Jika sorot mata Nala adalah sinar laser, dia ingin sekali melubangi punggung itu sekarang juga demi meredam tubuhnya yang mulai terasa mengerikan.

Kupu-kupu yang sudah lama mati itu datang lagi, lebih hidup, lebih riuh dari yang pernah Nala ingat sampai seluruh tubuhnya bergejolak tanpa ampun dan Nala tidak mempunyai kuasa menghentikan hentakan menyenangkan yang kini mulai menjalar di perutnya.

*TBC*

You'll always be a part of me
I'm a part of you indefinitely
Girl don't you know you can't escape me
Darling cause you'll always be my baby
And we'll linger on
Time can't erase a feeling this strong
No way you're never gonna shake me
Darling cause you'll always be my baby

🎶 always be my baby. David Cook

Entah kenapa, lagunya dia pas banget sama apa yang dirasa Dewa.

Hai haiii, hope you enjoy ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top