16. Bagaimana Jika

"How if, until this time the only one I love is you?"

Dewa membopong Raya yang tertidur pulas menyusuri lorong lantai apartemennya. Sesampainya di depan pintu apartemen, Dewa berhenti.

" Bi, tolong kunci di ransel." Pinta Dewa pada wanita berumur lima puluhan itu. Bi sumi langsung mendekati Dewa, tapi sepertinya dia kesulitan mencapainya mengingat tinggi Dewa yang jauh di atas dirinya. Dewa menghela nafas frustasi, tapi ia berusaha mengendalikan diri.

Saat itu, pintu apartemen sebelah terbuka.

Sepasang mata coklat mendapati dirinya sedang membopong Raya yang tertidur pulas. Dewa benar-benar ingin menenggelamkan kepalanya sendiri di kolam ikan! Mata Nala terpaku pada Raya, kemudian perlahan naik untuk menatapnya. Selama beberapa detik, tidak ada yang berbicara.

" Bang, udah pulang? Eh! Kak Raya kenapa?"

Dafa yang muncul di belakang Nala dengan mata setengah terpejam langsung terbelalak begitu menyadari apa yang terjadi. Rupanya teriakan Dafa mengundang penghuni yang lain. Fabian dan Samuel langsung muncul di belakang Dewa.

Samuel. Perlahan, kesadaran Dewa kembali. Jadi, Samuel menginap di apartemen Nala?

Dewa memalingkan wajahnya untuk menepis apapun yang hendak melintas di otaknya yang gila.

" Fab, tolong ambilkan kunci apartemen. Di ransel." Pinta Dewa pada Fabian yang merupakan satu-satunya orang yang lebih tinggi darinya di kerumunan kecil itu. Fabian mematuhinya dalam diam.

Begitu pintu terbuka, Dewa masuk. Ia tidak peduli jika beberapa rombongan yang lain pun ikut masuk. Bahkan Fabian yang sudah siap dengan penampilan mempesonanya pun ikut masuk setelah mengatakan permisi.

Dewa memasuki kamar tamu yang sering ditempati Raya, kemudian membaringkan Raya yang masih tertidur di sana. Ia langsung memegang pergelangan tangannya untuk mengecek denyut nadi. Setelah memastikan keadaannya stabil, Dewa mendongak. Fabian, Samuel, Dafa dan Bi Sumi semuanya terdiam menonton Dewa. Dewa memberi isyarat untuk diam dan keluar ruangan. Mereka semua mematuhinya kecuali Bi Sumi yang memang bertugas untuk merawat Raya.

" Dafa, mandi. Udah jam segini." Kata Dewa saat keempat laki-laki itu keluar. Dafa menatap jam di dinding.

" Masih ada waktu. Kak Raya kenapa?" Tanya Dafa.

" Nggak papa. Mulai sekarang kak Raya tinggal di sini sama Bi Sumi. Kamu bantu abang jaga dia, ya?" Dewa menatap adik laki-lakinya itu. Dafa mengangguk.

Samuel yang memakai kaus dan celana pendek menelengkan kepala, " Aku tidak tahu kamu sudah beristri."

" Dia bukan istriku. Cuma teman yang sedang butuh bantuan." Kata Dewa mulai lelah menepis hal serupa.

Fabian menepuk bahunya, " Kalau perlu bantuan, jangan ragu mengetuk pintu kami." Katanya. Walau bagaimanapun, mereka bertetangga. " Sepertinya sekarang baik-baik saja. Kita balik dulu, kalau begitu."

Kata Fabian pamit sembari mengajak Samuel. Dewa hanya memandangi kedua punggung itu menghilang di balik pintu apartemennya.

Dia setengah berharap Nala juga mengikutinya. Menanyainya, agar Dewa mempunyai kesempatan untuk menjelaskan bahwa Raya masih bukan siapa-siapa baginya. Tapi sepertinya gadis itu memilih tidak peduli.

Dewa mengusap wajahnya dan menatap Dafa yang masih mengamatinya.

" Udah sarapan?" Tanya Dewa meskipun ia merasa pertanyaannya sia-sia. Nala selalu merawat Dafa dengan baik.

Dafa mengangguk. " Tadi di tempat Lala. Aku mandi dulu." Katanya sebelum melesat ke kamarnya sendiri.

Dewa menghela nafas lelah. Pikirannya kusut. Tubuhnya letih. Batinnya kacau. Sepertinya, dia memang butuh sarapan.

" Bi, aku beli sarapan dulu, ya." Pamit Dewa. Terdengar jawaban dari Bi Sumi. Dewa mengambil dompetnya dari dalam ransel dan bergegas keluar apartemennya. Dia memutuskan untuk membeli sarapan seberang jalan saja. Ini toh keadaan darurat.

Pikiran Dewa masih dipenuhi tatapan Nala. Cara gadis itu menatap Dewa selalu berhasil membuatnya kehilangan satu detak jantung. Hanya saja, ada sesuatu yang lain di sana. Tatapan menuduh yang benar-benar mengusiknya.

Dewa masuk di kedai yang biasa ia sambangi ketika butuh sarapan darurat. Kemudian, langkahnya terhenti ketika melihat punggung familier berdiri di depan conter pemesanan.

Laki-laki itu menghabiskan beberapa detik berdiri di sana, menatap punggung Nala yang mendongak ke arah menu-menu kedai. Sesuatu mencubit dadanya, membuat pikirannya terkekeh geli ketika ternyata ia masih bisa merasa sakit setelah semua yang terjadi.

Perlahan Dewa berjalan mendekati Nala dan berhenti tepat di samping gadis itu.

" Pilih apa?" Tanya Dewa tanpa menoleh. Nala menoleh cepat, namun Dewa mengabaikannya. Laki-laki itu menyebutkan pesanannya yang diangguki si pelayan, kemudian menoleh pada Nala.

" Temani sarapan. Mau?"

Nala menatapnya sejenak, kemudian akhirnya mengangguk singkat, " Omelet nasi sama banana smoothie, pakai yogurt."

Entah apa yang dipikirkan Dewa. Laki-laki itu hanya merasa penat. Sekarang, satu-satunya hal yang ingin ia lakukan adalah sesuatu yang menyenangkan hatinya. Maka tanpa berpikir apapun, Dewa meraih telapak tangan Nala dan menariknya menuju salah satu meja bundar di samping jendela.

Dia masih marah karena Nala berciuman dengan laki-laki lain. Tapi sekali lagi, rasanya melegakan saat menyadari kehadiran Nala.

" Tadi, Raya kenapa?" Tanya Nala membuat Dewa menatapnya. Gadis itu buru-buru menunduk, mendadak sibuk dengan tisu.

"Berhenti bertingkah manis, Kanala. Atau aku culik kamu sekarang juga." Batin Dewa tersiksa.

" Tadi malam dia mabuk, ditambah minum pil peluruh." Jawab Dewa memutuskan untuk berterus terang. Nala membelalakkan mata terkejut.

"Dia...what?!" Seru Nala tidak percaya, " Tapi dia kan hamil!"

" Dia depresi." Kata Dewa membuat mata Nala membulat sempurna.

" Depresi? Kenapa? Sejak kapan?" Bisik Nala terperangah. Sama sekali tidak menyangka seorang Raya yang dikenalnya mengidap gangguan mental seperti itu. Maksudnya, sejak dulu kelakuan Raya memang aneh sampai-sampai Nala berpikir Raya mengidap gangguan obsesif kompulsif akan Dewa.

Dewa tidak langsung menjawab karena saat itu sarapannya datang.

" Jangan kemana-mana. Aku makan dulu. Dari kemarin belum makan apa-apa selain roti isi dari kamu." Kata Dewa sebelum melahap setangkup roti isi.

Nala menatap laki-laki di depannya tanpa mengatakan apapun. Sebenarnya, dia sudah harus bersiap-siap. Tapi melihat Dewa yang berbeda dari biasanya, dia memutuskan untuk menemani laki-laki itu.

Nala meneguk minumannya. Nafsu makannya langsung menghilang saat ia mendapati Dewa sedang membopong Raya. Suasana hatinya langsung memburuk. Dia tahu seharusnya dia bertanya, atau menawarkan bantuan mengingat bahwa mereka adalah tetangga dan Raya bukan orang asing baginya. Tapi rasa sesak itu menang. Ia butuh udara sehingga memutuskan keluar. Tanpa disangka, dia justru bertemu Dewa di sini. Mujur sekali, kan?

Usapan lembut di pipinya membuat Nala tersadar. Dewa menjauhkan ibu jarinya yang terdapat noda minuman dengan geli.

" Masih seperti dulu aja." Kata Dewa lembut. Nala mencengkram sendoknya erat-erat dan menunduk.

" Tadi..Raya, lalu bagaimana? Apakah parah?" Tanya Nala berusaha fokus.

Dewa menatap Nala sembari melipat tangannya di atas meja. " Kekasihnya pergi tanpa tanggung jawab. Itu kenapa Raya sangat membenci keadaannya sekarang."

Nala mengerjap, "Jadi Raya belum menikah?"

Dewa menggeleng. " Beberapa bulan lalu, dia tiba-tiba datang di depan apartemen dengan keadaan kacau. Bilang kalau dia hamil dan pacarnya kabur. Raya. Kamu kenal Raya. Dia benci keadaannya. Dia benci lingkungan yang menggunjingkannya. Dia benci anak yang dikandungnya. Makanya dia beberapa kali berusaha menggugurkan kandungannya dengan berbagai cara. Tapi tetap, anak itu seperti menjaga ibunya dari dosa yang berlebih."

Dewa menatap Nala yang sepertinya masih kesulitan mencerna informasi itu.

" Jadi sekarang kamu percaya kalau itu bukan anakku, kan?"

Mendengarnya, seketika Nala mendengus. Ia menyuapkan satu sendok omelet nasi ke mulutnya sebelum mengunyahnya pelan.

" Penting, ya?" Sindir Nala. " Tapi, kenapa bisa? Raya...dia..."

" Sampai seperti itu?" Dewa menaikkan alis. " Delapan tahun berlalu, orang-orang berubah, Kanala. Raya jadi mahasiswa yang bersinar dan mendapatkan pekerjaan yang mapan. Tapi gaya hidupnya juga ikut berubah. Yang aku tahu, tiba-tiba saja anak itu sering pergi ke klub malam. Setelahnya aku jarang ketemu karena dia pergi entah kemana dan aku yang mulai sibuk bekerja. Baru beberapa bulan di apartemen, dan dia datang dengan keadaan yang sama sekali kacau."

Nala mendengarnya dalam diam. Gadis itu membasahi bibirnya. " Jangan khawatir. Kamu cuma perlu jaga dia aja. Dari cerita kamu, kayaknya Raya jangan dibiarkan sendiri, De."

Nala memasukkan satu suapan lagi ke mulutnya dengan canggung, " Tapi ini nggak kayak kamu, tau nggak?"

Pertanyaan Nala membuat Dewa mengangkat alisnya.

" Dulu kamu mati-matian nyembunyiin rahasianya Reno dari Leon. Sekarang, kamu bilang aib Raya sama aku. Padahal dari semuanya, sikap kamu yang seperti itu yang aku kagumi." Kata Nala, " Delapan tahun memang waktu yang lama, ya?"

" Kamu tahu kenapa?" Tanya Dewa cepat membuat Nala menatapnya. " Karena aku nggak mau kamu salah paham tentang Raya yang tinggal di tempatku."

Nala mendengus. " Itu nggak penting buatku, De. Dan berhenti bicara ngawur. Jangan bikin nafsu makanku hilang."

Dewa terdiam. Ia menatap gadis yang sedang kesal itu, takut jika ancaman Nala menjadi benar. Kemudian ia menghela nafas lega ketika dilihatnya Nala masih tetap menyantap sarapannya meskipun tidak bersedia bicara ataupun memandangnya lagi.

Tidak masalah. Dewa mengambil roti isinya lagi dan menyantapnya dalam diam. Hanya melihat wajah gadis itu sudah menjadi penawar hatinya yang terasa berat.

Dewa selesai menyantap sarapannya lebih dulu. Pria itu tidak sekalipun melepaskan pandangan dari Nala yang menyantap makanannya dalam diam. Dia bisa melakukan ini setiap detik dalam hidupnya, dia yakin.

" Mau sampai kapan di sini?" Nada dingin Nala menyadarkan Dewa. Rupanya anak itu sudah selesai. Nala keluar lebih dulu dengan Dewa yang mengekornya di belakang.

" Temani jalan-jalan sebentar, kamu mau?" Pinta Dewa ketika dirinya sejajar dengan Nala. Nala yang saat itu sedang mengamati etalase-etalase toko di sepanjang trotoar menoleh, hanya untuk menemukan wajah Dewa yang terlihat sangat lelah. Nala menelan ludah dan mengepalkan tangan erat-erat di saku cardigannya ketika menyadari kantung mata samar yang kini terlihat lebih jelas.

Dia ada rapat di hotel dua jam lagi. Dia juga masih ada keperluan dengan kepala sekolah. Sejujurnya, sekarang pun dirinya sudah harus mandi.

" Kemana?" Kata itu meluncur begitu saja dari mulut Nala. Dewa tersenyum kecil.

" Jalan-jalan saja. Mumpung belum panas." Katanya mulai melangkah, membuat Nala mengimbangi langkahnya dengan canggung.

Untuk sejenak, mereka hanyalah dua orang di antara ribuan orang yang memadati trotoar dengan aktivitas jalan kaki. Matahari belum benar-benar bangkit dari peraduan dan kabut masih bisa disentuh dengan puncak kepala.

Nala bertanya-tanya dalam hati, bagaimana bisa dia menyantap makanan di hari yang sepagi ini? Biasanya, dia bahkan tidak bernafsu makan setelah hampir satu jam berkutat di dapur untuk sarapan Fabian dan Dafa. Tapi mungkin ini karena otaknya mendadak tidak bekerja dengan baik.

" Maaf."

Nala menoleh ke arah Dewa.

" Seriously?" Tanya Nala lelah. " Kamu masih mau bahas itu?"

Dewa tersenyum tipis. Laki-laki itu menunduk sejenak sebelum menatapnya.

" Sepertinya itu memang harus dibahas seumur hidup."

Nala mengalihkan tatapan ke depan dan menghirup nafas panjang.

" Apa sebegitu pentingnya? Dulu rasanya kamu nggak peduli." Ucap Nala tanpa bisa menahan lolosnya nada dingin di suaranya.

" Actually, I do care about that. Every second in my life."

Nala menunduk. Mengamati langkah kakinya sendiri yang silih berganti menapaki keramik trotoar. Nala menatap ke depan sebelum menjawab.

" Sudah aku maafkan, seperti yang aku bilang." Kata Nala datar. " Aku bukan tipe orang yang bisa marah lama-lama. Somehow, it feels like a curse. Jadi jangan membahas ini lagi."

" Bagaimana bisa? Kemarahanmu belum seperti yang seharusnya."

Mendengarnya, Nala mendengus. " Apa gunanya aku marah? Sakit hati nggak hilang dengan marah-marah. It's poison." Ujar Nala pahit. " You too, Dewangga, are shameless person I've ever met. Sikapmu tidak seperti yang seharusnya."

Kini ganti Dewa yang terkekeh pelan, " Aku kehilangan rasa maluku dari dulu, Nala. Kalau aku masih membiarkan rasa malu itu ada, aku sudah pindah apartemen dari pertama aku lihat kamu."

" Shameless person, aren't you?"

" I am." Jawab Dewa menyetujui dengan ringan. " But I have to. Aku punya sesuatu yang harus aku perjuangkan, yang membuatku jadi orang tidak tahu malu seperti ini. Padahal kalau kamu tahu, aku ingin sekali pergi dan sembunyi, atau mungkin menyiksa diri sendiri."

Nala mengernyit ke arah Dewa, sama sekali tidak paham apa yang dikatakan laki-laki itu. Namun Dewa hanya menerima pandangan Nala dengan tawa. Meskipun sanksi, tawa itu terdengar pedih.

" Kamu bukan tipe self-injury." Kata Nala kembali mengalihkan pandangan ke depan.

" Hm? Begitukah?" Kekeh Dewa.

" Atau mungkin. Memangnya aku pernah benar-benar kenal kamu?" Tanya Nala sinis. Dewa tertawa pelan dan mengacak puncak kepala Nala, yang dibiarkan perempuan itu.

" Aku hanya nggak bisa pergi. Itu saja." Jawabnya pelan kembali menyisipkan tangannya ke dalam saku celana. " Memangnya menurutmu aku orang seperti apa?" Tanya Dewa dengan kelembutan yang tidak diindahkan Nala.

" A good liar. No, you're the best." Jawab Nala segera yang mengundang kekehan Dewa.

" Samuel, dia tinggal di apartemenmu?"

Nala melirik Dewa sekilas, " Iya."

Dewa tidak menjawab, membuat Nala meliriknya sekali lagi untuk memeriksa ekspresi laki-laki itu. Tapi Dewa hanya memasang wajah tenangnya.

" Dia baik sama kamu?" Tanya Dewa beberapa saat kemudian. Nala terdiam beberapa saat, kemudian mengangguk.

" Apa kamu beneran sendiri?" Tanya Nala kemudian, " Maksudku, aku kira...kamu justru sudah menikah atau...semacam itu."

Dewa menoleh cepat ke arahnya dan mengangkat alis, " Kamu beneran kepikiran begitu?"

Nala mengedip beberapa kali, kemudian menggeleng, " Sejujurnya, aku nggak pernah peduli. Cuma, aneh aja kalau kamu masih sendiri di usia segini."

" Ada perempuan yang aku suka." Celetuk Dewa membuat Nala terdiam. " Dari dulu."

Nala menelan ludah, " Baguslah. Paling nggak kamu nggak main-main."

" Aku nggak pernah main-main dengannya, Nala. Bisa kasih solusi? Karena meskipun dia dekat, aku sama sekali tidak bisa menjangkaunya."

Nala mengerutkan kening, " Kenapa?"

Dewa berhenti dan berbalik menghadapinya. Laki-laki itu menghembuskan nafas pelan dan menatap Nala dengan tatapan tidak terbaca.

" Karena dia sudah bertunangan."

Nala membalas tatapan Dewa, merasa sesuatu bergetar di dadanya. Sesaat, pikiran konyol melintas di otaknya. Pikiran yang langsung ditepis kuat-kuat olehnya. Nala berpaling dan meneruskan perjalanan.

" Selamat berjuang, kalau begitu." Kata Nala melangkah mendekati trotoar untuk menyebrang jalan karena kini, mereka telah sampai di seberang apartemen.

" Kalau aku bilang itu kamu, apa kamu percaya?"

Sekali lagi, gadis itu mengepalkan tangannya erat-erat di dalam saku. Nala menjawab dengan tenang.

" Kalau kamu bilang itu aku, maka aku hanya akan menganggapmu berbohong sekali lagi."

" Kamu nggak percaya?"

Nala menoleh ke kanan dan ke kiri.

" Haruskah?" Celetuknya sebelum menapakkan kaki di jalan raya. Sepertinya dia harus memberi hadiah pada dirinya sendiri yang bisa menanggapi kata-kata gila Dewa dengan ketenangan luar biasa.

" De...apa..."

" Jalanan ramai." Jawab Dewa ketika Nala menghentakkan tangan Dewa yang tiba-tiba menggaet tangannya. Dewa menarik Nala untuk menyeberang jalan.

" De, lepas!" Seru Nala ketika mereka sampai di depan gedung apartemen. Namun Dewa justru mengeratkan pegangannya.

Sebut saja, dia sudah gila.

Dewa menggaet Nala selama memasuki gedung. Bahkan, ia tidak melepaskannya hingga mereka masuk ke dalam lift.

" Dewangga!" Seru Nala tajam saat menyadari Dewa memencet lantai paling atas. " Kamu jangan gila! Lepas, nggak?"

" Iya, aku memang sudah gila!" Balas Dewa tiba-tiba. Ia menoleh pada Nala dengan pandangan tajam. Nala terkesiap kaget.

" De..." Ujar Nala bergetar. " Lepas. Jangan begini..."

" Kata-kataku tadi, aku nggak bercanda."

" Kamu itu ya! Berhenti bersikap gini sama aku! Nggak capek apa?" Desah Nala putus asa menepis tangan Dewa. "Cukup! Berhenti main-main. Ini nggak lucu, sama se..."

" Bagaimana kalau aku bilang aku nggak pernah pura-pura?" Dewa memotong pertanyaan Nala.

Nala mengernyit karena menangkap getar di suara Dewa.

Dewa menangkup pipi Nala dengan kedua tangannya dan menatap manik coklat itu lekat-lekat.

" Bagaimana..." Tanya Dewa. Dewa mengusap pipi Nala dengan ibu jarinya, " Bagaimana kalau hari sial itu adalah satu-satunya kebohongan yang pernah aku buat? Bagaimana kalau ternyata sampai sekarang satu-satunya perempuan yang aku cinta cuma kamu?"

Nala bungkam. Gadis itu hanya menatap Dewa, merasai ujung-ujung jemari Dewa yang bergetar di pipinya dan sorot gelisah di mata Dewa yang tertangkap olehnya.

Masih membiarkan Dewa mengangkup wajahnya, Nala memencet tombol lantai mereka sehingga lift kembali turun. Nala menatap Dewa sejenak, kemudian tertawa pedih meskipun air mata justru tercipta di ujung matanya.

" Kamu beneran belum capek bermain, ya?"

*TBC*


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top