15. Tidak sebodoh itu
"Ada yang bilang, kebodohan dan kebaikan hati itu berbeda tipis"
" Iya nanti aku kesana. Kamu mau titip apa? "
"..."
" Maaf, aku...sibuk belakangan ini. Nanti aku bawakan." Dewa menulis di meja lobi dengan tangan kirinya menahan ponsel di telinga, " Dan besok kosongkan jadwal kamu. Kamu udah nggak periksa berapa lama? Besok aku antar. Jangan coba-coba melarikan diri!"
"...."
" Ya sudah. Nanti malam aku kesana. Iya, oke...iya iya."
Dewa langsung memasukkan ponsel ke saku jasnya sebelum membaca pekerjaan anak-anak didiknya. Sesekali, tangannya mencoret di atas kertas putih itu.
" Silahkan tanya instalasi gizi untuk monitoring evaluasi." Kata Dewa menyerahkan satu bendel pada seorang gadis. Ia memasukkan tangannya di saku dan menatap calon dokter lain yang berada di bawah asuhannya.
" Bagas, ilmu kesehatan selalu berkembang. Kamu jangan pernah merasa cukup dengan ilmu kamu sekarang. Setiap hari selalu ada kasus baru yang menantang pengetahuan seorang dokter paling senior sekalipun. Teori dan penatalaksanaanmu bagus, tapi itu agak ketinggalan. Ada kasus yang sama baru-baru ini kalau kamu mau baca jurnal luar negeri. Ada yang ditanyakan?"
Kedua koas yang memperhatikannya dengan seksama menggeleng. Dewa mengatakan semuanya dengan jelas walaupun singkat, ini yang mereka suka dari dokter Dewa.
"Kalau begitu silahkan kalian revisi. Saya tunggu hasilnya besok. Selamat pagi."
Dewa berbalik seraya mengecek jam tangannya. Ia sudah terlambat lima belas menit untuk mulai tugasnya di rumah sakit ini. Benar saja, saat ia melewati lorong menuju ruangannya, puluhan pasien sudah menunggunya. Dewa melayangkan senyum dan masuk ke ruangan.
" Siap?" Tanyanya pada Riana. Dewa membenarkan letak kacamatanya dan mempersiapkan seluruh peralatannya.
Riana mengangguk. " Saya panggil pasien pertama."
" Hmm...silahkan."
**
Dewa mengerutkan kening ketika Raya tidak kunjung membuka pintu setelah ia membunyikan bel ketiga kalinya. Apa jangan-jangan dia tertidur? Dewa memutuskan masuk karena dia pun tahu password pintu apartemen Raya.
Raya di sana, duduk di sofa di depan televisi, yang anehnya dalam keadaan mati. Perempuan itu terdiam memunggunginya. Perasaan Dewa tiba-tiba tidak enak.
" Ray?" Panggil Dewa. Ia meletakkan bungkusan titipan Raya di meja sebelum mendekati Raya.
Raya menoleh pelan sekali, seakan Dewa sedang menonton film slow motion.
" Astaga!" Seru Dewa langsung menyambangi Raya. " Kamu...kenapa?"
Wajah Raya sepucat mayat hidup. Kantung hitam bergelayut di bawah matanya. Pipinya jauh lebih tirus dibanding terakhir kali Dewa bertemu dengannya saat perempuan itu minta dibawakan es krim. Dewa menangkup pipi Raya yang kempot. Dingin.
" Hai...De..." Raya tersenyum dengan matanya yang tidak fokus. Menyadari sesuatu, rahang Dewa mengeras.
" Lo mabuk." Desis Dewa yang langsung menemukan sebuah kaleng laknat di bawah kaki Raya. Namun, sesuatu yang lain justru masuk dalam pandangannya.
Darah.
Darah yang banyak mengalir di sana.
Dewa menatap Raya yang justru terkekeh. Bau alkohol menguar dari mulutnya. Tidak. Dia tidak salah menghitung hari perkiraan lahir Raya. Lalu mengapa...
" SIAL!!" Umpat Dewa langsung membopong Raya keluar. Raya melingkarkan tangannya di leher Dewa dan menyusupkan kepalanya di dada laki-laki itu. Sesekali, ia cegukan.
" Ray, lo minum berapa botol?" Tanya Dewa dengan kemarahan yang berusaha ia kendalikan.
" Ak...hik...aku minum ap...paa?" Tanya Raya terkikik.
Dewa semakin mengetatkan rahangnya. Ia mendudukan Raya di mobilnya. Begitu ia duduk di kursi kemudi, Dewa langsung melesat ke rumah sakit tanpa membuang waktu.
" D...Deee..." Rengek Raya.
" Tahan." Dewa berkata tanpa menoleh.
" Deeeee..." Erang Raya bergelut di lengannya.
Dewa berusaha mengontrol emosinya.
" Aku kan udahhh bi...hik...lang." Raya cemberut. Dia seakan tidak merasakan apa-apa meskipun darah masih mengalir deras. Dewa melihatnya dan langsung menambah kecepatan.
" Kamu ken...apa maaasih main sama...Nala D...Deee...hik." Raut wajah Raya berubah sedih. Ia memukuli lengan Dewa. " Jahhat! JAHHAAATTT!! DEWAAA JAAAA...HIK...HAT!!"
Dewa menjauhkan telinganya dari Raya ketika anak itu berteriak tepat di telinganya. Bau alkohol sangat menusuk hidungnya.
" GGUEEEE...MAT...TI AJAA HIK...YA DE?" Seru Raya lepas kontrol. " Lo...HUEEEKKK!!"
Dewa melepaskan nafasnya lewat mulut ketika Raya memuntahkan isi perutnya di bawah jok yang ia duduki.
" Deeee...kok sakiit?" Raya mengernyitkan dahi seraya merengkuh perutnya.
**
" Kenapa?" Seru Tiara yang ikut berlari mengiringi rolling bed bersama Dewa. Ia menatap cemas Raya yang mengerang hebat.
" Dia minum." Jawab Dewa tergesa.
" Aku tahu, De. Maksudku kenapa sampai perdarahan? Dia jatuh apa gimana?" Tanya Tiara. Dia adalah dokter kandungan yang bertanggung jawab atas Raya sebagai pasiennya.
Dewa menghembuskan nafas kasar, " Nggak. Tolong kamu cek. Aku curiga dia minum obat peluruh."
Tiara ternganga, " Lagi?" Serunya tidak percaya. Dewa tidak menjawab. Dia hanya terpaku pada wajah Raya yang mengeriut kesakitan dengan kedua tangannya mencengkram erat perutnya.
Kehadiran Nala berhasil membuat Raya benar-benar tersapu dari pikirannya. Dia terlalu tenggelam dalam kebahagiaannya sendiri hingga lupa bahwa ada Raya.
" Kamu tunggu di sini aja." Kata Tiara ketika mereka sampai di depan bangsal ibu hamil. Dewa mengerti dan berhenti. Erangan Raya masih terdengar beberapa saat sebelum akhirnya keriuhan rumah sakit mengambil alih pendengarannya. Dewa menghembuskan nafas kasar dan membanting tubuhnya di kursi. Ia menunduk dalam-dalam.
Dewa jelas tidak akan pernah menerima permintaan Raya untuk menikahinya. Sebaik apapun dia, seluruh hati dan cintanya masih milik gadis bernama Nala. Satu-satunya solusi yang ia punya untuk menolong Raya adalah menemukan makhluk brengsek bernama Mario, kekasih Raya sebelum semua ini terjadi.
Dewa kenal dengannya. Raya beberapa kali membuat mereka bertemu. Tidak pernah terfikir dalam pikiran Dewa Mario akan melakukan itu pada Raya karena ia menilai Mario adalah laki-laki yang baik dan sangat bertanggungjawab. Dan sekarang, laki-laki itu seolah hilang tertelan bumi! Ia sudah berusaha mencari dengan segenap tenaga dan bantuan yang ia punya, namun tetap saja tidak ada secuil pun informasi tentangnya.
Sebuah tepukan menyadarkan Dewa.
" Kenapa di sini?"
Dewa mendongak dan menemukan Adnan yang mengerutkan kening. Pasti terasa aneh sekali. Dewa yang masih lajang kedapatan duduk di depan bangsal khusus ibu hamil.
" Raya."
Mata Adnan melebar. Kemudian ia duduk di samping Dewa sembari mengusap wajahnya yang tampak lelah.
" Masih dia, ya?"
Dewa menatapnya, " Apa maksud lo?"
Adnan melirik Dewa sekilas. " Dunia lo damai banget, De. Lo sampai nggak sadar kalau lo jadi bahan gosip di kalangan perawat."
"Gue?"
Adnan mengangguk. " Gue nggak ngerti siapa yang nyebarin. Tapi perawat-perawat itu bilang lo malem-malem ke sini, pakai baju biasa ngebopong cewek..." Adnan menghirup nafas, " Yang ada di foto di meja kerja lo."
" Nala?" Dewa kelepasan. Adnan menaikkan alis.
" Ternyata emang bener. Mereka bilang namanya Nala."
Dewa langsung menutup mulutnya begitu menyadari dirinya kelepasan.
" Elah De. Kita udah sohiban sejak nasi kucing belakang kampus itu jadi makanan surgawi!" Decak Adnan. " Jadi, ini jawaban misteri semua orang di rumah sakit ini? Percaya nggak? Pertanyaan 'siapa cewek yang ada di foto di meja dokter Dewa?' itu semacam pertanyaan 'siapakah yang bisa mencabut pedang excalibur ?' Bikin penasaran dan jadi kesenangan tersendiri."
Adnan menoleh pada Dewa dengan wajah ingin tahu. " Jadi, siapa si Nala ini?"
Dewa menoleh sekilas, " Bukan siapa-siapa."
Adnan mendengus, " Bukan siapa-siapa yang fotonya disimpen sejak jaman kuliah sampai sekarang. Bukan siapa-siapa yang dibopong dan dipasang tensocrepe padahal ada perawat disitu. Para perawat aja bilang lo ketawa sampai itu muka kebelah jadi dua cuma di depan si Nala ini, De. Lo pikir gue bego, apa?"
" Nan, pikiran gue lagi ribet. Tolong lo jangan nambah-nambahin ribet! Residen masih ada waktu ngegosip aja lo!" Tukas Dewa mengacak rambutnya.
Adnan mengerjapkan mata. Ia mengamati Dewa yang baru disadarinya ternyata lumayan kacau.
" Memangnya Raya kenapa sih?" tanyanya akhirnya.
Mengganggu Dewa yang sedang PMS bukan pilihan bijak. Paling tidak itu yang Adnan pelajari selama mereka satu kontrakan dulu. Dewa terkadang akan menjadi sangat galak, galau dan gundah gulana. Kemudian pergi beberapa hari. Lalu hari selanjutnya, Dewa yang kalem dan jenius kembali lagi. Adnan sering curiga anak itu punya kepribadian ganda.
" Gue nemuin dia mabuk sama perdarahan." Kata Dewa merinding jika mengingatnya. " Gue curiga dia minum obat peluruh. Padahal udah lama dia nggak minum itu lagi. Kenapa sekarang..."
Dewa menghembuskan nafas panjang. Bukannya dia tidak tahu. Racauan Raya di mobil tadi cukup membuatnya tahu apa yang menjadi pikiran perempuan itu.
Adnan terkejut. " Pacarnya?"
Dewa menggeleng. " Udah berusaha gue cari kemana-mana."
" Astaga!" Adnan menatap simpati pada Dewa. Terkadang, kebaikan hatinya justru menjadi bumerang. " Terus lo mau gimana, De? Lo nggak bisa terus-terusan kayak gini. Bakal banyak yang mengira lo suaminya Raya kalau lo terus-terusan panik gara-gara keadaannya dia! Pikirin hidup lo, De. Dafa, ibu lo juga!"
" Gue ngerti, Nan. Tapi masa lo nyuruh gue mengabaikan Raya? Siapa yang bisa nolong dia selain gue?" Serunya menatap Adnan dengan pandangan terluka.
Adnan menatap Dewa sejenak, kemudian mengalihkan pandangan, " Dasar lo De. Kalau gue jadi lo, gue nggak bakal ngurusi dia. Jelas-jelas ini semua karena salahnya. Dari awal gue kenal Raya, gue tahu dia cewek nggak baik. Dan cewek kayak gitu sama sekali nggak menarik simpati gue."
Dewa menggeplak kepala Adnan hingga Adnan mengumpat.
" Ati-ati ngomong." Tukas Dewa tajam, " Lo dokter, Nan."
Adnan mengedikkan bahunya, " I may be on the side of the angels. But don't think for one second that I am one of them. Like Sherlock said."
" Gila." Sergah Dewa.
Adnan menatap Dewa, kemudian memegang kedua bahunya dengan serius.
" Apa?" Seru Dewa menepisnya. Namun Adnan tidak bergeming.
" De, mau sampai kapan lo bertingkah kayak gini?" Tanya Adnan dengan nada putus asa. " Lo nggak sadar dunia lo terlalu suram gara-gara Raya? Nggak! Jangan potong gue dulu, oke?"
Adnan menatap tajam Dewa, " Gue takut sikap lo yang terlalu baik ini justru bikin masalah buat lo. Lo yang nggak pernah pandang bulu nolong orang, jangan sampai nggak bisa bedain mana orang yang memang perlu lo jadikan prioritas mana yang bukan! Good attitude for doctor, sure. Tapi De, lo juga punya kehidupan pribadi! Jangan biarkan masalah Raya jadi masalah lo juga! Cari jalan keluarnya! Cari si...Mario Mario itu dan pikirin hidup lo sendiri!"
Adnan terengah sembari menatap Dewa yang menatapnya datar. Kemudian, Adnan mendengus seraya menghempaskan bahu Dewa.
" Nggak setuju kan lo sama gue?" Hardik Adnan yang merasa sia-sia.
" Anehnya, untuk beberapa hal gue setuju sama lo." Kata Dewa singkat. Laki-laki itu memejamkan mata dan menyandarkan kepalanya ke tembok.
" Cuma Nala yang bisa bikin gue kehilangan otak gue."
**
" De, aku nggak suka di sini. Aku mau pulang sama kamu De." Isak Raya begitu gadis itu sadar. Ia tergolek di dipan putih dalam balutan baju pasien yang terlihat sangat kebesaran untuk tubuhnya.
" Ray, kamu masih butuh perawatan." Kata Dewa menenangkannya dengan mengusap telapak tangan Raya yang kurus.
Namun Raya menggeleng keras-keras. " Aku nggak mau. Aku nggak mau di sini!! Aku nggak suka di sini De! Tolong keluarin aku dari sini! Aku nggak mau..."
Raya menangis di lengannya keras-keras. Dewa menghembuskan nafas dan menatap Tiara yang juga tidak tahu harus berkata apa.
" Nggak papa kalau mau pulang, sebenarnya. Apalagi kalau sama kamu, De. Aku percaya." Kata Tiara yang cemas dengan keadaan labil Raya. " Perdarahannya udah berhenti. Bedrest satu dua hari aku rasa cukup. Kandungan Raya termasuk kuat."
Mendengar itu, Raya menatap Dewa dengan berbinar.
" Kita pulang ya, De. Ke apartemen kamu. Ya?" Tanya Raya dengan wajah penuh harapan. Dewa menatap datar Tiara yang salah tingkah. Bukannya apa-apa, tapi Dewa menganggap keadaan Raya belum stabil.
" Nggak papa, De. Kandungannya nggak bermasalah. Kamu harus percaya, kesehatan psikologi pasien memegang kunci penting dalam proses penyembuhan. Siapa tahu dengan dia tinggal di apartemen kamu progresnya justru baik." Jelas Tiara tanpa maksud apa-apa.
Wanita itu murni hanya mencemaskan pasiennya. Ia cukup mengerti medical record Raya. Dia tahu masalah terbesar wanita itu adalah depresi. Dia tahu betapa labilnya Raya hingga beberapa kali berusaha mengakhiri hidupnya sendiri.
" Dua hari lagi. Kita harus memastikan kamu baik-baik aja. Dua hari lagi dan kita pulang. Aku telfon Bi Sumi biar nyiapin pakaian kamu." Kata Dewa akhirnya. Raya menatapnya, kemudian senyum bahagia tersungging di bibirnya yang kering.
Raya menarik lengan Dewa dan mengusap-usapkan hidungnya di lengan laki-laki itu dengan sayang. " Kamu memang calon ayah yang baik, De." Kata Raya tersenyum bahagia sembari memejamkan mata. Tiara memandang Dewa dengan kasihan.
" Aku bisa atur jadwal salah satu bidan di sini buat pantau dia kok De." Kata Tiara berusaha membantu teman sejawatnya. Namun Dewa menggeleng.
" Aku ada kenalan bidan, Ra. Makasih."
*TBC*
Hope you enjoy 😌
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top