14. Penderitaan Dewa dan Keliaran Kezia

Can you hear me, as I scream your name

Do you need me, before I fade away

~Spectre~

Mata tajam Fabian menatap Dewa sebegitu kuatnya. Namun di sisi lain, ia mengagumi cara Dewa membalas tatapannya dengan datar dan tenang. Setahu dia, orang lain pasti akan langsung menunduk saat Fabian menatapnya setajam itu.

" Dewangga Abirama." Katanya lancar meskipun dengan aksen Perancis yang masih begitu kental. " Aku sudah berusaha diam. Tapi melihat apa yang kamu perbuat pada Kana tadi siang, sepertinya aku harus menegurmu."

Fabian mengucapkan semua kata dengan dingin. Meskipun demikian, Dewa masih tidak bergeming dan membalas tatapan Fabian.

" Jangan dikira aku tidak tahu dirimu, Dewa. Aku perlu tahu siapa orang-orang di sekitar Kana, terlebih dirimu." Kata Fabian dengan suaranya yang dalam. " Bagaimana kabarnya restoran dan jaringan minimarket yang kamu akuisisi?"

Dewa menatap Fabian beberapa saat sebelum menjawab, " Sejauh ini lancar."

Fabian mengangguk-angguk sebelum duduk di meja kerjanya. Tangannya mengetuk-ngetuk meja sementara matanya tidak pernah lepas dari sosok Dewa yang duduk di hadapannya.

" Kamu menyukai Kana." Kata Fabian kemudian. " Kamu memutuskan untuk tetap menyukainya meskipun tahu bahwa kakakku sudah bertunangan dan sikapmu yang terlalu berani di bus sama sekali tidak bisa aku toleransi. Sekarang jelaskan padaku agar aku bisa menerima tindakanmu tadi."

Dewa mendapati dirinya tidak terlalu terkejut. Walau bagaimanapun, laki-laki bermata biru jernih ini adalah penerus Alexander Halid.

" Hanya terlalu menyukainya, aku rasa." Jawab Dewa setelah menghirup nafas dalam-dalam. " Aku minta maaf. Aku akui sikapku sangat tidak pantas."

" Aku sungguh ingin memotong kedua tanganmu karena berani menyentuh Kana. Bersyukurlah aku masih ingat kalau kamu seorang dokter." Desis Fabian dingin. " Setelah ini, jangan pernah berani mendekatinya!"

Tatapan Dewa menajam. " Ancamanmu sia-sia, Fab."

Mendengar itu, Fabian menyeringai. " Melihat tampangmu ketika Kana memeluk Samuel, aku tidak menampik."

Fabian menatap wajah tenang itu beberapa saat, " Perasaan itu musuh yang sebenarnya, dan aku harus memberimu pujian karena dulu kamu berhasil mengatasinya. Kali ini, jika kamu memutuskan untuk memberikan perhatian kecil tidak berarti demi memuaskan perasaanmu tanpa memikirkan Kana, lebih baik kamu pergi saja!"

" Aku tidak..."

" Tapi kalau kamu sungguh-sungguh mencintainya, jika kamu berjanji tidak akan menjadi pecundang lagi seperti dulu..." Fabian menahan kata-katanya sembari mencondongkan tubuhnya di atas meja untuk menatap Dewa lekat-lekat, " Lakukan dengan sepenuh hati."

Oke. Sepertinya Dewa harus lebih rajin membersihkan telinganya.

" Maaf?" Tanya Dewa menyipit.

Fabian tidak menjawab. Laki-laki itu menatapnya lekat-lekat sembari menarik punggungnya hingga bersandar di kursi direktur empuk miliknya.

" Kamu sudah mendengarnya." Celetuk Fabian. " Aku berterima kasih karena kamu mengobati Kana, meskipun itu juga akibat kamu yang tidak bisa menjaganya."

" Iya, aku minta maaf." Kata Dewa cepat. " Jangan mengalihkan pembicaraan. Apa maksud kata-katamu tadi?"

Fabian mengangkat alis. Kemudian ia bangkit sembari menautkan tangan di belakang punggungnya dan berjalan ke arah pintu untuk membuka kuncinya. Ia menoleh dengan satu tangan berada di kenop pintu.

" Apapun yang kamu dengar. Selamat malam." Kata Fabian sebelum membukanya dan keluar, meninggalkan Dewa yang terbengong.

Fabian Halid. Anak muda itu sepertinya lebih berbahaya dibanding Alexander Halid.

Dewa tersadar bahwa ia hanya sendirian di ruangan ini. Ia memutuskan untuk keluar melihat keadaan Nala dan Dafa. Namun ia tidak menemukan mereka di manapun hingga suara-suara rendah menarik perhatiannya. Dewa mengikuti arah suara itu, dan menyadari bahwa suara itu berasal dari kamar Nala.

Nala. Gadis itu menangis.

Dewa mengetatkan rahang dan menerobos masuk. Namun, langkahnya terhenti bahkan sebelum memasuki ambang pintu kamar bernuansa hijau segar itu. Di sana, tepat di depan Dewa dengan Nala yang memunggunginya, dilihatnya Samuel sedang mencium Nala yang masih terduduk di kursi roda.

Seluruh darah surut dari wajahnya.

Mendadak, dunia sekitarnya menjadi hening. Bahkan ia tidak sadar jika dirinya langsung melangkah mundur dan berbalik arah menuju pintu depan. Langkahnya makin berat saat Dewa membuka apartemennya sendiri. Saat ia melangkah ke dalam, tanpa sengaja kakinya tersandung meja rendah kecil di pinggir lorong.

Emosinya meledak. Dewa menyambar vas bunga kosong dari atas meja dan membantingnya keras-keras.

PRANG!!

Suara kaca yang beradu dengan lantai terasa tepat di kalbu. Dewa memejamkan mata dan menyugar kasar rambutnya.

" Cukup bahagia, aku pikir."

" Dia baik."

" Kelakuan kamu memang jahat. Tapi bukan berarti aku berhenti melanjutkan hidup. Kamu udah ngasih peringatan itu jauh-jauh hari, ingat?"

" Bang!!" Seruan Dafa membuat Dewa membuka matanya. Dafa menatap kakinya nanar. Dewa ikut menunduk dan menemukan pecahan vas mengelilinginya. Dewa menghela nafas demi menenangkan dirinya.

" Nggak papa. Sudah sana tidur." Kata Dewa pelan sembari menjumputi pecahan itu satu persatu. Tangannya gemetar. Beberapa sisi tajam pecahannya menggores tangan Dewa. Namun dia mati rasa.

" Bang, jangan. Pakai sapu aja." Cegah Dafa mendekati Dewa.

" Jangan dekat-dekat, Fa. Ini pecahan kemana-mana. Sana tidur." Perintah Dewa.

" Abang, tapi pakai sapu..."

" DAFA!! ABANG BILANG TIDUR!!"

Dafa langsung bungkam. Ia menatap Dewa yang membelalak mengerikan dengan nafas terengah dan tangan terkepal.

Satu detik kemudian, Dewa tahu ia sudah melakukan kesalahan besar. " Dafa, maaf. Abang nggak sengaja..."

" Dafa bobok sama Lala." Ucap anak itu pelan melompati kubangan pecahan dengan lincah.

Dewa memejamkan matanya mendengar debum pelan pintu apartemen yang tertutup. Setelahnya, Dewa menghembuskan nafas dan membuka genggaman tangannya yang masih dipenuhi serpihan keramik. Telapak tangannya sudah penuh darah, namun Dewa sama sekali tidak menghiraukannya. Ia berjongkok, memunguti serpihan itu satu per satu agar Dafa tidak terkena pecahannya saat anak itu kembali.

Dia yang melepaskan Nala.

Konsekuensi dari tindakannya adalah, dia tidak berhak lagi mencampuri kehidupan pribadi Nala. Nala berhak melakukan apapun dengan siapapun, apalagi dengan tunangannya. Otak Dewa berusaha menelaah.

Namun melihat Nala berciuman dengan orang lain, melihat Nala bersentuhan dengan orang lain membuat Dewa merasa mati sekali lagi.

Menyadari Nala yang juga menyambut sentuhan laki-laki itu hanya berarti bahwa Nala sudah melupakannya.

Menyerah selalu menjadi opsi yang Dewa hindari. Dia harus berjuang. Dia yakin suatu hari dirinya bisa memiliki Nala lagi.

Namun jika kebahagiaan gadis itu bukan lagi dengannya, apakah Dewa harus menjadi orang jahat dengan memisahkan mereka?

Itu bukan lagi cinta. Itu egois namanya.

Jika saja orang tahu betapa menderitanya dia setiap kali gadis itu mengalihkan pandangan darinya, mungkin orang itu bisa melihat darah merembes di sela pori-porinya. Jika saja mereka bisa merasakan betapa menyesalnya Dewa setiap melihat luka di mata Nala, mereka pasti merasakan keinginan Dewa untuk bunuh diri saat itu juga.

Dia menderita.

Tentu saja selama ini dia menderita. Keinginannya untuk memiliki Nala membuatnya menderita. Setiap detik selama delapan tahun ini, dia selalu menderita. Tapi penderitaannya bukanlah konsumsi publik. Dia adalah kepala keluarga untuk ibu dan adik-adiknya. Dia adalah harapan bagi pasien-pasiennya. Mereka membutuhkannya sebagai kekuatan.

Dia berjuang sendirian.

Dia merindui gadis itu sendirian.

Dia menderita sendirian.

Selama delapan tahun.

Dewa menelan ludah. Jemarinya telaten memunguti serpihan kaca yang basah bercampur darah.

**

" Dewa, aku belum mengucapkan terima kasih karena sudah mengobati Nala kemarin." Kata Samuel tulus ketika Dewa mengetuk apartemen Nala pagi itu. Dewa hanya mengangguk singkat.

" Mari masuk." Kata Samuel ramah.

Dewa melangkahkan kakinya dengan canggung. Dia menemukan yang lain sudah duduk melingkar di meja makan kecuali Nala. Mata Dewa langsung terpancang pada Dafa yang sengaja menunduk.

" Kebetulan sekali. Kita bisa sarapan bersama." Kata Fabian menurunkan majalahnya dan bersikap seolah pembicaraan kemarin tidak pernah ada. Dewa menggeleng.

" Aku harus berangkat." Kata Dewa pendek. " Dafa? Kamu kena pecahan kaca, nggak?"

Dafa mengangkat wajahnya dengan enggan dan menggeleng. Ia menatap Dewa dengan takut-takut hingga membuat Dewa merasa sangat bersalah. Dewa menghirup nafas dalam-dalam sebelum tersenyum kecil.

" Maaf. Abang berangkat dulu, ya. Nanti berangkat sekolahnya hati-hati." Katanya mengacak lembut rambut Dafa dan mencium singkat kepalanya.

Dafa mengangguk canggung.

Sebuah tangan menarik paksa telapak tangan Dewa.

" Ck! Kamu ini kenapa sih? Kata Dafa tanganmu berdarah, ya?" Nala berkata cemas sembari mengamati telapak tangan Dewa yang penuh luka.Kemudian memekik, "Kamu itu...debus apa gimana? Tunggu disini, aku ambilin obat merah."

Dewa segera menariknya. " Nggak perlu. Nanti aja di rumah sakit."

Kata-kata Dewa sukses membuat Nala berhenti dan kembali menatapnya sembari mengerutkan kening, " Yakin bisa nyetir? Sakit lho itu."

Dewa menatap Nala sejenak, lalu mengangguk singkat dan menurunkan pandangan hingga ke kaki gadis itu.

" Kamu kenapa udah jalan-jalan?" Geram Dewa menyadari bahwa gadis itu sudah memakai apron meskipun kakinya masih dibebat.

" Oh...udah baikan, kok. Udah nggak sesakit kemarin. Lagipula, siapa yang bikin sarapan pria-pria yang sedang tumbuh besar itu?" Kekeh Nala. " Kamu juga ikut sarapan sana!"

Dewa memandangi Nala sejenak sebelum menggeleng. " Aku ada jadwal. Jangan lupa salepnya." Kata Dewa berbalik. Namun Nala menahan lengan kemejanya.

" Makan!" Desis gadis itu melotot. " Aku nggak ngerti apa yang Fabian bilang sama kamu kemarin, tapi bukan berarti kamu boleh bergadang sampai mirip panda gini! Ck! Katanya dokter tapi nggak memperhatikan kesehatan sendiri. Pantas saja Dafa sering sarapan di sini."

Dewa mengalihkan pandangannya. " Dafa lebih suka masakanmu daripada masakanku."

Nala memutar bola matanya. " Tunggu di sini!" katanya sebelum melesat ke dapur. Dewa mengamati kaki Nala. Sepertinya memang sudah sembuh.

Gadis itu kembali lagi dengan sebuah kotak makan sekali pakai yang terbuat dari styrofoam. Nala mempunyai simpanan kotak makan sekali pakai seperti ini karena Fabian sering sekali membawa bekal dari rumah tanpa tahu akan dibawa kemana bekal makanan itu. Maka Nala memutuskan kotak makan seperti ini yang paling praktis. Paling tidak Fabian tidak perlu repot-repot membawanya pulang jika anak itu sedang dalam perjalanan bisnis kilatnya di luar negeri.

Tanpa kata ia mengisinya dengan tiga tangkup roti isi.

" Dimakan! Ini nggak panas, jadi kamu nggak perlu kawatir aku masukin ke styrofoam." Kata Nala menutup kembali ransel Dewa dan menepuknya pelan.

" Sudah, sana berangkat, pak dokter!" Seru Nala riang sebelum memekik karena teringat masakannya yang belum matang. Gadis itu cepat-cepat berlari ke dapur dengan salah satu kaki tersauk kaku.

Deheman Fabian mengalihkan mata Dewa dari Nala. Dewa menatap Fabian sekilas sebelum menghela nafas dan mengulurkan tangan pada Samuel.

" Dewa, tetangga Kanala."

Samuel mengangkat alis, kemudian terkekeh.

" Fabian told me you were her senior. Kapan-kapan kita perlu berbincang, sepertinya." Katanya tersenyum lebar dan menyambut jabatan tangan Dewa. Dewa mengawasi mata kelabu itu beberapa saat, kemudian mengangguk singkat.

" Suruh dia pakai kursi roda." Kata Dewa mengedikkan kepala ke arah dapur, kemudian mengalihkan pandangan pada Dafa.

" Aku berangkat dulu." Dewa mengacak rambut Dafa lagi dan memberi lirikan pada Fabian sebelum benar-benar berbalik menuju pintu keluar.

Apa kehadiran Samuel sebegitu pentingnya sampai Nala harus seceria itu?

**

Nala memasuki ruang kelas yang penuh dengan foto-foto edukasi itu.

" Kenapa?" Tanya Deby cemas saat Nala masuk kelas dengan kakinya yang dibebat. Nala tersenyum.

" Terkilir." Jawabnya enteng. " Silahkan kalau mau kabur. Saya tidak bisa mengikuti kalian. Kesempatan langka, kan?"

Mendengarnya, kelima murid itu bertukar pandang.

" Jam sembilan suruh si Farel itu kesini. Gue ada janji bantu sabum Kalid di panti asuhan." Tukas Raka bersedekap sembari berjungkat-jungkit di kursinya.

" Ah! Aku juga ada janji sama anak-anak di kelas memasak!" Pekik Kezia.

" Yosss...gue juga ada keperluan sama si master catur sableng itu." Celetuk Ali memindahkan ratunya. " SKAK!!"

" SHIT!" Umpat Gardan yang kalah lagi. Ia menyentil bidak ratu Ali keluar dari papan catur dan mengangguk-angguk. " Gue juga ada deadline."

" Jadwal deadline lo isinya nge-hack semua, Dan. Sableng kan lo mah!" Cibir Raka melempari Gardan dengan penghapus.

"Kemarin lo nge hack sekolah lagi! Nggak macem-macem sama nilai kan lo?" Sembur Gaby berkacak pinggang.

" Astaga!" Seru Gardan terluka sembari mengelus dadanya. " Itu dosa lama, By! Nggak perlu lo ungkit lagi! Kemarin gue main-main sama nama anak-anak Inter aja, bosen gue ganti nilai mulu!"

" Yatapi diantara kita semua, tutorial lo itu yang paling nggak berfaedah. Lo lagi ngajarin anak-anak polos jadi ahli cyber crime, setan!" Tukas Gaby tidak mau kalah.

" Heh...lo nggak ngerti, By. Orang bakal dianggap kriminal ketika dia melangkah melampaui batas. Padahal orang-orang jenius nggak pernah puas dengan yang namanya stagnansi. Mereka selalu mencari inovasi!" Jelas Gardan.

" Stagnansi stagnansi...bahasa lo geli, Dan." Celetuk Kezia menekuni buku resepnya.

" Udah!" Seru Raka menghentikan ricauan anak buahnya. Ia menatap Nala dengan angkuh, " Kemarin pak Afik bilang jam sembilan ada ulangan matematika. Dan jam sembilan nanti, kita ada acara."

Nala mengangkat alis. " Bisa saya atur. Besok ulangan matematika sama saya."

" Yaaaaahh bu Nalaaaa. Kok gituuu..." Seru Ali merajuk.

Nala terkekeh. " Memangnya kalian berharap bisa kabur? Masalah itu jangan dihindari, tapi dihadapi."

" Kan mulai ceramah lagi." Dengus Raka. Ia melempar remasan kertasnya tepat ke arah tempat sampah di pojok kelas sebelum berjalan ke arah Nala dan berjongkok di depannya. Pemuda itu mengamati kaki Nala yang dibebat dan menekan-nekannya.

" Sakit?" Tanya Raka mendongak. Nala menggeleng. Raka menyeringai lebar dan mengeluarkan spidol dari dalam sakunya. Sambil meniup permen karet, dia menggambar pesawat terbang di perban itu.

Nala mendengus, " Gambaranmu kayak anak TK."

" Cih! Biar!" Dengus Raka meneruskan aktivitasnya. Serentak, seluruh anak yang lain mengikuti tingkah Raka. Mereka mengerubungi kaki Nala yang dibebat dan bermain-main di sana.

" Ka, lo ditantang anak KOPENNA. Terima nggak?" Bisik Ali yang sedang menggambar spongebob.

" Jam berapa?" Tanya Raka tenang. Ia bahkan tidak repot-repot merendahkan suaranya.

" Empat sore. Disuruh bawa semua anak buah lo, katanya."

" Mau mati ya?" Sambar Gardan yang menggambar karikatur wajah Nala dengan rambut seperti mi.

" Gue sama Kezia jaga garda belakang aja." Kata Gaby yang berkonsentrasi menggambar matahari.

" Lo yang bisanya gambar matahari kayak telur ceplok gini mau ikut tawuran? Nggak!" Seru Raka menatap Gaby horor.

" Ini mulut emang, ya! Rasain!! RASAIN!!" Gaby menyipit dan mencoret pipi Raka tanpa ampun.

" GABY SETAN! ITU SPIDOL PERMANEN OIII!" Seru Raka bangkit sembari menatap Gaby nanar. Namun Gaby malah menunjuknya tanpa ampun dan tertawa sadis. Detik berikutnya, Gaby memekik saat Raka menyeringai jahat dan berlari mengejarnya.

Kezia menggelengkan kepalanya, " Dasar kekanakan." Katanya bijak sebelum menambahkan awan di samping gambar telur ceplok Gaby.

Tidak ada yang sadar bahwa Nala sudah memegangi perutnya erat-erat untuk menahan tawanya.

**

Nala datang tergopoh ke ruang BP dengan seribu pertanyaan di kepalanya. Apalagi yang dilakukan anak didiknya kali ini?

Dilihatnya Kezia duduk bersebelahan dengan Aluna, siswa paling pintar di SMA ini. Nala menyipit saat menyadari ada darah di sudut bibir Kezia. Rambutnya terlihat awut-awutan dan kentara sekali anak itu habis menangis.

Nala membungkuk pada Pak Iqbal, sang guru BP. " Permisi pak."

Sang guru BP terpana sesaat, kemudian berdehem. " I...ini, anak didik anda tiba-tiba menyerang Aluna. Kaki anda..."

Pak Iqbal sepertinya kehilangan kata-kata saat melihat perban Nala penuh dengan gambar absurd hasil anak didiknya. Nala cepat-cepat menutupinya dengan rok panjang yang ia kenakan.

" Ah...ini terkilir." Jelas Nala meskipun ia yakin bukan hanya itu yang ditanya Pak Iqbal.

Nala berdehem dan menoleh pada Kezia yang menatap ke depan dengan wajah keras. Gadis itu jelas-jelas menolak untuk balas memandang Nala, " Menyerang? Saya justru mengira sebaliknya."

" Dia yang menyerang saya, bu!" Sanggah Aluna tidak terima. Gadis itu menjauhkan diri dari Kezia dan menunjuk Kezia nanar. " Cewek liar ini jambak saya!"

" Itu karena lo nggak bisa jaga omongan lo, Lun." Desis Kezia menatap tajam Aluna. Matanya menggenang lagi. " Lo boleh ngatain gue apapun sesuka lo. Tapi kalau lo udah ngejelek-jelekin temen gue, gue nggak segan-segan kasar sama lo!"

" Anak-anak..."

" Memangnya apa yang salah dari omongan gue? Lo bilang Ali itu pinter? Hmph! Ali itu cowok bego,makanya masuk PE...Awww!"

Detik berikutnya, Nala dan Pak Iqbal berusaha memisahkan Kezia dari Aluna sekuat tenaga.

" Cuci mulut lo! CUCI!" Teriak Kezia menjambak rambut Aluna kuat-kuat. Aluna hanya meringis.

" KEZIA!!" Seru Nala membuat Kezia menghentikan aksinya. Ia melepaskan Aluna dengan pandangan penuh dendam kesumat di mata merahnya yang basah. Nala segera menarik Kezia untuk berganti posisi dengannya sehingga kini Nala yang duduk di antara Kezia dan Aluna. Nala menghirup nafas dalam-dalam.

" Kezia, kekerasan bukan jalan keluar dari suatu permasalahan." Kata Nala bijak pada Kezia yang menolak memandangnya.

" Biar, Bu. Dia emang gitu dari dulu. Cewek liar!" Hujam Aluna kesal setengah mati. Nala ganti menoleh pada Aluna.

" Aluna, saya tahu kamu murid paling pintar di sini. Selamat karena kamu selalu menempati urutan pertama." Kata Nala membuat Aluna tersenyum. " Tapi, sebuah kepandaian selalu diikuti oleh tutur kata yang baik. Tanpa sopan santun, kepandaian nggak berarti apa-apa."

Senyum Aluna surut, digantikan dengan ekspresi tidak percaya. Nala tersenyum dan membenahi rambut acak-acakan Aluna. " Kamu sudah sempurna dengan kepandaian kamu. Jangan cemari itu dengan kebiasaan merendahkan orang lain."

Nala menatap pak Iqbal yang sedari tadi melongo, " Pak, mohon izin membawa Kezia. Dia perlu ke UKS."

" Ahh! Silahkan! Silahkan! Hahaha!!" Jawab Pak Iqbal canggung. Nala bingung, namun dia memutuskan untuk menarik Kezia keluar. Anak itu terdiam sepanjang perjalanan menuju UKS. Bisik-bisik menyertai mereka, namun Kezia sama sekali tidak menggubrisnya.

Nala menyuruh Kezia duduk di kursi sementara dirinya mengambil betadine dan kapas. Kemudian, ia duduk di hadapan Kezia. Untuk pertama kalinya, Kezia mau membalas tatapan Nala. Mata anak itu langsung berkaca meskipun sorot tajam tidak hilang dari sana.

" Bu Nala nggak perlu sok membela saya. Saya udah biasa begini." Kata Kezia merebut benda yang dipegang Nala.

"Kamu murid ibu. Sudah sepantasnya saya membela kamu kalau kamu tidak salah di sini." Kata Nala mengambil kembali betadine dari tangan Kezia yang terpaku. " Memangnya tadi Aluna bilang apa?"

Kezia meringis saat Nala menutul-nutul pelan sudut bibirnya yang sobek. " Dia bilang Ali bego. Dia bilang Ali contoh cowok yang nggak punya masa depan. Dia bilang Ali bahkan nggak pantes masuk di kelas PE karena dia lebih pantes nongkrong sama anak-anak jalanan karena hobinya bermain catur. Aku bilang Ali itu pintar, dia cuma males belajar aja! Tapi cewek setan itu nggak percaya! Hah!"

" Dan kamu main jambak-jambakan sama dia." Kekeh Nala geli. Kezia cemberut.

" Ini dijegal Aluna. Kena tembok." Dengus Kezia. " Dia terlalu pengecut ngadepin aku sendiri, makanya ngadu ke BP. Hmph!"

" Lo bego, Zi."

Keduanya menoleh dan mendapati Ali masuk ke UKS. Ali merebut betadine dan kapas dari tangan Nala.

" Minggir bu. Biar saya yang ngobatin cewek liar ini." Kata Ali mengusir Nala dari kursi bundar di hadapan Kezia dan duduk di sana.

" Lo itu gue belain!" Seru Kezia tidak terima sambil menempeleng sisi kepala Ali. Gadis itu sepertinya ingin menangis lagi." Makanya itu otak dipakai! Lo itu punya kemampuan, Li! Dan gue nggak mau lo diejek-ejek kayak gini!"

Ali berhenti mengaduh. Ia menatap Kezia tanpa ekspresi sebelum menyentuhkan kapas di luka Kezia dengan hati-hati. " Lo nyuruh gue jadi anak pinter di sini?"

" Iya, bego!" Seru Kezia langsung. Ali mengangkat alis.

" Seberapa pinter?"

" Pinter banget sampai Aluna nggak punya suara ngatain lo lagi! Paham lo!" Hujam Kezia membelalak.

Mendengarnya, Ali nyengir, " Chalenge accepted. Gue juga nggak mau lihat piaraan gue dibotakin Aluna."

" Cih! Gue pegang omongan lo, ya!" Ancam Kezia mengangkat kepalan tangannya. Ali berdecak dan menjentik kepalan tangan Kezia.

Terdengar derap langkah tergesa, kemudian Raka, Gardan dan Gaby berjejalan di pintu UKS.

" Aahhh!! Apasih lo pada? Gue cewek! Ngalah, lah!" Seru Gaby yang terjepit. Raka menahan tubuhnya sendiri agar dia dan Gardan tidak menimpa tubuh mungil Gaby yang berada paling bawah.

" Sampai lo berani jatoh, gue banting di sini!" Sergah Raka pada Gardan yang menimpa satu lengannya.

" Gue nyangkut, bego!" Seru Gardan panik. " Lo yang berdiri dulu cepetan!"

" Ck!! Lo japit gue Dan! Lo dan badan lo yang selebar gentong itu!" Geram Raka.

Gardan yang sedari tadi berusaha melepaskan tubuhnya di antara tubuh Raka dan tembok masih menggeliut keras.

" Gue nyangkut! Ah Raka mah! Gue nyangkut, setan!"

*TBC*

Happy friday, hope you enjoy ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top