13. Pengakuan
You broke my soul into pieces and
every of them still loving you till this time
Dafa menyeret Dewa untuk bermain air bersama teman-teman lainnya yang sudah turun ke pantai bersama dengan orangtuanya masing-masing.
" Kamu nggak papa sendiri?" Tanya Dewa menoleh dengan susah payah. Nala yang tertawa melihat tingkah Dafa menggeleng.
" Udah sana main sama Dafa!" Kata Nala melipat pakaian Dafa.
" Bentar Fa!" Perintah Dewa karena Dafa yang sudah melucuti semua pakaiannya kecuali celana pendek terlihat sangat tidak sabar. Dewa kembali ke hadapan Nala, membuat Nala menaikkan alis.
" Kenapa nggak...DEWA!"
Dewa melepas kausnya tepat di depan Nala, tanpa aba-aba.
Nala langsung menutupi wajahnya ketika tahu maksud Dewa. Didengarnya laki-laki itu terkekeh.
" Aku cuma bawa kaus satu. Maaf." Celetuk Dewa mengusap pelan puncak kepala Nala. Ia menunggu beberapa saat sebelum memberanikan diri membuka mata dan melihat lewat sela-sela jari. Dilihatnya Dewa dan Dafa sudah menyentuh bibir pantai.
Nala melepas tangannya dan mendengus keras-keras. Ia menoleh ke arah kaus Dewa yang sudah terlipat rapi di sampingnya, kemudian kembali menatap dua orang di sana. Terlihat sekali Dafa yang bahagia. Anak itu tidak pernah berhenti tertawa bersama kakaknya. Dewa membiarkan Dafa berenang, namun mata tajamnya tidak pernah terlepas dari gerakan adiknya. Seakan selalu mengantisipasi situasi.
Dewa yang seperti itu terlihat sangat bisa diandalkan di mata Nala.
Nala memejamkan mata sesaat ketika pikiran gila itu menyusupi otaknya. Ia berupaya hanya fokus pada Dafa. Namun matanya terus saja berakhir dengan menelusuri Dewa yang terlihat sangat jelas di antara ratusan orang yang bermain air. Bagaimana ombak terpecah di kakinya, bagaimana rambutnya yang basah terkena air, bagaimana sosoknya mengundang setiap mata kaum hawa dan membunuh kepercayaan diri kaum adam, dan bagaimana-bagaimana lain yang mampu membuat Nala terpaku hanya padanya.
Di antara puluhan orang yang bermain di bibir pantai, mata Nala dengan mudahnya menangkap gerakan sekecil apapun dari Dewa. Ketika laki-laki itu tertawa melihat Dafa yang terbatuk-batuk meskipun dengan sigap langsung menyambanginya, ketika laki-laki itu menggelengkan kepala untuk mengusir air dari rambutnya, ketika tiba-tiba saja laki-laki itu menoleh dan menatap tepat ke arahnya lalu melambaikan tangan.
Ketika Nala menyadari bahwa dirinya membalas lambaian itu, saat itu perlahan senyum lebar yang entah sejak kapan ada di wajahnya mulai memudar.
Tidak boleh, batinnya seraya menunduk dan meraup pasir dengan gemetar.
Sejak pertama bertemu kembali, Nala menahan diri untuk mengamati Dewa lebih jauh. Dia harus mampu menarik garis tegas antara Dewa dan Nala, demi dirinya sendiri.
Apa? Nala juga tidak mengerti. Yang pasti, dia begitu ketakutan untuk menatap lama ke arah sepasang mata legam itu. Dia merasa, sesuatu di dalam sana bisa menghanyutkannya. Ada sesuatu di sana yang berpotensi membuatnya tersiksa. Dia tidak mau, itu tidak boleh.
" Kenapa? Ada apa? Sakit?"
Nala terpaku ketika tiba-tiba saja, Dewa sudah berada di depannya dan berjongkok hingga pandangan mereka sejajar.
Nala bungkam dan mengawasi bagaimana air menetes dari ujung rambutnya yang basah.
" Nala?" Panggil Dewa lagi membuat Nala tersadar. Nala menggeleng dan kembali menunduk.
" Panas." Kilah Nala.
Hening sesaat, kemudian ia mendengar Dewa tertawa geli. Nala mengerucutkan bibir saat disadarinya Dewa menegakkan badan dan berjalan menjauh.
Dasar gila! Rutuk Nala meredakan dentuman di dadanya. Nala menggerutu tidak jelas sembari mencari-cari Dafa di bibir pantai dan mendapati anak itu ternyata sedang duduk di pinggir. Terlihat sedang asik membangun kastil dari pasir seorang diri. Tanpa sadar ujung bibir Nala terangkat. Kepolosan anak-anak selalu menarik perhatiannya. Nala mengamati Dafa dengan sayang, mengawasi bagaimana anak itu meraup pasir dengan kedua telapak tangannya untuk meninggikan kastil yang baru setengah jadi. Apa ini? Apa besok Dafa mengikuti jejak Dilla jadi arsitek?
Sepasang telapak kaki telanjang yang penuh dengan pasir memasuki pandangannya dan berhenti tepat di depannya. Nala mendongak, namun belum sampai dia melihat, sebuah topi pantai sudah menempel di kepalanya.
" Biar nggak kepanasan." Kata Dewa berjongkok lagi ketika Nala meraba topi itu dengan bingung. Ketika gadis itu menatap ke depan, dia mendapati Dewa hanya berjarak beberapa senti darinya.
Tanpa kemauannya, mata Nala bergulir di setiap lekuk wajah Dewa. Semakin Nala menyusurinya, tetes demi tetes kesadaran menimpa dirinya. Seakan selama ini Dewa yang kembali ia jumpai masih berupa ilusi. Tidak nyata, dimana kehadirannya berada di ambang kesadaran Nala. Sekarang bagai godam yang meretakkan selapis kaca tembus pandang di antara mereka, kesadaran bahwa Dewangga Abirama kembali lagi dalam radius hidupnya terasa begitu menggetarkan.
Dewangga Abirama dewasa.
Bibir itu tiba-tiba tersenyum, membuat Nala kembali menatap matanya.
" Akhirnya kamu lihat aku." Bisiknya dan Nala harus membuang muka demi menghindari lengkungan senyum yang ia hafal tanpa harus dilihat. Tapi Dewa justru melipat tangannya dan menumpukannya di lutut.
" Kamu kepikiran apa?" Tanyanya mengamati Nala.
" Kenapa kamu repot-repot reschedule? Dafa udah sama aku, kamu nggak perlu ambil cuti hari ini." Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulut Nala. Dewa terdiam seolah memikirkan kata yang tepat untuk menjawabnya.
" Karena aku nggak mau Dafa merasa nggak punya keluarga." Jawab Dewa.
Nala mengedip meskipun jemarinya masih mencorat-coret pasir.
" Lebih-lebih kalau ada kamu, aku semakin harus menjaga kalian."
Nala melemparkan pasir ke kaki Dewa dengan kesal. " Berhenti bicara ngawur!"
" Aku nggak ngawur." Kata Dewa tenang, sama sekali tidak terganggu dengan nada kesal Nala. Nala menghembuskan nafas keras dan menatap tajam Dewa, menyesali untuk kesekian kali kesediaannya menemani Dafa.
" Kamu cantik, dari dulu." Celetuk Dewa lembut, dan Nala bersumpah dia pasti akan mencolok mata Dewa jika saja laki-laki itu tidak segera bangkit untuk kembali ke pantai.
Wah, apakah penyesalan laki-laki itu begitu dalam hingga ia merasa perlu sekali berbuat baik pada Nala sekarang?
Nala melipat bibirnya ke dalam, sangat berharap bahwa Dewa yang melirik sekilas ke arah bibirnya hanyalah ilusi.
Nala mendengus menertawai kebodohannya sendiri. Meskipun itu benar, itu seharusnya bukanlah sesuatu yang membuat Nala kepikiran.
It's nothing but a fake.
Nala mengelus pelipisnya. Mungkin ke pantai pukul empat sore masih terlalu panas sehingga membuat otak Nala mendidih dan tidak bisa berpikir jernih. Nala menghela nafas panjang dan mengangkat jemarinya yang penuh pasir tanpa benar-benar fokus.
Saat itu, seberkas cahaya matahari terpantul di jari manis pada tangan kirinya, dan perut Nala langsung mulas.
Benar, batinnya seraya mengelus cincin itu. Dia sudah punya Sam. Itu berarti apapun tentang Dewa tidak penting lagi untuk dia pikirkan.
**
Dewa membuka mata perlahan, terganggu dengan goncangan yang baru saja terjadi. Keadaan bus menjadi hening karena sebagian besar penumpang tertidur. Agaknya, dia pun juga tertidur setelah lelah meladeni Dafa yang sepertinya mempunyai energi lebih saat di pantai tadi. Dewa menoleh ke kanan dan mendapati Dafa tertidur dengan kening menempel di jendela. Tampak pulas sekali.
Nala duduk di tengah-tengah mereka karena Dafa yang meminta duduk di dekat jendela. Gadis itu mengalah, tentu saja. Padahal Dewa tahu Nala sangat suka duduk di samping jendela. Ia memandangi puncak kepala Nala yang terkulai di pundaknya karena gadis itu juga tertidur. Belum lagi semenit, gadis itu beringsut kedinginan hingga kepalanya beralaskan bahu Dewa. Di sana, ia menghela nafas panjang dan terdiam meringkuk.
Jika begini, mana bisa Dewa tidur lagi? Seharian ia menahan diri untuk tidak menyentuh Nala melebihi batas. Saat ini, justru Nala sendiri yang melemparkan diri pada hiu ganas. Dengan hati-hati, Dewa merapatkan kemeja flanel miliknya yang masih dikenakan gadis itu, menutupi tubuh mungilnya.
Ia merasakannya lagi, dorongan gila yang tidak pernah bisa ia kendalikan jika berada di dekat Nala. Seolah tubuh Dewa adalah ujung utara magnet yang mengenali selatan. Setelah bertahun-tahun, gemuruh dan bara kembali lagi di dadanya, begitu hidup, begitu kuat, begitu menyiksa hingga rasanya ingin meledak.
Sebentar saja, hanya sebentar. Dia ingin meredam rasa bahagia yang menyiksa ini. Dewa melingkarkan lengannya dengan hati-hati pada tubuh mungil itu sebelum mencium lembut puncak kepala Nala. Merasakan sebentar saat-saat dimana dirinya kembali merasa utuh.
**
Riana!"
" Ah...iya maaf. Kenapa, dokter?" Tanya Riana tergagap.
Dewa menghela nafas sabar. " Ada persediaan tensocrepe buat UGD? Punyaku habis."
Riana mengerjap sebentar, kemudian mengangguk cepat. " Ada! Sebentar."
Riana membuka laci putih dan mengambil segulung tensocrepe yang masih dibungkus plastik. Ia mengulurkannya pada Dewa.
" Makasih, ya. Namanya Nala. Umur 25 tahun. Keluhan kesleo dan memar. Penanganan tensocrepe dan salep antiinflamasi." Ucap Dewa lancar membuat Riana ternganga. Dewa mengangkat alis.
" Kamu bisa tulis itu di buku kunjungan." Kata Dewa lagi sebelum berbalik dan menyambangi Nala yang duduk di kursi kayu berwarna putih itu. Riana yang kesadarannya sempat hilang saat melihat Dewa datang sambil membopong seorang gadis masih tercenung.
Ia mencuri pandang ke arah gadis berwajah cantik itu. Nala, begitu kata dokter Dewa. Mereka berdebat kecil hingga Dewa tertawa. Tawa yang lepas. Tawa yang tidak pernah sekalipun dia lihat. Dan dia berani bertaruh, tidak ada orang di rumah sakit ini yang pernah melihat tawa dokter Dewa yang seperti itu. Riana mengamati bagaimana dokter Dewa dengan lembut memeriksa pergelangan kaki gadis itu dan mengoleskan salep sebelum membalutnya dengan hati-hati. Gadis itu sepertinya ingin melakukannya sendiri, namun dokter Dewa segera menangkap tangannya dan menahannya di pangkuan gadis itu.
Seketika, Riana melupakan tugasnya saat kesadaran menimpanya keras-keras.
Dia pernah melihat gadis itu.
Oh, besok semuanya pasti akan mengajukan surat izin sakit setelah Riana menceritakan apa yang terjadi hari ini!
**
Nala menghembuskan nafas lelah saat melihat pemandangan di luar mobil Dewa.
Dewa keluar lebih dulu. Ia memutari mobil dan membuka pintu Nala, membantunya turun dengan hati-hati.
" Nona Kanala." Sapa keduanya bersamaan sebelum membungkuk singkat.
" Ian yang menyuruh?" Tanya Nala putus asa. Farel mengangguk dan maju sembari mendorong sebuah kursi roda yang kosong.
" Beliau berkata anda tidak boleh menolak." Kata Tristan, pengawal yang lain. Kemudian ia beralih pada Dewa yang sedang mengawasi Nala duduk di kursi roda dengan tajam.
" Tuan ingin bertemu dengan anda." Tristan melirik Dafa. " Secara pribadi."
" Tidak!" Pekik Nala keras. " Ini salahku, Fabian tidak perlu sampai seperti itu!"
" Maafkan aku, nona. Ini pesan tuan Fabian. Saya harap beliau memenuhi permintaan tuan." Kata Tristan datar.
Nala membelalakkan matanya pada Dewa, " Kamu nggak perlu ketemu, De! Astaga! Anak itu memang selalu berlebihan."
Sebaliknya, Dewa justru terkekeh geli, " Daripada kita nggak boleh main lagi? Mending aku patuh aja sama bodyguard kamu, kan?"
" De!" Tukas Nala kesal. Jangan pernah memandang remeh Fabian. Anak itu bisa menyeramkan jika diperlukan!
" Aku nggak papa. Ayo naik." Ajak Dewa pada Dafa yang sedari tadi mencengkram erat-erat lengan kursi roda Nala dan menatap tajam ke arah Farel yang tidak menggubrisnya.
" Aku aja yang dorong!" Sergah Dafa pada Farel.
" Maaf..."
" Nggak papa. Biar Dafa aja." Kata Nala menenangkan. Situasi mendadak ini pasti membingungkan bagi Dafa.
" Lala nggak papa?" Bisik Dafa mendorong Nala kuat-kuat menuju lift. Nala ikut memutar roda untuk membantu bocah itu. Mendengarnya, Nala tersenyum.
" Nggak papa. Memangnya kenapa?" Tanya Nala balik.
Dafa mengamati Farel dan Tristan. Keduanya menjulang di kanan kiri mereka.
" Abang Farel itu rentenir?" Celetuk Dafa membuat Nala terkejut.
" Kamu...tahu istilah itu dari mana?" Tanya Nala dengan mata melebar.
Dafa mengangkat bahu. " Di sinetron yang sering ditonton kak Raya. Tenang aja. Dafa pasti nglindungi Lala dari rentenir-rentenir jahat ini." Kata Dafa meyakinkan. Nala terperangah sembari menatap ke depan, sedangkan Dewa tertawa pelan.
Nala mencubit lengan Dewa karena laki-laki itu memang berjalan tepat di sampingnya. Dewa mengangkat alis padanya, yang dibalas pelototan Nala.
Raya. Apa yang dipikirkan perempuan itu?!
**
Otak Nala belum bisa memahami apa yang terjadi. Setahu dia, yang pasti ketika ia membuka pintu apartemen, seseorang telah berdiri di sana dengan raut wajah cemas.
" Kanala? Are you okay? God!" Laki-laki itu segera bersimpuh di depan Nala yang masih duduk di kursi roda, mengamati kakinya yang dibebat dengan kecemasan yang nyata sebelum kembali menatap Nala.
Laki-laki itu menyelipkan jemarinya di tengkuk Nala, memaksa Nala membalas pandangannya, " You okay?" Tanyanya lebih lembut.
Nafas Nala memendek. Tanpa menjawab, Nala mencondongkan tubuhnya untuk mrengkuh leher Sam dan menyembunyikan wajahnya di pundak laki-laki itu.
" Kenapa lama sekali?" Bisik Nala gemetar tanpa mengangkat wajah. " I am dying here."
Samuel tersenyum sembari mengelus belakang kepala Nala dengan lembut.
" She's safe." Kata Samuel pada Farel dan Tristan. Kemudian, laki-laki bermata abu-abu itu menatap Dewa dan Dafa, dua orang asing yang saat ini terpaku di depannya.
" Fabian told me, you must be our neighbour." Kata Samuel dengan Nala masih di pelukannya. " Thank you for bring her back safely. Fabian is waiting."
" Nala, ada Dafa di sini."
Demi mendengar itu, Nala membuka mata. Dia lupa, sungguh. Dirinya yang ingin segera sembunyi dari kehadiran Dewa justru melupakan kehadiran banyak orang di sini.
" Aku titip sebentar." Sesuatu dalam suara Dewa membuat Nala menoleh padanya. Namun Dewa melewatinya dan masuk ke dalam.
" Kanala, ini siapa?" Tanya Sam ramah pada Dafa.
Nala mengerjap, " Oh...ini Dafa. Dia tinggal di apartemen sebelah. Dan yang tadi itu kakaknya. Namanya Dewa. Dafa, ini Samuel. Kamu bisa panggil dia Sam." Kata Nala memperkenalkan mereka berdua.
Samuel mengulurkan tangan, " Sam."
Dafa mengerutkan kening, namun ia menyambut uluran tangan Samuel dengan enggan, " Dafa. Sam siapa?"
Samuel mengangkat alis. Ia sangat memahami pertanyaan itu meskipun aneh baginya mendengar anak kecil bertanya hal seperti itu.
" Aku calon suami Kanala." Jawabnya tersenyum sembari menarik lembut tangan kiri Nala. " Lihat! cincin kita sama."
Nala langsung menarik tangannya begitu melihat air muka Dafa.
" Fa..." Panggil Nala berusaha menjelaskan.
Namun anak itu sudah berbalik dan berlari keluar tanpa mengatakan apapun. Nala bangkit dari kursi roda dan berusaha mengejarnya meskipun rasa sakit menusuk di pergelangan kakinya.
" Dafa!" Seru Nala tepat ketika pintu apartemen tertutup. Nala mengetuk pintu itu, mengabaikan Samuel yang bingung setengah mati dengan keadaan Nala.
" Fa! Jangan begini. Ayo keluar, sayang." Pinta Nala lembut.
Pintu benar-benar terbuka. Namun ternyata Dafa tidak berminat mempersilahkan Nala masuk.
" Lala istirahat. Dafa ngantuk." Kata Dafa datar.
" Fa..."
" Dafa itu ngantuk! Lala nggak dengar?!"
Ceklek. Pintu tertutup tepat di depan hidung Nala. Nala menutup matanya dan menyandarkan dahi di pintu apartemen nan dingin itu, mendesah lelah.
" Aku kira sakitmu parah sampai perlu kursi roda segala." Celetuk Samuel menyelidiki. Nala menggeleng. Namun ia duduk juga di kursi roda yang didorong Samuel. Sekarang, lukanya tambah berdenyut.
" Dia kenapa?" Tanya Samuel bingung. Laki-laki jangkung itu mendorong kursi roda Nala hingga ke kamar gadis itu. Nala hanya menggeleng lagi. Tahu bahwa tidak ada penjelasan yang masuk akal bagi tingkah Dafa meskipun Nala memahaminya.
Usapan lembut di pipi membuat Nala mendongak. Matanya langsung menangkap wajah yang selama tiga tahun ini menemaninya.
" Hei. I am here. Kamu tidak rindu padaku?" Tanyanya lembut. Nala tersenyum.
" Bicara apa sih? Tentu saja aku rindu." Katanya menurunkan tangan Samuel dan menggenggamnya di pangkuan. " Aku harap kamu di sini."
Agar Nala tidak perlu merasa begitu telanjang saat menghadapi Dewa.
Detak jantung Dewa terdengar bagai tabuhan genderang hingga membangunkannya. Sentuhan dan kecupan lembut itu begitu nyata hingga Nala berharap agar waktu berhenti saja. Semua tentang laki-laki itu membangkitkan rindu yang berusaha ia asingkan meskipun nyatanya tidak pernah padam.
Dia tidak akan pernah, tidak akan mampu menghilangkan rasa itu dari hatinya. Bahkan setelah Nala berusaha mencintai orang lain. Bahkan setelah delapan tahun berlalu. Waktu hanya menawarkan sikap Nala untuk berhadapan dengan Dewa. Bukan menawarkan rasa sakitnya. Bukan menawarkan rasa rindunya, apalagi cintanya.
Nala tahu dia tidak boleh membiarkan rasa ini tetap ada, karena toh apa yang Dewa lakukan adalah sebuah kebohongan. Dia butuh pergi, dia harus membunuh rasa menyakitkan ini. Tapi tetap saja, Nala harus merutuki hatinya yang membandel.
" Does it hurt?" Tanya Sam menyadarkan Nala saat pria itu mengusap pipi Nala.
Nala mengangguk, membuat beberapa air mata terjatuh lebih deras.
" It hurts, Sammy." Isak Nala mengeratkan genggamannya. " It really hurts. What can I do?"
" I'll call him. He's doctor, isn't he?" Sammy beranjak. Namun Nala menahannya.
" No. Just stay here." Cegah Nala, " I need you here."
Sammy duduk kembali di pinggir kasur di hadapan Nala. Laki-laki itu menghirup nafas panjang dan mensejajarkan wajahnya untuk menatap Nala lekat-lekat. Ia membelai sisi kepala Nala, menenangkannya.
" I'm here, then."
Nala menunduk saat tangisnya makin keras.
" Sammy, I am so sorry. So sorry, Sammy."
Samuel menghela nafas panjang sebelum menarik lembut dagu Nala dan menyatukan dahi mereka. " For make me so damn worry, you have to, love. But I already forgave you. It's okay, your pain will go away. Besok pasti sembuh."
Nala mengangguk pelan. Dia berusaha untuk sembuh, sungguh.
*TBC*
Ngg...kebetulan waktu dan kondisi mendukung, jadi bisa up hari ini, hehehe
Hope you enjoy it ^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top