12. Closer
"You say we're strangers, but we know each other better than we should be"
Halaman sekolah Dafa sudah penuh dengan siswa dan orang tua yang berlalu lalang. Antusiasme terasa sangat nyata di pagi hari cerah itu. Tiga bus berwarna biru cerah terparkir rapi di luar halaman, terlihat mengkilat dengan para supir memeriksa kembali bus-bus mereka.
Mereka bertiga bernaung di salah satu sisi lapangan. Dewa duduk di bawah dengan posisi bersila entah mengamati apa. Sementara Nala memeriksa isi tas mereka kembali
" Camilan udah, kotak P3K udah, kamera udah..." Gumam Nala.
" Baju ganti Dafa?" Sambung Dewa melongok ke dalam tas yang sedang diperiksa Dafa. Gadis itu mengangguk.
" Udah juga." Katanya pasti. Nala menutup kembali tas mereka. Gadis itu celingukan mencari Dafa yang belum juga kembali dari toilet. Lalu kemudian menemukan sosok anak itu tidak jauh dari mereka. Sepertinya sedang bercakap dengan salah satu teman perempuannya. Nala hampir saja melepaskannya saat menyadari gestur defensif anak itu. Melihatnya, Nala mengerutkan kening.
" ...sekarang, ya nggak? Aku kira kamu cuma berdua sama abangmu."
Perempuan itu nyata sekali menikmati raut wajah Dafa yang tanpa ekspresi. Nala tidak pernah melihat Dafa yang seperti itu. Dafa yang cenderung dingin entah mengapa terlihat menakutkan.
Mirip seperti kakaknya. Tanpa sadar gadis itu bergidik.
Gadis lawan bicaranya menyibak rambut melewari bahunya, " Kenapa nggak sama ibumu? Katanya kamu punya ibu? Tapi aku sama anak-anak lain nggak pernah lihat ibu kamu, tuh?"
Oke, tanpa sadar tubuh Nala menegang.
" Apa jangan-jangan kamu bohong kalau kamu masih punya ibu, ya? Sebenarnya kamu ibu udah yatim piatu makanya yang ambil rapot selalu abangmu?"
Nala mengepalkan tangan. Heran sekali masih kecil sudah pandai mengintimidasi. Dafa menatap lawan bicaranya masih dengan mulut terkatup tanpa ekspresi. Dia hanya menatap gadis yang lebih pendek darinya itu.
" Yah, kamu selalu diem kalau aku tanya gitu. Nggak usah malu kali, Fa. Tantri sama Lauren kan juga yatim piatu dan mereka nggak bohong kayak kamu. Apa kamu malu, iya? Secara kamu selalu bicara seolah-olah ibu kamu itu masih hidup..."
Cukup. Nala beranjak dari tempat duduknya dan menyambangi mereka berdua. Namun belum lagi ia melangkah, Dewa menahan tangannya.
" Kamu nggak denger apa?" Geram Nala melotot pada Dewa yang ternyata juga melihat ke arah yang sama. Namun laki-laki itu hanya mengedik ke bangku.
" Duduk." Pintanya singkat.
" De! Kamu itu kakaknya! Masa kamu terima aja Dafa dihina seperti itu?" Protes Nala tidak percaya. Gadis itu berusaha melepaskan cekalan Dewa di pergelangan tangannya, namun kali ini, Dewa menahannya.
" Dafa laki-laki." Kata Dewa tanpa mengalihkan pandangan, " Kayak gitu bukan apa-apa buat dia."
Nala mendengus keras dan menghentakkan tangannya hingga terlepas. Dengan cepat gadis itu menjitak kepala Dewa hingga laki-laki itu mengaduh sebelum berjalan ke arah Dafa dengan menggerutu. Tepat saat itu, si gadis cilik tadi berjalan menjauh dengan sikap yang angkuh.
Nala seakan bisa melihat seperti apa jadinya gadis itu ketika dewasa.
" Hei?" Sapa Nala menepuk pundak Dafa. Anak itu terkejut, kemudian menoleh ke belakang.
" Lala!" Serunya dengan mata berbinar. Nala terkekeh sembari mengusap puncak kepala Dafa dengan sayang.
" You okay?" Tanya Nala setelah beberapa saat berlalu. Pertanyaan itu memancing Dafa menatapnya lagi. Kali ini dengan sikap menilai yang jarang sekali menghiasi wajah Dafa. Ketika anak itu melakukannya, kemiripannya dengan Dewa melesat dua kali lebih banyak.
" Lala dengar, ya?" Tanyanya blak-blakkan. Tapi Dafa tersenyum tanpa menunggu jawaban Nala. Senyum anak itu terlalu penuh pengertian. Dafa menatapnya lekat dengan sepasang iris legamnya sebelum berbalik memunggungi Nala untuk memperhatikan gadis tadi yang kini sudah berada di sisi seberang lapangan.
" Namanya Emi. Dia sainganku." Kata Dafa. " Kalau aku ranking satu, dia ranking dua. Kalau dia ranking satu, aku yang ranking dua. Dari dulu."
Dafa berhenti sejenak sebelum melanjutkan.
" Bukan cuma dia. Banyak yang mengira Dafa udah nggak punya orang tua karena urusan sekolah Dafa selalu diurusi sama abang. Dulu Dafa sedih. Kenapa yang ambil rapot Dafa itu abang? Kenapa bukan ibu kayak ibunya Emi? Dafa kan masih punya ibu. Tapi lalu abang bilang ibu nggak bisa capek-capek. Kata abang, karena Dafa laki-laki, Dafa yang harus jaga ibu sama Dilla. Kata abang cukup abang aja yang ngurusi sekolah Dafa, tugas Dafa sekolah yang bener biar ibu bisa bahagia jadi ibu bisa terus sehat."
Nala menatap puncak kepala anak itu. Dafa masih saja menerawang ke sisi seberang lapangan meskipun Emi sudah tidak ada di sana. Pikiran anak itu serasa terbang entah kemana. Lalu tanpa aba-aba Dafa menoleh ke arah Nala dan tersenyum. Anak itu mengeratkan topi bisbolnya yang berwarna biru gelap, kontras dengan kulit dahinya yang berwarna putih bersih.
" Jadi Lala nggak perlu khawatir. Dafa nggak terganggu sama omongan Emi." Kata Dafa berbinar, " Terus sekarang ada Lala. Dafa seneng."
Ketulusan di dalam suara Dafa terlalu kentara untuk Nala abaikan. Gadis itu merengkuh Dafa dalam pelukannya, merasa seribu kali lebih sayang daripada sebelum ini.
" Dafa pinter. Lala suka." Kata Nala membuat Dafa cekikikan geli karena pelukan erat gadis itu.
" Lala suka Dafa? Kalau gitu mau jadi pacarnya Dafa, nggak? Kalau sama Da...hmmmph!!"
" Siapa yang ngajari kamu ngomong gitu?" Tukas Dewa membungkam Dafa dari belakang anak itu, membuat Dafa melotot pada Dewa, yang balas dipelototi kakaknya. " Anak kecil itu tugasnya sekolah, ck!"
Nala mengangkat alis melihat brotherly time mereka. Sudah jelas bahwa Dewa mendidik Dilla dan Dafa dengan cara yang berbeda. Gadis itu mengulurkan tangan ketika Dewa mengayunkan sling bag miliknya, lalu mengerjap. Ia mengira Dewa memberikan sling bag padanya, namun ternyata Dewa mengayunkan sling bag ke bahunya sendiri sebelum melewati Nala dan berjalan menuju bis.
Nala mendengus pada punggung yang juga menggendong ransel menggembung milik Dafa itu, kemudian mengikuti mereka dengan langkah menghentak.
**
" .... dan kita kembali berkumpul di sini saat jam makan siang. Selamat bersenang-senang!"
Suara sorakan menyambut pidato sang kepala sekolah yang sebelumnya berteriak-teriak menggunakan toa di depan mereka.
" Ayo!" Dafa menyeret Nala yang masih tidak bergeming. Anak itu terlihat antusias sekali. Nala mengamati Dafa yang memakai topi dan menggendong ransel yang penuh dengan camilan.
" Hati-hati. Hari minggu kebun binatang ramai, Fa." Ujar Nala memperingatkan. Ia mencengkram jemari Dafa, memperlambatnya.
" Tapi Lala, aku mau naik gajah!" Seru Dafa berbinar sembari menunjuk ke arah kandang gajah. Dua diantaranya memakai semacam rompi dengan beberapa tempat duduk di punggungnya.
" Sendiri. Berani?" Tanya Dewa yang sudah mencapai mereka. Dafa mengangguk dan memberikan tas ranselnya pada Dewa. Tanpa kata, anak itu berlari menuju loket.
" Kamu disini. Aku antar Dafa dulu." Kata Dewa yang diangguki Nala. Sesaat kemudian, Dewa menghilang di antara kerumunan.
Dafa sampai di sebuah tangga yang akan membantunya naik ke punggung sang gajah. Disana, ada beberapa orang penjaga yang bertugas menaikkan dan menurunkan penumpang. Dafa celingukan ke arah penonton, wajahnya mengerut.
" Dafa! Disini!" Seru Nala melambaikan tangannya untuk menarik perhatian Dafa. Mata Dafa menjelajah sejenak, kemudian menemukannya. Seketika itu juga anak itu nyengir lega dan balas melambai.
Seorang pawang yang duduk paling depan di punggung gajah memutuskan bahwa gajah yang Dafa naiki sudah cukup penumpang. Ia memutuskan untuk mulai menjalankan gajah memutari lapangan yang luas itu. Seketika, teriakan Dafa dan anak-anak lain bergema. Para orangtua berdesakan ingin mengabadikan momen anak mereka. Tak terkecuali Nala. Ia segera membidik Dafa yang sangat terlihat antusias.
" Ahhh!!" Serunya tiba-tiba saat seseorang menyerobot tempatnya dengan kasar. Tubuh Nala terhempas ke belakang. Ketika ia berusaha mencari pijakan, kakinya justru tegelincir batu hingga membuat tubuhnya limbung hingga kehilangan keseimbangan dan jatuh tersungkur.
" Dududuuhh..." Rintih Nala berusaha duduk. Malangnya, ia terjatuh di tanah sehingga pakaiannya sekarang penuh dengan noda tanah. Nala mengamati siku dan lututnya, dua bagian tubuh yang terasa perih. Benar saja, disana terdapat luka goresan yang berdarah.
" Nala!"
Nala menoleh dan saat Dewa mendapati Nala yang duduk riang di tanah.
" Kesandung." Katanya datar sembari berusaha bangkit.
Namun Dewa tidak menanggapinya. Matanya menggelap ketika ia melihat lutut dan siku Nala yang berdarah. Tanpa kata, laki-laki itu membopongnya.
" Dewa!" Pekik Nala saat Dewa membawanya membelah lautan manusia yang menggila. Namun Dewa tidak peduli. Ia berjalan ke salah satu bangku panjang dan mendudukkan Nala disitu. Detik berikutnya, laki-laki itu sudah berjongkok di depan Nala, menarik paksa tangannya untuk diperiksa.
" Ini nggak papa. Aku bawa kotak P3K di tas." Kata Nala menarik tangannya dari sentuhan Dewa. Dewa menatapnya sejenak, kemudian menghembuskan nafas keras-keras.
" Sini, biar aku aja." Pintanya mengulurkan tangan ke arah kotak P3K mungil yang sudah dikeluarkan Nala dari tas selempangnya.
" Nggak perlu." Jawab gadis itu singkat. Detik berikutnya, kotak itu raib dari tangan Nala.
" De!"
" Diem! Ck!" Tukas Dewa memotong protesan Nala. Dewa yang masih berjongkok di depan Nala membersihkan luka di lutut Nala dengan telaten.
" Kamu ngapain klesotan di tanah gitu?" Tanya Dewa datar saat menutul-nutulkan kasa yang sudah dilumuri dengan betadine.
" Bosen aja." Kata Nala sebal. Apa pertanyaan itu perlu? Namun jawaban Nala sepertinya dianggap lucu oleh Dewa. Dengan lembut, Dewa menarik tangan Nala dan mengobati siku gadis itu. Ia bahkan meniup-niupnya saat Nala meringis tanpa sadar.
Nala melihat bagaimana laki-laki itu memperlakukannya dengan lembut, dan ia tidak bisa menahan diri untuk menghela nafas panjang. Jika saja memorinya bisa direset ulang, Nala akan dengan senang hati menghapus semua kenangannya dengan Dewa. Nyatanya, memaafkan bukan berarti melupakan. Tidak semudah itu.
" Udah, De. Makasih." Kata Nala. Ia memutuskan untuk tidak memberikan kesempatan bagi hatinya untuk tersiksa lebih lama lagi.
" Kemana?" Tanya Dewa tajam saat Nala bangkit dari duduknya dan berjalan.
" Dafa." Jawab Nala singkat menuju kerumunan. " Aku mau foto Dafa. Kasihan dia nanti cari-cari aku."
" Biar aku. Kamu duduk disini aja." Ujar Dewa berusaha mengambil alih kamera. Namun Nala menahannya kuat-kuat.
" De, nanti Dafa kecewa aku nggak lihat dia! Udah ah, ck!" Tukas Nala berjalan meninggalkan Dewa. Namun lagi-lagi, laki-laki itu menahan bahunya. Nala memutar bola mata.
" Apa lagi sih De!" Seru Nala gemas mendapati Dewa berjongkok.
" De! Kamu ngap...duduuhhh!!"
Dewa mengabaikan protes Nala dan menyingkap celana Nala di pergelangan kakinya, kemudian menekan di pangkal betis yang ditutupi flatshoes. Gadis itu mengerang dan tanpa sadar mencengkram bahu Dewa.
" Gitu masih mau jalan-jalan, iya?" Celetuk Dewa seperti memarahi anak berumur lima tahun. Ia merapikan kembali pakaian Nala dan bangkit untuk mendapati Nala cemberut seraya mengamati kakinya.
" Mesti gara-gara kena batu tadi. Tapi ini nggak sakit. Nggak masa..."
" La!" Tepis Dewa mengurut pangkal hidungnya, cukup membuat Nala tahu bahwa laki-laki itu sedang tidak ingin dilawan. Ia menatap Nala tajam.
" Kaki kamu terkilir. Bisa bengkak kalau dipakai jalan terus." Kata Dewa berusaha sabar. Nala menekuk wajah.
" Tapi Dafa pasti cari aku, De. Masa iya aku bikin dia kecewa?" Kata Nala.
. Dewa mengangkat alis, kemudian menghembuskan nafas panjang. Laki-laki itu melepas kemeja flanelnya untuk disampirkan di kedua bahu Nala.
" Pakai. Baju kamu kena tanah semua." Kata Dewa singkat membuat Nala menunduk untuk menilai kata-kata Dewa, yang sayangnya benar. Dengan menggembungkan pipi kesal, gadis itu memakai kemeja flanel Dewa yang kebesaran untuknya.
" Kamu dari dulu emang nggak tambah tinggi, ya?" Celetuk Dewa terkekeh pelan saat menggulungkan lengan kemejanya hingga pergelangan tangan Nala dengan cekatan.
" Nggak. Aku tumbuh, kok." Kata Nala berusaha menahan suaranya yang bergetar. " Kamunya aja yang tingginya kebangetan."
Dewa yang menggulung lengan kemeja yang satunya menatap Nala dengan ekspresi geli di wajahnya. Nala otomatis menunduk untuk menghindari manik mata legam itu. Namun ia justru merasa tangan Dewa menyapu rambutnya dengan lembut, mengeluarkan kuncir kuda dari kerah flanel. Setelahnya, berjongkok memunggungi Nala.
" Naik!" Perintah Dewa.
" Hah? Kam...OGAH!!!" Tolak Nala mentah-mentah saat tahu apa yang ditawarkan Dewa.
" Naik atau aku bilang panitia kamu luka!" Hujam Dewa membuat Nala bungkam. Selalu, Dewa mampu membuat Nala tidak berkutik.
" Issss!!" Desis Nala tanpa sadar mencubit keras-keras pipi Dewa dari belakang sampai laki-laki itu mengaduh. Nala mengabaikannya dan menuruti perintah Dewa. Daripada Dafa kecewa karena merasa Nala mengabaikannya.
" Ayo cepetan! Kasihan Dafa!" Seru Nala saat Dewa menegakkan diri sembari menggendong Nala di punggungnya tanpa kesulitan. Nala melingkarkan tangan di leher Dewa, sedangkan Dewa menautkan kedua tangannya untuk menahan berat gadis itu di belakang tubuhnya.
" Iya iya!" Kilah Dewa mulai mendekati kerumunan. Nala menjulurkan lidah dan mulai menyalakan kamera hanya untuk mengalihkan perhatiannya dari tengkuk Dewa yang amat sangat familier. Dewa menyibak kerumunan dengan tubuhnya hingga sampai di pagar pembatas.
" DAFAAA!!" Teriak Nala membuat telinga Dewa berdenging. Nala melambai antusias pada Dafa yang menemukan mereka dengan lega.
" Upss!!" Pekik Nala ketika beberapa penonton berdesak-desakkan di belakangnya dan membuat Dewa kehilangan keseimbangan. Tanpa sadar ia mengeratkan pelukannya di leher Dewa.
" Nggak papa?" Tanya Dewa mengeratkan tautan tangannya sembari menoleh ke belakang.
" Nggak papa. Kamu gimana? Masih tahan?" Tanya Nala cemas. " It's going savage, De."
Dewa terkekeh. " Aku bisa gendong kamu sampai kapanpun, La."
" Ngomong ngawur aja terus, De. Aku gigit leher kamu nanti! Awas aja!" Sergah Nala ketus dengan kamera merekam Dafa.
" Nggak masalah. Kamu gigit yang lain juga aku mau."
" Astaga anak ini! Turunin, ck!" Nala menggeliat jengah di punggung laki-laki itu. Telinganya panas. Namun Dewa justru tertawa.
" Nggak mau!" Tepis Dewa enteng. "Dan jangan gerak-gerak. Nanti jatuh ke depan!"
Nala menyipit, kemudian menggigit daun telinga Dewa.
" Eh, La!" Seru Dewa terkejut.
" Sukurin! Makanya jangan ngomong macem-macem!" Seru Nala sebal saat merasakan tubuh Dewa menegang. Sepertinya dia cukup memberi pelajaran pada laki-laki ini. Hmph!!
Satu hal yang tidak disadari gadis itu adalah, Dewa mengatupkan rahangnya keras-keras demi menahan sesuatu yang lain.
**
Dewa menolak untuk menurunkan Nala meskipun gadis itu meronta dan protes dengan hebat. Parahnya, Dafa justru mendukung abangnya.
" Merak!!" Seru Dafa berbinar. Anak itu langsung melesat menuju kandang merak. Dewa mengikutinya dengan ringan seolah Nala tidak pernah bergelayut di punggungnya seperti monyet. Sedari tadi Dewa tidak menunjukkan tanda-tanda lelah. Yang ada justru Nala yang merasa letih.
Dewa memastikan keberadaan Dafa yang tidak jauh dari mereka, kemudian mendekati bangku batu dan menurunkan Nala disana.
" Capek?" Tanya Dewa sembari menunduk untuk memeriksa pergelangan kaki Nala.
" Gimana?" Tanya Nala juga mengamati kakinya. Dewa memakaikan flatshoes-nya kembali dan mendongak untuk menatap Nala.
" Nggak separah kalau dipakai jalan. Nanti aku minta air dingin buat ngompres." Kata Dewa duduk di samping Nala. Nala menggerak-gerakkan telapak kakinya yang terluka. Agak berdenyut disana.
" Maaf." Celetuk Nala pelan.
" Jangan bilang kayak gitu, La. Aku justru berterima kasih kamu mau bertahan dan nggak minta balik ke bis." Kata Dewa membuat Nala menoleh memandang laki-laki itu.
" Mana bisa aku minta balik ke bis, De. Dafa gembira, gitu." Kata Nala mengalihkan perhatiannya pada Dafa yang sedang memotret sang merak dengan gila-gilaan.
" Kamu juga gembira?"
Nala mengerjap, kemudian mengerutkan kening tidak mengerti. Namun Dewa hanya menatapnya tanpa ekspresi.
" Pertunangan kamu, kamu bahagia?" Tanya Dewa datar. Nala memalingkan wajah.
" Cukup bahagia, aku pikir." Kata Nala setelah beberapa saat.
" Tunanganmu baik?" Tanya Dewa lagi membuat Nala bungkam beberapa saat sebelum mengangguk.
" Dia baik." Jawab Nala singkat. Gadis itu memberanikan diri untuk menoleh pada Dewa yang menatapnya.
" Kenapa memangnya?" Tanya Nala getir sembari mengamati manik legam itu. " Kelakuan kamu memang jahat. Tapi bukan berarti aku berhenti melanjutkan hidup. Kamu udah ngasih peringatan itu jauh-jauh hari, ingat?"
**
" Dapat es darimana?" tanya Nala merasa dejavu ketika Dewa kembali di sampingnya dengan seplastik es batu. Dewa menarik sapu tangan dari kantong celananya dan menempelkan di pergelangan kaki Nala yang mulai memerah.
" Kantin sana." Jawab Dewa singkat.
" Parah?" Tanya Dafa cemas mengamati luka Nala.
" Nggak papa. Ini cepet sembuhnya. Yang penting Nala nggak banyak gerak aja." Jawab Dewa. " Udah sana makan dulu. Nala sama abang."
Dafa menarik nasi kotaknya berat hati dan melahapnya dengan tetap mengamati mereka. Nala dan Dewa mendengus geli bersamaan.
" Sini aku aja. Kamu makan sana." Kata Nala meraih kompres darurat itu. Namun Dewa menjauhkannya. Sebagai gantinya, laki-laki itu menyerahkan satu nasi kotak yang masih utuh.
" Makan!" Perintahnya singkat.
" De!" Protes Nala. " Nanti lagi udah. Makan dulu! Kalau kamu pingsan nggak ada yang kuat ngegotong badan kamu!"
Kata-kata Nala membuat Dewa mendongak. " Suapi."
Nala mengerjap. " Ha?"
" Nala, ini es batu. Aku cuma bisa ngompres kamu selagi belum mencair. Gimana sih?" Ujar Dewa meskipun senyum geli tidak meninggalkan wajahnya. Nala berdecak.
" Makanya sini aku aja. Kamu makan!" Jelas Nala berusaha sabar.
" Kamu yang nggak nyaman posisinya. Gini lebih pas di bagian yang sakit." Jelas Dewa tanpa mengangkat kepala. Melihat tidak ada respon dari Nala, Dewa mendongak.
" Suapi." Pinta Dewa mengangkat alis.
Nala menggeram. Namun tetap saja, ia mencidukkan satu sendok suapan untuk Dewa.
" Nih!" Seru Nala galak. Dewa menyambutnya dengan senang hati.
" Pas abang sakit terus dibuatin bubur ayam sama kak Raya, abang nggak mau disuapin padahal kak Raya udah maksa." Celetuk Dafa tiba-tiba.
" Hahaha!" Tawa Nala sadis.
" Tapi kalau jadi abang aku juga nggak mau, soalnya bubur ayam Lala lebih enak. Iya kan bang?"
Dewa menatap Dafa sembari memandang anak itu dengan geli, kemudian mengangguk.
" Kamu mau dibuatin bubur sama Lala tiap hari?" tanya Dewa kemudian. Dafa mengangguk kuat-kuat.
" Mau. Makanya Lala nggak boleh pergi." Dafa menoleh pada Nala dengan pipi menggembung, " Lala disini aja sama bang Dewa. Biar bisa nyuapi abang juga."
" Iya, kamu disini aja sama aku, La." Sambung Dewa yang masih menunduk untuk mengompres pergelangan kaki Nala.
Nala mendengus keras-keras, " Kalian ini kenapa sih? Kompak banget!" Tukasnya menyodorkan satu suapan lagi pada Dewa yang disambut laki-laki itu dengan patuh.
Dafa menatapnya, " Kenapa? Kan Lala nggak kemana-mana. Lala kan disini sama Dafa, sama abang. Iya kan?"
Hujaman mata bulat Dafa membuat Nala tidak bisa berkutik. Beruntung saat itu salah satu teman Dafa mengajaknya untuk mengambil minum. Nala mendelik pada Dewa yang terkekeh diam-diam.
" Kamu kenapa ketawa sih, De? Kamu tahu jelas aku disini cuma sebentar!" Kata Nala putus asa. Ia sama sekali tidak mengerti jalan pikiran laki-laki itu.
Namun Dewa hanya tersenyum tipis sembari terus mengompres pergelangan Nala dengan hati-hati.
" Karena aku lebih suka membayangkan kamu disini saja." Jawab Dewa mengangkat kepala untuk menatap Nala dengan lembut. Nala mencengkram sendok erat-erat. Ia menyuapkan satu sendok ke mulutnya sendiri hanya untuk mengalihkan pikiran.
" Kamu memang hebat ya, De." Celetuk Nala bergetar setelah berhasil menelan dengan sukses. " Berhenti berpura-pura, bisa?"
Dewa terdiam sejenak, kemudian terkekeh dan menggeleng.
" Nggak, kayaknya nggak bisa." Katanya enteng membuat Nala sebal setengah mati.
" Kena karma, ya?" Dengus Nala. " Mending kamu ngegombal pacar kamu, sana!"
" Hmm...pacar, ya?" Celetuk Dewa pelan membuat Nala terdiam. Namun Dewa tidak meneruskan kata-katanya sehingga justru membuat Nala penasaran.
" Kamu nggak ada pacar, De?" Tanya Nala hati-hati.
" Nggak ada." Jawab Dewa singkat. " Tapi ada gadis yang aku suka."
Tanpa sadar, Nala menahan nafasnya.
" Raya, ya?" Tanya Nala pelan.
" Bukan." Sahut Dewa segera.
Bukan. Dewa menjawab 'bukan' dan bukannya 'tidak'. Berarti memang ada seseorang yang istimewa, batin Nala bergetar.
" Orang dari tempat kerjamu?" Tanya Nala lagi.
" Bukan." Kata Dewa menggeleng. Ia menatap Nala penuh pengertian. " Kamu sering lihat dia kok, La."
Kali ini, Nala yang mengerutkan kening. " Aku sering lihat dia? Di mana? Kapan?"
Namun Dewa hanya terkekeh dan melanjutkan aktivitasnya.
" Nanti pulang kita mampir rumah sakit. Ini perlu di-tensocrepe biar cepet sembuh."
" Hah? Serius amat!" Tepis Nala terkejut.
" Biar mengurangi gesekan antar tulang, Kanala. Nanti biar aku kasih salep juga." Kata Dewa sabar.
" Tapi..."
" Berhenti protes. Yang dokter itu aku, bukan kamu." Kata Dewa menghentikan perdebatan kecil mereka. " Dan Nala, jangan berhenti nyuapin. Nanti aku pingsan kamu nggak kuat gendongnya."
" Ck! Kalau kamu pingsan aku seret kamu!" Celetuk Nala meskipun tangannya dengan telaten memotong lauk dan menyuapkannya pada Dewa.
*TBC*
Footnote :
Tensocrepe : Pembalut elastis yang digunakan untuk fiksasi/perawatan pada kasus kesleo (sprains).
>.< demi apa aku up 2 chapter T.T
Selamat hari selasa semuanya. Yang baru ujian, semoga sukses ^^
Hope you enjoy DewaNala ^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top