10. Kegilaan Dewa

" And what are you doing here?" Hujam Nala dingin sore hari itu setelah memeluk erat Dafa yang duduk bersila di sofa ruang tengah sembari membaca buku di pangkuannya. Begitu berbalik, ia menemukan Dewa tengah berjalan menuju dapur.

Dewa mengangkat semangkuk penuh tomat. " Fabian minta tolong. Aku cuma memeriksa keadaan Dafa dan dia minta aku membantunya menyiapkan makan malam karena katanya kamu sibuk hari ini. Sudah sehat?"

Hebat sekali. Laki-laki itu mengatakannya dengan lancar dan penuh percaya diri seolah sedang berbicara dengan kawan lama.

Nala mengabaikan pertanyaan tidak penting Dewa. Nafsu memasaknya menguap. Gadis itu segera berjalan cepat menuju kamarnya ketika tiba-tiba saja, Dewa mencekal tangannya dan membuat Nala berbalik di luar kemauannya.

" Kanala, jangan begini." Kata Dewa menatap Nala. Nala bungkam, gadis itu balas menatapnya sejenak sebelum mengarahkan pandangannya pada cengkraman Dewa di sikunya, yang dilepaskan Dewa beberapa saat kemudian.

Tanpa menatapnya lagi, Nala berbalik dan meneruskan langkah.

"Kamu bukan remaja labil yang terjebak di masa lalu, Kanala. Tenang dan hadapi apa yang ada di depan kamu." Ucapan Dewa nyatanya terdengar jelas di telinganya. Tuhan, bolehkah Nala memukulnya dengan wajan? Sepertinya otaknya terbalik!!

" Kana, are you sure? You let me doing anything in your beloved kitchen? Seriously? Whoa, it will be fun!" Suara Fabian bergaung dari arah dapur.

Seketika itu juga, tubuh Nala membatu. Kemudian gadis itu berbalik dan melesat secepat kilat ke arah dapur. Dia bahkan tidak peduli pada Dewa yang terkekeh. Kata 'Fabian' dan 'dapur' berhasil mengalihkan emosi Nala.

Di dapur, ia mendapati sang penguasa kerajaan Halid memakai apron kuning cetar dengan motif wortel yang menari. Fabian yang tengah mengangkat pisau dapur tinggi-tinggi di atas kepala nyengir. Ceceran daging ayam di hadapannya menciprat ke apron dan sekelilingnya.

" Oh...hai!" Sapanya lebar sampai matanya tenggelam.

Hai??

" NOO!" Seru Nala menangkupkan tangan ke pipinya. " You, stay away from here! Go!" Sambungnya mendorong Fabian keluar dari dapur.

" Kita belum menjamu tetangga baru kita, Kana! Ini makan malam penting! Kamu tahu artinya sebuah jamuan makan kan, Kana?" Protes Fabian ketika Nala mendorong kuat-kuat punggungnya.

" Biar aku saja!" Tegas Nala. " Dan mengapa kamu seenaknya saja mengundang dia? Hah? Sejak kapan kalian akrab begini?"

" Look like he is a good guy, why not? And he's a doctor too, and he's our neighbour, Kana. Neighbour is the closest man when you have a party!"

Nala memutar bola mata dan membersihkan cacahan daging dari tubuh Fabian. Benar-benar seperti anak kecil." Pulang awal sebaiknya istirahat saja di depan sana! Dapurnya bisa meledak kalau ada kamu! Aku tidak mau kejadian di rumah dulu terulang lagi!"

"Bukankah lebih baik kalau kita bertiga menyiapkannya sama-sama?" Fabian masih bersikukuh.

" With you? Are you kidding me?" Ucap Nala merinding.

Fabian yang melihat Nala memelas akhirnya mematuhi kakaknya. " Baik, baik. Aku di depan saja menemani Dafa. Ternyata dia suka membaca, kamu percaya?"

Nala mengerjap, " Eh...itu, kedengarannya cocok untuknya, sih..." Celetuk Nala melucuti apron imut Fabian. " Memangnya kamu pinjami dia buku apa?"

" Da vinci code." Jawab Fabian enteng sebelum pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Nala menepuk dahinya keras-keras.

" YAA FABIAN GILA!! SEKALIAN PUNYA JOHN GRISHAM ATAU CONAN DOYLE SAJA!" Seru Nala jengkel.

Nala melepaskan tasnya dengan asal dan melangkah ke dapur yang hanya dipisahkan oleh sebuah partisi yang terbuat dari anyaman bambu. Di sana, ia melihat Dewa mengupas sayuran dengan wajah geli, tampak tidak terpengaruh sama sekali dengan kenyataan bahwa saat ini ia sedang mengenakan apron biru muda dengan motif kelinci schnuffel berbulu putih sedang bermain seluncur. Ia mengangkat wajahnya saat Nala mendekat dengan mata mendelik.

" Kamu juga, pergi sana!" Sergah Nala kejam.

" Bagaimana kalau kita baikan lalu menyiapkan makam malam berdua?" Usul Dewa tidak terpengaruh suara kejam Nala. Ia malah mengangkat sebaskom penuh paprika.

" Jangan harap!" Hujam Nala berusaha meraih baskom yang langsung diangkat Dewa hingga Nala tidak bisa menjangkaunya.

" DEWA!!" Teriak Nala frustasi.

" Nala, jangan seperti ini! Tetangga sudah seharusnya hidup rukun!"

" Nggak mau! Kasih, nggak?" Perintah Nala berkacak pinggang. Dewa menghembuskan nafas dan memandang Nala dengan...geli? Seakan api meletup di hidung Nala.

Dengan satu tangan masih menahan sebaskom penuh paprika, tangannya yang lain berayun dan menangkap kedua pergelangan tangan Nala yang terulur, meraupnya dalam sekali ayunan dan menariknya mendekat.

Jantung Nala berhenti kala beberapa jarak di antara mereka terkikis. Untuk sejenak, bola mata Nala melebar kala sepasang manik legam itu menunduk dan menatapnya lekat-lekat hanya dalam jarak beberapa senti.

" Berhenti." Bisiknya membuat Nala merinding dari tumit hingga ubun-ubun. "Tidak bisakah kita mulai berteman? Aku minta maaf, Nala."

Detik itu juga Nala menyentakkan tangannya.

" Kamu memang nggak punya malu, ya." Desis Nala sesak. " Kamu yang harusnya berhenti, De. Apa kata-kataku masih kurang jelas? Kamu masih ingin menyakitiku lagi, iya? Sekarang pergi! Keluar dari si...!"

Nala menghentikan kata-katanya kala Dewa tiba-tiba saja meraih tangan Nala dan menamparkannya keras di pipinya sendiri. Suaranya seperti sebuah cemeti di bagi Nala.

" De..." Nala berusaha menarik tangannya dari genggaman Dewa. Tapi Dewa menahannya dan menamparkannya lagi di pipinya tanpa tanggung-tanggung hingga Nala terkesiap.

" De...apa-apaan kamu..."

" Ini membuat perasaanmu membaik?" Bisik Dewa sama sekali tidak terganggu dengan kenyataan bahwa kini pipinya memerah. Nala menelan ludah dan terkejut lagi ketika Dewa menamparkan kembali tangan Nala di wajahnya.

" Lepas! Le..."

Namun lagi-lagi, perkataannya berhenti ketika Dewa justru menarik Nala mendekat dan meremas pelan jemari Nala dalam genggamannya.

" Lakukan apapun, Kanala. Lakukan apapun untuk menyakitiku sebanyak aku menyakiti kamu. Lakukan apapun untuk menghukumku yang sudah mempermainkan kamu. Tapi jangan pernah menyuruhku pergi dari kamu. Itu tidak akan berguna dengan Dafa yang selalu ada di dekat kamu."

Hanya satu kali Nala pernah mendengar suara rapuh dan bergetar dari seorang Dewa, yaitu ketika ibu Dewa sakit dulu sekali. Nala memalingkan wajahnya dari sorot mata Dewa, merasa perlu karena kini matanya mulai memanas.

" Nala, Kanala, aku minta maaf. Mari kita ulangi dari awal. Keadaan kita bukan sesuatu yang bisa dihindari."

Detik itu juga Nala menyentakkan tangannya dan membebaskan diri. Nala cepat-cepat menjauh dan berpaling.

" Itu terserah padaku untuk memutuskan kapan aku biasa saja sama kamu." Desis Nala memberikan lirikan tajam pada Dewa. Dewa meraih paprikanya dan berjalan ke wastafel.

" Itu cuma akan bikin kamu lelah, Nala. Mari berdamai. Jam makan malam tinggal sebentar lagi. Kamu nggak bisa nyiapin sendirian." Katanya seolah tidak terjadi apapun.

" Kamu memang pintar berkata-kata, ya?" Nala menggeram.

" Aku bilang apa adanya." Celetuk Dewa singkat. Nala memandang Dewa dengan benci. Laki-laki ini benar-benar muka tembok.

"Memangnya mau masak apa, sih?" Tanya Nala berusaha tidak peduli pada kenyataan bahwa ruam merah di pipi Dewa masih terlihat. Tanpa sadar gadis itu mengepalkan jemarinya, merasa panas di sana.

" Hmm...apa tadi? Namanya dalam bahasa Perancis. Tapi Fabian sudah menyiapkan resepnya dari buku resepmu." Jawabnya mengedik pada sebuah buku pribadi Nala yang berisi seluruh catatan resep Nala yang ditulis tangan.

" Oh..." Nala mengangguk enggan. " Pilihan yang bagus. Jangan bikin dapurku berantakan!"

Nala melepas blazernya hingga hanya menyisakan blus sepanjang siku berwarna putih berbunga. Ia berjalan ke wastafel.

" Kamu nggak takut aku bikin dapurnya meledak?" Tanya Dewa coba-coba. Nala memutar bola mata. Ia memakai apronnya dan menalikannya dengan cepat.

" Ian akan bilang kompornya rusak karena nggak bisa menyala, padahal karena gasnya belum terpasang. Dari situ saja bisa dilihat parahnya dia kalau udah pegang pisau." Celetuk Nala meraih bahan yang lain. " Aku juga nggak ngerti dia bisa separah itu. Padahal dia jenius sekali kalau urusan pekerjaan."

" Jangan harap seseorang sempurna dalam segala hal." Kata Dewa di samping Nala. Nala mendengus, menyetujui kalimat Dewa.

Untuk sementara, keheningan melingkupi mereka. Nala mengupas dengan canggung, masih tidak percaya jika orang di sampingnya adalah Dewa. Makhluk yang pernah membuat Nala terpuruk di dasar jurang. Nala berusaha melupakan demi ketenangannya sendiri. Namun rasa itu masih menguasai di luar kuasanya. Gadis itu masih bisa merasakan kesakitan yang mengalir di setiap lajur darahnya, dia masih bisa merasakan perih menggelegak di setiap inchi tubuhnya.

Tapi dia bukan anak-anak lagi. Dia tahu bagaimana menyikapinya dengan dewasa. Meskipun dia menilai sikap Dewa yang berani tersenyum di depannya adalah sikap yang sangat tidak tahu diri. Dia tidak bisa mengabaikan itikad baik Dewa yang meminta maaf dan mengajaknya berdamai.

Menjadi dewasa itu berarti mencoba menjaga perdamaian. Nala menghirup nafas panjang. Mereka hanya dua pemain yang kebetulan bertemu di panggung yang bernama masa lalu.

Nala melirik Dewa yang serius sekali membaca buku resepnya. Ia menghembuskan nafas keras dan meletakkan pisau. Gadis itu mengambil plastik dan membuka freezer sebelum memasukkan beberapa es batu kecil ke dalam plastik.

" Ini." Ucap Nala pelan mengulurkan seplastik penuh es batu yang sudah dilapisi serbet bersih. Dewa menoleh. Laki-laki itu menatap es batu di tangan Nala sejenak sebelum menatap Nala dengan pandangan yang membuat Nala jengah.

" Ambil." Kata Nala menyurukkannya ke tangan Dewa. Nala menelan ludah dan kembali melanjutkan aktivitasnya. " Kamu jahat, dan aku bukan malaikat baik hati yang bisa memaafkan dengan mudah."

Dewa yang menempelkan es batu di pipinya terdiam sembari menatap Nala yang mengiris bahan.

" Kamu nggak sibuk?" Tanya Nala lagi berusaha mengusir kecanggungan.

" Nggak ada jadwal sore ini." Jawab Dewa tersadar. " Tapi nanti ada jadwal operasi jam sembilan."

Nala menoleh sekilas, " Kamu...udah ambil spesialis?"

Dewa menggeleng, " Hanya asisten. Rencana ambil spesialis tahun depan."

Nala mengangguk lagi. " Selamat." Ucapnya singkat sebelum berbalik menuju rak bumbu.

Dewa harus benar-benar menahan diri untuk tidak lepas kendali. Ia menoleh hanya untuk melihat tubuh mungil itu berjinjit di atas bangku kecil untuk meraih toples yang berada jauh di dalam rak. Bisakah dia menjadikan ini pemandangan yang akan dia temui setiap hari?

Dewa memutuskan untuk tidak menyiksa Nala lebih lama. Ia berjalan dan meraih toples itu dengan mudah, berhati-hati agar tidak menyentuh tubuh Nala. Bukannya tidak ingin, dia hanya tidak mau dibenci lagi oleh gadis itu. Namun ia masih bisa merasakan tubuh Nala menegang saat badan Dewa menaunginya.

" Ini." Kata Dewa mengulurkan toples itu di depan Nala sebelum berbalik untuk meneruskan pekerjaannya.

Keheningan yang melandanya membuat Dewa kembali menoleh. Di belakangnya, Dewa mendapati Nala mencengkram erat-erat toples itu dengan kedua tangannya. Tapi bukan itu yang membuat detak Dewa berhenti.

Adalah Kanala, yang menatapnya dengan mata berkaca dan pandangan terluka.

" Nala, ada apa?" tanya Dewa pelan mendekatinya.

Nala cepat-cepat menunduk, namun Dewa masih bisa melihat sebutir air mata jatuh dari wajahnya.

" Nala?"

" Nggak papa." Katanya kembali mengangkat wajah meskipun menolak menatap Dewa.

Lagi, aroma gadis itu terlalu memabukkan baginya. Maka Dewa mundur satu langkah untuk mencegah tangannya merengkuh tubuh itu.

" Maaf." Katanya singkat sebelum berbalik dan memelototi paprika.

Nala memejamkan mata.

Tidak. Dia tidak tahan lagi. Gadis itu menunduk dalam-dalam dan meletakkan peralatannya ke atas meja sebelum melepas apron dan berjalan ke luar dapur.

" Mau kemana?"

Nala tidak menjawab.

" Mau kemana?" Kali ini, Dewa menangkap Nala. Membuat gadis itu berbalik dan menatap tangan Dewa yang melingkar di pergelangan tangannya.

" Kamu mau kemana?" Tanya Dewa lagi setelah melepaskan cengkramannya. Nala mengangkat wajah untuk menatap Dewa. Laki-laki itu memandangnya dengan bingung.

" Just...do whatever you want." Bisik Nala. " Just...do anything you need to do. I am out."

Nala menghirup nafas dalam sebelum kembali berbalik untuk keluar dari dapur. Dia butuh waktu, dia butuh ruang.

Langkah kakinya berhenti kala Dewa tiba-tiba memotong langkah Nala dengan apron terulur di tangannya.

" Aku yang keluar." Katanya pelan ketika Nala tidak kunjung meraih apronnya. " Masakanmu selalu enak."

**

Dewa memungut kemeja yang sudah ia persiapkan di atas kasur, memakainya untuk merangkap kaus putih polos yang telah ia pakai terlebih dahulu. Dewa mengancingkannya perlahan dengan pikirannya masih dipenuhi kejadian tadi, dimana ketika Nala berjarak hanya beberapa senti darinya.

Dia berani bersumpah, jika sembilan puluh sembilan persen nalarnya hilang saat itu juga. Untung satu persennya berhasil menahannya untuk tidak mengecup bibir mungil yang selama ini ia rindukan setengah mati.

Dewa berjalan mendekati nakas dan meraih sebuah jam tangan hitam. Ia melingkarkannya di pergelangan tangan kiri sembari menatap refleksi dirinya di kaca. Laki-laki itu sedikit kecewa kala ruam merah di pipinya kini hilang tidak berbekas.

Mengapa semua orang memandangnya penuh kekaguman? Dia hanya orang cacat yang kehilangan separuh kakinya bertahun lalu.

Sedari tadi, suara manis Nala yang sedang bercengkrama dari balkon gadis itu menemaninya. Ia sengaja membuka lebar-lebar pintu balkonnya sedari tadi, menganggapnya sebagai energy booster sebelum operasi yang akan ia tangani. Sesekali, tawa gadis itu mengundang senyumannya sendiri. Dewa tahu sekali bahwa Nala sedang berbicara dengan tunangannya. Tapi sudah lama ia mengabaikan itu.

Dewa mengecek jam tangannya dan memutuskan untuk keluar dengan berat hati.

Have you ever felt guilty or shame? Event just a little bit? You talk right in front of my face like nothing happen!

Dewa tersenyum kecil mengingat kata-kata Nala. Tentu saja dia merasa bersalah, tapi malu? Urat malunya sudah lama putus jika itu menyangkut tentang Nala.

Dia sudah memutuskan untuk berjuang sampai ujung, sampai Nala benar-benar tidak tergapai olehnya lagi.

Meminjam istilah awam, sebelum janur kuning melengkung, dia masih bebas merebutnya. Dan itu adalah apa yang ia yakini.

Persetan dengan pertunangan.

*TBC*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top