[04] Malak, Juli
Monthly Prompt Juli
[Capitalism]
Week 4: Malak/Force
.
.
Entry: Kumi
NikishimaKumiko
Setelah bertemu dengan Nagi dan Kumiko, Reo merasa ia tidak bisa melepaskan mereka berdua dengan mudah. Meskipun ia tahu, bahwa ia perlu mengorbankan segalanya hanya demi bersama dengan mereka, itu saja cukup. Ia mampu mempertaruhkan semua untuk membuat mereka tinggal dan mewujudkan mimpi bersamanya.
Seperti sekarang ini, gadis berambut biru muda itu mengerutkan dahinya tatkala Nagi memalaknya dengan mudah. Kumiko memasang wajah cemberut, "Nagi, aku tidak kalah waktu bermain game saat itu! Kau tidak bisa meminta uang dariku!"
"Kalau begitu, koleksi metal card-mu satu," balas Nagi masih bersikeras.
"Eh, pokoknya tidak mau! Koleksi itu kan kesayanganku!"
Reo menghela napas menonton tingkah mereka berdua yang tidak bisa ia mengerti topik pembicaraannya. Lantas, ia kembali fokus pada data permainan sepak bolanya dan Nagi yang ditulis oleh sang gadis berambut biru muda tersebut, menganalisis setiap perkembangan permainannya. Ia tidak boleh lengah, Mikage Reo perlu memenangkan turnamen dunia bersama mereka berdua.
.
.
Entry: Ilya
clawyer_sz
Entah sejak kapan, Mori menetapkan Alina dan Chuuya menjadi pengasuh tidak tetap Elise. Anehnya, tidak ada yang merasa keberatan. Elise senang ditemani mereka karena rasanya seperti punya kakak yang perhatian—berdua dengan pak tua itu cukup meresahkan katanya. Chuuya yang terkenal punya mulut rombeng itu pun tidak komplain, entah karena keimutan Elise atau hal lain—bisa berduaan (bertigaan) dengan Alina (dan Elise) misalnya. Sementara Alina senang karena seperti memiliki black card berjalan. Toh, Chuuya juga tidak keberatan (kadang), uangnya banyak.
"Chuuya, belikan aku itu." Elise menunjuk buntalan arum manis merah muda, yang diiyakan Chuuya dengan enteng.
Chuuya membeli dua arum manis, memberikan satu pada Alina. "Ini, adik kecil. Aku tahu kau juga pengin," godanya.
"Diam, cebol." Alina menggeram kesal namun menerima permen kapasnya dengan senang hati.
Chuuya meringis—aneh sekali dia belum meledak.
Mereka berpindah ke tempat lain, pusat perbelanjaan kota Yokohama—perasaan Chuuya sedikit tidak enak. "Chuuya, aku mau itu!" Alina kegirangan melihat set buku favoritnya—edisi terbatas—dipajang di toko buku sebelah. Tentu saja diiyakan oleh Chuuya. Lagipula, reaksi Alina saat senang itu lucu menurutnya. Elise juga meminta buku mewarnai, dan berujung belanjaan buku mereka meluber.
Oke, tidak apa-apa. Asalkan mereka senang. Ada kemampuan gravitasi, tidak perlu menenteng tas belanjaan berat-berat.
"Elise-sama, ayo kita ke lantai atas!"
"Kalian kalau mau memalakku jangan begini," keluhnya. Lantai atas itu surga bagi wanita, dan penyedot dompet pria. Berbagai pakaian, sepatu, aksesori dijual di sana. Plus, lama waktu mereka berbelanja bisa dipakai untuk menjalankan lebih dari tiga misi.
"Wah, kedengarannya seru! Alina-chan, aku ikut dong! Traktir aku juga, ya, Chuuya-kun, kalau enggak Alina-chan kuberi tahu rahasia gelapmu. Kau memang yang terbaik deh."
"Traktir jidatmu. Malak mah iya, hutangmu juga masih banyak, ya, Mumi! Lu tuh nggak diajak!"
.
.
Entry: Raine
RaindeAlthera
"Gege, tolong isikan saldoku, aku ingin top up game~" Nie Huaisang berujar manja pada Nie Mingjue.
Dia sekarang sedang berada di ruang kerja Nie Mingjue. Huaisang telungkup di sofa sembari memainkan game yang baru liris belum lama ini.
Nie Mingjue mengernyit. Sudah beberapa hari Huaisang tinggal bersamanya dan setiap hari pula adik tirinya itu meminta uang pada Nie Mingjue untuk top up game.
"Kau sudah menghabiskan hampir $5000 dalam dua minggu ini hanya untuk game. Apa tidak ada yang bisa kau lakukan selain bermain game?" Nie Mingjue bertanya kesal, tetapi tetap mengirimkan uang ke saldo Huaisang.
Terkadang Nie Mingjue berpikir anak ini adalah penyihir. Apa pun yang dia minta selalu saja Nie Mingjue berikan secara spontan. Walaupun sebenarnya untuk kekayaan yang dia miliki permintaan Huaisang tidak banyak, tetapi Mingjue agak khawatir suatu saat adik tirinya akan memalak yang tidak-tidak.
Huaisang mengulum senyum seraya berujar, "Tidak ada yang bisa kukerjakan. Ibu tidak mengizinkanku bekerja di perusahaan Ayah. Jadi aku hanya bisa bermain game saja agar tak bosan."
Huaisang mengubah posisinya menjadi telentang. Dia langsung membeli item dalam game dan melanjutkan permainan. Pemuda itu bersenandung kecil.
Melihatnya yang seolah tanpa beban dan tanggung jawab membuat Nie Mingjue cukup kesal.
"Hah, tidak adakah cara untuk mengembalikannya?" Nie Mingjue bermonolog. Perhatiannya kembali fokus pada tumpukan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya.
Tangan Nie Huaisang berhenti bermain dan bibirnya pun berhenti bersenandung. Dia tersenyum simpul mendengar apa yang Nie Mingjue katakan. Segera dia meninggalkan ruangan.
Nie Mingjue kembali mengernyit.
"Lihatlah dia. Setelah mendapatkan apa yang dia mau, sekarang pergi begitu saja tanpa pamit," ujarnya kesal.
Begitu Nie Mingjue selesai berkata hal itu, sekretarisnya masuk. Dia menyerahkan Nie Mingjue setumpuk file yang cukup tebal dan menyerahkannya pada Nie Mingjue.
"Tuan Muda, ini daftar riwayat hidup Tuan Muda Kedua," ujarnya menjelaskan.
Nie Mingjue membaca file-file itu. Semakin dia membaca, semakin pula dahinya berkerut.
Terdapat berbagai file yang ada di tangannya, mulai dari catatan kelahiran Huaisang, riwayat pendidikannya, riwayat tempat tinggal, riwayat rekening ibunya, hingga riwayat transaksi yang ibunya lakukan. Namun, dari berbagai file yang Nie Mingjue pegang, bahkan tebalnya tidak sampai satu ruas jari.
Dia tidak dilahirkan di rumah sakit. Ibunya melahirkannya seorang diri. Mereka tinggal di pemukiman kumuh di Shanghai. Saldo di rekening ibunya tidak pernah lebih dari 1000 yuan. Dia tidak melanjutkan sekolah begitu lulus dari sekolah menengah pertama dan mereka sangat jarang berbelanja di supermarket.
Nie Mingjue langsung menghubungi ayahnya. Begitu panggilan tersambung, pemuda itu bertanya, "Ayah tidak pernah mengirimkan uang untuk Huaisang?"
"Tidak pernah. Jika aku berani mengirimkan uang sepeser saja, ibumu akan membunuh anak itu. Seperti yang kau tahu, ibumu bersedia menerimanya di sini karena Huaisang setuju untuk tidak akan pernah menikah ataupun memiliki anak," jawab ayahnya dari seberang telepon.
Setelah mengatakan beberapa basa-basi, Nie Mingjue menutup telepon. Dia memijat pelipisnya. Untuk ukuran anak konglomerat—walaupun anak tidak sah—Huaisang hidup dengan sangat menyedihkan. Sedikit-banyak, dia merasa kasihan. Sepertinya dia harus sedikit memperhatikan adik tirinya.
Nie Mingjue pulang ke rumah dengan sebuket bunga. Dia tidak tahu apakah tindakannya sudah benar. Namun, mengingat adiknya yang cukup feminim untuk ukuran laki-laki, Nie Mingjue menyimpulkan dia juga suka bunga.
Pemuda itu dengan semangat mengunjungi kamar Huaisang. Tanpa permisi, dia membuka pintunya dan menemukan Huaisang yang tengah mengemasi barang-barangnya. Tanpa sadar, Mingjue mengernyit tidak suka.
"Kenapa kau mengemasi barang-barangmu? Kau ingin liburan?" tanyanya berusaha berpikir positif.
"Ini? Aku akan kembali ke Shanghai. Uang yang kukumpulkan sudah cukup untuk hidup satu tahun." Nie Huaisang menjawab lembut disertai tawa renyah.
Ekspresi Nie Mingjue memburuk. Hatinya sakit mendengar apa yang Huaisang katakan. Seberapa banyak yang dia kumpulkan? Selama beberapa hari ini hanya 5000 dollar yang Mingjue berikan padanya. Nie Mingjue tidak bisa membayangkan bagaimana hidup satu tahun hanya dengan 5000 dollar. Itu pun jika sebagian uangnya belum Huaisang gunakan untuk top up game. Mungkin monolognya yang membuat adik tirinya itu ingin kembali.
"Tidak perlu kembali. Tinggallah di sini. Kau boleh memalakku sepuasmu," ujar Nie Mingjue.
"Sungguh?" tanya Huaisang bersemangat.
"Ya."
"Kalau begitu aku minta rumah dan mobil!" Huaisang berseru semangat.
Nie Mingjue mengernyit.
"Jangan ngelunjak. Kau tinggal di rumahku dan akan diantar jika pergi ke mana pun. Kau masih ingat perjanjian kita kalau kau milikku, 'kan? Aku tidak akan pernah melupakan hal itu."
Nie Huaisang tertawa lepas.
"Baiklah Gege~ Aku milikmu. Hm? Apakah bunga ini untukku?" Huaisang berjalan mendekati Nie Mingjue. Dia mengambil bunga dari tangan Nie Mingjue. Pemuda itu menghirup aromanya sebentar.
"Ya, itu untukmu," jawabnya.
Nie Huaisang tersenyum. Dia menjinjit lalu mengecup pipi Nie Mingjue.
"Ternyata Gege romantis juga. Terima kasih bunganya, aku menyayangimu."
Setelah mengatakan hal itu, Huaisang kembali ke kamarnya untuk membongkar barang-barang yang sudah dia kemas.
.
.
Entry: Leeya
azaleeiya_kirmizi
Punya teman anak orang kaya memang menguntungkan, cuy. Catatan, orangnya harus yang baik hati, oke? Bukan yang medit kalau kita minta sumbangan.
"Reo, tolong sedekahkan sedikit hartamu untuk rakyat jelata ini bayar kas." Aku memohon pada pemuda yang bergelimang uang itu.
"Modal kas mah itu kecil. Nanti aku lunasin buat sebulan," jawab Reo.
"Kalau sampai setahun? Eh, enggak deh, sampai lulus aja gimana?"
Lumayan uang jajan buat jatah bayar kas bisa belikan ke merchandise para husbu-ku, hehehe.
Jtak!
Nagi memukul belakang kepalaku. Pemuda lesu itu menggerutu, "Itu namanya kamu malak, [Name]."
"Terus apa bedanya kamu yang minta Reo buat top up kristal di game!"
Reo tidak keberatan sebenarnya memberikan beberapa jumlah uang untuk temannya, tapi kalau terus-terusan memang seperti pemerasan secara tidak langsung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top