[04] Langkah, Maret

Monthly Prompt Maret
[Memulai/Beginning]
Week 4: Langkah/Step

.
.

Entry: Kumi
NikishimaKumiko

"Tidak, Reo! Aku masih bisa melangkah, kok!" sanggah Kumiko sembari mengembungkan pipinya kesal. Ia mencoba memukul-mukul pelan punggung pemuda berambut ungu yang kini tengah menggendongnya, meminta untuk turun. Namun nihil, sosok itu semakin menguatkan pegangannya, menggenggam kakinya dengan gagah dan kuat.

Reo, nama pemuda itu, mendengkus kasar. Ia tidak bisa membiarkan pacarnya kelelahan karena bisa berujung gadis itu jatuh sakit lagi, "Kau sudah makan siang belum?"

Kumiko mengalihkan pandangannya, tak memberikan jawaban. Kalau sudah begini, Reo paham betul bahwa gadis itu melupakannya karena terlalu sibuk menyiapkan segalanya. Reo berjalan, membiarkan keheningan mengalir hingga Kumiko mengangkat suara.

"Apa ... kau marah?" tanyanya cukup takut-takut.

"Bohong jika kubilang aku tidak marah. Kau selalu seperti ini sejak pertama kali kita bertemu di kelas bersama Nagi. Apa kau tahu? Aku tidak ingin kehilanganmu. Kupikir, aku akan gila jika melihatmu pingsan karena terlalu banyak bekerja lagi," jelas Reo, masih memandang lurus pada koridor ruangan. Sebentar lagi, latih tandingnya akan dimulai, tetapi sepenting apa pun tujuan mimpinya, dia tidak ingin kehilangan cahayanya.

Pelukan itu Kumiko eratkan, iris birunya menatap sendu. Ia menyandarkan dagunya pada bahu tegap sang pemuda dan bergumam pelan, "Aku minta maaf. Jangan marah, ya?"

"Hah ... kalau kau seperti ini, mana bisa aku masih marah? Aku tahu, kalau kau berusaha sebaik mungkin agar para pemain di Blue Lock bisa mengeluarkan potensinya semaksimal mungkin. Tetapi, semuanya itu akan sia-sia kalau kau jatuh sakit. Setelah ini, jangan lupa makan, ya."

"Hehe, oke!" sahut Kumiko sembari terkekeh riang, membuat Reo hanya bisa mengulas senyum pasrah melihat tingkah jenaka sang gadis kesayangannya.

"Jangan hanya makan mie instan."

Kumiko mengernyitkan dahi, niatnya tertangkap basah, "Ugh, Reo memang tahu ... segalanya tentangku, ya."

.
.

Entry: Sachan
sachandez

Gintoki memperhatikan Kagura yang berjalan sambil melompat-lompat, sementara tangan kecilnya masih memegang payungnya dengan erat. Ia tertawa dengan gembira, melangkahkan kaki kecilnya terlalu cepat. Sejenak hampir tersandung batu, namun beruntung saja tak jatuh.

"Perhatikan langkahmu, Kagura-chan! Papa tak punya uang untuk mengobati lukamu!" Gintoki berteriak, menggelengkan kepala ketika hanya mendapati acungan jempol dari Kagura.

Ia menoleh ke sisinya, mendapati Shinsuke yang menatapnya dengan tak puas.

"Apa?" Apa lagi salahnya?!

Shinsuke menghela napas, menatap kembali ke gadis kecil mereka yang masih melompat-lompat dengan hiperaktif. "Buah jatuh tak jauh dari pohonnya."

"Hei! Dia juga anakmu, tahu!"

.
.

Entry: Raine
RaindeAlthera

Langkah kaki Huaisang terasa berat. Wajah mungilnya menatap lurus ke depan. Di sana, sebuah panggung yang tengah kosong sedng menunggunya untuk naik ke atas sana.

Hari ini ada pertunjukan untuk anak-anak seusianya di klan. Sebagai anak pemimpin klan, Huaisang mendapat tempat terakhir sebagai penutup acara. Namun, dua orang yang ditunggu-tunggu sampai saat ini juga tidak datang.

"Tuan Muda Kedua, apakah Anda tidak akan tampil?" seorang panitia bertanya.

Huaisang tersenyum. Dia menganggukkan kepala lalu berujar, "Aku akan tampil. Aku naik sekarang."

Panitia itu mengangguk diikuti dengan Huaisang yang melangkah ke panggung. Namun, setiap langkahnya sangat lama, berusaha mengundur waktu selama mungkin agar dua orang yang ditunggunya datang. Sayang sekali, sampai pertunjukan selesai pun mereka berdua tidak kelihatan.

Huaisang memaksakan senyuman. Dia turun dari panggung dengan perasaan berat.

"Ayah dan Kakak hari ini juga tidak bisa datang," lirihnya.

Untuk ke sekian kalinya, Huaisang pulang sendirian ke ruangannya di saat anak-anak seumuran masih bersenang-senang dengan keluarga mereka.

.
.

Entry: Fin
PolarisF

Semenjak kamu tidak lagi ada di sini, langkahku berhenti seutuhnya.

"Senpai, Baji-san tidak akan senang jika kau terus begini." Chifuyu menatap sendu, wajahnya menampakkan rasa khawatir. baginya yang juga terus melangkah beriringan bersama sang mantan kapten, Chifuyu memahami luka yang seakan tidak akan pernah hilang itu.

Gadis di hadapannya tidak bergeming, masih mengistirahatkan kepalanya di atas batu nisan berukirkan nama cinta pertamanya. Pandangannya mengawang, tidak ada air mata yang titik, tapi suasana sore itu bak kelak abadi dengan pilu.

"Aku baik-baik saja, pulang lah."

Lucu, kakinya terasa mati rasa.

"... kau sama sekali tidak baik-baik saja," Chifuyu membantahnya, merasa semakin risau.

"... Kau benar." Ia menanggapi, sebelum tawa lepasnya menyusul.

"Rasanya seperti kakiku diambil."

.
.

Entry: Kazare
Kazaremegamine_

"Setelah kuanalisis, hasilnya sangat bagus. Kau sudah tidak lagi menunjukkan tanda-tanda seperti itu."

Kakinya melangkah, dengan mata yang fokus pada beberapa lembar kertas dalam genggaman. Ia mendekati seorang laki-laki yang tengah duduk bersandar di sebuah kursi. Setelahnya, ia menyerahkan lembaran-lembaran kertas itu padanya.

"Hmm." Laki-laki itu bergumam, kemudian tersenyum melihat kertas yang baru saja diberikan padanya. "Terima kasih, Dokter Mofu," katanya lalu bangkit dari duduknya.

"Apa Anda akan langsung pulang?" Toto menghampiri Mofu yang tengah membereskan barang di tasnya. Sepertinya Mofu memang tengah terburu-buru.

"Iya," balas Mofu, "jasku di mana, ya. Satu jam lagi ada jadwal operasi," sambungnya yang masih memeriksa isi tas. Beberapa barangnya terjatuh kala ia membongkar isi tas, tetapi dengan sigap Toto membantu Mofu untuk membereskannya lagi.

"Ini, di kursi," kata Ron sembari menyerahkan sebuah jas berwarna putih pada Mofu.

Mofu menerimanya dengan senang, kemudian membalas, "Terima kasih, Ron! Aku lupa tadi kutaruh di kursi. Baiklah, aku pergi dulu, ya."

Perempuan berambut merah muda cerah itu melambai. Satu matanya yang tidak tertutup perban, melengkung seperti bulan sabit. Baru beberapa langkah berjalan, ia sudah dibuat terkejut.

"Kucing? Hampir saja aku menginjak mereka."

Toto hanya bisa sweat drop untuk kesekian kalinya. Kemudian ia mengantar Mofu sampai ke pintu. "Kucingnya ada di mana-mana, jadi perhatikan langkah Anda."

Sementara Toto mengantar Mofu ke pintu, Ron malah bermain seutas pita dengan kucing-kucing kecilnya.

.
.

Entry: Ilya
clawyer_sz

"Ayo, tidak kusangka kau selemah ini. Langkahmu juga kecil sekali."

Iblis merah itu entah kenapa dengan baik hati tidak meninggalkanku naik bukit sendirian, meski sedari tadi menyerocos hal-hal yang membuatku ingin memukul kepala merahnya.

"Sabar!" hardikku. Berada di kelas 3-E tidak membuatku terbiasa naik bukit ini. Lagipula orang gila mana yang mendiskriminasi kelas sampai sebegininya?!

"Kakimu pendek, sih. Ayo, satu langkah lagi saja, Dik." Tangan Karma berniat meraih lenganku, hendak menuntunku tapi langsung kutepis keras-keras.

"Oh, ayolah ... cuma mau membantu. Lagipula, kalau kau berjalan selambat ini kita bakal telat." Wah, lucu. Anak yang terbiasa membolos ini takut telat masuk kelas.

Aku memberinya tatapan sangsi. "Sejak kapan seorang Akabane Karma peduli?"

Karma tidak menjawab, cuma mengeluarkan senyum setannya. Ah, mau berbuat jail lagi.

"Memangnya aku bakal kau apakan supaya tidak telat? Kaugendong?" godaku pada akhirnya.

"Sebenarnya, aku mau menakutimu saja, sih, biar kau berlari cepat. Kau ‘kan penakut, dan di sini banyak hantunya ...." Karma memasang wajah menyeramkan, kedua tangannya memegang pundakku perlahan dan semakin mendekat ... lalu senyum iblisnya! Setan memang Karma! Di sini memang remang-remang karena pepohonan, tapi mana ada hantu siang-siang ... 'kan? Lagipula, mereka pasti takut dengan Karma yang sudah mirip iblis.

"Tapi kalau mau kugendong juga bukan ide buruk." Apa? Dia kira aku bakal salah tingkah dengan kejailannya yang seperti itu? Paling-paling dia bohong, lalu berlari meninggalkanku sendirian.

Oh, lihatlah. Tiba-tiba, Karma berjongkok di depanku, mengisyaratkanku untuk naik ke pung—hah?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top