[02] Surat, April
Monthly Prompt April
[Jatuh Cinta/Fall in Love]
Week 2: Surat/Letter
.
.
Entry: Kumi
NikishimaKumiko
"Ada surat mencurigakan yang kuterima di Blue Lock! Memangnya, orang berbahaya bisa masuk sini, ya, Ego-san?" tanya Kumiko seraya mengernyit, penuh keheranan. Jari-jemarinya memegang sebuah kertas putih yang telah dikeluarkan dari amplop, masih berbentuk lipatan. Ia belum melihat isinya karena perasaan was-was belum saja hilang.
Pria berambut hitam dengan model bob dan kacamata itu memutar irisnya malas, lantas mengendikkan bahu acuh, "Menurutmu bagaimana, kelinci kecil? Kalaupun ada orang yang mengirimkanmu surat, pasti hanya para pemain di sini saja yang bisa."
"Atau, mungkin saja itu surat cinta, Kumi-chan," sahut Anri dengan beberapa dokumen, yang baru saja masuk di ruangan. Iris milik wanita itu bergulir, memperhatikan sekeliling ruangan, sebelum menegur, "Astaga, kalian berdua makan mie instan lagi?! Sudah berapa kali kubilang kalau perhatikan kesehatan kalian."
Kumiko hanya mengalihkan pandangannya, tak merasa bersalah. Sementara Ego masih dengan sifat cueknya akan omelan Anri. Lalu, alih-alih peduli dengan nasihat Anri, Kumiko pun memutuskan untuk membuka surat tersebut. Setelah turnamen U-20, mungkin saja Reo mencoba menghubunginya lewat cara romantis seperti ini.
Tawa kecil lolos dari bibirnya, mengingat kembali memori di mana Reo bersikap protektif padanya maupun Nagi. Hanya saja, harapan itu sirna, tatkala membaca tulisan di dalamnya.
'Jangan dekati Isagi Yoichi selama aku tidak ada, dasar bodoh.'
Segera, kertas itu ia remukkan. Tanpa mencari tahu siapa pengirim, Kumiko sangat mengenal tulisan tangan dan kalimat dingin menusuk tersebut. Siapa lagi kalau bukan adiknya, Itoshi Rin?
.
.
Entry: Rin
eskrimlalala
Kaeya was really not expecting Diluc to reply.
His words on his first letter saying, "You don't have to reply.", was something he shakily wrote, hand still sore from the burns, and eyes watering—not that he would ever tell anyone that. He just heard the big news and he needed to tell Diluc. Diluc had to know.
Out of desperation or shame or obligation, Kaeya wrote a second one, despite not receiving a reply back—which is fine, because he did state Diluc didn't have to reply. He had heard about Diluc's plan and gave him unwanted advice about leaving at night.
The heavy feeling in his heart did not lessen.
At this point, writing letters for Diluc felt like ... therapy. Cathartic. He continued writing more and only sending ones that have actual news in it (Eroch and the winery). And despite never receiving a reply back, Kaeya was fine with it.
Until he actually got one.
He remembered how his hands shook even more than usual as he grabbed the letter opener, opened up the folded paper, and blinked his eyes as he tried to make out the words.
Kaeya couldn't process the emotions flowing through him after reading the very short reply from Diluc—it was still a reply! Addressed to him!—so he sat down and wrote another letter. And another. And another.
He scrapped the drafts, feeling like they were too raw, and finally send the final version of it. He justified the unnecessary response by writing the news of Eroch's arrest.
Kaeya didn't receive a reply from that one, but Diluc came back. To Mondstadt.
He found Diluc's vigilante alter ago hilarious and wrote a letter about it. Didn't even think about how Diluc was in Mondstadt already. Kaeya could talk to him directly, but it wouldn't be as fun.
(Kaeya knew he was grasping desperately. He knew.)
Unfortunately, or fortunately, Diluc's alter ego had received too much attention, forcing the Knights of Favonius to do something about it. Kaeya was the lucky person assigned for the case. It was enough reason to send Diluc another letter. And another. And another filling them with intel about the knights and the Abyss Order.
When he wrote, "Perhaps the Darknight Hero and the Knights of Favonius should team up. That might guarantee that things will go off without a hitch, hmm?", he did not mean anything by it. It was simple teasing. Kaeya definitely wasn't worrying about Diluc.
This time he also wasn't expecting a reply back. But he did. He got the second reply in more than four years of sending Diluc letters. His hands didn't shook this time. His burns weren't even aching anymore.
This reply from Diluc was just as short as the last one. Just a paragraph about how he would still parade around Mondstadt as the Darknight Hero. Along with an advice:
"Take better care of yourself instead."
That day, after locking himself up in his office despite his claims of not liking paperwork, Kaeya emerged with poorly concealed red-rimmed eye.
.
.
Entry: Kazare
Kazaremegamine_
“Hello, Dandelion.
Mungkin ini akan sangat aneh jika dibaca. Tetapi aku akan tetap menuliskannya.
Apa Dandelion ingat di musim dingin ketika kita pertama bertemu? Kala itu sangat dingin, pun pikiranku sangat kacau. Namun, saat aku menonton pertunjukan teater itu, aku merasa tertimpuk oleh bola salju yang besar.
Aku sungguh beruntung dapat diundang untuk menonton teater itu oleh guruku. Siapa yang akan menyangka jika duniaku yang semula sempit ini perlahan bertambah luas. Aku yang semula beranggapan bahwa musim dingin adalah _aku_, sekarang dapat menganggapnya dengan artian lain. Dengan sebuah arti yang lebih hidup dan indah.
Entah sejak kapan, tetapi aku baru menyadarinya akhir-akhir ini. Jika di musim dingin saat _itu_, diriku sudah tertaut.
Kemudian, musim semi datang. Musim semi yang sebelumnya tak pernah menghampiriku. Ternyata, di musim itu pun diriku masih tertaut. Tanpa kusadari.
Melihatmu bagaikan sedang melihat bunga-bunga yang bermekaran. Rasanya seperti sinar mentari berasal darimu. Lagi, tanpa kusadari ada sesuatu yang mekar selain bunga-bunga di musim semi.
Musim pun berputar, hingga tiba musim semi di tahun berikutnya. Entah diriku yang saat itu sangat tumpul atau bagaimana. Tetapi diriku yang sekarang yakin jika di musim itu, bunga-bunga yang mekar di tahun sebelumnya semakin mekar. Jika bunga itu dapat dilihat, pasti akan sangat indah.
Seperti sebuah lonceng yang bergetar ketika ia dipukul. Kala itu, aku dapat merasakan getarannya. Getaran yang masih sama hingga saat ini. Bahkan semakin besar.
Aku tidak berharap jika getaran itu juga dirasakan olehmu. Karena surat ini pun kutulis lalu kusimpan kembali. Seperti ada yang menahanku untuk mengirim ini. Sama seperti surat-surat tak terkirim yang lainnya.
Yang terakhir, aku beruntung dapat bertemu denganmu. Aku senang dapat mengenalmu. Aku bahagia dapat berada di sisimu.
Aku banyak belajar darimu. Terima kasih.
Sincere,
Hydrangea.”
.
.
Entry: Fin
PolarisF
Sejak hari itu, aku memiliki ratusan kata yang ingin kusampaikan padamu. Tiap botol dan goresan tintaku habis menuliskan tutur yang pernah berhenti, tentang sosokmu yang hadir terlalu singkat, seperti ilusi, dan caraku mencintaimu dalam sunyi.
Bahkan setelah 10 tahun ketidakhadiranmu, senyum yang dinaungi cahaya mentari itu masih kekal, bersama perasaanku yang belum jua memudar.
aku akan terus tumbuh, kemudian mengingatmu sebagai pemdua yang lebih muda dariku.
mungkin suatu saat di akhir hidupku, akhirnya aku bisa bicara padamu.
mengungkapkan satu kalimat, yang kupastikan sampai tertulis di sepucuk surat.
"terima kasih."
.
.
Entry: Leeya
azaleeiya_kirmizi
Teruntuk,
Pangeran Musim Gugur
Kamu bukan hanya satu laki-laki di dunia ini. Namun, entah kenapa hatiku justru hanya tertuju padamu.
Syair yang tidak sengaja masuk ke telinga begitu menyejukkan kalbu. Indra pendengaranku seperti dibelai manja oleh suaramu.
Aku bertanya dalam hati, _siapakah engkau pemilik suara selembut angin?_
Kemudian aku bertanya dari satu orang ke orang lain, lalu mendapatkan kabar bahwa dirimu adalah Kaedehara Kazuha. Seorang pemuda yang tiap kali terlarut dalam syairnya ketika mencoba menyatu dengan angin.
Terima kasih sudah membacanya sampai akhir. Kuharap kamu segera membalas surat ini secepat yang engkau bisa.
Daripada,
[Last name] [Name]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top