[01] Sabar, September - Loti
Weekly 1 - Sabar
Pen name: Candy-Yerin
.
Terkadang aku berharap memiliki banyak uang untuk mewujudkan mimpiku.
"Hei, kau tahu? Teman sekelas kita berhasil diterima di sekolah seni!" ujar teman sekelas yang selalu up to date terhadap kabar apapun.
"Oh, benarkah? Hebaaat," ujarku terpaksa menghentikan goresan pensil pada buku sketsa. "Aku harus mengucapkan selamat padanya langsung. Kau tahu di mana dia sekarang?" tanyaku balik pada si Penggosip.
"Aaah kurasa dia sedang di ruang guru. Eh, tapi sebelum kau pergi ... aku ingin menanyakan sesuatu," si Penggosip pun mengambil buku sketsaku tanpa izin.
Aku hanya bisa menghela napas. Kalau mengomel pun, pasti akan jadi keributan di kelas. Ini juga bukan pertama kalinya dia mengintip isi buku sketsaku.
"Kenapa kau tidak mendaftar ke sekolah seni juga? Gambarmu bagus, loh," ujar Si Penggosip sambil membolak-balik halaman buku sketsaku dengan hati-hati.
Seandainya ... seandainya aku bisa. Akan tetapi, untuk saat ini, aku bahkan tidak memiliki pilihan lain untuk menjadikan hobiku sebagai karir.
"Kenapa diam saja?" tanya si Penggosip seraya mengembalikan buku sketsaku.
Aku tertawa hambar, "Aaah ... aku rasa mungkin lain kali saja? Sekolah seni itu mahal. Jadi ... aku akan pelajari bisnis dulu sampai uangnya cukup untuk lanjut ke sekolah seni," jawabku canggung.
Si Penggosip malah menyernyit bingung, "Sekolah bisnis? Bukankah itu artinya kau sudah tua saat selesai mengumpulkan uang? Bagaimana kalau kau terlanjur menikah dan tidak sempat menempuh pendidikan sekolah seni?" tanya Si Penggosip lagi, sukses membuatku sebal.
"Aduuuh, maaf, ya. Aku harus cepat-cepat ke ruang guru. Buku tugas matematika anak-anak kelas belum dikumpulkan!" elakku beralasan. Tanpa menunggu jawaban darinya, aku langsung melesat ke meja guru di depan kelas dan mengambil tumpukkan buku di sana.
Si Penggosip memanggilku berkali-kali, akan tetapi aku bergegas keluar tanpa mempedulikannya. Setelah cukup jauh, aku menghela napas panjang. Akhirnya ... aku bisa terlepas dari orang menyebalkan itu.
"Lagipula, kenapa peduli banget dengan urusan hidup orang lain, sih?" gerutuku cemberut.
Aku menatap refleksi wajahku pada jendela kelas lain. Sejujurnya, memang bohong jika aku bilang tidak berharap masuk ke sekolah seni. Akan tetapi, dengan kondisi finansial orangtuaku ... aku harus bersabar dan mencari jalan lain untuk mewujudkannya.
Mungkin sekarang aku tidak bisa bersekolah seni. Akan tetapi, siapa bilang aku akan berhenti melukis? Di dunia ini tidak ada yang bisa memprediksi masa depan. Dan aku yakin, selama berusaha dan sabar menempa diri, pasti takdir akan membukakan jalan untukku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top