Posesive admirer - Yandere! Dazai x reader

(Part 2) - end.

Warning !!
Lime

***

Satu, jika kabut muncul. Larilah!

Aroma yang harum, mengelitik indera penciumanku.

Apa aku masak? Seingatku aku tidak membuat apa-apa, dari mana aroma ini? Ku pikir ini hanya mimpi, tapi aroma ini terlalu nyata.

Bahkan saat aku membuka mata secara perlahan, aroma itu tetap tercium.

Terbangun dari sofa, dengan menopang kepala. Aku beberapa kali mengerjapkan mata sampai akhirnya terbuka seutuhnya.

Pandangan ku alihkan pada dapur--tempat yang ku yakini asal dari aroma yang enak ini--dan mendapat seseorang berdiri di sana.

"D-Dazai-san, apa yang kau lakukan!?" tanyaku pada pria itu--orang yang kini berdiri di sana.

Dazai melihat ke arahku dan tersenyum, "ah kau sudah bangun."

"Kau mau makan? Kupikir kau lapar karena sekarang sudah malam. Jadi aku membuatkan kita berdua makan malam," lanjutnya.

Aku menggeleng dengan cepat, "kenapa kau bisa ada disini?" tanyaku.

Aku tau dia akan datang, tapi bagaimana cari dia masuk saat  aku tertidur? Aku yakin sudah menguncinya sebelum tidur. Dan tidak pernah sekalipun aku memberikan kunci cadangan pada pria ini.

"Bukankah tadi sudah ku telfon jika aku akan datang," kata Dazai.

Aku tau itu, tapi bukan itu yang ku maksud.

"Tidak, bagaimana cara kau mas-" ucapanku terhenti, begitu perhatian tertuju pada pintu apartement. Lubang kunci apartement di penuhi dengan kawat, sedikit reot. Tapi pasti berfungsi.

Karena buktinya sekarang Dazai berada disini.

"Hngg?" Dazai menoleh ke arahku dengan perlahan. Manik hazel yang sedikit berkilau perlahan redup, membawa suasana apartement menjadi berat.

"Ti-tidak," jawabku.

Ingin sekali kukutuk diriku yang menjawab pertanyannya dengan terbata.

Sreet

Deg.

Jantungku serasa berhenti mendegar suara itu. Dengan takut aku kembali melihat Dazai, tampak jika sebelah tangan pria itu memegang pisau dan sedang memotong sayuran.

Kenapa aku begitu paranoid? Jujur saja, perlahan aku mulai takut dengan pria ini.

Drt drt

Ponsel berdering, segera mengambil benda tersebut aku melihat nama Atsushi terpampang jelas di layar.

"Ha-halo Atsushi-kun."

Tak

Seketika, aku mendengar suara ketukan dari pisau dan talenan memekakan telinga. Sekujur tubuh sontak merinding, merasakan tekanan dalam ruangan semakin berat.

Menepis segala ketakutan, aku kembali mendekatkan ponsel pada telinga.

"[N]-[Name]-chan, ha-ti- ha," Atsushi berkata dengan terbata, nafasnya terdengar tidak beraturan dan berat. Samar-samar aku dapat mendengar suaranya yang merintih sakit.

"Halo Atsushi-kun, apa yang terjadi-" aku tidak menyelesaikan kalimat saat merasakan seseorang mengambil ponselku dan selanjutnya, suara benda terjatuh terdengar cukup keras.

Lantas saja aku melihat benda itu, dan mendapati ponsel milikku yang sudah tidak berbentuk lagi.

"Padahal sudah kubilang untuk tidak kesini, tapi orang itu melawan da-"

"A-apa yang kau lakukan pada Atsushi-kun?"

Pandanganku kini tertuju pada Dazai, menatapnya dengan tajam serta takut setelah menjaga jarak cukup aman.

"Hm? Hanya mengurungnya agar tidak ke sini, tidak lebih."

Bohong

"Ah- Akhirnya hanya tinggal kite berdua [Name]-chan," Dazai berjalan mendekat, masih dengan menggunakan apron pada tubuhnya. Ia memelukku.

"Da-Dazai-san, lepaskan."

Dua, Jika kau tertangkap. Jangan pernah takut atau... Ia akan menyakitimu.

Aku berusaha mendorong tubuhnya menjauh. Dapat kurasakan tubuhku membentur sofa saat Dazai semakin berusaha menempelkan tubuhnya. Tangannya meraih daguku, membawa manik kami bertemu dan saling tatap dalam waktu yang cukup lama.

"[Name]-chan, aku sudah lama suka padamu. Kau harus tau itu," Dazai mendekatkan wajahnya. Semakin dekat sampai aku merasakan ia menempelkan bibirnya pada bibirku.

Tanganku yang terus berusaha mendorong tubuhnya, seketika di genggamnya dengan satu tangan. Sebelah tangannya lainnya meraih saku trench coat dan mengeluarkan sesuatu dari sana, tali.

Tanpa melepaskan ciumannya pada bibirku yang semakin dalam, ia mengikat kedua tanganku dengan tali tersebut. Ikatannya sangat kuat, membuat rasa nyeri saat tanganku bergesekan dengan benda itu.

Tak butuh waktu lama, ia melepaskan ciumannya. Membiarkan dirinya sendiri bernafas, lalu melepaskan apron yang di pakainya.

Dengan tali yang tersisa ia meraih kedua kakiku, kembali mengikatnya dengan kuat.

"Da-zai...-"

"Sttt.. Ini hanya agar kau tidak memberontak," ia menempelkan jari telunjuknya pada bibirku.

Menatap tidak percaya, tubuh tergerak mencoba untuk membebaskan diri. Tapi yang ku dapat hanyalah rasa nyeri terus dan terus.

Ia kembali mendorongku, meletakan kedua tanganku di atas kepala dan tengkurap di atasku.

Wajahnya kembali mendekat, melahap bibirku, memaksa untuk lidahnya agar masuk.

Tangannya menggerayang, memegang kancing kemeja yang ku kenakan dan  melepasnya dari atas sampai bawah.

Tidak ku berikan akses bagi lidahnya, ia mengigit kecil bibirku, sedikit mengeluh sakit membuat akses terbuka dengan mudahnya. Lidahnya masuk.

Tangannya kembali bergerak turun. Dapat kurasakan tangannya berada pada paha, menyibak rok yang ku kenakan dan menyentuh bagian yang tidak seharusnya di sentuh.

Aku semakin memberontak. Tidak dapat menggunakan tangan, aku menggunakan kaki untuk membebaskan diri.

Keadaan kaki yang kondisi terikat, membuatku sulit untuk bergerak. Kaki total tidak bisa di gerakan saat Dazai mengapitnya.

Melepaskan ciuman yang ia lakukan, dapat ku lihat sebuah benang tipis menyambung antara bibir kami.

Tangannya yang sudah menyentuh sesuatu di bawah sana, bergerak menjelajah.

"D-Dazai-san, to-tolong lepaskan," air mata melolos turun, mengalir perlahan membuat sebuah sungai kecil pada pipiku.

Dazai menatapku dengan kedua alis yang turun, tapi tidak butuh waktu lama untuk kembali menajam di sertai seringian kecil dari bibirnya, "apa [Name]-chan ku ketakutan?"

Ku rasakan jarinya mengusap lubang kewanitaanku, sesuatu secara tiba-tiba masuk, sontak diriku melenguh kecil entah karena sakit atau karena sensasi yang belum pernah kurasakan sebelumnya.

"Apa ini enak [Name]-chan?"

"Da-dazai, tolong lepaskan a-aku hah...," kata-kata tidak dapat keluar dengan normal.

Aku dapat merasakan di bawah sana bergerak cepat, masuk dan keluar. Tidak butuh waktu lama untuk Dazai kembali menambahkan jarinya secara berkala.

Aku tidak dapat menahan untuk tidak bersuara, air mata terus saja mengalir dengan deras. Dan pada saat titik tertentu, tubuhku mengejang.

"Da-Dazai!" saat itu, tubuhku secara reflek tertekuk, dan perasaan lega mengalir keluar dari bawah sana.

Dazai memperlihatkan jarinya yang basah, "kau keluar banyak sekali [Name]-chan."

Bulu kuduk berdiri, merasakan sebuah benda dingin tergeletak di atas perut. Dazai menaruh pisau di atas perut. Kutekan kan.

Pisau. Di. Atas. Perut.

"Ah... Ekspresimu sangat luar biasa [Name]-chan," katanya.

Pisau yang kini tergeletak terangkat, mencancapkan ujungnya dan bergerak naik dengan perlahan.

Semakin banyak air mata yang keluar. Aku takut.

"[Name]-chan, perlu kau tahu jika aku sudah sangat lama suka padamu. Sangat lama," katanya dengan raut sedih.

Ia menjauhkan pisau tersebut, meletakkan kepalanya pada dadaku dan kembali melanjutkan kalimatnya.

"Maka dari itu, setiap hari aku memerhatikanmu dari seberang sana," jarinya terangkat. Menunjuk tempat dimana aku merasa di amati.

Tentu saja fakta itu tidak dapat menghilangkan keterjutanku. Jika selama ini orang yang ku takuti berada di depanku.

"Dan sekarang, kau tidak boleh pergi [Name]-chan," ia kembali menatapku.

Tidak butuh waktu lama, untuk merasakan kembali benda dingin itu menyentuh permukaan kulit. Kali ini pada leher.

Aku melihat ke arah Dazai, menggeleng pelan dengan air mata yang terus turun. Dazai tersenyum.

Sret

Benda dingin itu menggores kulit. Dengan cepat kurasakan cairan mengucur deras pada leherku.

Perih, sakit, itulah yang kurasakan. Dazai mendekatkan wajahnya, menghirup dalam pada leherku--(terasa dari hawa nafasnya).

Dan perih kian menjadi, saat Dazai menggigit leher. Ia bagaikan vampir, menghisap dengan kuat tepat pada luka sayatan. Membuat rasa sakit semakin menjadi-jadi. Aku tidak dapat menahan diri untuk tidak berteriak serta menangis sekencang-kencangnya.

Dalam keadaan seperti ini, kurasakan tangannya meraih pundakku, bergerak menggerayang hingga di kedua payudaraku, melepaskan kait--yang berada di tengah--dan meremasnya dengan kuat.

Aku semakin merintih sakit. Tangannya terus meremas dengan sesekali memainkan benda kecil disana.

Tubuhku lemas. Dari sudut pandangku, dapat kulihat sofa berwarna biru laut ini telah kotor dengan noda merah--yang ku yakini sebagai darahku.

Dazai mengangkat wajahnya, melihatku dengan seringai serta bibir tipisnya yang berubah warna menjadi merah.

"[Name]-chan, kau harus terus bersamaku," kurasakan pegangannya pada tanganku terlepas. Tidak menyia-nyiakan kesempatan, sikut bergera memukul wajah pria gila di atasku, membuatnya sedikit tersingkir dan mengaduh sakit.

Dan terakhir...

Jangan pernah pergi, atau ia akan membunuhmu...

Berusaha bangun, bangkit dari sofa, berniat berlari ke pintu. Aku lupa dengan keadaan kaki yang masih terikat, mengakibatkan dentumah keras terima di dagu, dan menambah rasa sakit pada tenguk.

Racauan tidak jelas terus keluar dari bibirku, air mata semakin banyak yang turun dengam tubuhku yang terus menggeliat menuju pintu. Tidak peduli dengan tubuh yang hampir terbuka seutuhnya--mengingat bra yang kukenakan sudah terlepas. Aku hanya ingin keluar dari sini.

"[Name]-chan, perlu kau ketahui aku benci penolakan," perlahan langkah berat mendekat, aku mempercepat gerakan.

Saat kaki tidak bisa bergerak, aku menoleh ke belakang, mendapati wajah Dazai yang tertunduk dengan aura gelap yamg mengitari sekitar tubuhnya. Aku sudah tidak tahu apa yang akan ia lalukan padaku lagi.

"Bagaimana jika ku jadikan kau mayat hidup saja? Atau... Ku potong kaki dan tanganmu, agar kau tidak pergi. Dengan begitu kita bisa terus bersama."

'Tuhan tolong aku'

***

Maaf kalo jelek dan gak puas :'''

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top