Chapter 5
"Bagaimana persiapan Asian Tour Concert Alia?" tanya Leon saat membuka meeting siang ini. Di hadapannya sudah ada Event Coordinator dan Project manager yang menangani acara.
Saat ini perusahaan tengah mengadakan rapat dengan tujuan untuk mengecek berapa proyek yang sedang berjalan. Salah satunya adalah konser keliling Asia yang akan dilakukan artis mereka. Leon sebagai pemimpin tentu saja mengharapkan hasil maksimal dari setiap rapat yang ia ikuti.
Jangan harapkan pemimpin pengertian dan siap membantu jika terjadi kesalahan. Leon yang dihadapan mereka adalah bos besar yang tidak akan segan untuk memecat pegawai yang dianggapnya tidak kompeten. Salah sedikit saja maka pekerjaan dan gaji yang jadi taruhan.
"Kami sudah menentukan 8 kota yang akan dikunjungi Alia," jelas si Event Coordinator. Di belakang terdapat layar PowerPoint yang menjelaskan persiapan konser.
"Kenapa 2 lagi belum? Bukankah harusnya 10 kota?"
"Karena kami melakukan penelitian sambil memilih, Pak. Kami mempertimbangkan tingkat antusiasme masyarakat disana terhadap musik pop Indonesia serta menghitung berapa keuntungan dan kerugian yang kira-kira akan kami dapatkan. Kami tidak bisa memilih kota yang terlalu besar namun minatnya sedikit. Dan karena musik Indonesia masih baru untuk diperkenalkan pada dunia, kemungkinan biaya yang dikeluarkan akan menjadi besar sekali. Itu juga harus kami pertimbangkan Pak," jawab si project manager berusaha membela diri.
"Bukannya saya memberikan kalian waktu hampir 1 tahun untuk melakukan persiapan, termasuk mencari venue konser? 2 tempat konser ini setahu saya sudah menjadi masalah internal tim sejak 2 bulan lalu 'kan. Benar, Brenda?"
'I... iya, Pak," jawab Brenda selaku project manager.
"Setahu saya, saya sudah mengingatkan kamu selaku project manager untuk segera membereskan masalah ini sebelum hari ini. Benar 'kan, Brenda?" tanya Leon lagi sambil menatapnya tajam. Tatapan yang dapat membunuh kedua calon korban di hadapannya.
Sebagai pimpinan yang sangat disiplin dalam menjalankan usahanya, ketepatan waktu adalah hal yang penting bagi Leon. Ia dapat bertahan hingga ke posisi paling atas karena kedisplinannya dalam bekerja, yang tentu saja disertai dengan kerja kerasnya yang tak kenal lelah. Oleh karena itu, keterlambatan dalam mengerjakan tugas, apalagi disertai alasan yang tidak masuk akal, sangat dibenci oleh Leon.
Hal yang semakin memperparah reputasi 2 orang di hadapannya saat ini dan menambah kekesalannya adalah karena sudah sering terjadi keterlambatan setiap kali mereka memegang event. Hal yang sangat berpotensi mencoreng nama baik perusahaan. Entah siapa atasan yang selalu menoleransi kesalahan mereka. Satu hal yang pasti. Itu bukan Leon.
Bersiap memberikan makian telak dan mengakhiri karir staf-nya sendiri, Leon yang baru ingin melanjutkan kalimatnya justru diinterupsi oleh suara ketukan pintu. Masih mempertahankan kekesalan yang sudah diubun-ubun, mau tidak mau Leon menyuruh siapa pun yang berada di balik pintu tersebut untuk masuk. Tak disangka, masuklah Jason, sang sekretaris, sambil membawa sebuah benda pipih di tangan kanannya. Pria itu tampak tergesa-gesa dan panik, membuat Leon yang melihat malah bingung.
"Ada apa?" tanya begitu Jason berdiri di sampingnya dan memberi hormat.
"Daniel ingin berbicara dengan Anda," jawab Jason sambil memberikan handphone pada Leon.
"What is it about? Apakah sepenting itu sampai kamu menginterupsi rapat ini?" tanya Leon dengan wajah kesalnya. Tatapan mematikan yang awalnya diberikan pada 2 orang yang sejak tadi menundukkan kepalanya jadi beralih pada Jason.
Ya. Jason tahu. Dia tahu tabiat bosnya. Dia tahu jika Leon tidak suka diinterupsi di tengah rapat. Namun dalam hal ini ia pun tak punya pilihan. Apalagi ketika Daniel mengatakan jika ini merupakan hal yang sangat penting dan berharap untuk segera berbicara dengan Leon.
Mengerti bahwa hal yang akan disampaikan merupakan masalah yang sangat private, Jason pun menjawab sambil berbisik di telinga sang pimpinan. "Ini, tentang Annie, Tuan. Ehm... dan juga tentang Miss Annabelle."
Mendengar nama sang putri dan mantan tunangannya membuat Leon membelalakan matanya karena kaget, meski pada akhirnya kembali terlihat tenang. Ia pun segera mengambil handphone tersebut dari tangan Jason dan berjalan keluar ruangan. Tepat sebelum ia membuka pintu, Leon pun berbalik dan menatap semua orang di ruangan tersebut dan berkata "Rapat ini belum selesai. Jangan ada yang keluar ruangan."
Begitu menemukan lorong yang sepi, Leon langsung berbicara pada Daniel yang sejak tadi menunggunya. "Apa terjadi sesuatu pada Annie, Daniel?"
"Tuan, maaf jika menginterupsi rapat Anda. Mengenai Anda yang tidak bisa datang dan bertemu dengan Miss Annabelle dan Miss Monique sudah saya sampaikan pada pihak sekolah. Tapi, saya juga menerima berita kalau ternyata selama ini Annie menerima tindakan penganiayaan selama tinggal di rumah. Menurut pengakuan Nona sendiri, yang melakukannya adalah Surti, Tuan. Karena itu Miss Anna sangat ingin bertemu dengan Anda dan tidak percaya pada Surti atau saya."
Mendengar penjelasan Daniel membuat Leon mengepalkan sebelah tangannya karena emosi yang hampir meledak. Niat hati tidak ingin bertemu dengan Annabelle untuk melampiaskan kekesalannya, justru ia yang sakit hati mendengar fakta yang tidak ia sangka. Ia tidak percaya jika putrinya teraniaya selama berjauhan dengannya. Bagaimana mungkin orang yang paling Leon percayai untuk melindungi justru yang paling mudah mencelakai?
"Apalagi?"
"Maksud Tuan?"
"Apalagi yang terjadi pada Annie?"
"Ehm... Annie sering tidak masuk sekolah sebenarnya. Namun itu semua ternyata ditutupi oleh Surti dari kita. Kalau berdasarkan investigasi Miss Monique, kemungkinan karena Surti tidak ingin pihak sekolah melihat lebam-lebam yang masih parah. Maka perlu menunggu hingga luka/lebam itu membaik atau menghilang baru boleh masuk sekolah. Selain itu, pihak sekolah juga ada foto bukti luka/lebam tersebut, juga hasil pemeriksaan Annie."
Penyesalan mulai memenuhi pikiran dan hati Leon. Tidak seharusnya ia meninggalkan Annie seorang diri. Entah sejak kapan ia benar-benar memperhatikan kesejahteraan putrinya. Ia mungkin terkesan 'jauh' dengan sang putri. Namun bukan berarti ia tidak mencintainya.
"Kamu sendiri bagaimana sampai tidak mengetahui hal itu?! I told you to take care of her while I was away! How come... Just How, Daniel?!"
"Sa... saya minta maaf, Tuan. Saya hanya ditugaskan untuk mengantar dan menjemput Annie saja dan memastikan pendidikannya. Selama ini Annie juga terlihat dekat sekali dengan Surti. Jadi saya tidak mencurigai apa-apa. Ma... maafkan saya, Tuan."
Tidak lagi mempedulikan permintaan maaf yang dilayangkan kepadanya, Leon pun langsung meminta berbicara kepada sosok yang dianggapnya lebih mengetahui seluk beluk permasalahan. "Belle... Maksudku Miss Annabelle... Dimana dia sekarang? Saya ingin berbicara dengannya sekarang. Tidak. Saya harus segera ke sekolah sekarang."
"Itu dia masalahnya Tuan."
"Apa maksudmu?" tanya Leon penasaran.
"Ehm... M... Miss Annabelle membawa pergi Annie. Sejak pulang sekolah, Miss Annabelle sudah menghilang dengan Annie. Sampai sekarang pihak sekolah sedang berusaha menghubungi Miss Annabelle tapi masih belum diangkat. Mr. Steven sangat meminta maaf mengenai hal ini pada Anda, Tuan."
Aneh. Bukannya merasa marah, Leon hanya mendengus kesal mendengarnya. Namun entah kenapa, ia merasa terbiasa dengan Anna dan keimpulsifannya. Sejak dulu.
"Lalu bagaimana dengan Surti?"
"Sepertinya Surti masih menunggu Annie tanpa tahu apa yang terjadi Tuan."
"Tahan dia dan jangan biarkan pergi kemana pun. Pastikan dia tidak tahu apa yang terjadi sehingga dia ga akan bisa kabur. Sekalian selidiki rumah dan cari tahu siapa saja yang melakukan kekerasan pada Annie serta saksi-saksinya. Aku ingin data lengkapnya malam ini juga."
"Baik, Tuan."
Daniel pikir tugasnya sudah selesai. Cukup melakukan apa yang baru saja diperintahkan. Baru saja ia mengucapkan selamat siang dan mengakhiri panggilannya, suara Leon di seberang sana justru membuatnya kembali mendekatkan handphone-nya ke telinganya. '
"Daniel."
"Ya Tuan?"
"Ada satu hal lagi yang harus kamu kerjakan. Dengarkan baik-baik karena saya tidak mengulangi 2x."
"Apa itu?"
Leon pun menjelaskan rencana yang baru saja terancang di pikirannya. Singkat, jelas, dan padat. Dia juga memastikan jika Daniel mengerti dengan tugasnya.
"Ingat, katakan pada Mr. Steven kalau saya mengizinkan Miss Annabelle membawa Annie. She can be with her as long as she needs. Selain itu, lakukan apa yang saya suruh dengan baik. No more failure this time."
Setelah memastikan tidak ada yang terlewat dan tidak ada pertanyaan, Leon pun mengakhiri panggilannya. Sebentar saja ia menyandarkan tubuhnya pada tembok lorong dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Berbalut emosi, sebuah senyum tipis pun terukir di wajahnya. Senyum bahagia? Tentu bukan! Senyum kemenangan? Ya. Senyum kemenangan. Senyum yang menyiratkan jika sang lawan akan segera masuk ke dalam perangkapnya.
My Dear Belle...
Why are you always so predictable?
***
"What the...???!!!"
?!!@#$%^&!!@$#@@#%$@#?
Anna masih tidak dapat menahan diri untuk mengumpat berkali-kali melihat 'hadiah' yang ada dihadapannya. Tersadar bahwa ruang kerja ayahnya tidak kedap suara, ia langsung membekap mulutnya dan berharap tidak ada yang mendengar perkataan kasarnya tersebut. Terlebih si kecil Annie.
Beberapa menit kemudian barulah Anna dapat menenangkan dirinya dan kembali memperhatikan apa yang ada di hadapannya. Dengan gemetar Anna mengambil dan membaca isi kertas tersebut sambil terduduk lemas. Sebuah gugatan dilayangkan kepadanya. Sebuah tuntutan dengan namanya sebagai terdakwa atas kasus penculikan. Penuntutnya sendiri adalah Daniel, yang tidak perlu lagi dicari tahu sosoknya.
Saat itu, entah mengapa, setitik penyesalan menghampirinya. Andai ia lebih sabar dalam memecahkan masalah Annie, andai dirinya mau menunggu dan mengikuti prosedur sekolah, tentunya tidak akan terjadi masalah seperti sekarang ini. Menyadari akibat kecerobohannya, sekarang Anna sungguh kebingungan. She realised she did it to herself. Entah apa yang harus ia lakukan sekarang.
Sempat lemas dan hilang tenaga, Anna pun berdiri dan berjalan mondar-mandir, berusaha menemukan solusi atas kemalangan yang datang akibat ulahnya sendiri. Menemukan secercah titik terang, Anna pun segera menghubungi pengacara sang papa. Syukurlah panggilannya langsung terjawab tidak sampai 5 detik.
"Halo, Annabelle?"
"Halo Om! Apa kabar?"
"Kabar Om Baik. Ngomong-ngomong, Anna, ada perlu apa kau sampai hubungi Om?"
"Eh iya Om... sebenarnya aku mau minta tolong. Tapi sebelumnya, aku mohon Om jangan kasih tau papa atau mama ya," mohon Anna dengan wajah memelasnya, meski tidak dapat dilihat lawan bicara.
"Wah sepertinya ini serius ya?" Suara Om Teddy, sang pengacara, tampak terkekeh di seberang sana. "Jarang-jarang Om dengar kau begini. Terakhir kali kau meminta tolong Om, kayanya waktu SMA waktu kasus geng kau itu dulu. Apa itu namanya? Yang flower - flower itu kan ya? Waktu itu kan kalian..."
Anna menarik napasnya dalam-dalam. Ia hampir saja lupa jika harus mempersiapkan stok kesabaran extra ketika berbicara dengan sahabat sekaligus penasihat hukum perusahaan ayahnya ini. Nostalgia pasti akan menjadi salah satu topik pembahasannya. Meski Anna ingin sekali langsung menuju ke topik utama, namun pada kenyataannya Anna harus menunggu setidaknya 10 menit ke depan sambil menikmati sesi flashback ala-ala bersama salah satu paman favoritnya ini.
"Jadi masalah apa yang sedang kau hadapi?" tanya Om Teddy setelah kembali ke masa kini.
Bersyukur karena sesi nostalgia berakhir, Anna pun mulai menceritakan kasusnya. Dimulai dari perkenalan dengan Annie, kejanggalan-kejanggalan dan kasus yang membuatnya membawa kabur sang murid, hingga datangnya surat tuntutan dari wali muridnya tersebut. Tidak ada yang terlewatkan.
"Jadi bagaimana menurut Om?"
"Hmmm... Jujur saja tindakan kau itu terlalu gegabah. Selain itu, posisi kau juga cukup terancam. Tapi, tenang saja Anna, Om akan coba bereskan kasus ini."
"Tanpa sepengetahuan keluarga aku kan Om?"
"Iya. Kau tidak perlu khawatir tentang itu. Pokoknya sekarang kau kirimkan itu semua berkas tuntutan si Daniel-daniel itu ke kantor. Sekalian hasil visum muridmu. Nanti Om akan mengajukan tuntutan balik ke mereka. Kalau ada dokumen-dokumen pendukung lainnya, kau harus juga kirimkan itu ke Om. Ngerti, Anna?"
"Iya Om, aku ngerti. Thank you so much ya Om. Om memang selalu yang terbaik!" jawab Anna dengan tulus.
Setelah mengakhiri panggilannya, Anna pun kembali duduk dan tenggelam dalam pemikirannya. Satu masalah sudah terpecahkan. Sekarang tinggal bagaimana mendapatkan dokumen-dokumen pendukung yang dapat memperkuat tuntutannya. Saat ini dokumen yang terdapat di tangannya, meski kuat, namun masih sedikit. Tak kehabisan akal, Anna pun memutuskan untuk menghubungi Tavella.
"Halo?"
"Halo, Miss Journalist. This is Anna. Lagi sibuk ga?"
"Well, a bit actually. But I still have time. Btw ini nomor baru?"
"Nope, this is my 2nd number."
"Oh, pantesan. Tumben banget lu sampai oakai second number."
"Well, actually, I need your help, Vel."
"What is it about, Na?"
"So, this is what happened..," Meminta sahabatnya mendengarkan dengan seksama, Anna pun kembali mengulangi ceritanya dari awal hingga akhir.
Terdengar helaan nafas panjang dari sang sahabat ketika Anna baru saja menyelesaikan kalimatnya. Anna pikir ia akan diomeli panjang lebar oleh Tavella. Toh ia sadar bahwa ini akibat ketidakhati-hatiannya. Namun, yang terjadu justru sebaliknya.
"So what can I do for you?"
"Gue perlu bantuan lu untuk cari tahu siapa ayah kandung dari Annie sebenarnya. Nah lu bisa mulai menelaah dari sosok si Daniel ini. I'll send you his address and phone number."
"Ok. Gue akan berusaha buat bantu lu sebisa gue. I'll give you info within this week then."
"Vel..."
"Hmm..."
"Lu ga marah sama gue?" tanya Anna dengan polosnya. Pasalnya Tavella adalah sahabat yang paling heboh dan paling cepat memborbardirnya dengan berbagai perkataan tajam yang menusuk telinga jika menemukan tingkah cerobohnya.
"Pernah gue marah sama lu di telepon?" tanya Tavella dengan nada datarnya.
"Eng... ngak sihh...," jawab Anna sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Good. Lu tahu kan kalau makanan enak tuh harus dimakan di tempat, bukan cuma dilihatin doang secara online? So, gue mau makan lu hidup-hidup and on the spot. "
"Oke. I'll make sure you get what you want when we meet," balas Anna lesu.
Ia tahu apa artinya itu. Entah diomeli habis-habisan di depan ketiga sahabatnya yang lain, didiamkan saat bertemu, atau mungkin dijadikan "one day maid" oleh si nona besar. Kalau boleh jujur, Anna mungkin akan memilih diomeli atau didiamkan saja daripada harus dijadikan pelayan. She hates commands.
"Btw, Vel..."
"What again?"
"Thanks for having my back..."
"Hm... Gue tutup ya. Bye."
Belum sempat Anna balas berpamitan, Tavella sudah mengakhiri panggilannya di seberang sana. Sahabatnya ini benar-benar agak anti 'romantisme' sepertinya. Baru mendengar ucapan terima kasih saja langsung menutup panggilan.
Tiba-tiba saja suara ketukan pintu terdengar dan muncullah kepala Bu Tuti sang pelayan. "Non, Non Annie sudah mandi dan makanan sudah diantarkan ke kamar ya,"
"Baik Bu. Saya segera ke sana."
Sambil melangkah keluar, hati kecil Anna berdoa. Semoga saja ia mengambil langkah yang benar. Karena jika tidak, bukan hanya dirinya yang menjadi taruhan.
O God, please help me...
***
Tiga hari telah berlalu sejak Anna membawa Annie bersamanya. Siang yang cukup terik membuat Anna enggan membawa Annie untuk pergi keluar rumah. Ia tidak mau Anna sakit karena kepanasan, apalagi di tengah proses penyembuhannya. Selain itu, Anna tidak mau terlalu sering memperlihatkan diri mereka di luar karena takut akan dapat di-track oleh pihak-pihak tertentu.
Oleh karena itu, saat ini Anna lebih memilih berada di ruang kerja ayahnya. Ia lebih memilih 'bekerja' di sana setelah menemani Annie tidur siang. Masih berkutat dengan berkas-berkas yang ia terima dari Tavella, Anna masih tidak percaya dengan fakta yang ia temukan.
"Vel, are you sure with these things? Already confirmed?" tanya Anna sambil menunjukkan berkas-berkas yang ia terima ke arah laptop.
Sekarang Anna sedang berdiskusi dengan Tavella dan Om Teddy mengenai langkah hukum yang akan mereka ambil. Tidak butuh waktu lama untuk jurnalis handal seperti Tavella dalam mengorek fakta-fakta yang tertutup sekalipun. Jangan lupakan koneksi yang ia punya. Jangankan jarum di tumpukan jerami, bahkan setitik debu pun dapat terlihat olehnya.
Semakin banyak dokumen-dokumen yang terkumpulkan bagaikan cahaya-cahaya terang yang mulai terkumpul jadi satu. Hanya saja, fakta yang mereka dapatkan kali ini dapat menjadi senjata makan tuan. Karena itu diskusi sangat dibutuhkan disini.
"You doubt my skill, sist?" tanya Tavella sambil menaikkan sebelah alisnya.
"You know I don't. It's just... I still can't believe it. That jerk..."
Anna tidak lagi melanjutkan kalimatnya. Ia hanya mendongakkan kepalanya sambil memejamkan kedua mata. Tanda bahwa ia cukup tertekan dengan keadaan ini. Fakta bahwa Leon adalah ayah dari Annie cukup mematahkan hatinya yang kedua kali. Bukan karena masalah relasi anak dan ayah yang menghancurkan Anna, tapi kehidupan liar pria itu yang membuat Anna geleng kepala.
Berpikir sejenak, pada akhirnya Anna kembali lagi menatap layar. "Jadi, menurut Om, kita harus gimana?"
"Ya, beberkan saja ke media, Na. Biar sekalian mereka tahu kalau si Leon itu pria tidak bertanggung jawab. Masa anaknya sendiri ditelantarkan, apalagi tadi kata kau dia suka main perempuan. Biar hancur saja reputasinya sekalian."
"Ya, menurutku juga begitu, Om. Aku benci kehidupan liarnya. Apalagi kelalaiannya dalam mengurus anak. Bisa-bisanya dia mengabaikan anaknya dalam kasus penganiayaan begini. Orang tua brengsek seperti dia harus diberi pelajaran," jawab Anna berapi-api.
"Ehm guys... Apa kalian yakin? Bukannya itu terlau ambisius?"
"Menurut Om ya, Apa yang dia lakukan juga sudah keterlaluan kok. Bukannya berterima kasih, bagaimana mungkin dia malah menuntut guru yang melindungi putrinya?"
"Tapi Om..."
"Tenang saja, Tavella. Kamu dan Anna pasti akan aman. Om jamin itu. Sekarang yang pasti kita tetap jalankan rencana awal saja. Om tetap akan menuntut si Daniel daniel itu. Lalu, kamu, Vel, harus memviralkan berita ini. Tp jangan sertakan wajah si Annie itu ya. Kasihan anak kecil. Masa depannya gelap nanti."
Tavella yang mendengar perintah Om Teddy hanya mengangguk pasrah. Sementara Anna yang awalnya masih bingung mulai bersemangat untuk menjalankan rencana mereka. Om Teddy sendiri memberikan dukungan penuh pada Anna.
"Baiklah. Meeting hari ini sampai di sini dulu. Thank you Om Teddy dan Tavella untuk bantuan kalian. So, we stick to plan A and we can execute it asap."
Jika mau ditanyakan siapa penggagas rencana ini, jawabannya adalah Anna dengan otak kreatifnya. Hanya saja, mengetahui fakta bahwa ia harus berhadapan dengan Leon sempat membuatnya gentar. Untunglah motivasi dari Om Teddy semakin menguatkan tekadnya untuk menghancurkan arogansi pria yang pernah menjadi sosok terpenting dalam hidupnya.
Leon pernah menjadi orang yang paling Anna jaga hatinya, paling ia rindukan kehadirannya, dan paling ia pedulikan setelah keluarganya. Namun sosok itu juga yang telah menghancurkan kepercayaannya sampai ke titik penghabisan. Sosok itu pulalah yang membuatnya belum mau menjalin hubungan serius dengan pria manapun sampai sekarang.
I never expect to face you again,
But I'm gonna do it for her...
You'll broke her heart,
so I'll break your life...
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top