Chapter 4


Waktu sudah menunjukkan pukul 12 siang. Waktu dimana para murid mengakhiri pelajaran mereka dan guru-guru siap untuk kegiatan mereka selanjutnya. Membereskan kelas, memeriksa tugas, serta merencanakan aktivitas di kelas untuk keesokan harinya.

Namun, berbeda dengan Anna. Siang ini ia tampak duduk di ruang kesehatan bersama dokter Meira yang sedang mengobati luka - luka Annie. Luka - luka tersebut kebanyakan berupa lebam. Ada yang masih terlihat baru, namun beberapa terlihat sudah lama dan mungkin hampir sembuh. Sisanya berupa goresan - goresan kecil yang hampir saja luput oleh mata.

Setelah selesai mengobati, dokter Meira segera menyuruh Annie beristirahat di ranjang pasien. Tentu saja anak itu tidak boleh tidur telentang akibat kondisi punggungnya. Akhirnya, ia pun tidur dalam posisi menyamping sambil memegang tangan Anna. Anak itu seperti takut kehilangannya. Mau tidak mau, Anna pun menunggu dan memastikan Annie tertidur dengan lelap, barulah setelah itu ia menghampiri dokter Meira.

"Lukanya bagaimana, dok? Apa bisa cepat sembuh?" tanya Anna sambil menatap lekat luka - luka tersebut. Hatinya sakit setiap kali mengingat betapa sedihnya kehidupan Annie, yang seharusnya menjadi tuan putri di rumahnya sendiri.

Sambil menunjuk luka - luka pada foto tubuh Annie yang diambilnya beberapa waktu lalu, dokter Meira pun memberikan penjelasannya."Sebagian bekas lebam bisa hilang dalam waktu 3 - 7 hari. Namun untuk beberapa luka seperti lebam di bagian paha dan goresan - goresan di bagian punggung, akan butuh waktu lebih lama. Mungkin sekitar 1 bulan lebih."

Anna pun menghela nafas panjang. Pasrah akan penjelasan yang baru saja diterimanya. Baru saja ia akan memberikan pertanyaan lainnya, suara pintu yang dibuka langsung mengalihkan perhatian mereka. Di sana Steven yang hanya memunculkan kepalanya.

"Miss Anna, can I talk to you outside for a second?"

Mengerti, Anna pun segera melangkah keluar ruangan dan bertemu Steven, sang kepala sekolah, yang duduk di kursi panjang depan ruangan. Anna yang sebenarnya tidak mau meninggalkan Annie terlalu lama mau tidak mau ikut duduk di sampingnya karena diminta. Untunglah saat ini para siswa kelas kecil sudah pulang dan siswa kelas besar pun sedang belajar di kelas. Oleh karena itu, tidak akan ada yang mengganggu atau menguping pembicaraan mereka.

"So, what about the parents, Sir? Can they come today?" tanya Anna to the point. Matanya menatap tajam atasan sekaligus seniornya itu, menunggu jawaban yang ia harapkan.

"I'm sorry, unfortunately..."

Belum selesai Steven mengucapkan kalimatnya, Anna sudah memotongnya, seakan tahu apa yang ada akan diucapkannya.

"Damn it, Steve! What's wrong with them?!" erang Anna kesal.

"Mind your words Miss Annabelle. We're at school," tegur Steven mendengar umpatan Anna.

"Oops... Sorry, Sir. But the parents are still in Jakarta, right? Can I at least speak to them on the phone. Please..," mohon Anna dengan puppy eyes-nya, berharap sang atasan akan luluh.

"I'm sorry, An. I only have Daniel's contact."

Anna benar-benar merasa kesal. Apakah orang tua Annie terlalu sibuk untuk memperhatikan keadaan putri mereka? Mereka bahkan mempercayakan keselamatannya pada orang yang salah. Tidakkah seorang anak harusnya menjadi prioritas orang tuanya?

Anna bisa saja menerima kedatangan wakil lainnya. Namun, masalahnya Anna tidak dapat mempercayai satu pun orang-orang di sekeliling Annie sekarang ini. Tidak dengan Surti yang Anna ketahui sebagai pelaku namun memiliki otoritas tinggi atas Annie. Tidak juga dengan Daniel, sosok 'orang tua' yang justru terkesan tidak tahu apa-apa mengenai perkembangan putrinya.

Pada intinya, Anna tidak dapat menjamin keselamatan murid-nya itu selain di tangan orang tuanya. Itu pun harus Anna pastikan dulu. Apakah orang tuanya memang layak diberikan tanggung jawab atau kah sosok yang sama sekali tidak mau bertanggung jawab. Meski, jujur saja, sepertinya pilihan kedualah yang terjadi.

"So, who's going to come then? Please don't tell me...," tanya Anna sambil berusaha menekan rasa frustasinya.

Setelah menghembuskan nafas cukup panjang, Steven pun menatap Anna dan berkata "Daniel?"

Jangan tanyakan mengapa sekarang Anna tidak menyukai kedatangan Daniel. Tepat 2 minggu lalu, Anna baru mengetahui kalau Daniel hanyalah guardian yang namanya dipinjam sebagai wali dari Annie. Alasannya? Tentu saja sangat cliche! Kesibukan yang membuat yang mulia raja dan ratu tidak mungkin untuk menghadiri pertemuan guru atau pun berbicara dengan mereka.

Lelah mendengar penjelasan-penjelasan lainnya yang dilontarkan Steven, Anna pun berdiri dari kursi. Matanya melirik pintu ruang kesehatan dan menatap Annie yang tertidur dari balik kaca kecil di bagian tengah pintu. Hatinya terenyuh melihat keadaan muridnya tersebut. Sepertinya ia tidak sanggup lagi jika harus melihat luka baru yang terbentuk. Lebih dari itu, ia tidak sanggup jika harus mendengar berita baru jika Annie akan hilang dari jangkaunnya dengan kondisi yang tidak menentu seperti sekarang.

Setelah terdiam sambil memperhatikan Annie selama beberapa saat, Anna pun kembali menatap tajam Steven, yang entah sejak kapan telah berdiri di sampingnya dan ikut memperhatikan sang murid.

"Look, Steve. I don't care if her parents' jobs are CEOs, presidents, or even beggars. Tell Daniel I want to meet them asap or Annie will never come home!"

Setelah berkata demikian, Anna pun kembali masuk ke ruangan, tidak lagi peduli dengan panjangnya penjelasan yang hendak kembali diucapkan Steve. Hampir saja ia membanting pintu jika tidak ingat bahwa ada pasien kecil yang sedang tertidur. Sambil melangkah pelan Anna pun menghampiri Annie. Sebuah keputusan telah terpatri di kepalanya.

"Annie... Sweetheart...", bisiknya sambil membangunkan.

Untunglah tidur Annie belum nyenyak. Belum 1 menit dibangunkan, anak itu langsung membuka matanya. Mata biru indah itu menatap Anna dengan senyum tulusnya.

"Yes, Miss..."

"Do you want to go with me, Annie?"

***


"Where are we, Miss?" tanya Annie penasaran.

Gadis kecil itu merasa takjub dengan apa yang ada di hadapannya saat ini. Sebuah rumah besar dengan pegunungan indah di belakangnya. Selain itu, terdapat pekarangan yang luas yang dipenuhi rumput - rumput hijau dan beberapa tanaman hias. Belum lagi udara yang bersih dan menyejukkan yang Annie yakini dapat menyehatkan tubuh. Sangat berbeda dengan udara di kita.

"It's my house. Do you want to see more?"  jawab Anna dengan senyuman hangatnya.

Annie mengangguk antusias. Sejak meninggalkan sekolah, ia memang sempat merasa takut dan tidak nyaman. Namun, mendengar janji bahwa Anna akan membawanya ke tempat yang sangat indah membuatnya penasaran. Apalagi ia tahu kalau gurunya yang satu ini tidak pernah mencelakai dan menyakitinya. Ia memang sangat menyukai gurunya ini. Sekarang, rasa sukanya semakin bertambah saat sang guru membawanya ke tempat penuh keindahan yang diklaimnya sebagai tempat tinggalnya.

Setelah Anna membuka pintu rumahnya, Annie langsung dibawanya masuk. Dapat ditebak bagaimana respon muridnya tersebut. Awalnya ia hanya diam saja sambil memperhatikan. Namun matanya tidak bisa berbohong. Ada guratan takjub di sana.

"Come. I want to take you to the back of the house." Sambil tetap menggandeng tangan Annie, Anna langsung membawa muridnya itu ke bagian belakang rumahnya.

Annie yang sudah terkesima dengan bagian rumah yang terlihat indah semakin dibuat jatuh cinta dengan halaman belakang yang terpampang di depan matanya. Jika di awal ia melihat pekarangan yang luas dan terawat. Maka sekarang ia menyaksikan taman bunga yang dipenuhi berbagai jenis bunga seperti mawar dan anggrek. Tidak hanya itu, ia juga dapat melihat adanya gazebo di tengah taman untuk bersantai. Annie yakin ia akan sangat senang berlama-lama di sini.

"This house is so beautiful, Miss!" puji Annie dari hatinya yang paling dalam.

"Look to your right and you'll find a swimming pool."

Benar saja! Begitu Annie menoleh ke kanan ia menemukan 2 jenis kolam renang. 1 kolam besar dan 1 kolam kecil yang dilengkapi dengan perosotan ala Waterboom. Ah! Annie benar-benar bahagia membayangkan betapanya serunya tinggal di tempat ini.

Hanya saja, ekspresi wajahnya langsung berubah ketika Annie mengingat betapa sakit tubuhnya sekarang. Ia tentu akan merasa sangat sakit jika harus berendam lama di kolam renang itu, sekalipun ia sangat ingin mencobanya. Sepertinya akan butuh waktu lama untuknya bisa mencoba kolam renang itu. Entah apakah ia mendapat kesempatan untuk mencobanya.

"But I'm sick, Miss... Miss Meira said I cannot running around or move my body too much."

Annie yang mengerti langsung mencoba menghiburnya. "You can play there once your body is healed, sweety. You don't have to worry. Later, you can come here whenever you want."

"Really, Miss?" tanya Annie penuh harap.

"Sure!" balas Anna yakin.

Setelah membuat Annie kembali tersenyum, Anna pun segera membawa muridnya itu ke kamar masa kecilnya. Kamar dengan perpaduan warna pastel dan bahan lace, serta bertema putri kerajaan sukses memberikan kesan feminim. Kamar yang sekali lagi membuat Annie merasa takjub dan sangat menyukainya.

"So, tonight you will sleep here with me. Do you like your room?"

"Yes, Miss. I like it very much! Thank you so much, Miss."

Inilah yang Anna kagumi dari muridnya yang satu ini. Meski masih kecil dan pemalu, kata 'terima kasih' tidak pernah lupa terucap dari mulut mungilnya itu. Sepertinya Anna puas melihat senyum sumringah Annie sejak mereka ada di sini. Yeah. Meski pun tujuan utamanya belum tercapai.

"Okay. Now let us take a bath and after that we gonna eat dinner together. What do you want to eat?" Anna bertanya dengan antusias.

Sempat ragu dan berpikir sejenak, Annie akhrinya menjawab "Uhm... fried rice?"

"Hmm... Sure! I'll make it for us," jawab Anna dengan senyuman lebarnya, yang membuat Annie pun ikut tersenyum lebar.

Tepat seperti yang dikatakan Anna, setelah mereka mandi, Anna pun segera memasakkan nasi goreng sosis yang menjadi kesukaannya sejak kecil. Nasi goreng yang juga menjadi favorit Annie sejak ia mencobanya. Anna harus bersyukur karena bahan-bahan dasar yang dibutuhkan untuk membuat nasi goreng masih ada karena bahan dapur selalu diisi ulang oleh pengurus villa yang tinggal tidak jauh dari mereka.

Setelah makan malam dan membereskannya. Anna pun membawa Annie kembali ke kamarnya dan bermain mainan-mainan yang terdapat di kamar. Untunglah setiap ruangan beserta mainan-mainan tersebut sudah dibersihkan oleh para pelayan saat diberitahu jika nona besar mereka akan mengunjungi villa. Jika tidak, entah harus tidur dimana mereka malam ini. Anna benar-benar tidak tahu. Belum lagi penyakit-penyakit yang akan menghantui jika mereka memainkan barang-barang kotor.

Setelah bermain, 2 perempuan beda generasi itu tidak langsung tidur karena Anna menawarkan diri untuk membacakan dongeng. Sejak kecil, Anna memang senang mengoleksi buku bacaan sehingga sang ayah memutuskan untuk membuatkan perpustakaan kecil di sudut kiri kamar. Anna pun meminta Annie untuk memilih buku yang membuatnya tertarik dan membawanya ke atas ranjang. Alhasil, Annie yang baru pertama kali dibacakan dongeng sebelum tidur pun terus mendengarkan Anna tanpa merasa ngantuk. Kedua mata mungilnya terus menatap Anna dan buku tersebut secara bergantian.

"And they lived happily ever after."

Anna baru saja selesai membaca dongeng Rapunzel yang awalnya hidup terkungkung di menara bersama ibu yang jahat, namun akhirnya hidup bahagia bersama orang tua kandungnya dan pangeran tampan. Anna hendak menyuruh Annie tidur. Namun saat ia mau mematikan lampu, tangan kecil Annie justru menyentuh tangannya.

"Miss, can Annie ask you question?"

Anna yang awalnya bingung pada akhirnya tersenyum lembut dan berkata "Sure! What do you want to ask, Annie?"

Anna pun kembali duduk di tempatnya tanpa mematikan lampu. Ia bersiap mendengarkan pertanyaan yang akan dilontarkan murid tercintanya itu. Hari ini, Anna benar-benar merasa seperti seorang Ibu yang sedang mengurusi anak perempuannya, bahkan sampai ke hal-hal terkecil seperti sekarang ini. Memberikan jawaban atas setiap pertanyaan.

"Ehmm... Is Rapunzel really happy when meeting her real daddy and mommy? Does daddy and mommy loved Rapunzel soo much?" tanya Annie sedih.

"Of course! Rapunzel is really happy when she meets her real daddy and mommy. They do love her. That's why they want to get her back and want to stay with her," jelas Anna.

Entah perasaan Anna saja atau memang Annie terlihat sedih setelah mendengar jawabannya. "What happen, Annie? Why do you look so sad?"

"Miss, I don't think Daddy loves me. Or maybe Annie doesn't have a real mommy and daddy," kata Annie sambil menundukkan kepalanya.

Anna membeku di tempatnya. Meski bukan pertama kalinya seorang anak mengatakan padanya bahwa mereka tidak dicintai oleh orang tuanya, namun ini pertama kalinya Anna mendengarnya dari luar hubungan guru dan murid. Serta dalam keadaan sedekat ini.

"Why do you think like that?" tanya Annie hati-hati.

"Be...because I never met Daddy. Daddy doesn't want to live with me. And... and mommy... Ncus Surti said she was in heaven. It's very far and she can never meet Annie anymore. She... she also doesn't want to live with me..." jawab Annie. Saat ini suaranya mulai terdengar bergetar. Gadis kecil itu tampak menahan tangisannya sekut tenaga.

"Annie, sweety... please look at Miss Anna."

Mendengar panggilan lembut penuh cinta itu, Annie pun mendongakkan kepalanya. Wajahnya memerah dan air matanya tampak berada di sudut mata, siap untuk keluar. Gurat kesedihan jelas terlihat di wajahnya.

"Annie, I believe your daddy loves you. Daddy just has some work to do. I believe he will meet you once he is finished. He told Miss that," kata Annie menenangkan. Jelas ia berbohong. Namun siapa yang tega mengatakan kebenaran menyakitkan tentang orang tua kepada anak mereka. Tentu hanya orang tak berhati yang melakukannya.

"Really, Miss?" Tanya Annie dengan binar mata yang jelas bahagia.

"Yes, honey... and..." kata Anna sambil menunjuk dada Annie sebelum melanjutkan perkataannya.

"Mommy also lives in your heart. She chose the best place because she wants to be close to you. Though you cannot meet mommy, Mommy always cares about you. "

"Really, Miss?? Mommy loves me and... she... she can live in 2 places?! Wow! Awesome!"

Sebenarnya Anna ingin tertawa mendengar komentar polos Anna. Tapi tentu saja ia tidak ingin meruntuhkan kekaguman dan imajinasi gadis kecil di hadapannya ini. Senyumnya sudah cukup bagi Anna. Pengetahuan bahwa dia dicintai oleh kedua orang tuanya merupakan kebanggaan Dan sukacita tersendiri bagi seorang anak.

"Most importantly, dear, listen to me, mommy and daddy love you so much, okay? So don't feel sad anymore."

Sambil tersenyum penuh semangat, Annie pun menangguk. "Yes, Miss!"

Setelah mengakhiri sesi curhat mereka, Anna pun segera mematikan lampu dan naik ke ranjang. Saat ia hendak menutup matanya, suara Annie kembali terdengar. "Miss..."

"Yes, sweety?"

"Can I call you Mommy?"

Anna terdiam di tempatnya. Ia terkejut mendengar pertanyaan tiba-tiba dari Annie. Sungguh. Ia sama sekali tidak menyangka.

"I mean... I will never meet my mommy again. But I miss Mommy... But I want to have my mommy... so.." Annie tampak terbata-bata menjelaskan maksudnya. Sesuatu yang sebenarnya tanpa disampaikanpun dapat Anna mengerti maksudnya.

"Sure, honey... You can call me 'Mommy'," balas Anna sambil memeluk muridnya itu dan mencium keningnya. Murid yang sekarang menjadi putrinya.

Ada air mata yang tiba-tiba saja turun Dari wajahnya. Air mata penuh emosi dan kebahagiaan. Air mata yang tentu saja berusaha ditahan Anna. Namun tidak dengan senyumnya yang terukir lebar di tengah kegelapan malam.

"Good night, Annie."

"Good night, Mommy."

***


Steven a.k.a Mr. Principal

Anna, where are you?

Why I couldn't reach you???

Anna answer my call?!

Anna!

Anna!

Annabelle!


Mama

Ci, kamu dimana, sayang? Ko ga pulang?

Kenapa HP kamu yang satu ga aktif?


Anthony

Ci, lu dimana?

Katanya ke villa sama anak kecil???

Tadi Pak Tardi, yang pengurus villa, ada kabarin gue soalnya.

Ngomong-ngomong si Steven nanyain gue lu dimana.

He said you're unreachable?


Deretan pesan yang terlihat di handphone-nya benar-benar mengganggu pagi Anna. Belum lagi daftar misscall yang terus bermunculan sampai detik ini. Tidak ingin mengganggu tidur Annie, Anna pun memutuskan untuk ke balkon dan menutup pintunya agar percakapan yang terjadi tidak membangunkan putri kecilnya.

"Halo..." Anna segera membuka pembicaraan setelah menekan lingkaran hijau untuk mengangkat telepon yang masuk.

"Miss Annabelle, where are you?! My partner and I kept looking for you since yesterday! At least let me know where you are going before leaving the school with someone's kids! You made the whole school panic!"

Anna meringis mendengarkan suara di seberang sana. Suara dari balik telepon itu begitu memekakkan telinga, sehingga membuat Anna harus menjauhkan handphone berapa centi dari telinganya. Untung saja hanya suara Steven yang ia dengar. Jika ditambah suara-suara lainnya seperti Monique, habislah sudah pendengarannya.

"Sorry, Sir. Now you know that I'm gone," kilah Anna dengan senyum tipis sarat rasa bersalah miliknya.

Tentu saja Anna harus merasa bersalah. Tepat sebelum ia dan Annie keluar dari sekolah kemarin, Anna hanya mengirimkan pesan singkat saja berisi kalimat "I'm taking Annie. Please let me know if the parents want to meet." Itu pun dengan menggunakan nomor dan handphone kerjanya, yang setelahnya langsung dimatikan begitu melewati gerbang sekolah. Alasannya tentu saja karena takut terlacak. Setelah itu? Tidak pernah lagi Anna menyentuh handphone kerjanya tersebut. Entah dimana hp-nya itu berada. Ah! Ya! Sepertinya tertinggal di mobil.

"Annabelle!" teriak Steven frustasi Dari seberang sana.

Anna tahu detik itu juga bahwa Steven memang sedang marah pada dirinya. Karena pria itu tidak akan memanggil nama depannya secara lengkap jika tidak dalam suasana genting. Jelas sekali pria itu sedang mengontrol emosinya. Atau lebih tepatnya kepanikannya.

"Thank God you gave me your second number. If not, I have no idea what to do," katanya dengan nada lebih lembut.

"So what happened yesterday, Steve?" tanya Anna penasaran.

"Well, I thought you never asked," sebuah sindiran mendarat sebagai respon dari pertanyaan Anna. Membuat wanita itu sedikit kesal ketika mengingat tujuan awal dia melakukannya.

"Steve, please, I don't want to start arguing. You know exactly why I did this."

"So, basically, Daniel and Surti complained about Annie's whereabouts. I told Daniel yesterday about your demand and that you brought Annie until the parents come by themselves. But you know how he responds?"

"How?"

"He only said "Tell Miss Anna to wait then. And let her know she can take Annie with her as long as she wants."

Anna sedikit terkejut mendengar pengakuan Steven. Apa yang harus Anna tunggu? Dan mengatakan bahwa dirinya dapat membawa Annie selama yang ia mau? Orang tua macam apa yang berpikir untuk menelantarkan anaknya tanpa peduli batas waktu?

Tidak ada kelegaan ketika Annie mendengarnya. Justru yang terjadi adalah emosi yang sudah sampai ke ubun-ubun. Membayangkan jika ia harus memiliki orang tua seperti orang tua Annie sungguh akan membuat hidupnya terasa seperti di neraka.

"Okay then. Tell them I'll wait and I'll take Annie as long as I want. But don't expect her to remember her family anymore," balas Anna dengan santainya.

"And one more thing, Steve. Just count my absence as unpaid leaves. I'll count on you, Mr. Principal."

Anna segera menutup panggilannya meski masih ada sederetan kalimat yang ingin diucapkan oleh kepala sekolahnya dari seberang sana. Ia tahu apa yang dilakukannya sangat tidak sopan. Ia juga tahu bahwa mungkin ia melakukan hal yang terlalu extreme dengan 'menculik' muridnya sendiri. Namun apa boleh buat? Anna tidak memiliki pilihan lain. Semua ini ia lakukan demi keselamatan muridnya.

Ketika Anna sedang sibuk dengan pikirannya sambil melihat pemandangan di balkon, tiba-tiba saja sepasang tangan mungil menarik bagian belakang gaun tidurnya. Mengetahui siapa pelakunya, Anna pun membalikkan tubuhnya dan memberikan pelukan terhangatnya. Tak lupa pula ia berlutut dan memberikan ciuman selamat pagi pada putri kecilnya tersebut.

"Good morning, princess,"

"Good morning, Mommy,"

"How's your sleep?"

"Annie can sleep very well. Thank you, Mommy,"

Ingin melanjutkan percakapan pagi mereka, Anna pun membawa Annie menuju ke kursi dan memangkunya. "So, what does Annie want to do today?"

Mendapat pertanyaan demikian membuat gadis kecil kecil itu terdiam. Mungkin memungkinkan terlalu banyak kegiatan yang ingin ia lakukan. Atau bahkan bingung harus melakukan kegiatan apa.

Untunglah tidak butuh waktu lama untuk Annie mengetahui apa yang ia mau. "Mommy, can we made a cake and planting flowers today?" tanyanya malu-malu.

Anna yang sangat senang mendengar permintaan Annie tentu saja memberikan izin. "Of course, honey! What cake do you want to make and what flowers do you want to plant?"

"I want to make strawberry cake and plant rose flowers!" jawab Annie antusias.

Setelahnya mereka pun melanjutkan percakapan mereka sambil menunggu makan pagi yang Anna minta untuk dibawakan ke kamar karena mereka ingin menikmati quality time. Tiba-tiba suara ketukan pintu pun terdengar dan mengalihkan perhatian keduanya. Mendapatkan izin dari Anna, kepala pelayan yang dipanggil Bu Tuti pun masuk dengan membawa sebuah paket.

"Selamat pagi, Non. Ini ada paket untuk Non," jelas kepala pelayan itu.

"Terima kasih, Bu," balas Anna sambil mulai menerima paket tersebut.

"Non..."

"Ya, Bu?" Anna bertanya. Ia sebenarnya bingung mengapa kepala pelayan itu masih juga berada di sini.

"Tadi yang mengantar kurirnya beda," jawab kepala pelayan singkat.

"Maksudnya Bu? Beda bagaimana? Kurirnya bukan TIKI?" tanya Anna semakin kebingungan.

Ya. Mungkin saja yang dimaksud Bu Tuti berbeda adalah perusahaan kurir tersebut. Maklum. Kepala pelayan yang merangkap sebagai pengurus villa mereka ini memang sudah melayani sejak zaman kakek Anna. Sepengetahuan Anna, kepala pelayannya memang bukan orang yang update dan cenderung waspada. Bahkan satu-satunya perusahaan pengiriman yang dikenal dan dipercayainya cuma TIKI karena sejak muda sudah memakainya. Itu pun baru Anna ketahui kemarin.

"Iya Non... Eh... bukan Non... ehmm... ga jadi deh Non. Ibu permisi dulu," pamit pelayan itu lalu melangkah meninggalkan kamar. Membuat Anna mengernyitkan kedua alisnya.

Tidak mau teralihkan terlalu lama, Anna kembali membuka paket yang berbentuk kotak tersebut. Tampaknya aneh karena tidak ada nama pengirimnya. Hanya ada nama serta alamatnya saja.

Semakin penasaran, Anna pun membuka kertas coklat pembungkus paket tersebut. Ternyata di dalamnya masih terdapat kertas lainnya, yaitu kertas koran. Dengan sabar Anna pun merobek kertas koran tersebut, yang kembali membawanya pada kertas lainnya. Annie yang kasihan dan menawarkan bantuan pun ditolaknya. Hal ini dikarenakan Anna ingin mencegah Annie untuk melihat hal yang tidak seharusnya dilihat. Ia bahkan memindahkan sesi membuka paket di ruang kerja ayahnya dan menyuruh Annie mandi dahulu. Tujuannya tentu saja pengalihan isu.

Tidak menyerah, Anna pun kembali membuka kertas-kertas tersebut hingga yang terakhir. Akhirnya. Pikir Anna. Akhirnya ia dapat melihat barang apa yang dikirimkan kepadanya. Rasa penasaran Anna akhirnya terbayar ketika melihat apa yang ada di depannya. Rasa penasaran yang berganti jadi keterkejutan luar biasa.

"What the...???!!!"

***


Hai everybody!!!

Sebelumnya mau say sorry dulu nih karena tiba-tiba ngilang hampir 2 bulan. Alasan utamanya sih karena daku lagi evaluasi alur cerita hehehe... + ada beberapa fokus yang harus dikerjakan juga di dunia nyata.

So, this is my latest chapter  for today. I'll update chapter 5 and 6 tomorrow!

Feel free to read, comment, and give input! 

Thank you for the support!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top