Chapter 3


"Belle, what do you hate the most?" tanya Leon pada Anna yang sedang menikmati spaghetti Aglio Olio yang menjadi favoritnya sambil menonton Netflix.

"Why do you ask?"

"Nothing. I just want to know you more. That's all," jawab Leon sambil membetulkan rambut Anna yang juga nyaris ikut menikmati masakannya.

"Being betrayed. I hate that the most. So , baby, don't you dare to do that," jawab Anna sambil memicing tajam ke arah Leon, sementara tangan kirinya mencubit kecil hidung sang kekasih.

"I'll never do that. I promise you," kata Leon sambil mengecup singkat bibir indah Anna.

Kecupan singkat itu perlahan berubah menjadi lumatan-lumatam dalam yang panjang. Mereka berdua begitu menikmatinya. Namun saat tangan Leon mulai memasuki kaos putih Anna dan lumatannya mulai turun ke leher, ia langsung menahan tangan kekasihnya dan menjauh kan kepala mereka. Tersenyum tipis, Anna memberikan kecupan terakhir di pipi kanan Leon.

"Marry me first if we want to continue, Sir," katanya sambil menatap mata coklat indah milik Leon.

Saat hendak beranjak dari sofa, justru tangan Anna tertahan oleh Leon.

"Soon, Belle. I'll do it as soon as possible. I promise. Wait a little more," jawabnya sambil mengecup pelan punggung tangan Anna.

Tak lama Leon pun beranjak dan melingkarkan tangan kanannya pada pundak Anna sambil menatapnya lembut. "So what do you want to do now, soon to be Mrs. Wiryadinata?"

"Hmmm... Nightwalk, maybe? Sekalian ngejauhin setan yang baru aja lewat? Siapa tahu pas balik setannya udah pergi?" tanya Anna sambil menatap Leon dengan cengiran lebarnya.

"Sure..."


Ingatan-ingatan indah itu terus saja bergulir di pikiran Anna. Sejak pertemuanya dengan Leon, kenangan-kenangan mereka mulai bermunculan kembali di otak Anna tanpa di undang. Padahal dengan susah payah ia berusaha menghapusnya.

"Miss Annabelle, lu kenapa sih? Pagi-pagi lemes banget. Harusnya kan kita happy, sist. TGIF loh today!"

Melihat Monique yang tiba-tiba duduk di sebelahnya, mau tidak mau Anna mengubah ekspresinya agar terlihat ceria dan bersemangat. "Iya dong, tentu aja kita harus semangat. Gue cuma lupa sarapan aja tadi pagi. Makanya lemas banget."

Bohong. Bukan itu yang sedang dipikirkan Anna. Hanya Tuhan dan dirinya yang tahu apa yang baru saja dipikirkannya. Tapi tak mungkin juga ia menceritakan cinta pertamanya yang berakhir tragis. Apalagi pada rekan kerjanya sendiri. Beside, it's not a proper time for her to share.

"By the way, Mon, Annie bakal datang ga ya hari ini? Kayanya kalau dia ga datang lagi, kita harus besukin deh. Sudah hampir 2 minggu dia ga datang, tapi waktu kita mau besukin malah dihalang-halangi gitu. Dibilang gapapalah, udah baikanlah. Aneh banget deh!"

"Yes, Na. I think the same. Paling ga kalau anak itu ternyata kenapa-napa, kita bisa cepat untuk turun tangan."

Baru saja mereka ingin melanjutkan pembicaraan tentang Annie dan keanehan yang terjadi pada anak itu, tiba-tiba pintu kelas diketuk. Tak lama, muncullah Mr. Steven beserta Surti dan Annie digandengnya. Tentu saja kedua guru itu langsung menghampiri murid mereka sambil tersenyum sumringah.

Berhadapan dengan Annie, Anna pun segera berlutut dan hendak memeluk erat muridnya itu. Namun Annie justru mundur dan bersembunyi di balik badan Surti. Hal yang membuat Anna cukup sedih dan terkejut.

Kemunduran lagi. Begitulah pikirnya.

"Miss, maaf, Annie masih sakit. Anaknya memang begini. Kalau sakit, maunya nempel sama saya. Tolong dimaklumi ya, Miss."

Berusaha mengerti Anna pun tersenyum dan menganggukan kepalanya. "Iya, gapapa Sus Surti."

Anna baru saja ingin berdiri namun matanya menangkap sebuah luka di sudut bibir Annie. "Loh, di bibir Annie kenapa, Sus?"

"Oh itu. 3 hari lalu sempat kejeduk ujung meja, Miss. Kemarin-kemarin itu sempat parah banget. Tapi ini sudah sangat jauh mendingan, Miss," jawab Surti tenang terhadap pertanyaan Anna yang penuh selidik. Kemudian ia pun menoleh kepada Annie. "Benarkan, Annie?"

"Yes, Ncus. Annie fall," jawab Annie pelan.

Apakah Anna langsung percaya? Tentu saja tidak! Bertahun-tahun ia mengajar, sudah sering ia diperhadapkan dengan situasi seperti ini. Banyak murid yang dapat dengan mudah untuk terbuka.

Merasa tidak puas dengan jawaban yang diberikan, Anna ingin bertanya lebih lanjut. Namun, niat itu dia urungkan setelah mendapatkan tepukan di pundak tanda berhenti dari Monique. Sadar bahwa ini bukan saat yang tepat, akhirnya Anna pun menyerah dan kembali merayu Annie yang terlihat enggan untuk masuk ke kelas.

Akhirnya setelah sesi merayu yang terjadi selama 15 menit, Anna berhasil meyakinkan Annie untuk masuk ke dalam kelas tanpa suster kesayangannya. Meski merasa aneh dengan perubahan Annie, namun Anna masih berusaha untuk tetap biasa saja. Ia percaya yang Annie butuhkan adalah keterbiasaan. Sisanya dapat dilakukan perlahan-lahan.

Fighting Anna! Let's start the day!

***


Keanehan tidak hanya dirasakan Anna di pagi hari. Namun juga selama proses belajar berlangsung. Pertama, Annie yang awalnya sudah mau berbaur dengan teman seumurannya sekarang malah sering memojok sendirian dan sama sekali tidak menggubris ajakan ngobrol yang lain. Ia benar-benar seperti gadis bisu hari ini. Kedua, Annie seringkali melirik pintu kelas seakan-akan ingin cepat - cepat kabur dari sana. Ketiga, Annie sama sekali lupa dengan apa yang baru saja diajarkan.

"Annie" Tiba-tiba Monique memanggil salah satu muridnya itu.

Annie yang sejak awal memang sudah tidak merasa nyaman sempat memandang Monique dengan terkejut. "Yes, Miss..."

"I'm asking you, dear. 2+3 equals...?"

Jelas sekali Annie tampak panik. Ia mulai memainkan tangannya, di jari-jari tangan kanannya membentuk angka 3, sementara di sebelah kiri membentuk angka 2. Langkah yang awalnya sudah benar menurut Anna.

Namun, yang terjadi selanjutnya, justru jari-jari tangan Anna semakin bergerak-gerak tidak beraturan. Tiba-tiba jumlah jarinya bisa berubah-ubah. Terlihat sekali anak itu gemetar dan berusaha menahan air mata yang sudah berkumpul di pelupuk.

"Annie, my dear... Annie... Annie..." Monique memanggil Annie berkali-kali hingga gadis kecil itu mendongakan kepalanya.

"Annie, it's ok, my dear. You can learn it later," balas Monique berusaha menenangkan. "Now who knows the answer?" Monique mengalihkan pertanyaan itu pada murid lain yang dengan antusias mengangkat tangan mereka, berharap untuk dipilih.

Bukannya tenang, Annie malah menangis tersedu-sedu. Melihat kejadian tersebut, Anna langsung menghampiri Annie dan membawa gadis itu keluar kelas. Mendapat ide, akhirnya Anna membawa Annie berkeliling sekolah hingga dia merasa lebih tenang.

"Annie, is there anything that makes you sad?" tanya Anna pada Annie yang sudah mulai terlihat tenang.

Melihat Annie yang tak bergeming dan hanya memeluk Teddy Bear kesayangnya, Anna pun semakin berusaha untuk meyakinkannya. "Annie, you can tell Miss everything. Miss promise will not angry at you."

Melihat Annie yang masih sesenggukan, Anna pun berinisiatif untuk memanggil Surti. Mungkin saja suster kesayangannya muridnya ini bisa membuatnya lebih terbuka. Toh banyak anak yang sangat dekat sekali dengan susternya. Tak terkecuali Annie.

"Annie, do you want me to call Ncus Surti?"

Berbeda dengan ekspektasi Anna, Annie justru menggelengkan kepalanya berkali-kali. Tampak raut wajah ketakutan muncul begitu jelas di wajahnya. Air mata yang tadinya sudah mulai berhenti kembali mengalir deras dari mata.

"No miss! No! I don't want to be hit again Miss! No Miss!" mohon Annie dengan nada pilunya. Hal yang membuat Anna begitu sakit mendengarnya.

"Hit? Who hit you, Annie?" tanya Anna sekali lagi untuk memastikan.

"Ncus, Miss. Miss Monique, too, will hit Annie. Huaaa!"

Anna semakin kaget mendengar pernyataan Annie. "Why Miss Monique hitting Annie?"

"Because Annie can't answer the question! Huaaaa!"

Jantung Anna terasa mau lepas mendengar kalimat yang baru saja keluar dari mulut mungil itu. Ia tidak dapat menahan diri lagi untuk memeluk gadis kecil itu. Dengan sangat hati-hati Anna menghampiri Annie yang mulai menangis sesenggukan.

"Does Ncus always hit you whenever you're making mistakes?" tanya Anna yang dibalas Annie dengan anggukan.

Perlahan-lahan, ia membungkukkan badannya agar sejajar dengan Annie, kemudian memeluknya erat. "No, baby... You did nothing wrong. Miss won't hit you. No one can hurt you," bisiknya berusaha menenangkan.

"ehmm..." terdengar suara rintihan tertahan di telinga Anna. Rintihan kesakitan yang membuat tubuh Anna membeku sesaat. Di detik itu Anna tahu ada sesuatu yang tidak beres. Sesuatu yang sudah disembunyikan Annie sejak lama tapi lolos dari radar mereka.

Setelah menenangkan Annie, mereka pun segera kembali ke kelas. Di sana ada Monique dan para murid yang sedang sibuk mengerjakan tugas mereka. Anna pun segera menghampiri Monique dan menceritakan secara singkat apa yang terjadi. Tentu saja ia melakukannya dengan pelan agar murid yang lain tidak mendengarkan.

"Do what you need to do. Lu tenang aja. I'll take care of the rest. Nanti gue hubungi Mr. Steven untuk minta guru lain yang bantu dulu di sini."

Syukurlah setiap kelas diperlengkapi dengan telepon kabel yang bisa menghubungi satu sama lain jika ada kebutuhan mendesak. Hal ini memudahkan para guru untuk mendapatkan informasi tanpa perlu memeriksa handphone mereka setiap saat. Apalagi jika informasi itu berkenaan dengan murid kelas sendiri.

"Thanks, Mon. Gue pergi dulu." Anna pun segera beranjak meninggalkan kelas sambil menggenggam tangan Annie.

Sesampainya di UKS, Anna langsung menghampiri dokter Meira dan menjelaskan permasalahannya. Sempat terkejut, akhirnya dokter pun setuju untuk memeriksa keseluruhan tubuh Annie. Melihat Anna yang masih berdiri gemetar, Annie pun berusaha menenangkannya.

"Annie, honey, we need to open your clothes for a while. Are you okay with it? I promise it won't be long."

"Miss won't hit me, right?" tanya Annie dengan matanya yang memelas, seakan memohon untuk tidak lagi dihukum. Hati Anna mencelos dibuatnya.

"No, I won't," jawab Anna mencoba meyakinkan.

Setelah disetujui oleh Annie, Anna dan dokter Meira segera melepas seluruh seragam Annie. Hal yang terlihat selanjutnya benar-benar membuat keduanya menahan nafas mereka. Dokter Meira sampai menutup mulutnya dengan kedua tangan. Anna, di sisi lain, tidak dapat lagi menghentikan air mata untuk membasahi wajahnya.

"How could... How could this happen to you?"

Tubuh yang seharusnya polos dan bersih itu justru dipenuhi lebam-lebam kebiruan. Bekas pukulan, cakaran, dan rotan justru ada di bagian tubuh yang tidak terlihat. Di perut, punggung, bahkan selangkangannya. Entah apa yang telah terjadi pada tubuh kecil Annie setelah jam sekolah selesai. Anna tidak berani membayangkan.

Sejujurnya, Anna sudah curiga sejak 2 minggu yang lalu, ketika ada sebuah lebam biru di tangan kiri dan kedua kaki Annie. Namun karena melihat sikap Annie yang biasa saja, Anna pun percaya ucapan Surti yang mengatakan jika Annie jatuh dari sepeda.

Kenapa dirinya bisa begitu bodoh!

Dalam hatinya, Anna terus merutuki dirinya. Seharusnya ia memperhatikan kejanggalan yang terjadi. Mulai dari Annie yang tidak diizinkan berganti pakaian bersama teman-temannya dan harus bersama Surti. Hingga terlalu sering muridnya itu tidak hadir di sekolah. Ah yah! Gambar Annie di hari pertamanya sekolah pun jelas menyiratkan sesuatu. Hal yang selalu membuatnya penasaran namun sempat terlupakan.

Anna benar-benar merasa gagal sebagai seorang guru. Ia merasa diri tidak becus untuk melindungi muridnya sendiri. Mereka adalah anak-anaknya. Anak-anak yang seharusnya ia didik dan pedulikan.

"Miss are you ok? Why are you crying?" Tangan Annie meraih wajah Anna, menyentuh kelopak matanya, berharap dapat menghentikan air mata yang keluar.

"I am ok, Annie. I am," balas Anna sambil mencium telapak tangan Annie. Sesakit apa pun dirinya saat ini, Anna berusaha untuk tersenyum demi gadis kecilnya. Ia tidak akan membiarkan mereka mengkhawatirkan dirinya.

Sekali lagi, ditelitinya tubuh Annie dari ujung kepala hingga ujung kaki. Setelahnya, ia langsung memakaikan kembali seragam anak itu agar tidak kedinginan. Kemudian, ia pun menoleh kepada dokter Meira lalu berbisik untuk meminta pertolongan. Anna tidak mau Annie mendengar pembicaraan mereka agar anak itu tidak panik.

"Dokter, boleh tolong obati luka-luka Annie? Saya perhatikan masih ada luka-luka yang tidak dirawat dengan benar. Bahkan ada beberapa infeksi di sini. Sekalian tolong periksa bagian kepala Annie. Jika ada luka-luka, berarti kita harus membawanya ke rumah sakit untuk melihat apakah ada luka dalam. Saya butuh laporan dari dokter mengenai kondisi Annie secepatnya. Saya sendiri akan menemui Mr. Steven untuk membicarakan masalah ini."

Dokter Meira pun mengangguk mengerti. "Baik, Miss Anna. Saya akan obati luka dan cek lebih mendetail. Laporannya akan siap paling lambat sebelum pukul 3 sore."

"Terima kasih, Dok. Saya titip Annie ya."

Tak lupa Anna mengecup Annie dan menjanjikan jika dirinya akan segera kembali. Annie yang percaya pun melepas Anna meski agak sedikit panik. Wajar saja karena anak itu baru kenal dengan dokter Meira dan baru pertama kali juga menginjakkan kakinya di ruang Kesehatan.

Anna pun segera meninggalkan UKS untuk menuju ke ruang guru. Di sana, tepat di ruang kepala sekolah, ada Steven yang sedang berbicara dengan orang tua murid. Meski tidak sabar ingin masuk, Anna harus menahan diri beberapa menit hingga tamu atasannya itu keluar dari ruangan.

"What's wrong Miss Anna? Miss Monique said you went to the infirmary with Annie. Oh yeah! I already sent Mr. Fabian to help your class," tanya Steven beberapa saat setelah Anna masuk ke dalam ruangannya.

"Annie is being abused. I need to talk to the parents as soon as possible. THE PARENTS, Steve, not the others."

***


Hampir 2 minggu berlalu sejak pertemuan malam itu. Namun Leon tidak dapat melupakan wanita yang sudah memiliki seluruh hatinya itu. Dulu wanita itu pernah menjadi cinta sejatinya. Dulu wanita itu pernah menjadi pusat hidupnya. Hingga dia memutuskan untuk meninggalkannya secara sepihak. Tanpa memberikan satu kesempatan pun untuk menjelaskan. Sejak saat itulah Leon berjanji jika ia tak akan patah hati lagi karena wanita. Sejak saat itu, Leon berubah.

Masih terpatri dengan jelas dalam ingatan Leon, bagaimana dirinya saat pertemuan kembali keduanya. Malam itu seharusnya menjadi malam kemenangan Leon. Ia memang sudah menunggu saat dimana Belle akan melihatnya bersama wanita lain. Hari itu ia dapat menunjukkan kepada mantan tunangannya itu jika ia telah berhasil melupakannya. Ia bisa hidup tanpanya.

Mematung tak berkutik bukan berarti Leon tidak membela diri. Ia hanya sedang menikmati setiap kesakitan hati yang terlihat jelas di wajah Belle. Itu memang keinginannya sejak dulu. Menyaksikan mantan kekasihnya hancur berkeping-keping. Tepat di hadapannya.

Harus diakui jika sekali lagi ia mengaggumi pesona seorang Annabelle Clarinne Sastrawijaya. Sekali lagi, hampir saja ia jatuh ke dalamnya. Ia begitu anggun, dewasa, cantik, dan menawan, bahkan lebih dari sebelumya. Namun bersyukur Leon cepat sadar akan sosok yang ada di hadapannya saat itu. Sesosok serigala berbulu domba.

Sedang sibuk bernostalgia, lamunan Leon yang semakin tak tentu arah itu dibuyarkan oleh ketukan pintu.

"Masuk," pintanya tanpa beranjak dari meja kebesaran.

Di hadapannya sudah berdiri Jason, sekretarisnya yang memegang sebuah map berisi tumpukan berkas.

"Is this what I want?" tanya Leon menyelidik.

"Yes, this is what you want, Sir."

Tersenyum tipis, Leon hendak menyuruh Jason untuk keluar sebelum perintahnya diinterupsi oleh suara ketukan lain. Mendapat izin, pintu pun terbuka dan muncullah Daniel dengan wajah paniknya. Setelah menunduk memberi hormat, Daniel pun menyampaikan informasi yang dia tahu tidak akan disukai oleh pimpinannya ini.

"Pak, Anda disuruh untuk ke sekolah. Katanya Mr. Steven ada hal penting yang harus dibicarakan."

"Hal penting apa? Apa Annie membuat masalah?" tanya Leon singkat.

"Me... mereka tidak memberitahukan ada apa. Tapi mereka dengan tegas meminta Anda untuk datang hari ini."

Jawaban Daniel sama sekali tidak memuaskan. Jelas Leon memang tidak suka jika harus berurusan dengan hal-hal yang dianggapnya kurang penting, seperti urusan sekolah Annie. Bukannya ia tidak menyayangi putrinya itu. Hanya saja, ia sudah terlalu sibuk dengan urusan kantor yang pekerjaan seringkali membludak. Lagipula selama 5 tahun menetap di US, urusan Annie telah ia serahkan sepenuhnya pada Daniel. Leon hanya akan menerima laporan perkembangannya saja. Biarlah perhatian penuh diberikan oleh orang dekat Annie saja. Karena Leon sadar ia tidak bisa melakukannya.

"Bukannya itu urusan kamu, Daniel? Semua urusan Annie sudah saya percayakan ke kamu sejak 5 tahun lalu. Pokoknya saya tidak mau datang. Kamu yang harus datang dan urus sampai selesai." Mutlak. Perintah Leon tidak dapat dibantah lagi.

"Ta.. tapi Pak." Daniel masih berusaha melanjutkan, namun mata Leon sudah menatap tajam kepadanya. Daniel tahu betul apa artinya tatapan itu. Ia harus berhenti.

"Sir, I think you should come. Anda harus datang ke sana." Jason yang sejak tadi diam memperhatikan tiba-tiba memberikan pendapatnya, seakan tidak takut diterkam.

"Apa maksudmu?" tanya Leon yang emosinya sudah siap meledak.

"Anda mau bertemu Miss Annabelle, bukan? She's Annie's homeroom teacher." tukas Jason dengan senyum liciknya yang sukses membuat Leon kehilangan kata-kata.

***



Hi all^^

Finally Chapter Prologue - 3 udah updated! 

Mulai minggu depan next chapters akan update setiap hari Jumat ya...

Once again! Thank you for reading^^ 

Feel free to give some inputs or your thoughts! 


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top