Chapter 11
"Jadi apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Alexander, ayah dari Anna, pada Leon yang saat ini sedang duduk di hadapannya.
"Ekhem..." Leon berdeham, berusaha menyingkirkan kecemasannya. Mempersiapkan diri untuk kalimat selanjutnya yang akan keluar dari mulutnya.
"Saya ingin melamar Anna, Om," jawab Leon dengan mantap.
Keheningan pun mengerjap. Namun hal ini tak menyurutkan keberanian Leon untuk terus memandang wajah kepala keluarga Sastrawijaya tersebut, berusaha untuk menemukan jawaban walau hanya dari wajahnya saja. Sayang, tak ada yang berubah dari ekspresi pria 50 tahun tersebut kecuali kerutan dahi yang semakin bertambah.
"Kamu serius?"
"Ya, saya serius, Om. Hubungan saya sudah berjalan 7 - 8 tahun sejak kami SMA. Saya rasa sekarang sudah saat saya membawa Annabelle ke jenjang yang lebih serius," jawab leon lagi. Tegas.
'Bagaimana kondisi perusahaan kamu?"
"Sejauh ini berjalan dengan baik, Om. Lagipula, saya yakin Om selalu mendapatkan update tentang kondisi perusahaan. Om kan menjadi salah satu pemegang saham di sana."
Update yang dimaksud Leon bukan hanya berasal dari perusahaan Sastrawijaya sendiri. Bukan juga hanya berasal dari orang-orang yang sengaja ditempatkan di perusahaan Leon. Namun, secara tidak langsung, juga berasal dari teman-teman bisnis Alexander yang ikut campur tangan dalam perusahaan tersebut. Tentu saja tujuan utamanya untuk membantu Leon yang notabene baru saja merintis usaha dan masih baru dalam dunia bisnis.
"Kamu sudah yakin? Sudah siap menerima Anna dan segala kekurangan kelebihannya?"
"Sudah, Om. Saya sudah siap untuk menerima Anna apa adanya. Saya sangat mencintai dia, Om."
Tiba-tiba saja sebuah senyum tipis terukir di wajah ayah Anna tersebut. Sejenak matanya melirik ke arah lain. Namun setelahnya, dia kembali memandang Leon.
"Baiklah. Kalau begitu kamu boleh melamar anak saya. Kapan kamu berencana melamar dia? Saya harap kamu tidak menunda terlalu lama."
Jawaban tersebut tentu saja mengangkat beban yang sejak beberapa minggu ini menghinggapi Leon. Wajahnya yang sempat kaku akhirnya kembali tersenyum, meski tentu saja pembicaraan ini belum berakhir. "Nanti malam saya berencana melamarnya. Saat acara BBQ-an nanti. Rencananya saya akan..."
"Aww!"
Baru saja Leon ingin menjelaskan lebih detail tentang rencananya, namun justru mereka dikejutkan dengan suara teriakan dari luar ruangan. Sempat terkejut, Alexander justru tertawa seakan hal yang terjadi ini lucu. Sedangkan Leon sendiri kebingungan menyaksikan tingkah mertuanya.
"Itu pasti suara Anna yang tersandung. Lain kali pastikan kamu menutup pintu dengan benar. Sejak tadi putri saya berdiri dan menguping pembicaraan kita. Kalau kamu duduk di posisi saya, kamu pasti bisa melihat posisinya yang menempelkan telinga pada celah pintu dan wajahnya yang memerah waktu mendengar niatmu itu," jelas mertuanya sambil sedikit menggoda.
Sekarang justru wajah Leon yang memerah seperti kepiting rebus karena rencananya sudah duluan ketahuan oleh sang pujaan hati. Haruskah ia mengganti semuanya?
Sembari mengelilingi kantor yang entah mengapa tidak terkunci, pikiran Leon kembali terlempar ke masa lalu. Kenangan dimana mereka masih saling mencintai. Kenangan dimana ia masih diterima oleh keluarga kekasihnya. Kenangan dimana masa-masa indah itu masih berlangsung.
Kantor Alexander Sastrawijaya merupakan tempat yang bersejarah baginya. Di kantor inilah pemimpin perusahaan Sastrawijaya itu akhirnya memberikan Leon izin untuk melamar putrinya tercinta. Izin yang diberikan setelah 2x kegagalan. Penolakan pertama didapatkan karena umur yang masih terlalu mudah. Saat itu memang Leon baru saja kuliah semester 3. Sementara penolakan kedua ia dapatkan karena saat itu Alexander ingin ia fokus menjalankan bisnisnya terlebih dahulu.
Ia ingat begitu tegang suasana di ruangan saat itu. Namun semua tergantikan oleh tawa karena suara teriakan Anna, yang ketika ditemukan Leon, sedang terduduk di tengah tangga karena terjatuh. Alhasil, rencana Leon untuk melamar Anna sedikit berubah karena kondisi kekasihnya saat itu. Untunglah pada akhirnya lamaran tetap berjalan sehingga Anna tidak perlu berpura-pura lebih lama lagi.
Leon tersenyum mengingat semuanya itu. Sambil melihat-lihat foto serta album yang tersimpan di salah satu rak, ia mengenang masa lalunya. Ditambah lagi dengan melihat foto-foto kecil Anna. Sesuatu yang jarang sekali Anna perlihatkan padanya saat mereka berhubungan dulu. Alasannya tentu saja karena wanita itu terlihat gemuk dan jelek katanya.
Sayang, kegiatannya terhenti oleh dering handphone di kantong celana.
"Halo, Jason, ada apa?"
"Tuan Alexander Sastrawijaya ditangkap atas dugaan penggelapan dana dan korupsi perusahaan. Saat ini beliau sudah ada di kantor polisi."
"Lalu bagaimana kondisi perusahaan Sastrawijaya?"
"Perusahaan saat ini sedang kosong, Tuan. Para pegawai dipulangkan lebih cepat."
"Baiklah. Terus selidiki lebih lanjut dan beritahu siapa saja yang terlibat. Lalu mengenai berita penangkapan itu, kamu sudah tahu kan apa yang harus dilakukan?"
"Baik, Tuan. Tentu saja. Kami sudah menghubungi rekan-rekan bisnisnya Anda, khususnya media besar, supaya berita itu tidak tersebar. Tuan... Ada satu hal lagi... Tadi saat penangkapan, ada nona Annabelle di sana. Sepertinya dia ikut ke kantor polisi."
"Apa? Damn it! Bagaimana mungkin dia berbohong?!"
"Nona terlihat sangat sedih saat itu. Tolong jangan marahi dia kalau nanti dia datang."
Perkataan Jason yang mengingatkannya akan kondisi Anna menyurutkan kemarahan Leon dalam sekejap. Ya. Anna pasti sangat kalut. Leon sadar bahwa tidak pernah sekalipun Anna berpikir hal seperti ini akan menimpa keluarganya. Sekesal-kesalnya Leon pada mantan tunangannya itu, tentu ia tidak sampai hati untuk semakin melukai Anna.
BRAK!
"Sedang apa kamu disini?!"
Fokus Leon pada lawan bicaranya beralih pada suara pintu dan teriakan penuh amarah dari seorang Anna Sastrawijaya. "Nanti aku hubungi lagi," kata Leon sebelum mematikan panggilan.
"Kenapa kamu bisa lancang sekali masuk ke dalam kantor ini?! Apa kamu perlu belajar tata krama dan etika lagi?!" tanya Anna dengan penuh emosi.
Ingin sekali Leon membela dirinya dan menyalahkan Anna karena tidak mengunci pintu kantor ini. Ingin sekali juga Leon menyerang Anna dengan bertanya mengapa dia sampai berbohong dan mengatakan pergi ke sekolah padahal wanita itu justru pergi menemui ayahnya. Namun akhirnya niat itu diurungkannya mengingat kondisi Anna saat ini.
"Duduk dulu," balas Leon alih-alih menjawab pertanyaan Anna. Ia pun menggeser salah satu kursi berniat memberikan tempat duduk untuk Anna. Namun sayang, gadis itu justru beralih ke kursi kebesaran sang ayah sehingga mau tidak mau Leon lah yang duduk di kursi tersebut.
"Ah. Aku lupa kamu memang ga punya rasa malu. Nevermind. Ada yang perlu kita bicarakan mengenai jawaban yang kamu inginkan," kata Anna sambil memandang Leon tajam.
"Is it a yes?" tanya Leon sambil melipat kedua tangannya di dada.
"Kalau kamu berhasil melakukan apa yang aku minta," balas Anna.
"Apa itu?"
"Bebaskan Papa dari penjara dan tuduhan korupsi itu. And help the business. Secepatnya,"
Leon hanya tersenyum mendengarkan permintaan Anna."Sure! Secepatnya."
***
Tringg!!!
Bel tanda pulang sekolah sudah berbunyi. Anna yang sudah kembali bekerja pun meregangkan otot-ototnya. Harus Anna akui jika mengurusi murid-muridnya yang imut dan lucu ini membutuhkan tenaga extra. Oleh karena itu makan siang menjadi sangat penting untuk mengisi tenaganya juga teman-temannya. Khususnya sebelum mereka memulai rapat divisi Early Childhood yang akan dilaksanakan pada pukul 1.30 nanti.
"Untung aja lu udah masuk, Na. Gue ga tau lagi deh gimana kalau lu belum muncul-muncul juga. Ini nyawa gue udah mau lepas kayanya," kata Monique, partner mengajar Anna, sambil menikmati mie ayam pesanannya.
Perkataan sang partner juga didukung oleh salah satu rekan tim Early Childhood lainnya. "Iya, benar banget. Anyway, lu tahu ga sih siapa yang gantiin lu kemarin itu?"
"Miss Lolly kan?" tanya Anna sambil meneguk Es jeruknya. Siang hari ini memang terasa menyenangkan jika ditemani oleh Es Jeruk yang asam dan manis ini.
"Gila, Na. Makan hati banget gue sama dia. Suka ngilang-ngilang, buka hp waktu lagi ada anak-anak. Saking konsennya dia nge-chat sampe ga nyadar kalau Bryan dipukulin sama Patrick," lapor Monique dengan kesalnya. Pasalnya saat itu dia sedang ke toilet dan karena hal itu, dia dan si guru pengganti harus mendapat teguran dari orang tua murid dan kepala sekolah.
Anna yang mendengar keluh kesah rekannya hanya bisa diam dan menanggapi seadanya. Jangan tanyakan perasaan Anna saat ini. Sudah pasti penuh rasa bersalah. Jika waktu perlu diputar tentu ia tidak akan gegabah untuk meninggalkan pekerjaannya dan 'menculik' anak orang.
"Lagian, Na. Lo kemana aja sih? Ngilang lama banget? Anyway, kabar Annie gimana? Dia sudah sembuh belum ya? Lu kan yang bawa ke rumah sakit?"
"Aaa... emm.... G-gue..."
"Miss Anna.."
Sebuah panggilan berhasil menyelamatkan Anna dari berbagai pertanyaan yang ditujukan kepadanya. Jujur saja pertanyaan-pertanyaan itu bagai bom mematikan yang menyerangnya secara bertubi-tubi. Entah apa yang harus dia lakukan jika tidak menjawab dengan pintar. U
"Yes, Sir?" jawab Anna yang langsung berdiri dan menuju ke depan pintu, tempat dimana Steven, sang kepala sekolah, berdiri.
"There's a guest looking for you."
Anna yang mendengar itu langsung izin keluar kepada rekan kerjanya. Dalam hati ia sangat berterima kasih pada siapapun yang ingin menemuinya saat ini karena telah menghindarkannya dari 'pencobaan;'. Sebelum meninggalkan kelas, tak lupa Anna meminta meminta Monique untuk menggantikannya memimpin rapat divisi jika ia sedikit terlambat.
"Ehm... Anna, do you know Leon Wiryadinata?"
Pertanyaan Steven sukses membuat Anna berhenti di tempat kebingungan. "W-what do you mean? Why should I know him?"
"Because he's Annie's parent... and he's the one who is looking for you?"
Damn it!
Sepertinya rasa terima kasih Anna berubah menjadi umpatan berkepanjangan begitu mengetahui siapa tamu tersebut. Kenapa harus Leon yang datang menemuinya?! Ada urusan apa pula pria itu mengejarnya sampai harus ke sekolah?! Membawa-bawa Annie pula?!
Sesampainya di ruang kepala sekolah, Anna menemukan Leon tengah duduk sampai mengecek layar handphone-nya. Juga ditemani oleh Jason, sang tangan kanan, yang selalu setia berada di sampingnya. Pria itu tampak serius dan tenang secara bersamaan.
"Mr. Wiryadinata, this is Miss Annabelle, Annie's teacher," kata Steven sambil memperkenalkan Leon dengan sopan. Demi menjaga kesopanan, keduanya pun langsung berjabat tangan meski terlihat enggan.
"Selamat siang Mr. Wiryadinata, apa ada yang perlu Anda bicarakan dengan saya? Oh ya, bagaimana kondisi Annie?" tanya Anna berbasa-basi.
"Selamat siang Miss Annabelle. Kondisi Annie sangat membaik. Terima kasih sudah peduli," balasnya terlihat tulus.
"Sebenarnya ada yang perlu saya bicarakan dengan Anda. Bisakah kita bicara berdua?" tanya Leon berusaha terlihat sopan.
Steven yang mendengar permintaan tersebut awalnya tidak setuju. Namun karena Leon sedikit memaksa serta Anna yang mengatakan tidak apa-apa, akhirnya Steven pun mengizinkan dengan catatan pembicaraan tersebut dilakukan di ruangannya. Setelah Steven pergi, Jason pun ikut keluar dari ruangan. Meninggalkan sepasang manusia yang sedang dalam mode perang.
"Jadi, Mr. Wiryadinata, apakah yang perlu Anda bicarakan dengan saya?"
"Aku cuma mau memberitahu kalau papa kamu sudah bebas jam 10 tadi pagi. Mungkin akan ada yang menyuruhmu makan di rumah untuk merayakannya. Kamu bisa periksa handphone-mu. Mungkin chat-nya sudah masuk."
Benar saja. Sesuai pernyataan Leon, memang ada chat masuk sejak 1 jam lalu. Chat dari mama yang mengatakan kalau papanya sudah kembali ke rumah. Chat yang juga menyatakan kalau Anna harus pulang malam ini karena mereka akan kumpul keluarga.
Seminggu sudah berlalu semenjak Anna memberikan syarat itu. Anna pikir tidak akan mudah bagi Leon untuk menepatinya mengingat kondisi sang ayah yang sudah dipenjara. Nyatanya, Leon justru bekerja cepat tanpa disadarinya.
"So, Belle, you know what I mean, don't you?"
Anna sadar. Ia pun sudah bertekad untuk melaksanakan janjinya.Yang penting keluarganya selamat.
"I know. Terima kasih sudah membantu, Leon. Tapi aku punya syarat sebelum menyetujuinya," balas Anna.
"Syarat lagi? Sebutkan apa itu?"
"Pertama, pernikahan ini ga boleh tercium media. Aku ga mau dengar ada berita pernikahan atau identitasku bocor di media. Aku juga gamau berita ini didengar sama keluarga. I'm not ready, and so are they. Kedua, aku ingin terus bekerja."
"Tidak masalah,"
"Lalu yang ketiga, let's make a prenup,"
Belum sempat Anna melanjutkan kalimatnya, Leon sudah memotongnya dengan berapi-api, tidak setuju atas syarat yang diajukan. "Are you crazy, Belle? Kamu pikir kita akan bercerai?!"
"Bukan begitu, Leon. I... ini untuk kebaikan kita. Kalau aku dan kamu sama-sama tidak cocok, kita bisa mengakhirinya dan tidak perlu ribet,"
"No! Tidak akan ada perceraian."
Leon benar-benar kekeh pada pendiriannya. Pria itu benar-benar tegas dan tidak ingin dibantah. Sayangnya Anna memiliki pendirian yang berbeda dengan mantan tunangannya itu. Oleh karena itu, ia tentu akan berusaha untuk memenangkan perdebatan ini.
"L-let's try this for a year. Hanya setahun saja. Kalau dalam setahun kita baik-baik saja. Maka tidak akan ada perceraian dan perjanjian ini bisa kita ubah."
"You don't trust me, do you?"
"Kamu ga berpikir aku mudah percaya sama kamu seperti dulu kan?"
Anna berharap Leon dapat mengingat apa yang telah pria itu lakukan padanya 10 tahun lalu. Anna berharap ia tak perlu menyebutkan kejadian dulu dan menggali luka lamanya. Untungnya, keinginan itu terkabul melihat wajah pria itu yang mengeras serta tatapannya yang penuh kecewa. Entah apa artinya itu. Yang penting Leon Wiryadinata mengingatnya.
"A year. Hanya setahun,"
"Ya. Hanya setahun."
Seulas senyum kembali terbit dari wajah dingin pria itu. Ia sungguh tidak ingin membuang kesempatan yang ada. Dan Anna... tahu apa artinya itu.
"Aku juga punya syarat untukmu. Setidaknya syaratku hanya 2."
"Baiklah, mari kita dengarkan?"
"Pertama, tidak ada perselingkuhan."
Ingin rasanya Anna tertawa mendengarnya. Bahkan penyebab putusnya pertunangan mereka 10 tahun lalu lebih parah dari perselingkuhan. Bagaimana mungkin Leon dengan sangat percaya diri mengajukan syarat 'seberat' ini. Bukan berat bagi Anna pastinya. Namun berat bagi dirinya.
"Kamu yakin bukan kamu yang melanggar syaratmu sendiri?" tanya Anna polos.
Leon yang sadar akan sindiran itu hanya bisa tersenyum. "Tenang saja. Aku tidak akan sebodoh itu. Setidaknya untuk sekarang,"
"Lalu syarat kedua?"
"Setelah kita menikah kamu harus tinggal bersamaku. Lakukan tugasmu sebagai istri dan ibu sebagaimana mestinya. Deal?"
Dengan sangat berat hati Anna pun menganggukkan kepalanya. "Deal.."
Tiba-tiba Leon berdiri dan menjulurkan tangannya. Anna yang berpikir jika Leon ingin mengajaknya berjabat tangan tentu saja langsung berdiri dan menyambut tangan itu. Namun di luar dugaan, Leon justru menarik Anna ke pelukannya dan memberikan kecupan singkat di bibir wanita itu.
"Anggap saja sebagai latihan."
What the?!!!
***
Happy Friday everyone!
Enjoy the reading!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top