Chapter 10
"Bu, kata Bu Kylie disuruh tunggu sebentar. Silahkan duduk dulu Bu," ucap sekretaris Kylie pada Anna sambil mempersilahkannya duduk di sofa yang telah disediakan.
Tak lama kemudian pintu pun terbuka dan keluarlah Richard, suami Kylie, dengan keadaan yang terlihat biasa saja. Pada awalnya. Hingga Anna menyadari adanya kondisi Richard yang sedikit berbeda.
"Hey, Anna! Where have you been?" sapa Richard dengan senyuman lebar pada sepupu sekaligus sahabat baik istrinya itu. Niatnya, dia ingin menghampiri Anna dan memeluknya. Namun sayang, justru Anna sudah lebih dulu memberi jarak.
"Why? (kenapa?)" tanya Richard kebingungan.
Anna pun menjawabnya sambil berbisik, "Rich, Trust me, I want to hug you. Tapi kondisi lu yang baru dapat jatah ini... Nahh, I better refuse daripada ketularan bau lu."
"Oh yeah! Sorry, Na. Maklum udah halal. Jadi bisa kapan saja dan di mana saja," balas Richard sambil mengulum senyum tipis dan terlihat bangga.
"Ck! Emang pasangan gila kalian!" sungut Anna sambil berpura-pura kesal. Meski demikian, pada dasarnya, Anna juga ikut senang dengan apa yang Kylie dan Richard alami.
"Oh iya! Sama satu lagi," lanjut Anna sambil mengambil sesuatu dari tasnya. "Itu kerah baju lu dirapiin. Ini concealer gue. Lu ke toilet terus olesin itu di bagian leher. You know what I mean."
Alih-alih menerima concealer tersebut, Richard justru tersenyum semakin lebar. "No need. Thanks, Na. Gue pergi dulu ya. Kylie udah nungguin dari tadi. Mau ditodong sama dia. Katanya lu ngilang berhari-hari gaada kabar. Bye!" pamitnya sembari memasuki lift. Sedangkan Anna hanya bisa mengangakan mulutnya sambil mengelus dada melihat kebucinan salah satu pria terkaya di Indonesia ini pada istrinya.
Sepeninggal Richard, akhirnya Anna pun memasuki ruang CEO milik sepupunya itu. Ruangan itu tidak terlalu besar, namun desain yang elegan. Ada beberapa penghargaan yang terpajang di dinding sebelah kanan ruangan, yang menyatakan bahwa perusahaan ini bukanlah perusahaan main-main.
Lalu dimana sang pemilik ruangan? Di sofa berwarna mocca. Di situlah Kylie berada. CEO Zmatch itu sedang memakai Chanel Poudre Universelle Compacte di wajahnya. Tentu saja Anna sudah bisa menebak alasannya.
"Semprotin stella kek! Baunya masih kecium tau ga?! Harus banget nunjukkin kebucinan kalian di depan gue? PDA ga cukup rupanya," omel Anna pada sahabatnya itu.
Namun Kylie yang memang tidak sadar jika Anna sudah masuk justru kaget mendengar suaranya. "Anna! Finally! Akhirnya muncul juga setelah menghilang!"
Wanita itu terlihat sumringah sekali menyambut kedatangan Anna. Wajar saja. Sudah seminggu lebih mereka tidak bertemu.Biasanya mereka berdua akan bertemu setidaknya 2 - 3x dalam seminggu. Ditambah lagi, Anna nyaris jarang membaca atau membalas chat Kylie atau pun grup mereka beberapa hari ini. Tentu saja hal ini membuat Kylie dan ketiga member Flower Power lainnya kebingungan. Untung saja melalui Tavella, mereka semua mulai mendapatkan pencerahan mengenai apa yang terjadi pada Anna. Meskipun belum ada yang tahu update terbarunya.
Kylie pun menghampiri Anna, memberikan pelukan singkat, dan mengajaknya untuk duduk di sofa. "Wait. Gue cek dulu ada bekas sperma ga di sini," sindirnya sebelum menduduki sofa tersebut.
"Tenang aja. Sofanya aman. Gue ngelakuin bukan di situ ko. Tuh di sana," jawab Kylie tersenyum simpul sambil mengarahkan kepalanya ke arah meja kerjanya yang memang terlihat... agak berantakan.
"Oh my... Ga usah ditunjukin juga kali. FYI, gue ga berniat untuk cari tahu sebenarnya," ketus Anna yang dongkol sekali dengan kesantaian Kylie di tengah suasana hatinya yang sedang super kesal. Wajahnya memang sudah terlihat keruh sejak tadi.
Sambil terkekeh, Kylie memilih duduk di samping Anna. Setelahnya Kylie menghubungi sekretarisnya untuk menyuruhnya pergi ke Stardust, cafe di seberang kantor. Pasalnya, sekarang sudah jam makan siang dan ia sudah kepalang lapar.
"Lu mau pesan apa?"
"Matcha frappe and Spaghetti Aglio Olio."
"Noted,"
"Gue perlu ada kerjaan sebentar. Paling 10-20 menit. Lu duduk manis dulu ya di sini sambil tunggu makanan."
Anna pun menurutinya. Apa boleh buat? Ia yang datang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Jadi, ia harus menunggu.
Tak lama kemudian, makanan pun datang. Baik Kylie dan Anna menikmatinya dengan penuh semangat. Makan siang benar-benar menambah tenaga. Juga memperbaiki mood. Terlihat dari wajah Anna yang mulai terlihat cerah. Apalagi setelah menikmati matcha frappe favoritnya.
"So what's wrong? Tumben banget lu muncul di jam sekolah begini. Biasanya kan lu paling anti bolos-bolos," tanya Kylie setelah makan siang mereka habis.
"It's urgent, Kyle. Gue bahkan harus izin ke Steven dan rela di sindir-sindir sama beberapa guru demi bisa ke sini. I'm messed up these days," keluh Anna meratapi dirinya.
"So, what's wrong? Tell me. Apa benar kata Vella kalau lu nyulik anak si Leon mantan lu itu? And right now He is suing you?"
"Ya... kira-kira seperti itu... tapi ga seperti itu juga."
Cerita Anna pun mengalir seperti sungai. Dimulai dari ditemukannya lebam-lebam pada tubuh Annie, Leon yang terkesan tidak bertanggung jawab, ia yang membawa Annie pergi, hingga Leon yang menawarkan pernikahan kepadanya. Semuanya Anna ceritakan dengan mendetail dan tanpa jeda.
"So, basically, lu memang nyulik anak orang dan dituntut bapaknya? Tapi bapaknya yang sok cool dan baik hati itu justru menawarkan pernikahan sama lu? Begitu kan?"
Dengan lesu Anna mengangguk, "Iya, gitu..."
"Gila lu! Itu di kepala lu otak manusia apa udang si?" sarkas Kylie sambil menyentuh kepalanya.
"Ya habis gimana dong?! Gue ga tega liat anak kecil di-abuse begitu! Sama pembantu pula! Dan bapaknya... bentukannya begitu lagi! I just can't!" kesal Anna yang mulai tersulut emosi.
Anna memang membenci sikap abusive. Tapi dia lebih membenci orang yang lepas tangan dan seakan buta akan apa yang terjadi. Hal itulah yang membuatnya nekat membawa Annie pergi. Ya... meskipun Anna akui tindakan tersebut ia lakukan tanpa berpikir panjang.
"Jadi sekarang... dia... beneran tinggal di vila sama kalian?"
"Yes! Gila ga tuh?! Masa tiba-tiba dia bisa nongol di rumah, duduk di sofa macam tuan rumah yang lagi nyambut kedatangan tamunya! Damn Leon!!!"
FYI, kalian tahu surprise yang didapatkan Anna? Yes, you're right! Leon Wiryadinatalah surprise-nya. Leon yang berada di ruang tamu menyambut mereka dan mengatakan pada mereka jika ia akan tinggal di sana sampai keadaan Annie membaik. Katanya, ia ingin menjaga anaknya, sesuai dengan permintaan Anna.
"Dia kasih gue waktu 3 hari untuk memutuskan. Goddamn 3 days! But can you imagine ketika dalam 3 hari itu gue harus ngeliat muka dia terus?! Gue bahkan ga bisa kerja karena dia menuntut gue untuk merawat Annie sampai sembuh. Kalau bukan karena gue bilang ada urgent matter yang mengharuskan gue ke sekolah, gue ga akan bisa pergi, Kyle! Dia bahkan paksa gue untuk pakai supir dia cuma untuk kerja! Dia udah mirip cctv tau ga?!"
Padahal baru tinggal bersama 2 hari, namun Anna sudah merasa terkungkung saja bersama Leon. Namun bagaimana tidak? Kebebasannya selama bertahun-tahun harus terhenti karena ulah pria itu.
Sungguh. Anna tidak keberatan merawat Annie. Ia bahkan sangat menikmatinya. Tidak sama sekali! Tapi tidak dengan hidup bersama mantan tunangannya yang menyebalkan itu.
"Jadi... lu sudah tahu mau kasih jawaban apa?"
"Gue masih bingung. Jujur gue ga akan mau nikah cuma buat cerai karena kita ga nyesel nanti. I just want to do it once. Gue ga mau salah." jawabnya tegas.
Tiba-tiba saja Kylie tersenyum mendengar penuturan Anna. Seperti tersebersit suatu ide di kepalanya. Perlahan ia mengambil tangan Anna dan menggenggamnya.
"Napa lu senyum-senyum? Pegang-pegang tangan gue lagi," ketus Anna.
"Na, kenapa ga lu terima aja penawaran Leon?"
"Hah! Gila lu?!"
"No, I'm not. Lu bilang lu ga mau salah kan? Kalau begitu jangan lakukan kesalahan," kata Kylie penuh percaya diri.
"Maksud lu?"
"Let him be the one who does it. Biar dia yang salah!"
***
Waktu sudah menunjukkan pukul 12 siang, namun Leon masih berkutat dengan berkas-berkasnya. Sejak memutuskan untuk 'meliburkan diri' dan memilih tinggal di villa Anna, semua pekerjaan dipusatkan dikamarnya. Lebih tepatnya, di kamar tamu yang ia pilih untuk tinggali. Untungnya, Jason, sang sekretaris, dapat dengan mudah diandalkan. Sehingga ia bisa meminta meja dan kursi kerja untuk diletakkan di kamar tamu tersebut.
Suara ketukan pintu mengalihkan perhatiannya. "Masuk," katanya.
"Tuan, maaf, saya mau memberitahukan sudah jam makan siang. Tuan ingin makan di dalam apa di kamar saja seperti biasa?"
Ya. Meski tinggal di sana, Leon memang memilih untuk makan sendiri di kamar. Hal ini dikarenakan pekerjaannya yang menggunung, yang tentu saja menunggu untuk diselesaikan. Lagipula, ia memang terbiasa untuk makan sendiri.
"Saya makan di kamar saja," jawabnya sambil kembali memeriksa berkas-berkas tersebut.
"Baik, tuan. Saya akan bawakan makan siang ke kamar," jawab pelayan tersebut lalu bersiap untuk membuka pintu.
"Tunggu," panggil Leon. Ia baru saja teringat akan satu hal. "Apa Anna sudah pulang?"
"Maaf Tuan. Setahu saya Non Anna belum pulang. Ada lagi yang mau ditanyakan,Tuan?"
Mendengar jawaban tersebut, Leon pun berusaha untuk menghubungi Anna. Niatnya ingin menanyakan jam berapa mantan tunangannya itu akan sampai di villa. Sayang ponselnya tidak terhubung. Entah karena sengaja dimatikan atau batrenya habis. Sadar bahwa Anna mungkin akan sampai sore/malam karena kegiatan baru selesai siang, maka Leon pun memutuskan untuk keluar kamar siang ini.
"Biasanya Annie makan dimana?" tanya Leon lagi.
"Biasanya Non Annie akan makan siang bersama Non Anna di ruang makan, Tuan."
"Kalau begitu hari ini saya makan di bawah saja."
Meski bingung, pelayan tersebut tetap mematuhi perintah Leon. "Baik, Tuan. Saya permisi," katanya sebelum meninggalkan ruangan.
Beberapa menit kemudian, makanan telah tersedia dengan rapi di meja makan. Mulai dari nasi serta lauk-pauk yang menggugah selera. Sedangkan penikmatnya telah duduk rapi di kursi masing-masing.
Sayangnya, bukan suasana awkward begini yang Leon harapkan. Hening bagai kuburan. Leon sendiri bingung ingin memulai pembicaraan dari mana. Bukannya Leon tidak suka anak-anak, hanya saja ia takut salah bicara. Ia bukanlah Anna yang dapat dengan mudah menjalin komunikasi dengan mereka dan disenangi. Apalagi setelah ia mendengar pembicaraan antara Anna dan putrinya di rumah sakit 2 hari lalu, yang tentu saja sedikit banyak mengurangi kepercayaan dirinya dengan sang anak.
"Da... Daddy... can Annie eat?" tanya Annie dengan takut-takut.
"Yes, you may. Annie boleh makan," jawab Leon dengan nada tegasnya. Padahal hanya kalimat singkat yang keluar dari mulutnya. Namun entah mengapa, justru membuat bulu kuduk para pendengarnya, termasuk pelayan-pelayannya, merinding.
Baru saja Leon ingin mengambil makanan, tiba suara gadis kecilnya kembali terdengar. "Daddy, we need to pray . Harus berdoa dulu, Daddy."
"S**t!" umpat Leon yang langsung menghentikan kelakuan tangannya. Untung saja belum ada yang tersentuh.
Berdoa? Ia bahkan sudah lama tidak melakukannya. Mana ia ingat untuk melakukan hal serohani itu. Apalagi ketika makan bersama pacar-pacar modelnya itu.
"D-daddy, it's a bad word," sahut Annie kembali. Meskipun ketakutan, tapi Annie berniat untuk mengoreksi kelakuan Daddy-nya.
"D..." Belum mengucapkan kata tersebut, Leon kembali mengatupkan mulutnya. Tidak lupa sambil mengutuki diri sendiri dalam hati.
Sial! Sulit sekali makan dengan anak kecil!
Seumur-umur inilah pertama kalinya bagi Leon untuk makan dengan putrinya. Maklum saja. Mereka tidak pernah bertemu face-to-face selama Leon di Amerika. Leon yang terbiasa makan dengan rekan bisnis atau pacar modelnya tentu lupa, atau bahkan tidak tahu, bagaimana tata cara makan bersama anak kecil.
"Baiklah. Siapa yang akan memimpin doa? Apa Annie sudah bisa memimpin doa?" tanya Leon setelah menenangkan dirinya. Jujur saja makan bersama Annie lebih 'menyeramkan' daripada makan bersama Presiden Amerika.
Tidak seperti dugaannya, justru kedua mata Annie terlihat berbinar saat dia menjawab, "Yes, Daddy. I can!" jawabnya antusias.
Pada akhirnya Annie-lah yang memimpin doa makan. Setelah doa selesai, barulah mereka dapat menikmati santapan nikmat di hadapan mereka ini. Suasana pun kembali hening. Hanya suara kunyahan makanan yang terdengar. Tidak ada yang berani membuka mulut jika tidak ada perintah.
"D-daddy, do you know where is mommy? Mommy di mana ya, Daddy?" tanya Annie di tengah sesi makan mereka.
"Pergi ke sekolah," jawab Leon singkat.
Mommy. Jujur saja Leon suka saat Annie memanggil mantan tunangannya demikian. Dan ia tidak berniat untuk mengoreksinya. Toh, pasti sudah disepakati bersama.
"Pulangnya jam berapa, Daddy?" tanya Annie dengan aksen keinggris-inggrisannya.
"Tidak tahu,"
Lagi-lagi suasana kembali menjadi hening. Namun Annie tidak tinggal diam. Ia memang sangat penasaran sekali kemana hilangnya guru kesayangannya itu.
"Ehm... A-apa Daddy call Mommy?"
"Tidak diangkat,"
"Call lagi Daddy?" tanya gadis kecil itu, berusaha memastikan sudah seberusaha apa Leon mencari Anna.
"Sudah. Tapi tidak diangkat," jawabnya lagi.
"Annie call?" tanya Annie, yang lebih tepatnya disebut memohon.
Leon yang mulai kesal dengan pertanyaan beruntun putrinya itu mengeratkan genggamannya pada sendok dan garpu di tangannya. Ia masih berusaha untuk menyabarkan diri. Pasalnya, masih banyak urusan yang harus diselesaikannya di kamar sana. Oleh karena itu Leon perlu makan dengan cepat dan tenang. Toh Leon pikir menemani Annie makan sudah cukup. Tidak perlu harus diselingi gelak tawa atau candaan.
"Annie, can you stop? Daddy sudah bilang Mommy akan pulang. Dia hanya sedang pergi ke sekolah. Do you understand? Sekarang makan dengan tenang."
Ajaibnya, Annie pun berhenti merengek. Namun entah kenapa hati Leon justru tercubit melihat ekspresi putrinya. Annie memang diam dan melanjutkan makan, namun terlihat sekali dari raut wajah gadis itu jika ia merasa segan dan takut.
Tidak cukup sampai di sana, kekesalan Leon justru bertambah saat melihat pencuci mulut apa yang disajikan bagi Annie. "'Kenapa dikasih brownies? Siapa yang memasak ini? Panggil ke sini sekarang juga!" perintahnya pada pelayan yang ada di sana.
Tak lama keluarlah si tersangka utama,yang tak lain dan tak bukan adalah pelayan yang ditugaskan untuk menjadi nanny Annie. Lebih tepatnya, pelayan yang 2 hari lalu menumpahkan teh panas dan mengenai tubuh Annie meskipun secara tak sengaja. Tentu saja emosi Leon semakin tersulut.
"Kamu lagi rupanya. Sepertinya kamu selalu membuat masalah ya? Saya bingung kamu belum dipecat! Kamu ga lihat anak saya tubuhnya memar-memar karena kamu?! Sekarang mau kamu buat sakit gigi juga?" bentak Leon sambil memperhatikan pelayan yang sedang berdiri ketakutan itu.
"Ma-maaf, Tuan. Sa... saya memang tidak mengurus Non Annie lagi. Tapi saya diizinkan untuk membuatkan brownies ini sama Non Anna. Sa-saya cuma membuatkan saja," jawab pelayan tersebut membela diri. Meski tentu saja ia hampir menangis.
"Saya Daddy-nya! Harusnya kamu minta izin sama saya! Bukan sama Anna! Apa kamu siap ganti rugi kalau terjadi sesuatu sama anak saya?!"
"Ta-tapi tuan..."
Pelayan itu masih akan melanjutkan pembelaannya. Meski berderai air mata, ia ingin membuktikan jika ia tidak salah. Tadi pagi memang Anna mengizinkannya untuk membuatkan brownies untuk Annie. Meski ia tidak bisa mengurus Annie untuk sementara waktu karena kasus teh panas 2 hari lalu, tapi dia masih bisa mengurus keperluan Annie atau makanannya. Toh Annie memang suka sekali brownies buatannya. Lagipula, bukan sepenuhnya salah dan majikannya sudah tahu hal itu. Namun sayang, pembelaan dirinya justru diinterupsi oleh suara tangisan yang familiar asalnya.
"Huaaa... Ncus ga salah!!! Da-daddy jahatt!" Racaunya pada Leon, yang didengar oleh seisi ruang makan. Annie sudah memutuskan. Ia harus membela nanny-nya yang tidak bersalah itu. Sekalipun ia ketakutan setengah mati.
Bukannya menghibur, Leon justru berusaha membela dirinya. "What do you mean? Bukan Daddy yang salah! Harusnya kamu bilang sama ncus kamu ga boleh makan yang manis-manis!"
Sebenarnya Leon sama sekali tidak berniat membentak Annie. Namun ia benar-benar kelepasan karena si pelayan yang terus menyanggah ucapannya. Belum lagi beberapa persoalan perusahaan dan urusan pribadi yang membuatnya semakin sakit kepala. Begitu ia menyadari apa yang baru saja ia lakukan, semua telah terlambat. Tangis Annie semakin menjadi.
"Huaa!!! Daddy jahat! I want Mommy!"
Benar-benar chaos!
***
"Na, kok ramai ya di lobby kantor?" tanya Kylie pada Anna ketika mereka baru saja sampai di perusahaan Sastrawijaya.
Setelah melalui perbincangan panjang dengan sepupunya itu, Anna memutuskan untuk mengunjungi kantor ayahnya. Ia ingin mengetahui langsung bagaimana kondisi perusahaan. Setidaknya ia mendapatkan gambaran penuh sehingga ia semakin yakin jika keputusannya sudah tepat.
Awalnya Anna berpikir ayahnya pasti terkejut karena putri kesayangannya yang nyaris tidak pernah berkunjung tiba-tiba muncul di kantor. Namun, sebaliknya, justru Annalah yang dapat kejutan begitu melihat kerumunan orang di lobby perusahaan keluarganya. Kebingungan, Anna pun memutuskan untuk turun, sementara Kylie disuruhnya untuk menunggu di mobil bersama supir sekalian mencari parkir untuk mencegah terjadinya hal-hal buruk.
Sesampainya di lobby, Anna pun berusaha untuk menembus kerumunan orang yang ia ketahui sebagai pegawai perusahaan. Betapa kagetnya dia melihat siapa yang keluar dari pintu tersebut. Ada ayahnya, Alexander Sastrawijaya, dengan tangan terborgol diiringi beberapa polisi. Selain itu ada orang-orang KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang wajahnya sering ia lihat di berita.
Anna masih sempat bertatapan dengan ayahnya. Mereka tidak saling bicara. Hanya saja ia dapat melihat raut sendu dan rasa bersalah dari wajah sang ayah. Tatapan Anna mengiringi ayahnya hingga masuk ke mobil polisi. Begitu pintu telah tertutup, saat itulah Anna sadar jika ayahnya telah ditangkap.
Saat Anna ingin melangkah mendekat ke mobil, ada tangan yang menahan lengannya. "Ci, jangan," panggil Anthony, adiknya yang juga merupakan General Manager perusahaan.
"Ton, kok Papa bisa ditangkap? Kata lu perusahaan baik-baik aja," tanya Anna setelah Anthony berhasil membawanya keluar dari kerumunan.
"Ci, gue ga bisa cerita sekarang. I promise I'll tell you later. Sekarang sebaiknya lu balik. Lu tenang aja. Gue dan Om Teddy yang akan urus ini," kata Anthony berusaha menenangkan Anna.
Namun mana mungkin Anna tenang-tenang saja di saat situasinya sedang menegangkan begini? Mana mungkin ia bisa tenang beraktivitas saat mengetahui ayahnya masuk penjara? Bahkan saat ini matanya sudah berkaca-kaca menahan tangis.
"Lu mau kemana?", tanyanya pada Anthony yang memang terlihat terburu-buru.
"Gue harus ke kantor polisi, Ci. Om Teddy juga sudah dalam perjalanan ke sana. Lu pulang dulu aja ya,"
"Gue ikut ya, Ton. Gue janji habis itu gue langsung balik. But please, biarin gue lihat kondisi papa di sana. At least gue bisa lebih tenang," kata Anna memohon.
Awalnya, adiknya masih menolak. Beralasan jika ia tidak akan merasa nyaman di sana. Toh belum tentu juga ia akan bertemu sang ayah. Namun, Anna tetap bersikeras untuk ikut. Berbagai macam janji dan ancaman ia lontarkan pada adiknya hingga akhirnya ia diizinkan. Akhirnya, Anna pun pergi bersama Kylie, sementara Anthony naik mobil pribadinya.
"Na,are you ok?" tanya Kylie selama di perjalanan.
"Gue ga ok, Kyle. But I must look ok for my family," jawabnya sambil tersenyum lirih meneteskan air mata, sementara Kylie hanya bisa memberikan kekuatan melalui dekapan sayangnya.
Sesampainya di kantor polisi, Anna langsung menemui Anthony. Di sana sudah ada Om Teddy yang mendampingi. Hanya saja ayahnya memang belum kelihatan.
"Om, Papa dimana? Aku bisa ketemu Papa sebentar ga?"
"Untuk sekarang belum bisa, Anna. Mungkin beberapa hari lagi ya?"
"Ga mau Om. Mau ketemu sekarang. Sebentar juga ga papa. Please Om. Tolong dibantu. Sebentar aja," mohon Anna. Ia bahkan rela berlutut jika disuruh untuk bertemu dengan papanya.
Berkali-kali Anna memohon, akhirnya Om Teddy sang pengacara pun luluh dengan permohonan wanita yang sudah seperti anaknya ini. Setelah berbicara dengan beberapa oknum kepolisian, akhirnya Anna pun diizinkan untuk bertemu. Hanya perlu menunggu beberapa saat, akhirnya muncullah sang ayah yang dirindukan.
"Papaa!"
Anna langsung menghambur ke pelukan ayahnya. Ia tidak dapat lagi menyembunyikan air matanya. Tangisannya pecah saat itu juga. Mengetahui ayahnya dalam kondisi baik-baik saja sungguh membuatnya tenang.
"Papa sudah makan?", tanya Anna sambil menghapus air mata.
Bukannya terlihat kusut, ayahnya justru tersenyum manis dan masih sempat bercanda. "Sudah, sayang. Untung Papa ditangkap waktu habis makan siang. Jadi masih bisa isi perut sama makanan enak. Hehehe... Ngomong-ngomong Papa pikir kamu ga kangen Papa. Soalnya minggu lalu malah ga pulang. Ternyata kangen juga ya. Hahaha..."
"Papa kok ngomongnya gitu sih..."
Tidak ada tawa yang terdengar dari Anna. Hanya tangisan saja yang terlihat dari wajahnya. Mungkin akibat dari stress yang memang mengganggunya beberapa hari ini sehingga tangisannya susah berhenti. Namun mana mungkin ia ceritakan semua pada ayahnya.
"Sayang, maaf ya kamu harus lihat papa begini. Kamu tenang aja. Everything will be ok. Papa ga salah kok. Jadi pasti cepat bebas," bisik sang ayah menenangkan.
"Beneran, Pa?" tanyanya tidak yakin. Apalagi dari penangkapan tadi terlihat kalau kasus ini cukup besar.
"Iya. Kamu tenang aja ya. Sekarang kamu pulang dan istirahat ya. Ada Anthony dan Om Teddy yang urus." jawab ayahnya dengan yakin.
Setelah berbincang beberapa menit, akhirnya Anna pun harus berpisah dengan sang ayah. "Papa baik-baik ya di sini. Anna yakin Papa pasti cepat keluar. Papa kan ga salah," ucapnya sebelum berpisah.
Hatinya nyeri melihat ayah tercintanya harus mendekam di penjara selama beberapa saat ke depan. Namun tidak ada yang dapat ia lakukan kecuali menuruti perkataan ayahnya. Ia harus percaya pada kemampuan adik dan pengacara mereka.
Hei... Tunggu sebentar.. Sepertinya ada yang bisa ia lakukan.
"Kyle, kayanya gue tahu harus apa," ucap Anna begitu ia dan Kylie kembali ke dalam mobil.
***
Happy Weekend and happy reading! :D
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top