BAB 30
Aku berjalan duluan menuju ruang tamu sekolah yang letaknya diapit kantor guru dan ruangan piala sekolah. Ruangan tersebut tidak dikunci menandakan pihak sekolah sudah siap menyediakan ruangan ini untuk kami. Sebelum pintu ditutup oleh Inspektur Toro, Rama sudah berdiri di depan pintu dengan raut wajah angker dan dingin.
"Apa saya bisa masuk juga? Menemani Dik Nantha."
Inspektur Toro melempar pandangan ke rekannya yang dibalas anggukan, apaan nih? Inspektur Adrian yang memimpin interogasi kali ini. Entah mengapa dia terlihat sangat misterius, tatapan matanya kepadaku juga tajam, dia jarang berbicara juga, dan yang terpenting, dia pernah bekerja di polisi sektor Bogor.
Apa mungkin dia tahu mengenai masa laluku? Tidak. Tidak. Jangan terlalu memikirkan hal yang aneh, Nantha. Rahasia itu cuma aku, Vanka, mama yang tahu. Tidak ada yang tahu terlepas dari beberapa teror yang aku terima, sampai sekarang pun aku juga tidak tahu.
Tanpa menunggu jawaban apa pun, Rama melesat masuk dan duduk di sebelahku. Aku memandangnya kecut, dan dibalas tatapan tak kalah kecutnya dari Rama. Inspektur Toro menghela napas, dia menutup pintu dan duduk di sofa depanku.
"Jadi apa yang sebenarnya terjadi? Bukan kamu kan pelaku pembakaran di bazar?" tanya Inspektur Toro main nyerocos saja. Aku melotot tak suka ucapanya to
the point menuduh sekali.
Aku menggelengkan kepala. "Kami ber-empat juga panik karena kebakaran, makanya kami memutuskan untuk menyelamatkan diri lewat dinding belakang sekolah."
"Bagaimana caranya bisa lewat dinding belakang sekolah, kamu kan perempuan, Dik?" sela Inspektur Toro sambil memicingkan mata.
Aku menyunggingkan senyum kecil. "Kami naik ke meja kemudian memanjatnya."
"Ide yang bagus. Tapi kenapa nggak menyelamatkan diri lewat gerbang depan?"
Pertanyaan yang menjebak. Mana mungkin mereka tidak tahu kalau sekolah kami dikepung oleh massa yang sedang mengamuk. Apa mereka menuduhku sebagai pelaku kebakaran tersebut? Raut wajah Rama terlihat kesal juga, dia menyadari kalau pertanyaan tadi sangat konyol.
"Sekolah kami dikepung sekelompok orang yang tengah kalap, sehingga kami nggak bisa keluar. Tinggal pilih mau tewas digebuki atau tewas terpanggang."
Mendengar jawabanku kedua inspektur itu menganga kaget, Rama juga kaget, dia menoleh ke arahku dengan alis menukik ke depan.
"Tapi sangat nggak dianjurkan meninggalkan lokasi kejadian membuat panik sekolah, lebih parahnya lagi kamu dan rekanmu bisa dinyatakan tewas dalam kejadian itu," ungkap Inspektur Toro sambil menggelengkan kepala dan mengusap-usap dagunya.
"Kami terlalu panik. Sepertinya masih banyak anak murid lainnya yang berusaha menyelamatkan diri dengan berbagai cara."
"Ah, kamu berhasil mematahkan dugaan sementara kami, bahwa di antara kalian adalah pelakunya," kata Inspektur Toro bernada lega.
"Tunggu dulu," Inspektur Adrian menyipitkan mata. "Kata salah satu murid, dia melihat kamu dan Nino tengah mengintip Sandra dan Joe beberapa saat sebelum kejadian kebakaran. Kenapa kamu melakukannya?"
Aku terkesiap. Ternyata ada murid lain yang melihat aku dan Nino bersembunyi di balik stan menguping pembicaraan Sandra-Joe mengenai rencana departemen pendidikan yang ingin sekolah kami tutup. Obrolan itu juga berisi dugaan Joe terhadap teror yang selama ini terjadi sekolah adalah ulah manusia. Sayangnya, aku tidak tahu siapa nama yang Joe ungkap karena Nino keburu menarik tubuhku.
"Kami menguping pembicaraan Sandra-Joe mengenai rencana pemerintah menutup sekolah kami, karena sekolah kami membahayakan sekali," ujarku.
Rama memajukan kepalanya melotot tak percaya. "Kamu udah tau rencana penutupan itu sebelum aku kasih tahu? Terus Sandra dan Joe tau dari mana rencana itu?" tanya Rama.
Aku mengangguk. "Yup." Aku tidak punya jawaban tentang dari mana Sandra dan Joe mengetahui rencana itu. Aku hanya bisa memandangi Rama untuk menjawabnya,
"Joe itu Jonathan Arya? Anak dari Arya Bastian dan Shinta Asyari," ujar Inspektur Toro, kemudian dia menoleh ke Inspektur Adrian. "Pasangan suami-istri yang bersama Pak Gilang Mahendra melapor pengeroyokan tersebut."
Inspektur Adrian mengangguk paham menandakan mereka pernah bertemu sebelumnya. Ucapan Nino benar, mengenai orang tua Joe dan Sandra yang tidak akan tinggal diam dengan melapor polisi dan kedua Inspektur ini juga sang penyidiknya. Rama memandangiku dengan raut wajah sudah penasaran.
"Iya. Joe anak dari anggota komite sekolah. Dan, tentang Pak Gilang Mahendra, dia pemilik sekolah. Kenapa Pak Gilang ikut membantu penyelidikan dalam kasus pengeroyokan di belakang sekolah? Kemarin dia ditembak orang yang nggak dikenal. Apa inspektur menangani kasus ini juga?"
Uh, cowok dingin di sampingku ini peneliti yang luar biasa, mungkin saja di masa yang akan datang Rama bisa menjadi agen detektif berkat pikirannya yang cerdas dan mampu menangkap dengan cepat.
"Ya, tentu saja dia tidak akan tinggal diam jika menyangkut keselamatan anaknya dan anak dari sahabatnya. Kamu tidak tahu, Dik? Kalau Sandra Seline adalah anak tunggal Pak Gilang Mahendra," seloroh Inspektur Toro membuat aku gelagapan dan mendelik ganas ke polisi muda tersebut. Seakan mendapati raut wajahku yang marah, dia melanjutkan. "Ingat! Harus ada transparansi antar penyidik dan saksi, agar menjadi sinkron."
"Anak tunggal Pak Gilang adalah Sandra Seline?" Ulang Rama tak percaya.
"Ya. Kalau Sandra Seline yang terluka mungkin dia akan lebih murka lagi, tapi ternyata dia yang terluka duluan," ucap Inspektur Toro.
"Siapa pelaku penembakan itu? Apa motifnya?"
"Kami masih menyelidiki, dan jangan melewati garis dalam kasus penembakan itu, membahayakan."
Diam-diam aku melirik ke Rama, dia sudah menatapku tajam, entah kenapa dia melakukannya. Aduh, aku dikepung orang-orang menyeramkan.
"Ehem." Aku berdeham. "Kalau begitu bisa kita lanjuti ke kasus pengeroyokan preman?"
"Oke."
"Joe mengalami luka yang terparah sampai nggak sadarkan diri, sementara Nino meski memiliki banyak luka dia tetap bisa sadar, dan harus tetap menjalani perawatan luka-lukanya."
"Kemudian, kamu dan Sandra nggak mengalami luka segores pun? Hebaaaaat!!" pekik Inspektur Toro.
"Kami berdua melawan satu orang, dengan beberapa kali upaya kami berhasil menghindar dari golok melayang. Saat kami lengah dan diincar salah satu preman yang ingin menyerang kami dari belakang. Lalu Joe berusaha melindungi kami, alhasil dia yang mendapat luka sayatan besar di punggungnya."
"Berani juga dia ya, ckck."
"Tentu saja. Meski harus mengorbankan nyawa. Joe adalah orang yang selalu melindungi Sandra, selain papanya."
"Kau juga sudah melakukan hal yang serupa, bukan? Selalu melindungi orang yang disayang," ucap Inspektur Adrian misterius.
Aku menyernyitkan dahi heran. Siapa yang yang aku paling sayangi di dunia ini? Tentu saja keluargaku. Astaga! Aku mengangkat kepalaku langsung bertatapan dengan Inspektur Adrian.
"Memang ada orang yang nggak melindungi orang yang disayanginya?" Aku hampir mendengus.
"Nggak baik melindungi untuk sesuatu yang buruk," tandasnya cepat.
"Apa maksudnya?"
Kini Rama dan Inspektur Toro memandang kami berdua heran penuh tanda tanya besar.
Aku menoleh secepat kilat ke Inspektur Toro. "Kelanjutan kasus penculikan itu bagaimana? Apa aku bisa menemui pelaku tersebut saat ini?"
"Tentu saja kamu bisa datang ke lapas. Apa kamu baru mengingat sesuatu yang bisa disampaikan?"
"Hu'um. Nggak mungkin pelaku cuma dua orang, karena saat aku di dalam mobil ada yang menelepon ke seseorang, sementara mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Setelah itu aku juga dibius lagi. Jadi aku kira di dalam mobil tersebut ada dua orang, dan satunya lagi menunggui kami, mungkin dia yang memakai topeng hulk?"
**
Usai pertemuan kami dengan Inspektur Toro dan Adrian, aku segera melarikan diri dari Rama yang sudah berubah menjadi monster api dan siap meledak kapan saja. Dia sangat marah karena begitu banyaknya rahasia yang aku sembunyikan. Ingat kan aku pernah mengatakan kalau setiap orang memiliki rahasia masing-masing yang tidak bisa dibagi.
"Tunggu! Jangan pergi dulu!" Tangan kuat Rama menarik lengan kiriku.
Aku berusaha sekuat tenaga melepaskan diri menarik tanganku darinya. Butuh tenaga ekstra melepaskan diri dari Rama yang bertubuh bongsor itu. "Arggh!"
"Oke, aku bakal lepasin, tapi jawab dengan jujur dan jangan kabur!" Rama melepaskan tanganku. Aku menundukkan kepala takut. "Sandra Seline beneran anak tunggal Pak Gilang?" tanyanya dingin.
"Iya."
"Kamu masuk OSIS untuk jadi mata-mata dia, begitu?" Kali ini Rama bertanya dengan suara keras, dia marah sekali. Entah apa yang membuatnya marah aku tidak tahu.
"Iya, aku ingin membantu Sandra melindungi sekolah ini. OSIS adalah tempat yang bisa aku jadikan tameng, kenapa? Karena gadis cupu dan tak kasat mata sepertiku nggak bisa dianggap penting? Sandra melindungi sekolah ini karena dia pemiliknya. Sekolah ini harta miliknya, hadiah kelahirannya dari sang Ayah. Meskipun aku ingin sekali melindungi sekolah ini, aku nggak bisa jika nggak menjadi bagian dari OSIS."
"Begitu?" Suara Rama terdengar kecewa. "Kamu sukses memanfaatkan kami terutama Chacha. Kamu tahu soal tugas rahasia kami dari Chacha, kan?"
"Ya, dia juga yang berhasil memaksaku mendaftar jadi OSIS. Karena kami masih mencari orang yang sama, mungkin orang lain nggak akan percaya, nggak ada bukti. Tapi aku dan Kak Chacha melihat dengan mata kepala sendiri sosok itu," tambahku.
"Aku kecewa sama kamu karena menjadikan OSIS sebagai tameng agar orang-orang dapat mendengarkan suara kamu." Rama memiringkan wajahnya. "Agar kamu juga dapat menjadi populer?"
"Bukan itu tujuanku, aku cuma ingin menjaga sekolah ini dari berbagai kasus. Pembulian, pemalakan, senioritas, dan lain-lain."
"Kenapa kamu mau menjaga sekolah ini dari berbagai kasus tadi? Apa di sekolah lama kamu dulu dibuli, ditindas dan nggak ada yang mau mendengarkanmu sehingga di sini kamu mau grow-up?" seru Rama sangat-sangat tidak berperasaan.
Apa dia lupa kalau aku kelihatan culun begini? Dan, ucapan barusan terlalu pedas untuk ukuran seorang cowok yang katanya suka sama aku, ck.
Kenapa aku mau menjaga anak murid di sekolah ini? Agar tidak ada yang mengalami kejadian serupa dengan Citra. Itu saja. Aku mengangkat kepalaku nada suaraku bergetar. "Nggak ada seorang pun yang bisa diam saja setelah sesuatu yang buruk terjadi, termasuk kamu, Kak. Permisi."
Aku memang hanya seorang yang tidak jelas tanpa Sandra, Joe dan Nino. Aku sangat merindukan mereka.
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top