BAB 3

Surat itu berisi:

Jangan sok alim! Gue benci sama lo, tunggu tanggal mainnya!

Surat teror? Siapa yang diteror nih? Aku meletakkan surat tadi ke kolong meja biar gimana pun ini bukan hakku untuk mengambil surat yang bukan ditujukan untukku. Jangan sampai aku mengambil surat seperti dulu, tahu kan akibatnya, aku jadi merasa ketakutan sendiri. Lebih baik sekarang aku pulang, besok akan kucari tahu siapa pemilik meja ini. Setahuku ini adalah deretan kelas 11 IPA.

Besoknya aku nekat naik ke lantai atas untuk mencari tahu siapa pemilik meja yang menerima surat teror tersebut. Aku mengintip lewat jendela, dapat dengan jelas sang penerima surat yang lagi duduk termangu di kursinya, cowok? Aku mengira sang penerima surat adalah cewek cantik yang banyak ditaksir cowok dan dimusuhi oleh salah satu kakak kelas yang membencinya. Nyatanya sang penerima surat cuma seorang cowok dengan tampang kalem dan setahuku dia bukan gerombolan cowok seram yang biasa nongkrong di warung depan sekolah.

Bukankah dia salah satu anak OSIS? Aku lumayan hapal beberapa anak OSIS, yang katanya disebut sebagai tim OSIS ter-rajin dan disiplin tahun ini. Rama, Ron dan Reksa. Ya benar, dia adalah Reksa, wajahnya tak asing lagi dia suka berjalan bersama Rama dan Ron, sekolah ini memiliki beberapa kelompok geng yang sangat kentara.

Geng OSIS beranggotakan Ron, Shilla, Yunda, dan Chacha, karena mereka paling sering bersama, lalu Rama dan Reksa suka menempel saja, mereka semua berasal dari kelas 11.

Reksa pergi keluar kelas dengan ekspresi cemas, dengan langkah terburu-buru dia pergi menuruni tangga, aku mengikutinya karena suasana koridor yang ramai aku bisa membuntutinya tanpa menaruh curiga. Dia pergi ke pekarangan belakang melewati toilet cowok yang super bau pesing. Kalau bukan karena penasaran, aku ogah pergi ke sini. Aku pernah ke sini saat ingin mencari toilet wanita malah nyasar.

Ternyata di pekarangan belakang sudah ada yang menanti dirinya dengan wajah-wajah cemas, aku segera bersembunyi di balik tumpukan meja dan kursi reot yang tidak terpakai tidak jauh dari toilet cowok.

Setidaknya bau pesing tidak terlalu menyengat dari sini. Aku pernah iseng mencari jalan lewat jalan tikus di ujung pekarangan, tapi di jalan tikus sana banyak pecahan kaca dan beling seperti ranjau beling yang dipasang agar bisa menjebak siapapun. Mungkin sengaja dibiarkan agar tidak ada yang maen-maen di sekitar sini. Selain tempat ini paling sepi dan seram, bisa saja tempat ini sering dijadikan tempat nongkrong untuk hal yang buruk.

Dari jauh aku bisa melihat Rama dan Ron sudah duduk di salah satu kursi semen di bawah pohon melinjo dengan ekspresi dingin. Semoga aku bisa menguping dari sini, semoga....

"Lo dapet surat aneh?" tanya Rama, tidak ada nada takut dalam suaranya. Namun, dia tak dapat menyembunyikan kebingungannya.

"Iya, dia mengancam gue, siapa ya?" Suara Reksa terdengar sendu dan muram, ya mungkin dia heran dan sedih banget, siapa yang tega membenci dirinya yang polos itu.

"Rama juga dapet sesuatu yang nggak kalah anehnya. Setangkai bunga mawar merah, tau nggak ditemuin di mana? Di kolong meja Rama, Man. Dia udah berani nyenggol Rama! Ini ngajak perang." Kini suara renyah Ron yang terdengar.

"Salah sasaran kali," cetus Reksa.

"Nggak mungkin, dia sebut nama gue di surat kecilnya," tandas Rama cepat seakan laporannya tidak bisa dibantah. "Nah, surat lo tuh yang diragukan, nyasar kali tuh surat."

Reksa mengeluarkan suratnya dan menyodorkannya pada Ron. "Kalian lihat deh, jelas banget ini buat gue, gue kan paling cupu di antara anak OSIS."

"Coba deh, Reks, lo inget-inget ada yang bermasalah sama lo apa nggak," kata Ron lalu dia membuka surat teror itu. Dia terlihat kaget saat membacanya.

Reksa menerima ponsel yang diberikan oleh Rama, setelah melihat pada benda itu, dia semakin muram. "Kayaknya OSIS diteror, gue yakin sasaran dia OSIS, siapa yang nekat ngirim bunga mawar merah ke Rama?"

"Mawar merah itu kayak bunga yang mengerikan dan berdarah. Apa isi maknanya sama, dia pengen lo mati?" ucap Reksa membuatku terkejut, dia seakan membacakan isi surat itu.

Aku semakin nempel di dinding, aku nggak bisa kabur lagi nih, kalau aku kabur sekarang keburu kelihatan.

"Mawar merah memang cukup jadi simbolik yang menyeramkan. Kita harus cari tahu siapa yang kirim teror-teror ini, tapi ini rahasia kita bertiga." Usul Rama yang diangguk oleh Ron dan Reksa.

Aku berbalik untuk segera pergi dari tempat ini, aku harus pergi secepatnya sebelum salah satu dari mereka melihatku. Selain geng cowok seram, geng OSIS yang paling keren di sekolah, ada pula geng-geng kecil lainnya. Geng cowok seram dipimpin oleh cowok berwajah oriental, sipit, bertubuh besar, kekar, menurut kabar dia adalah cowok terkuat setelah berhasil menang dalam seleksi menggebuki beberapa calon pemimpin mereka.

Hebatnya dia berasal dari kelas 10, aku jadi teringat film Crows Zero di mana tokoh utamanya Takiya Genji si transfer student berambisi menjadi pemimpin cowok terkuat di SMA Suzuran. Katanya acara adu jotos itu berlangsung tertutup dan cuma anggota geng itu saja yang tahu. Cowok itu bernama Bintang Malam, meski dia berasal dari kelas 10, bawahannya beberapa anak kelas 11 dan 12 yang bisa disuruh-suruh, senior yang merasa sok kuat tapi ogah menjadi bawahan Bintang memilih membikin geng sendiri.

OSIS yang memiliki label ter-baik. Kepatuhan adalah lawannya pertentangan.

**

Saat dalam perjalanan kembali ke kelas, aku melewati teman sekelasku Sandra, Nino dan Joe sedang berbicara serius.

"Jadi gimana? Udah dua orang nih, Rama dan Reksa," ucap Sandra cemas.

"Yaaa, mau gimana lagi? Kita coba plan kedua aja," kata Joe.

"Trus selanjutnya siapa?" Kini giliran si Nino, suaranya lebih serius dari yang biasanya centil dan penuh tipu muslihat.

"Kalo bisa yang cewek, itu bakalan bisa memancing dengan cepat." Suara Sandra yang misterius membuatku tersentak

"Nanti gue yang bikin deh, gini-gini kan gue jago nulis," kekeh Nino pelan. "Hari ini kan?"

"Iya." Angguk Sandra dan Joe kompak.

Aku menganga tak percaya, mereka juga tauu masalah surat teror itu yang ditujukan untuk Rama dan Reksa, tapi bagaimana mereka bisa tahu? Atau jangan-jangan mereka pelakunya? Aku jadi teringat sosok misterius yang telah membuang sepatu kesayanganku di loteng sehingga kemarin aku harus mencari sendal jepit di warung sekitaran sini sebagai alas sementara untuk bisa pulang ke rumah.

Sosok itu tinggi dan besar serta tenaganya kuat, mana mungkin Joe dan Sandra? Tinggi Sandra paling cuma 155 cm sementara Joe paling sekitaran 170 cm, tinggi sosok misterius itu tidak lebih tinggi dari Rama dan Bintang yang lebih mirip raksasa, jadi kemungkinannya setinggi Nino? Ya, betul, tinggi tubuh sosok misterius itu kurang lebih ya seperti Nino. Kalau memang mereka yang meneror untuk apa? Apa mereka ingin membuat misteri kutukan itu ada benarnya? Hanya iseng? Atau semua cerita itu adalah karangan belaka, karangan Sandra sendiri? Tapi untuk apa? Sebenarnya di sini ada apa?

Selama di dalam kelas aku beberapa kali menghindari tatapan Nino. Saat dia tak melihatku gantian aku yang meliriknya sedikit, apa dia mencurigakan atau tidak. Teman sebangkuku juga salah satu yang harus dicurigai, tapi mereka sama sekali tidak membuat gerak-gerik kecurigaan berarti, apa aku aja yang parnoan dan menuduh yang tidak-tidak.

Bel pulang akan berdentang 5 menit lagi, aku sudah tidak sabar untuk ingin segera mengetahui rencana mereka.

Teettt...

Teet...

Yes, sudah bel.

**

Aku segera keluar kelas setelah merapihkan alat-alat tulis dan buku, taksi yang tadi sudah aku pesan lewat telepon tadi, pasti sudah menanti di luar, aku membaur dengan beberapa murid yang asyik nongkrong di pangkalan ojek.

Di depanku taksi yang sudah aku pesan siap mengantarkanku, tapi aku harus menanti target, baru saja Sandra dan Joe lewat dengan motor ninja hijaunya. Aku naik ke taksi siap menguntit mereka, dan motor kedua yang berisi Nino seorang diri baru keluar dari gerbang sekolah.

"Pak, ikutin motor merah yang platnya 7170 itu ya?" Perintahku tak sabaran. "Buruan Pak, keburu hilang,"

"Siap Neng, Bapak kan pernah disuruh nguntit istri-istri muda milyuner, udah jago dalam hal stalking," ungkapnya tanpa malu-malu.

Bukannya aku tak menghargai sesuatu yang membanggakan bagi dirinya itu, tapi aku sama sekali sedang tidak bisa diajak bercanda. Supir taksi yang menurut nama yang tercantum Sugiono ini sudah berumur 30-an ke atas. Dari berbagai banyolan yang garing atau nyanyian kecil yang dia lantunkan menyiaratkan dia pribadi yang ramah. Aku sibuk sendiri mengamati plat 7170 yang masih berada dalam jarak aman pandangku, motor merah itu masuk ke sebuah komplek, yang tak asing lagi, karena sekolah SD-SMP ku berada di sekitar sini.

Sepertinya Nino menyadari bahwa taksi biru yang di belakangnya berusaha menguntitnya. Sialll...

Aku tidak mau ketangkap basah dalam upaya mengikuti dirinya ini, berapa harga malu yang harus aku tanggung nanti. Dia tidak menghiraukan taksi kami, tapi dia menambah kecepatan motornya hingga dalam sekejap dia sudah jauh banget.

"Pak, ngebut dong! Target kita hilang!" kataku kesal.

"Iya, Neng, pegangan ya."

Wusssshhh...

Pak Sugiono langsung menginjak pedal gas sekuat tenaga alhasil taksi kami melaju dengan kecepatan ekstra, motor Nino sudah kelihatan lagi karena motor itu berjalan pelan hingga berhenti di depan sebuah rumah, di sana sudah ada Sandra dan Joe yang sudah turun dari kendaraannya.

"Pak, kira-kira saya turun di mana ya? Tanpa sepengetahuan mereka." Katanya bapak ini jago men-stalk jadi kuputuskan untuk meminta pendapatnya.

Pak Sugiono berkata sambil nunjuk-nunjuk lapangan tanah coklat di seberang rumah yang sekarang sedang diamati oleh Sandra, Joe dan Nino, dekat lapangan ada warung kopi yang sedang ramai.

"Neng saya turunin di lapangan itu aja ya, nanti Neng masuk warung kopi dekat lapangan itu seakan-akan bertanya alamat, setelah Neng aman, saya muter balik di lapangan seakan-akan muter balik salah alamat."

Buset, dia jago banget dalam hal memberikan ide begini, wajar sih dia kan sering menangangi istri pertama yang sedang kalap menguntit istri muda suaminya, menurut ceritanya sih gitu.

"Oke, pintu berhenti tepat di depan warung kopi ya. Saya bayar nih, kembalinya ambil aja." Aku mengeluarkan uang 50rb padahal di argo cuma menampakkan angka 40.328.

"Siap, Neng bos!"

Taksi berhenti tepat di depan warung, buru-buru keluar dan masuk ke warung tersebut, duduk membelakangi rumah besar yang masih diamati oleh mereka. Tak lama taksi sudah berjalan kembali memutar balik di lapangan lalu pergi dengan lancarnya, aku duduk membaur. Kehadiranku ternyata disadari oleh seorang ibu separuh baya yang langsung tersenyum sumringah.

"Baru pulang sekolah, Neng?"

Aku membuka tudung kepala yang sedari tadi menutupi kepalaku, aku kan dalam masa penyamaran, aku mengangguk kecil. "Iya Bu, saya mau beberapa lontong dan rotinya ya, sama saya pesan minuman rasa jeruk ini." Aku menunjuk bungkusan yang bergantungan warna-warni.

"Siap Neng, ambil aja makanannya, nanti bayar belakangan," sahut ibunya lalu menghilang untuk membuat minuman seduh yang tadi aku tunjuk.

Diam-diam aku mencuri pandang ke rumah besar yang tadi disatroni Joe, Sandra dan Nino. Mereka masih mengamati sekitar seraya duduk di atas motornya.

Mataku melebar kala Sandra pergi ke kotak pos. Benar kan apa kataku, dia menyelipkan sepucuk surat di sana, di kotak pos depan rumah besar itu. Secepat kilat mereka pergi dari rumah itu dengan kekuatan motor sport.

"Ini, Neng."

Aku menyeruput segelas minuman jeruk tadi sampai setengah gelas, aku haus banget kali sampe minum tanpa menarik nafas.

"Kayaknya haus banget Neng," goda salah satu bapak-bapak yang sedang menikmati kopi dan tempe goreng nyelip di mulutnya.

"Iya Om, dari sekolah belom sempet minum. Oh ya, rumah itu rumah siapa ya?" Aku menunjuk rumah besar berpagar keeemasan tersebut.

"Oh, itu rumah Neng Chacha, teman sekolah Neng, kan? Seragamnya kan sama," ucap si mas tadi seraya mengamati seragamku.

Seragam SMA kami emang khas banget, kemeja putih dengan logo gambar globe bertuliskan Indonusa, bawahan kotak-kotak merah hitam, meskipun aku memakai jaket hitam tidak dapat menghilangkan identitas sekolah kami.

"Nama lengkapnya Tasya Laura Hans?"

"Iya, keluarga Pak Hans, anaknya geulis pisan."

Uh, aku tidak salah lagi, kini mereka giliran meneror cewek yang bernama Chacha, menurut si mas tadi anaknya geulis artinya cantik, Chacha memang cantik, tapi seingatku geng itu memang tidak ada yang jelek atau CTS (cewek tampang standar) kayak aku.

Aku menyodorkan uang 5 ribuan dan pamit undur diri. "Makasih Bu, saya cuma minum."

"Kembali 3 ribu, Neng."

"Ambil aja, Bu."

Aku tidak paham kenapa mereka melakukan ini semua, aku jadi makin penasaran saja untuk kepoin mereka. Mataku menangkap sebuah mobil berhenti di depan rumah Chacha. Terdengar suara sesuatu yang beradu dengan keras.

Setelah mobil berlalu dengan kecepatan tinggi, orang-orang yang berada di warung kopi menyaksikan adegan tadi lalu berdiri.

"Apaan tuh?"

"Rumah itu dilempar sampah sama pengemudi mobil tadi," jawab yang lainnya.

Dilempari sampah? Sumpah, siapa yang melakukan ini tadi? Sungguh keterlaluan, aku menyaksikan sendiri seplastik besar berisi sampah rumah tangga yang dilempar sudah berceceran di halaman dekat gerbang.

Masa mereka melakukan hal murahan begini?

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top