BAB 29

"Bisa bantu Ibu untuk menjelaskan kenapa kalian menghilang di tengah kejadian kebakaran, kemudian diserang kawanan preman di belakang sekolah?" Suara tegas Bu Martha lumayan membuatku menegang, beliau adalah kepala sekolah SMA Indonusa, wajahnya yang cantik, licin ber-make up tebal, rambut disanggul rapi. Wajahnya yang anggun, penuh wibawa, berkarisma. Bu Martha mungkin jelmaan Sandra di masa yang akan datang.

Argghh, hari ini aku tidak bisa bolos, bisa diprotes sama mama. Meski hari ini berat, Nino, Joe dan Sandra tidak masuk sehingga aku harus berjuang sendiri menghadapi interogasi Bu Martha.

"Anu ... kami ber-empat, saya, Nino, Sandra dan Joe berhasil meloloskan diri lewat dinding belakang sekolah karena kondisi bazar kebakaran, di luar sekolah juga ada massa yang mengepung sekolah. Setelah kami berhasil meloloskan diri, ada segerombolan preman menyerang kami dengan senjata tajam." Ceritaku.

Bu Martha sedikit tertarik dengan ceritaku dengan menatapku tajam.

"Akibat dari itu, Nino dan Joe harus menerima ganjaran, lantaran berusaha melawan para preman."

Bu Martha tidak terlalu terkejut menandakan sudah tahu mengenai keadaan Nino dan Joe. Aku menunduk sambil memainkan ujung rokku.

"Baik. Jangan diulangi lagi, sungguh kemarin kami semua panik luar biasa."

"Maaf, Bu."

"Ya. Kamu bisa ke luar sekarang."

Aku mengangguk kecil. Baru menutup pintu kantor kepala sekolah aku dihadang oleh Rama, eh? Apa dia menguping pembicaraan kami?

"Kak?" sapaku pelan basa-basi.

"Kenapa kamu nggak ngasih tahu aku soal kejadian yang sebenarnya?" seru Rama berbisik, tak mengurangi keangkeran dari suaranya yang tegas.

"Terlalu panjang untuk diceritakan di telepon. Kak Rama menguping pembicaraan kami di dalam?" ceplosku to the point. Aku rasa Rama memiliki alat penyadap suara atau dia lebih hebat dari yang aku kira, mungkin saja dia humanoid makanya heartless dan cerdas banget. Tatapan tajam Rama terasa mengeluarkan sinar laser yang bisa membolongi wajahku.

"Ceritain sekarang!" Pinta Rama tanpa bisa ditolak. "Nggak sengaja mendengar tuh."

Rama tidak pernah salah, Rama tidak bisa salah. Mana ada orang yang tidak sengaja mendengar sampai habis? Itu sih namanya menguping. Ck. Kutatap balik Rama dengan ekspresi datar nan dingin.

"Nggak mau ceritain? Yaaa udah, aku akan cari tahu lewat Nino atau Joe!!" Rama membalikkan tubuh ingin segera meninggalkanku.

"Tunggu!" seruku memberhentikan dirinya, dia menoleh lagi ke arahku dengan alis menukik.

"Aku akan cerita, Kak."

"Bagus."

Kami memilih tempat yang sepi dan jauh dari hiruk-pikuk anak murid lainnya. Aku menceritakan mulai dari kami yang memanjat dinding belakang sekolah, dikepung enam preman dendam bersenjata tajam. Saat aku menceritakan keadaan luka Joe dan Nino, Rama mengepalkan tangannya kesal, raut wajahnya kali ini tidak terlihat dingin seperti biasa, dia sendu dan muram, beberapa kali dia mendesis menahan emosi.

"Itulah sebabnya jangan sampai ada penyerangan yang dilakukan preman terhadap anak murid sini lagi," kataku hati-hati.

Rama mengangguk. "Aku bakalan menjaga sekolah ini sampai waktu yang tersisa."

"Kak," aku menahan diri untuk tidak bertanya hal sensitif itu tapi saat Rama menoleh aku melanjutkan kalimatku. "Kenapa kamu sangat melindungi sekolah ini?"

Aku rasa Sandra dan Joe wajar sangat melindungi sekolah ini, karena mereka anak-anak pejabat sekolahan. Sedangkan Rama? Dia cuma ketua OSIS, di sekolah manapun tidak ada ketua OSIS yang mengerahkan segala seluruh tenaga bahkan mengantar nyawa demi melindungi sekolah. Kalau ketua OSIS kami bukan Rama aku yakin dia akan menyerah sebelum memulai apa pun.

"Peserta cewek yang menghilang saat acara Mr & Miss dua tahun lalu adalah kakak perempuanku, dia nggak pernah pulang lagi. Benar-benar menghilang. Makanya saat tahun ajaran baru aku mendaftar ke sekolah ini padahal udah diterima di sekolah negeri, aku ingin mengorek banyak. Barangkali aku bisa menemukan sesuatu di sini mengenai kakakku, tapi nggak ada perkembangan. Proses pencarian sia-sia, nggak ada jejak apa pun."

Bayangan Rama si cowok sombong, jutek, dingin dan bermulut pedas berubah menjadi Rama si adik lelaki yang sangat menyayangi kakak perempuannya, berhati sensitif dan baik. Oooh, pantas saja di sekolah tidak ada kegiatan lain, kecuali belajar, OSIS, dan Taekwondo. Dia memiliki misi terselubung di sekolah ini makanya orientasi dia ke OSIS dia kerahkan seluruhnya.

"Huh, aku menceritakannya karena aku rasa kamu agen rahasia yang baik. Kamu saja bisa menyimpan rahasia terbesar itu."

Aku tersentak kaget, pelipisku berkedut cepat, jantungku berdetak keras sekali. Apa tadi perkataan Rama? Apa dia tahu rahasia masa laluku, hah?

"Rahasia terbesar apa?" tanyaku balik cemas. Agar terkesan polos.

"Kamu tahu kan siapa yang suka mengirim paket misterius penuh rasa cinta kepadaku itu, hayooo ngaku!!!!"

Eh, apa ini?? Aduh, aku panik langsung membuang muka menghindari tatapan murka dari Rama. Bagaimana Yunda kalau tahu jika Rama sudah mengetahui hal ini. Argghhh, aku bisa dibilang mulut bocor oleh Yunda, aku tidak boleh mengatakan hal jujur apa pun kali ini. Perasaan Yunda harus bisa aku jaga.

"Eh, paket misterius penuh rasa cinta itu maksudnya kayak gimana ya?" Aku balik bertanya dengan nada bodoh, aktingku pasti jelek banget.

"Yaaa ... paket bunga, cokelat, surat, dan lain-lain. Kamu yang suka berada di ruang OSIS sebelum aku menemukan paket tersebut," ujarnya sambil memiringkan wajah. "Jangan-jangan itu kamu?"

"Bukaaaaan," selaku secepat mungkin. Aku langsung takut dituduh sebagai fans cowok ini. Mengerikan. "Mana mungkin aku, Kak? Yaaa, Kak Rama coba saja peka sedikit saja kalo di sekitar kakak ada cewek cantik berhati lembut yang mungkin sangat menyukai kakak tapi dia takut!"

Aku tidak menyebut nama loh, tapi semoga saja cowok ini menjadi sedikit peka kalau aku singgung ada yang menyukainya. Rama nampak berpikir sejenak, cowok macam apa ini masih berpikir-pikir. Arggh, aku memijat kening pusing banget. Masih ada hal yang tidak aku mengerti di dunia, yaitu cinta.

"Kamu tahu rasanya jatuh cinta pada dua orang sekaligus?" Pertanyaan itu meluncur dari Rama.

Apa-apaan ini sekarang dia mulai berani curhat colongan kepadaku? Hah? Dia jatuh cinta sama dua orang? Yang benar saja. Ah, palingan itu cuma pertanyaan iseng. Tapi, tidak kusangka Rama membahas tentang cinta, membahas soal Kimia kelihatan lebih real.

"Dua orang? Sama satu orang saja udah repot," jawabku.

"Benar. Jatuh cinta sama dua orang itu membingungkan."

"Sama dua orang? Hebat banget kamu, Kak." Sindirku nyinyir.

Dia mendelik judes, seakan teringat sikapnya yang selalu mengusik orang pacaran di koridor sekolah. Aku tidak dendam kok karena saat itu ditegur olehnya, cuma aku sedikit kasihan dia sinis seperti itu karena tidak bisa seperti remaja pada umumnya yang bisa pacaran di koridor atau di mana pun yang mereka mau.

"Iya, dua orang sekaligus. Si A, aku udah mengenalnya, tapi saat aku ingin mencoba mendekatinya aku khawatir sama perasaan si B, sang pengirim paket misterius. Aku nggak mau membuatnya kecewa dan aku senang diberi perhatian olehnya di saat semua orang pada memusuhiku. Dia seakan nggak perduli kalau paketnya aku buang atau dibakar, ya awalnya aku suka buang sih karena mengira paket orang iseng."

Siapa si A? Kalau si Rama benar-benar ingin mendekati si A, pasti hancur harapan Yunda yang sudah tertanam sejak perasaannya terhadap Rama muncul. Kalau Rama mendekati si A, dia sudah menghancurkan semua yang sudah Yunda beri.

"Siapa si gadis A?" tanyaku penasaran. Ah, pertanyaan ini tidak baik bagaimana kalau bukan Yunda, cewek itu pasti sedih sekali. "Ah, nggak usah dijawab deh."

"Kenapa?" tanya Rama balik.

"Aku nggak bisa membayangkan perasaan si gadis B. Jadi, gadis mana yang akan Kakak pilih?"

Kenapa pertanyaan yang lebih mengerikan malah meluncur dengan bebasnya. Jangan! Jangan dijawab!

"Si Gadis A itu ... kamu." Manik mata Rama tepat ke arah mataku.

Lalu kami cuma saling bertatapan dalam hening. Aku kehilangan kemampuan untuk merespon. Kesadaranku belum sepenuhnya kembali. Rasanya aneh dan berbeda saat ditembak Nino dan Rama. Nino sangat menunjukkan ketertarikannya padaku, sementara Rama, dia lebih sering memandangku seperti kuman, sikap kami juga mirip, jadi apanya yang bisa membuatnya menyukai diriku???

"Kamu lagi latihan drama, Kak?" cetusku.

"Nggak," jawabnya dengan nada sangat amat datar.

"Tapi perasaan Kakak lebih mendalam ke gadis B." Senyumku. "Tadi kakak udah cerita kan tentang gadis B, Kakak menyukainya juga."

"Nah, makanya. Sebelum aku serius sama si gadis B, aku ingin lebih dahulu mengungkapkan rasa sukaku terhadap kamu. Aku akan mencari tau siapa dia."

AH, jawaban yang sangat membuatku lega. Rama mulai memperhatikan perasaan gadis B, yaitu Yunda. Bagaimana ya aku menceritakannya pada Yunda, yaa kecuali ungkapan perasaan Rama tadi.

"Gimana caranya mencari tahu dia?" Tantangku dengan suara meremehkan.

"Siapa si gadis B? Kamu tau, kan? Ayo, cepat kasih tau aku!!!!" Rama memelototiku.

"Nggak mau, coba aja kakak peka sendiri. Udah ya, aku mau ke kelas, barusan bel udah berbunyi lohhh." Aku segera pergi meninggalkannya yang masih termangu-mangu dan mendecak kesal.

Sebelum masuk ke kelas, ada Shilla dan Chacha menghadang, raut wajahnya seperti murka. Mereka sudah memandang bengis ke arahku, aku sendiri bingung kenapa mereka ada disini, dan ekspresinya judes banget.

"Kamu tau kan kalau Yunda suka sama Rama?" semprot Shilla judes. Ow, ow, ow. Mereka salah paham.

"Iya, aku tahu."

"Terus ngapain dari tadi asyik ngobrol berduaan sama dia?" tanya Chacha tak kalah garangnya. "Dari jauh udah kelihatan muka Rama terlihat nyaman banget sama kamu. Dia nggak suka banyak bicara untuk sekadar basa-basi, dia juga nggak suka obrolan nggak penting."

"Bukan begitu, Kak, aku cuma mau," Aku menelan kalimatku bulat-bulat.

Shilla menarik tangan Chacha dan melempar tatapan sinis terhadapku "Udah yuk, dia bukan level kita. Freak gitu."

Arggggh. Aku bukan level mereka? Ya, tentu saja dari awal aku juga sudah tau, tapi rasanya sakit hati banget dituduh seperti itu. Apa cuma aku saja yang berlebihan menganggap mereka sebagai teman padahal kenyataannya mereka cuma sebatas kakak senior. Aku saja yang sudah terlalu berharap. Tidak ada yang benar-benar menganggap aku teman, paling cuma beberapa. Aku memang tidak pantas menjadi teman gadis-gadis cantik itu. Ternyata kumbang selamanya akan tetap menjadi kumbang, tidak bisa menjadi bunga.

**

Jika tidak ada Sandra, Joe dan Nino mungkin inilah kehidupanku yang sebenarnya, hampa, kosong, sunyi dan flat. Rasanya aku kembali saat menjadi Jonantha Putri yang pemurung beberapa bulan yang lalu. Suara keramaian murid semakin membuatku menarik diri. Pergi ke ruang OSIS juga bukan pilihan yang baik teringat kejadian istirahat pertama tadi saat Shilla dan Chacha menegur keras diriku yang bersama Rama.

"Nantha." Suara manis dan lembut terdengar seakan menarikku ke dunia lain. Ke dunianya yang manis, damai dan tentram, yang barusan memanggilku adalah Hana. Dia sudah menarik tubuhku menepi ke sebuah bangku semen di tepi lapangan basket, di sana juga ada Bintang melambaikan tangan, matanya semakin sipit saat cengengesan.

"Kok sendirian aja?" tanya Hana celingukan. "Ke mana yang lain?"

"Nggak masuk. Sakit."

Hana mengangguk kecil. "Kalian menghilang kan waktu itu?"

"Iya, kami kabur lewat dinding belakang sekolah."

Aku duduk di kursi semen bersama Hana, di belakangku Bintang bangkit dari duduknya setelah ada yang memanggil namanya. Aku dan Hana berbincang-bincang mengenai kebakaran bazar tersebut.

"Kemarin kami di interogasi sama Inspektur Hantoro Jaya. Kalau nanti pihak kepolisian meminta keterangan darimu, mohon dijawab sejujurnya, karena saat kejadian kamu dan kawan-kawan nggak berada di tempat kejadian."

"Iya, akan kujelaskan sedetail-detailnya."

Lantas aku teringat kepada Inspektur yang bernama Hantoro Jaya atau kerap disapa Inspektur Toro, dia sendiri yang minta dipanggil begitu, kata Nino dia yang selalu mengurus berbagai kejadian di sekolah. Ini pertemuan ke sekian dengannya setelah kejadian penculikan itu. Saat dia membawaku menemui pelaku penculikan, aku tidak tau wajah pelakunya karena saat di mobil kejadian mataku ditutup. Dan mereka, dua orang berbadan besar yang katanya penculik itu jelas-jelas bukan pria bertopeng hulk yang menghantam bahuku. Satu-satunya yang aku ingat adalah topeng hulk itu.

Inspektur Toro mengungkapkan bahwa motif dari penculikan itu adalah human trafficing, semuanya terasa aneh dan aku tidak bisa memiliki bukti apa pun, karena ya sekali lagi alasannya mataku ditutup. Oh, ternyata kasus kebakaran saat acara bazar kemarin ditangani olehnya juga. Aku akan menanyai lagi kelanjutan penyelidikan kasus Kevin itu.

"Nantha, ada yang mau ketemu sama lo!" Suara tegas nan galak itu berasal dari Bintang yang sudah berdiri di hadapanku, raut wajahnya sudah ingin meledak. "Tapi sebelumnya gue mau nanya, apa yang terjadi di belakang sekolah setelah kalian berhasil melarikan diri??"

Hana menganga tak percaya dengan seruan murka Bintang, aku gelagapan panik. Hana menyentuh bahuku, Bintang sudah membungkukkan tubuh mengamati wajahku.

"Itu,"

"Permisi selamat siang, Halo Dik Jonantha Putri, kita bertemu lagi!!! Lagi-lagi dalam suasana yang nggak baik." Seorang pria memakai jaket mantel cokelat muda bagai bangsawan menyela, dia berdiri di antara diriku dan Bintang sehingga cowok itu mundur selangkah.

Kami menoleh ke arah pria dewasa yang umurnya belum genap 30 tahun itu, Inspektur Toro, di belakangnya berdiri sesosok pria dewasa lebih tinggi yang mungkin seumuran dengannya, penampilannya rada berbeda dari Inspektur Toro yang meniru pria Eropa. Orang itu memakai jas hitam, celana bahan hitam, sepatu licin, memangnya ada acara apa?

Aku menyipitkan mata kala pria itu menyunggingkan senyum yang amat sangat misterius. Aku pernah melihatnya. Tapi di mana? Penampilan Inspektur Toro juga terlalu gaul untuk ukuran angkatan kepolisian. Apa dia sedang menyamar? Pria satunya malah lebih mirip cowok kantoran.

"Hai. Hai. Kok pada bengong?" celetuk si Toro dengan suara riang tersenyum sumringah. Dia terlalu selebor untuk ukuran polisi, mana mungkin ada polisi yang berlebihan tersenyum seperti itu.

"Selamat siang, Inspektur Toro," jawabku demi kesopanan. Hana gantian memandangi kami dengan raut wajah bingung.

"Ya! Jadi Dik Bintang kami mohon," ujar Inspektur Toro kemudian disela oleh Bintang.

"Baik, saya akan undur diri. Yuk Hana!" tatapan Bintang beralih lagi ke aku. "Masih punya utang cerita."

Aku mengangguk. Setelah Bintang dan Hana pergi, kini tinggal aku, Inspektur Toro dan rekannya yang masih memandangku intens, penuh selidik.

"Wah, anak itu sopan juga!" Puji Inspektur Toro bernada tidak percaya. "Dia ketua geng cowok bandel di sini sekaligus adik sepupu anda kan, Inspektur Adrian?" Dia menelengkan kepalanya ke arah pria berjas tadi. Orang itu menganggukan kepala.

Waw, penyamaran macam apa ini dia segala memakai jas, dan topi fedora.

"Kenapa memakai baju seperti ini?" tanyaku sama sekali tidak takut kalau mereka adalah polisi.

"Penyamaran. Bagaimana??"

Haruskah aku jawab kalau penyamaran seperti ini malah membuat murid merasa curiga. Tapi mental anak murid bisa menjadi lebih buruk jika melihat pria bertubuh tegap dengan seragam polisi berada di sekitar sekolah. Percaya padaku saja, karena aku sudah mengalaminya, hingga saat ini aku masih takut pada polisi berseragam.

"Cukup oke. Tapi di sini sedang nggak ada Fashion Week," sahutku membuat Inspektur Toro nyengir lebar.

"Ah, sudahlah nggak penting. Perkenalkan, dia adalah Inspektur Adrian, mulai sekarang dia adalah partner dalam penyelidikan bersama saya. Dia baru di mutasi dari Bogor, dia terbiasa menyelidiki berbagai kasus di sekolah," kata Inspektur Toro lalu memaksa rekannya dan aku untuk menjabat tangan.

Aku merasakan hawa dingin menyelimuti tubuhku. Aku mendongakkan kepala dan langsung bertatapan oleh manik mata Inspektur Adrian, yang masih berusaha menerobos pikiranku. Apa yang tengah dia pikirkan?

"Sudah mengantongi izin untuk masuk ke sekolah ini?" tanyaku curiga.

"Tentu saja," sahutnya sombong. "Sekolah ini sudah menjadi partner kami. Bahkan sejak lama."

Aku mengangguk kecil. "Lalu tadi siapa yang mencariku?"

"Kami. Bisa kau jelaskan kasus penyerangan di belakang sekolah itu sehingga kedua temanmu mengalami luka berat?" tanya Inspektur Toro. Kali ini dia serius, tidak tengil seperti tadi. "Memang sih kamu sudah memberikan keterangan di pelaporan pengeroyokan anaknya Pak Arya Bastian itu. Keterangan yang saat ini diminta untuk kasus kebakaran sekolah."

"Oh, akan kujelaskan, tapi bisakah berbicara di tempat yang sedikit aman?"

"Oke, kata Bu Martha kita bisa menggunakan ruang tamu."

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top