BAB 23

Kami sudah menyusun rencana bahwa tepat di hari ulang tahun Sandra kami pura-pura lupa, bahkan belagak seperti hari-hari pada biasanya. Saat Sandra mentraktir kami makan siang pun, kami cuma mengucapkan terima kasih. Tapi, kami menyadari kok kalau diam-diam Sandra bete berat. Alhasil saat dia pergi ke toilet, kami tidak tahan lagi tertawa sepuasnya dan saat dia kembali kami pura-pura cuek lagi.

Rencana setelah pulang sekolah, aku dan Nino akan membeli kue dan kado di Jalan Mawar, lalu Joe pulang bersama Sandra. Setelah mengantar Sandra, Joe akan menemui kami. Kami akan memberinya kejutan tepat di rumahnya, surprise gitu loh. Tapi, rencana hanyalah rencana. Saat aku dan Nino sudah bersiap ingin meluncur ke toko kue, Joe mendekati kami dengan muka kusut dan bete, sebuah helm terpasang di kepalanya. Mirip astronot nyasar.

"Kenapa lo?" tanya Nino heran.

"Sandra nggak pulang bareng gue, dia survei ke pabrik kue lagi ngasih uang DP. Betein nggak sih?" dumel Joe sedih.

"Ya, namanya juga mau ngasih kejutan. Ada aja yang nggak sesuai rencana. Kalau Sandra tahu mau dikasih kejutan ya dia nggak bakal mau pergi survei lah," sahut Nino, aku mengangguk.

"Tapi, Joe, lo kenal orang rumahnya? Bukannya kita bisa lebih gampang? Kita ngasih kejutan dari dalam rumah." Usulku membuat senyum Joe tiba-tiba merekah ceria. Mengerikan.

"Benar juga!! Ya udah, gue ikut kalian. Sori No, jadi obat nyamuk di antara kalian dulu."

Aku tidak menjawab apa pun, pura-pura mengamati awan di langit.

"Halah, dulu gue juga jadi obat nyamuk kalian," sahut Nino membuat Joe terkekeh.

15 menit kemudian kami sudah tiba di sebuah jalan yang bernama Jalan Mawar, di kanan kiri jalan ini banyak toko-toko yang berjualan dari makanan dessert, boneka, kue, kedai coffee, dan lain-lain.

Joe turun dari motornya setelah parkir dan mendekati aku. "Lo yang beli kue ya, Tha. Kalau gue yang beli bakalan milih yang kemahalan, haha. Biar kado gue sama Nino yang urus. Lo mau nitip ngasih kado apa?"

"Gue udah punya kado sendiri, rahasia cewek." Godaku iseng. Joe dan Nino mengernyit heran.

"Ya, udahlah. Eeh jangan lupa, Tha. Kita suka rasa cokelat, yang ada cokelatnya deh," ujar Joe lalu ditarik oleh Nino.

"Dasar bawel. Dia udah tahu kok," sungut Nino.

"Kok tahu? Pasti dia tahu banget lo suka cokelat, kok bisa tahu sih? Eh, gue curiga kalian suka nge-date di belakang kami. Bener nggak??"

Aku tersenyum samar melihat aksi protes Joe saat digeret paksa oleh Nino.

"Rahasia!" ucap Nino yang terdengar sampai ke telingaku.

Aku membuka pintu toko kue "Yummy" sehingga membunyikan lonceng di balik pintu tersebut, harum pewangi ruangan plus segarnya AC langsung menyambutku. Wah, sejuknya. Seorang pelayan berseragam khas toko Yummy menyambut diriku.

"Selamat siang, Mbak, di toko kue Yummy. Ada yang bisa saya bantu?" katanya sopan.

Aku tersenyum kecil. "Iya. Saya mau mencari kue ulang tahun."

"Oke. Silakan dilihat-lihat kue buatan toko kami." Pelayan tadi mengantarkan diriku ke sebuah meja kaca yang berisi bermacam-macam jenis kue. Pilihanku langsung jatuh kepada kue tart cokelat bertaburan cokelat irisan, dengan beberapa ceri di atasnya.

"Mbak, yang itu harganya berapa?"

"Oh, yang itu seratus lima ribu rupiah, sudah bonus lilin dan korek api. Berminat?"

Ah, lumayan murah. "Oke. Bisa request tulisan di atasnya?"

"Bisa, Mbak. Bisa saya ambil sekarang ya, untuk proses penulisan."

"Yup."

Pelayan tadi mengambil kue dari meja kaca dengan hati-hati, lalu meletakannya tepat di depanku. "Mau ditulisin kalimat apa Mbak?"

"Hmm...,"

Apaan ya? Sial, aku lupa bertanya kepada Joe dan Nino.

"Happy Birthday Sandra Seline 16 thn."

"Nama yang bagus." Puji mbak pelayan membuat aku tersenyum mengangguk setuju. Mbak pelayan menuliskan kalimat itu dengan krim putih dengan mahirnya sehingga kue yang tengahnya polos tadi sudah berisi kalimat ucapan.

Usai pembayaran dan pembungkusan kue dengan kardus plus lilin dan koreknya, aku keluar dari toko. Belum ada Joe maupun Nino, mereka masih sibuk memilih rupanya, atau saking bingungnya.

Aku mengambil ponsel dari saku saat terasa bergetar hebat, di layar ponsel sudah ada nama Sandra memanggil. Aduh, mesti dijawab apa ya??

Di tengah kepanikan aku merasakan tepukan halus di bahu, aku menoleh dengan ekspresi cemas. Aku takut kalau Sandra yang barusan menelepon tahu-tahu ada di sini memergokiku membeli kue ulang tahun untuk dirinya. Alih-alih mendapati Sandra, aku rasa ini mimpi, tapi terlalu nyata dan jelas untuk ukuran sebuah mimpi.

Ray berdiri di sisiku sambil tersenyum lebar, tangannya melambai singkat. "Hallo Nantha!"

**

Aku menyipitkan mata meneliti sosok yang benar-benar mirip Ray, teman sekolahku di Bogor dulu. Cinta pertamaku garis miring gebetannya Vanka. Aku baru bereaksi saat cengiran Ray makin melebar, ternyata aku sudah membuka mulut lebar sekali.

"Aku kira tadi salah lihat," ujar Ray sambil memandang wajahku. Dia tetap ganteng seperti awal kita bertemu.

Aku menundukkan wajah malu. Salah tingkah. Dia benar-benar menganggap diriku ada? Padahal dulu saat di sekolah dia sangat cuek, aku kan tak kasat mata. Dan, beraninya naksir dia. Argh, kenapa dia makin keren sih?

"Nggak kok. Aku Nantha beneran. Kok kamu bisa di sini, Ray? Pindah dari Bogor?"

Kini gantian aku yang meneliti dirinya, dia memakai kaus hitam tipis dibalut jaket hitam, celana jeans membungkus kakinya yang panjang. Wajahnya masih putih, dan bersih untuk ukuran cowok. Kantung di sekitar matanya tidak mengurangi kegantengannya. Rambut Ray di-spike model cowok Korea sehingga menampilkan dahinya yang bersih. Alisnya yang tebal, hitam lebat murni, karena rambut, bukan hasil sulam apalagi pensil alis.

Cowok ini jauh lebih telaten daripada aku. Kalau dia tidak memakai seragam kemungkinannya sedang jalan-jalan. Atau barang kali dia memang punya keluarga di sekitar sini. Aduh, aku sama sekali belum tahu cara menekan rasa deg-degan bila berhadapan sama Ray.

"Aku nggak tahu kamu pindah ke daerah sini. Hmmh, aku pindah ke sini, rumahku di dekat sini, loh. Keluargaku pindah karena Bunda dipindahtugaskan ke Jaksel. Sepeninggal Vanka, kamu, Citra, lalu Dita dan Bella rasanya sekolah jadi sepi. Jadi aku ikut pindah aja."

Aku mengalihkan pandangan ke arah lain. Ketika nama-nama itu disebut aku seperti diserang ribuan paku tepat mengenai jantung dan hatiku lalu menyebar ke perut dan seluruh tubuh.

"Oh, ya?" sahutku pelan. "Aku udah mendengar berita itu. Sedih rasanya."

Ray tersenyum miring, aku semakin kikuk saja. Aku tidak bisa berhadapan dengannya terlalu lama. Dia sangat tampan membuatku makin terpesona dan memujanya.

"Katanya kamu sampai diberi perawatan oleh psikolog. Apa kecelakaannya separah itu?" Mata Ray seperti men-scan tubuhku sampai ke tulang-tulang. Aku tidak menjawab cuma menjilat bibir beberapa kali. Kemudian Ray mengelus puncak kepalaku lembut. "Bagus deh kalau kamu udah nggak apa-apa."

"Ray, Vanka meninggal tepat di hadapanku. Bagaimana aku nggak shock berat?"

"Iya. Aku juga butuh waktu yang lama untuk menyadarinya," ujar Ray sambil menerawang.

Aku dan Ray sama-sama menyayangi Vanka tentu saja dalam status yang berbeda. Namun, dia pasti paham perasaanku, karena aku juga memahami perasaannya.

"Senang bisa ketemu kamu lagi. Kamu ada waktu luang? Hmm, sekarang sekolah di SMA Indonusa?"

Eh, apaan tuh? Ray mau mengajak aku jalan?

"Iya, SMA Indonusa, tau? Kamu sendiri?"

"Tau. Beberapa kali lewat sana. Aku homeschooling. Aku minta nomer kamu dong." Senyum Ray.

Tidak seharusnya aku kembali berharap pada Ray, tapi hati ini tidak bisa memberontak dengan mengatakan tidak. Aku menyebutkan deretan nomorku yang langsung disimpan oleh Ray.

"Nanti aku akan segera menghubungi kamu. Aku harus pergi dulu, dah. Sampai jumpa, Nantha!!" Ray tersenyum lebar dengan gantengnya lalu pergi melewatiku.

Saking terpesonanya pandanganku terus mengekor Ray hingga aku baru sadari sudah ada Nino dan Joe berdiri dengan tatapan penuh selidik, Ray melewati kedua cowok itu dengan cool-nya.

Ray memang lebih tinggi dari Nino makanya pemandangan tadi terlihat keren banget. Apa aku bilang? Hidupku menjadi jungkir balik kalau berhubungan dengan sosok yang bernama Ray Harun.

Joe beringsut mendekatiku yang masih memandang punggung Ray. "Oi!! Siapa tuh?" tanyanya heran.

Di belakang Joe, Nino tak kalah penasarannya, dia sudah mengeluarkan tatapan mata elang.

"Kalian udah kembali? Beli kado apa?" Alihku, Joe tampak tidak berkesan pada pertanyaan penuh minat dariku. Aku mendecak kesal karena tidak ada yang menjawab pertanyaanku.

"Jago banget mengalihkan pembicaraan," gumam Nino dengan suara dingin. Oh, dia juga menantikan jawabanku rupanya.

"Ah, dia teman sekolahku saat di Bogor. Nggak nyangka aja bisa ketemu di sini," kataku apa adanya. Memangnya aku harus mengatakan dia adalah cinta pertamaku, ganteng yah?

"Oh, keren juga. Nino jadi bete maksimal." Joe langsung nangkring di motornya. "Yuk ah, buruan, keburu kalah cepat sama Sandra!"

Nino juga sudah menyalakan motor, bungkusan besar kado dibawa oleh Joe yang sudah melajukan motornya duluan. Dasar bocah rese, dia meninggalkan kami dalam kondisi yang buruk.

Nino tidak memandang wajahku sama sekali. "Ayo, buruan naik, Tha."

"He'eh." Aku mengangguk dan naik di belakangnya.

"Dia beneran teman sekolah kamu?" tanya Nino belum berakhir.

"Iya."

"Pandangan kamu ke dia tadi seperti mengatakan hal lain. Hal yang lebih dari sekedar teman." Nino menelengkan kepalanya ke belakang. "Tapi, aku adalah soulmate-mu."

Aku menganga, aku geer banget sih seperti cewek di drama Korea diperebutkan oleh cowok-cowok keren. Eh, siapa juga yang ngerebutin aku? Belum tentu Ray menyukaiku, lebih parahnya lagi belum tentu dia akan menghubungiku setelah ini. Aku saja yang kegeeran.

"Kamu menyeramkan. Aku baru baca bab itu sebagian, tapi mirip banget sama sikap kamu."

"Oh ya? Baca apa?" Nino jadi tertarik.

"Rahasia. Udah deh, Joe sudah jauh tuh!"

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top