BAB 19

Matahari mulai merangkak naik ke ufuk timur. Efek semalam setelah dijambak cewek kesurupan, ditambah aku tidak bisa memejamkan mata hingga fajar menjelang membuat kepalaku sakit, pusing, mataku juga sepet banget.

Kini anak-anak murid SMA Indonusa sudah bertebaran di lapangan dengan celana training warna-warni. Siapa sangka lapangan yang sangat indah di pagi hari ini berubah menjadi sarang hantu saat malam. Sambil menengguk wedang jahe aku memijat kepalaku yang pusing bukan main, aku melepas karet kunciran sehingga rambutku yang sedikit melewati bahu tergerai bebas.

"Pusing, Tha?" tanya Sandra dari sebelah kananku. Aku mengangguk kecil.

"Kamu bisa izin nggak ikutan jalan pagi kok, mau aku bilangin ke Kak Ron?" Tawar Hana. Kak Ron ya? Mungkin karena kepribadian Ron lumayan manis dan bersahabat, jadi cowok itu yang pertama kali ada di pikiran Hana. Kalau lapor ke Kak Rama mungkin memang berisiko bakal dihujat duluan.

"Nggak usah, aku mau ikut kalian. Nggak seru banget kalau nggak ikutan. Oke, kalian tenang aja," kataku sambil mengangkat jempol tangan.

"Kalau pingsan di bukit kita tinggalin loh!" cetus Sandra sambil menyenggol bahuku "Jangan pingsan!"

"Emang kita mau ke bukit?"

"Iya. Kamu kuat nggak?" Hana menatapku sangsi.

"Nantha, bagaimana keadaan kamu? Kamu nggak usah ikut jalan, rutenya jauh loh. Di sini aja ya? Temanin Bu Rina." Suara renyah Ron muncul, dia jongkok di depanku, matanya mengamati diriku. Reksa berdiri mengamati aku dan Ron dalam diam.

"Jauh banget, Kak?" Aku tidak mau disuruh tetap di sini, tapi, yaaa mau bagaimana lagi, kalau aku pingsan di atas semua jadi repot.

"Iya, jauh 3 km, lewatin sungai, jalan tanah yang harus kita daki sendiri karena jalannya curam. Kamu yakin bakal kuat?" Ron menggeleng. pandanganya ke arah Sandra dan Hana yang sama cemasnya dengan diriku. Tentu saja kecemasan itu berbeda, aku cemas karena terancam tidak bisa ikut jalan pagi sementara Sandra dan Hana cemas karena rintangan yang akan mereka lalui begitu berat.

"Kalau Sandra dan Hana pasti kuat, mereka fit. Muka kamu pucat sekali, Nan."

Nan? Baru kali ini ada yang memanggil diriku dengan 'Nan'.

"Jangan meremehkan aku, Kak. Aku nggak pernah hiking sebelumnya sih, tapi penasaran juga," kata Sandra yang tersinggung dituduh takut pergi hiking.

"Ada banyak yang bantuin selama perjalanan?"

"Banyak, hampir semua jalan. Kecuali Bu Rina, dia lagi PMS, sama panitia bagian konsumsi yang mengurus untuk sarapan pagi. Sarapan berat kita adain setelah jalan, biar nggak pada mual," jelas Reksa menjawab raut kepo kami.

"Jadi gimana, Tha, lo ikut?" Sandra menepuk bahuku.

Aku berpikir sejenak, Hana menanti jawabanku juga sambil melempar pandangan ke arah Ron dan Reksa.

"Aku di sini aja deh, kepala aku sakit banget. Aku nggak tidur semalam." Upssss, aku keceplosan, setelah mendengar perkataan jujurku, Ron, Hana dan Sandra memandang diriku dengan raut bertanya.

"Kenapa nggak tidur? Nggak bisa tidur karena takut?" sahut Reksa.

Dibilang takut sih iya, aku takut setelah melihat bayangan misterius berwangi karamel yang melewati tendaku semalam. Tentu saja aku tidak mengatakan kejadian itu pada siapapun. Aku bisa dianggap ngada-ngada atau cuma kecapekan.

"Kangen orang rumah." Oke, jawabanku terdengar manja banget, tapi setidaknya itu bisa menjawab rasa penasaran mereka. Aku tahu kok mereka menantikan cerita seram meluncur dari mulutku, tapi aku tidak akan menyiram bensin ke api. Cukup sudah tentang arwah penari, jangan sampai ada gosip lain tentang bayangan berwangi karamel yang keluyuran tengah malam.

"Oh." Ron terlihat kecewa. "Oke, ayo, Sandra Hana kita kumpul ke sana, Nantha, kamu ke rumah saja, di sana ada Bu Rina dan panitia konsumsi."

Aku mengangguk, lalu melambai pada Sandra dan Hana. Aku bangkit dari posisi duduk, membersihkan celana training dari rumput, pergi meninggalkan tempat yang kami tongkrongi tadi.

Baru berjalan beberapa langkah, Nino datang menghampiriku dengan kening berkerut, alis menukik. "Kamu pucat banget, nggak tidur? Kantung mata, mata kamu juga sayu."

"Iya, makanya aku nggak ikutan jalan pagi, udah sana kamu kumpul sama anak yang lain. Aku mau ke atas, dadah!!"

"Oh, istirahat ya, kalau bisa tidur aja. Nanti setelah kelar jalan pagi, kita ketemu lagi."

Aku mengangguk, Nino berlari ke arah kumpulan murid yang bersiap-siap pergi jalan pagi. Sesampainya di salah satu bangunan yang bisa disebut sebagai Rumah, Bu Rina menyambutku. Di dalam rumah sudah ada Yunda dan Shilla, panitia konsumsi pagi ini.

"Hai, Nantha, nggak ikut jalan?" teriak Shilla dari dalam.

Yunda muncul di pintu disusul Shilla, Bu Rina sudah pamit ingin pergi ke MCK. Aku duduk di teras rumah sambil melepas sepatu kets, segelas teh dengan asap tebal mengepul terulur, Yunda tadi menuang teh tersebut dari teko.

Aku menerimanya sambil tersenyum. "Makasih Kak, iya, aku pusing nggak ikut jalan. Kalau sehat pasti mengasyikan banget."

"Oh, iya. Waktu survei tempat kita udah jalan duluan, gue pengen sih jalan lagi, tapi kebagian jadwal piket sarapan pagi ini," kata Yunda.

Tidak aku sangka cewek yang terlihat lembut ini memiliki jiwa petualang yang tinggi. Sementara aku yang kelihatannya kasar memiliki mental yang cemen banget.

"Abis survei tempat pinggang gue kaya mau copot. Tapi Chacha ketagihan soalnya lewatin Villa-villa cantik, kali aja ada cowok keren katanya." Shilla tertawa kecil. Yunda dan aku menimpali dengan kekehan kecil.

Shilla melirik jam. "Katering datang jam berapa deh? Harusnya udah sampe nih"

"Nanti pihak resort ikut bantuin nurunin makanan ke sini kok," jawab Yunda.

**

Bayangan untuk bisa istirahat apalagi tidur lenyap sudah, sudah 1 jam berlalu aku cuma belingsatan guling ke sana kemari di atas karpet lantai rumah itu, apalagi kini aku sendirian di sini. Yunda dan Shilla sedang pergi mengambil nasi box katering. Aku baru sadar Bu Rina belum kembali juga. Kemana beliau? Bayangan beberapa orang yang memegang box nasi membuat aku buru-buru bangun dan membantu mereka menurunkan kardus-kardus yang tersusun rapih dari sebuah gerobak, dalam satu ikatan mungkin terisi 5 box nasi.

"Kok telat banget, Mas?" celetuk Shilla membuat mas-mas supir katering meminta maaf sambil menggaruk kepala.

"Maaf, Neng, kita diputerin disuruh lewat jalan laen sama warga lokal yang mencegat dan ngatur jalanan. Katanya jalan yang utama ditutup dan diarahkan lewat jalan lain. Jalannya jauh jadi kayak nggak sampe-sampe malahan. Saat udah sampe di gerbang, kita juga dipersulit buat masuk, untung Neng pada ke post gerbang."

"Abis kami nggak sabar menunggunya, takutnya keburu anak-anak murid sampe ke sini. Makasih ya Mas, eh Kang, hehe," ujar Yunda dengan senyum tipis.

Kang mas supir katering dan temannya mengeluarkan surat untuk ditandatangani tanda pesanan katering sudah diterima, Yunda membubuhi tanda tangannya di kertas. Selepas mereka pergi, Yunda dan Shilla mengedarkan pandangan heran, aku paham apa yang sedang mereka resahkan.

"Bu Rina ke mana?" cetus Yunda

"Belum balik dari tadi? Kalian cari gih, gue mau beresin box makanan dulu," ujar Shilla.

Aku dan Yunda mengangguk.

Setelah memakai sandal kebesaran berbentuk kodok hijau, kami beriringan mencari Bu Rina. "Mungkin di dekat tenda, Kak."

Yunda menoleh dengan wajah pucat. "Semoga beliau baik-baik saja. Ayo, kita ke sana!"

Setelah sampai di area tenda, kami tidak menemukan Bu Rina di mana pun. Kami sudah memeriksa di sekitar tenda-tenda guru juga tidak ada. Aku menyibakkan pintu-pintu tenda satu per satu. Nihil.

Sebuah cengkraman cukup kuat terasa di lenganku, Yunda mengisyaratkan agar aku memasang telinga tajam, terdengar suara teriakan disertai isakan meminta tolong dari suatu tempat. Yunda memandang diriku dengan ekspresi serius dan tegang. "Itu ada yang teriak minta tolong," katanya dengan suara lirih.

Aku menajamkan indera pendengaranku, suara itu berasal dari MCK yang terletak di bawah area tenda. "Asal suara dari MCK, Kak. Ke sana yuk!"

Kami menelusuri daerah MCK menginjak jalan bebatuan yang sengaja dibuat agar jalanan tidak licin saat hujan tiba. Di salah satu MCK pintunya yang terbuat dari ayaman bambu bergerak seperti digedor dari dalam.

Yunda menunjuk pintu tersebut, kami berlari ke arah pintu MCK itu. Yunda memutar kenop pintu yang tak kunjung terbuka.

Aku meneriakkan nama Bu Rina. "Bu Rina, Bu Rina!"

"Tolong, Nak. Tolong!" lolong Bu Rina dengan suara nyaris depresi.

Yunda berlari ke kebun sebelah deretan MCK itu, saat kembali dia sudah membawa sebuah paku. Saat mencoba memasukkan paku ke lubang kunci tersebut ternyata tidak muat, Yunda melempar paku tersebut ke kebun, kesal.

Aku menarik jepitan lidi dari rambutku, dan menyodorkan benda tersebut pada Yunda. "Coba ini, Kak."

Yunda merampas jepitan lidi tadi tak sabaran. "Thanks, banget." Dia mencoba memasukkan batang jepitan lidi tadi ke lubang kunci sementara Bu Rina masih menggedor pintu dari dalam sambil berteriak histeris.

Seperti pandai besi Yunda memutar jepitan lidi itu ke sana kemari, keringat sudah bercucuran di kening dan jatuh melewati pipinya.

"Yesss!" Yunda lega saat kenop pintu itu berhasil tebuka.

Saat pintu menjeblak terbuka, Bu Rina mengambur ke arah Yunda dan memeluknya sambil menangis histeris.

Aku memeriksa dalam MCK, di bagian dinding belakang MCK yang terbuat dari semen ada bagian kaca transparan yang cukup besar. Aku sedang memahami bagian dalam MCK.

Suara serak Bu Rina memecahkan keheningan. "Tadi di kaca itu ada orang yang memainkan pisau, tapi wujudnya nggak diperlihatkan. Dia mengacung-ngacungkan pisau, saya takut sekali, pintunya juga terkunci dari luar."

"Ibu tenang yah," kata Yunda sambil berusaha menenangkan Bu Rina yang masih shock berat.

"Yuk, kita ke sana, di sini mungkin belum aman!" Ajakku sambil membantu Yunda menggandeng Bu Rina yang masih lemas.

Di perjalanan kami menuju rumah, anak murid yang mengikuti acara jalan pagi sudah berkeliaran di sekitar area perkemahan sambil memegang box nasi.

Kami sudah sampai di rumah disambut Pak Hardi, Pak Wirya dan Bu Monic -yang masih memakai pakaian olahraga plus celana training-. Yunda memanggil anggota PMR sekolah untuk membawa Bu Rina ke dalam rumah.

"Anak-anak, Bu Rina kenapa?" tanya Pak Hardi dengan raut wajah cemas.

"Anu--" Yunda gelagapan, dia melirik diriku lalu mengintip Pak Wirya dan Bu Monic yang berdiri di belakang Pak Hardi dengan ekspresi yang sama kepo-nya.

Box nasi yang tadi berjejer di teras rumah sudah lenyap sepertinya sudah dibagikan ke anak-anak, Shilla juga sudah tak terlihat. Aku dan Yunda mengamati keadaan sekitar, tidak banyak anak murid yang wara-wiri di sekitar bangunan itu.

Yunda memandang Pak Hardi serius. "Kami menemukan Bu Rina terkunci di MCK, kami membuka paksa kunci pintu dengan jepitan. Bu Rina masih ketakutan dan shock."

"Gimana bisa? Maksudnya terkunci dari dalam?"

"Bukan, Pak. Terkunci dari luar, sungguhan!" Jelasku cepat.

Pak Hardi menatap kami dengan wajah cemas lalu mengangguk. "Akan Bapak sampaikan ke seluruh anak murid jika pergi ke MCK harus didampingi teman. Kalian bisa kembali ke lapangan. Tolong rahasiakan kejadian ini, Bapak akan mengajak Bu Rina bercerita jika keadaan sudah memungkin--" Mata Pak Wirya melebar.

Aku menoleh dengan cepat ke arah pandangan Pak Wirya.

Chacha dan Reksa berlari disusul oleh Shilla di belakangnya, mereka terengah-engah, ada apa lagi nih? Yunda melirikku.

"Ada apa, Nak?"

"Anu Pak," Reksa terbata-bata, "Di bawah sudah ada beberapa murid muntah-muntah. Kayaknya pada sakit."

Mata Pak Hardi semakin melebar, dia tidak mampu berkata-kata. Setelah mendapati Shilla yang masih mengatur napas keccapekan, dia menghampiri cewek itu.

"Nak Shilla, makanannya kamu cek? Basi atau asam nggak? Takutnya makanannya sudah berbau atau basi, gimana tadi saat ngecek? Kamu yang bagian--"

Belum sempat Pak Hardi berkata secara lengkap, Rama muncul datang dan menyela ucapannya. "Pak, ini bukan kesalahan siapa-siapa. Mungkin mereka memang lagi sakit, kecapekan habis jalan jauh," ucapnya serius.

Aku melirik Yunda, dia menunduk dengan wajah muram. Shilla juga sudah menunduk sedih.

"Maksud kamu bukan kesalahan Shilla, Yunda atau OSIS juga?" tukas Pak Hardi.

"Kami panitia cuma menyalurkan makanan, Pak. Yang memasak adalah katering." Pandangan Rama beralih ke Shilla, lalu ke Yunda. "Nanti kita coba hubungin katering itu untuk minta keterangan. Kita bisa ngecek para murid yang muntah-muntah disebabkan karena apa. Ada banyak penyebabnya. Asam lambung, kena magh atau masuk angin. Kecapekan. Kurang gula." Rama sepertinya akan menyebutkan semua penyakit jika diminta.

"Tapi lebih dari dua orang bukannya aneh?" cetus Pak Hardi.

"Tunggu dulu," selaku membuat semua mata kini tertuju padaku. "Kalau yang muntah-muntah itu tidak merata, kita harus menyimpan sampel dari box siswa yang mual. Untuk bisa dicek."

Ternyata perkataanku diangguk oleh semua pihak termasuk Pak Hardi dan Rama.

"Oke, saya kira ucapan Nak Jona ada benarnya. Lalu apa anak-anak yang pada sakit sudah mendapat pertolongan?" tanya Pak Hardi.

Chacha dan Reksa mengangguk. Tapi aku malah menyernyitkan dahi karena dipanggil Jona.

"Sudah, Pak. Beberapa guru juga membantu, panitia yang lainnya juga," kata Reksa.

"Baik, kalian kembali ke lapangan ya membantu peserta kemah lainnya."

Atas perintah Pak Hardi, Yunda menarik diriku dan Shilla, sementara Chacha bersama Reksa dan Rama berada di belakang masih membahas masalah penanganan kejadian mual-mual masal itu itu.

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top