Hidaka Hokuto - Fidelity

Warn:
- local college universe
- 2700+ words
- Harsh words
- lagi suka bikin yang beginian maaf, ya kalo pada ga suka yg cerita model begini 🤧
- Req dari temen tapi karna disini banyak yg req Hokuto juga jadi saya upload disini juga
- Hope u enjoy!♡

.

.

.

.

.

.


『𝑭𝒊𝒅𝒆𝒍𝒊𝒕𝒚』



"Yakin nggak mau ikut kita aja dek?"

Aku menggeleng pelan, menunduk, sedikit berjalan mundur. "Enggak, saya lagi nunggu orang."

Sialan.

Dua orang yang tak kukenal di depanku ini mendekat lagi kearahku. "Nunggu siapa ih? Kalo nggak dateng-dateng mending sama kita sini."

In your dreams, sir.

Aku mulai melirik kebelakang, memastikan gerbang parkiran belakang pujasera ini terbuka untukku melarikan diri.

"Eit, mau kemana cantik?"

Mau lari lah bangsat.

Aku dapat merasakan badanku sudah bergetar hebat ketika seseorang memegang pergelangan tangan kiriku. Aku sudah bersiap untuk menghantam kepala orang yang menarik tanganku itu dengan tas berisi buku Sobotta milikku yang baru saja dikembalikan Isara tadi.

Namun, sepertinya aku tidak perlu melakukan itu karena aku dapat mendengar suara yang familiar bagiku. Justru aku sedikit bernafas lega saat mendengarnya berkata.

"Eh, mau apa bang? Temen gua nih."

Pria bersurai oranye yang ternyata memegang pergelangan tanganku langsung menarikku untuk bersembunyi di belakangnya.

"Temen lo Sub? Anak mana?"

"Mending jangan yang ini deh bang, udah ada pawangnya."

Setelah mereka berbicara sebentar, terdengar kedua orang tersebut bersedia melepaskanku karna hasutan cowok yang menolongku barusan.

Akehoshi Subaru, menarikku keluar ke arah parkiran belakang, lebih tepatnya ke arah motor scoopy kesayangannya terparkir cantik. Dan tepat saat itu aku merosot dan terjongkok di tanah berpaving tersebut. Gila kaki gue masih kayak jelly rasanya.

"Eh ayam, ayam–" Subaru spontan ikut berjongkok dan kemudian membantuku berdiri. "Lo belom diapa-apain kan? Gua telat ya tadi datengnya?"

Aku menggeleng sambil berdiri. "Lo sama sekali nggak telat, makasih udah bantuin gue. Makasih banget..." lirihku pelan.

Yang kuberi ucapan terima kasih malah ikut menggelengkan kepalanya, "kayak sama siapa aja lo,"

"By the way, Hokuto mana?" Tanyanya ragu.

Melihat raut wajahku yang semakin muram ketika mendengar nama itu terlontar, membuatnya semakin panik. "E-eh gua anterin pulang aja ya? Atau habis ini ada perlu dimana gitu, gua anterin."

"Anterin pulang aja boleh?"

"Siap nyai! Kereta kencana meluncur." Ucapnya sambil memberi helm yang semula tercantol di spion.

Aku tertawa kecil, "makasih, Sub."

"Yoi santai."



『𝑭𝒊𝒅𝒆𝒍𝒊𝒕𝒚』

"Kantin fisip kuy!"

Aku menatap pemuda bersurai marun itu jengah, "males."

Namun bukan dia namanya jika tidak memaksaku untuk tetap menuruti keinginannya. "Tapi gue pingin bubur Bu Idaaah," rengeknya sambil menunjukkan raut wajah meminta belas kasihan kepadaku yang sayangnya hal itu malah menambah keinginanku untuk menonjoknya sekarang.

"Ngapain coba lo makan bubur siang-siang? Panas jahanam gitu." Balasku sewot sambil menunjuk dengan daguku ke arah jendela yang menampilkan panasnya keadaan luar ruangan ini. Lagian biasanya orang tuh makan bubur pagi-pagi anjir.

"Ih kok sewot? Tumben, biasanya ngikut aja kalo ke fisip. Lagi tengkar sama pacar apa gimana?"

Aku menghela nafas kecil lalu menjawab pertanyaannya yang terakhir.

"Mantan."

Aku dapat melihat matanya yang jelas membola ketika aku menyebutkan satu kata itu.

"HAH? DEMI APA?" Tanyanya lantang membuat seluruh orang yang masih berada di dalam laboratorium menatap kami berdua. Untung saja kelas baru saja selesai beberapa menit yang lalu sehingga ruangan ini sudah cukup sepi.

"Biasa aja napa?" Balasku bertanya sambil melotot kearahnya.

Cowok itu, Isara Mao, memamerkan cengiran begonya sebentar, tapi tak lama setelahnya dia menatapku tak terima. "Lo utang cerita ya tapi."

"Iya, iya. Ini juga gue mau cerita."

"Nah oke, ceritanya di Bu Idah aja." Tanpa aba-aba dan dengan seenaknya dia menarik tanganku dan mulai berjalan keluar kelas.

"IH DIBILANGIN GA MAU! Maksa banget, ngidam lo?!" Kataku sambil berusaha menarik tanganku ke arah berlawanan agar tidak ikut terseret. Tidak sepenuhnya berhasil karna tentu saja tenaganya lebih besar dariku.

"Kita ke sana buat makan bubur elah, bukan buat ketemu mantan lo." Ucapnya setelah aku berhasil melepaskan pergelangan tanganku dari cengkramannya.

"Tapi tetep ada peluang ketemunya, kalo papasan gimana njing?"

"Segitunya kamu ngga mau ketemu aku?"

Aku membeku seketika mendengar suara yang tak asing lagi bagiku. Suara yang sudah tidak pernah menyapa indra pendengaranku lagi selama seminggu lamanya. Suara yang biasanya kudengar setiap pagi atau sore waktu pulang pergi ngampus, atau malem waktu telponan, atau bahkan seharian penuh aku bisa mendengar suara dingin nan menenangkan itu waktu kita jalan bareng.

Kangen? Parah.

"Hei?" Sang pemilik suara dibelakangku ini kini membuyarkan lamunanku dengan sapuan lembutnya di bahu kananku.

Dan entah mengapa, tanganku reflek menepis tangannya dan membawa tubuhku berbalik untuk menghadapnya.

Raut kekecewaan terpampang jelas diwajahnya. Walaupun banyak yang menjulukinya pokerface namun aku bisa menafsirkan ekspresinya dengan jelas. Iya lah, nggak cuma setahun-dua tahun kita saling kenal.

Aku benci tatapan itu.

Tatapan kecewa yang ia tampilkan seakan membuatku terlihat seperti orang yang benar-benar jahat.

Mohon maaf, tapi yang seharusnya kecewa disini itu aku. Dia yang bohong, dia yang seenaknya, dia yang kecewa. Hahah lucu.

Aku menundukkan kepalaku—memutus kontak mata kami lalu menarik tas Isara agar dia mengikutiku berjalan menjauh dari tempat itu juga.



『𝑭𝒊𝒅𝒆𝒍𝒊𝒕𝒚』

"Coba kalo tadi kita langsung makan bubur, kan ga bakalan ketemu. Orangnya aja ternyata udah di fk nggak di fisip." Ceramahnya panjang lebar, lagi-lagi masih mempermasalahkan bubur. Sialan ni bocah.

"Ya gue ngga tau kalo doi ke fk..." cicitku pelan.

Tapi walaupun begitu, Isara memilih menyerah dengan bubur Bu Idah yang ia idamkan dan mengikutiku untuk memilih tempat makan di luar kampus agar tidak bertemu sosok yang mencegat kami tadi. Dan disinilah kami sekarang, di salam sebuah restoran ayam cepat saji yang berada tak jauh dari rumahku.

"Oke lupain, I'm ready for the tea. Dia belain nyamperin lo dan lo langsung main cabut gitu aja. Sebesar apa salah Hokuto sampe lo begini?"

"Dia bohong sama gue, dan ngga cuma sekali." Kataku sambil memainkan kentang goreng milikku yang masih tergeletak di atas nampan.

"Berapa kali?"

Aku menaikkan sebelah alisku dan berpikir sejenak. "Tiga? Yang kepergok gue ya, yang enggak ya ga tau deh."

"Bohong gimana?"

"Bilangnya nugas di kosan, tapi gue liat dia di mall sama cewe. Bilangnya lagi kegiatan ukm, tapi gue liat lagi di janjiw berdua sama cewe yang sama. Gue baru tau ukm badminton ternyata latihannya di janjiw. Terus..."

Aku dapat melihat Isara melongo mendengarkan ceritaku yang mungkin agak mengejutkannya.

"Demi apa? Hokuto? Bukannya gue ga percaya sama cerita lo, tapi modelan cowo lo tuh..."

Aku terkekeh mendengarnya. "Kaget kan? Iya gue juga. Gue kenal Hokuto udah dari masih bau minyak telon dan ini pertama kalinya dia nggak bilang yang sebenarnya ke gue. Gue tau dia memang cuek, tapi ngga pernah kayak gini. Makanya gue ga langsung nethink waktu pertama liat, tapi yang terakhir bener-bener bikin gue sakit."

Aku bisa melihat samar wajah Isara yang mendadak berubah saat butir-butir air mataku nggak bisa lagi kutahan. Dia mengambil sekotak tisu kecil dari tasnya dan memberikan benda itu padaku tanpa mengatakan apapun.

"Seminggu yang lalu, gue nunggu dia jemput di pujas. Tapi sampe dua jam dia tetep ga nampak, sampe gue sempet panik waktu digodain sama orang ngga dikenal. Untungnya waktu itu Subaru lewat, dia yang bantu gue, dia yang nganter gue juga akhirnya."

"Subaru temennya Hokuto? Yang petakilan itu?"

Aku mengangguk kecil lalu melanjutkan ceritaku. "Waktu itu gue ngga marah, mungkin dia lupa, wajar. Tapi yang bikin gue marah, waktu itu bukannya minta maaf dia malah bilang 'jangan manja'. Mohon maaf nih, gue nunggu dia dua jam."

"Dan parahnya lo tau? Waktu itu Mika liat Hokuto jalan sama cewe itu lagi di foodfest. Mika ngechat gue, dia tanya apa itu memang Hokuto. Dan iya, itu memang cowok gue."

"Kalo memang bosen kan dia bisa bilang sama gue, ngga harus main di belakang gini..." kataku sambil semakin menunduk. Nafsu makanku sudah tidak ada lagi sejak aku memgingat-ngingat kejadian itu.

"Lo udah minta penjelasan sama dia?" Ucap lelaki bermanik hijau tersebut setelah membiarkanku terisak beberapa menit.

"Udah, tapi dia malah jawab nanti kamu juga bakal tau. Bangsat dikira gue cenayang apa? Ya udah gue langsung minta putus."

"Dia bego ya ternyata."

Aku yang sangat setuju dengan perkataannya langsung memukul nampan di depanku pelan lalu menatap lelaki di depanku ini, "ya kan!"

"Padahal gue ga pernah larang dia pergi sama cewek, dan dia juga ga pernah larang gue. Tapi gue selalu jujur bilang kalo pergi sama siapa, makanya gue bisa sering nongki sama lo, sama Ritsu, Mika atau anak tutor gue juga. Sesantai itu hubungan kita, tapi ngga berarti dia bisa seenaknya gitu ya. Kalo gini seakan-akan gue doang yang bucin." Lanjutku sambil meluapkan emosi seperti mengambil kentang dan mencolekkannya ke saus sambal dengan penuh emosi. Bisa bayangin ngga sih?

Tak sampai semenit kemudian tawa Isara sudah meledak. "Nah gini dong. Misuh-misuh aja, gue ga bisa liat lo melow-melow. Muka nangis lo sampis."

"Bangsat, gue sedih masih aja dihina. Inget ya itu burger lo gue yang bayar biar lo ga ribut masalah bubur Bu Idah." Kataku sewot.

"Pamrih amat jadi temen, untung lo nyogok gue pake double dawn coba kalo burger goceng udah bertempur nih kita." Jawabnya tak kalah sengit.

Beberapa menit berlalu kami habiskan dengan sibuk menyantap makanan masing-masing. Tentu saja dengan aku yang masih pura-pura bete karna diejek, padahal ya udah biasa gini—biasa saling mengejek.

Hingga akhirnya dia membuka suara, namun kali ini tidak dengan nada bercanda. "Tapi kalo lo mau saran sih, mending coba dengerin dia dulu. Dia pasti udah siap jelasin ke lo, buktinya aja tadi udah nyamperin ke gedung fk. Gue tau lo pasti juga ngga mau hubungan lo 3 tahun rusak gegara masalah yang belom jelas."



『𝑭𝒊𝒅𝒆𝒍𝒊𝒕𝒚』

Aku merebahkan diriku di atas kasur lalu menatap langit-langit sebentar. Jadi kepikiran kata-kata Isara kan.

Tapi masih sebel sih.

Tanpa merubah posisiku aku meraba-raba permukaan meja yang berada tepat disamping kasurku itu untuk mengambil benda kesayanganku. Setelah membuka kunci layar, aku membuka deretan kontak untuk mencari nomor seseorang yang sudah ku rename dengan nama yang absurd agak panjangan dikit.

Tentu saja tidak ada, gabut aja akunya, maka dari itu aku mulai mencari di daftar blokir—dan menemukannya.

Menimbang-nimbang sebentar, haruskah aku yang mulai menghubunginya? Tapi kan bukan aku yang salah, gengsi brow.

"Unblock aja deh, siapa tau dia memang niat ngechat duluan. Kalo di block kan ga bisa kekirim juga," pikirku dalam hati.

Dengan sedikit berat hati aku akhirnya menekan tombol itu dan kembali meletakkan handphoneku di meja. Namun kurasa tidak ada satu menit hingga suara notifikasi memasuki telingaku.

Ting!

Aku langsung memastikan dari siapa notifikasi itu berasal dan mataku jatuh pada kontak yang baru saja kulepaskan dari daftar terblokir.

Anaknya Om Seiya✨
|Hari ke-8, aku tau kamu pasti belum bisa baca pesan ini

|Aku pinginnya sih dijawab hari ini, tapi kalau enggak aku tetep bakal terus mencoba peruntunganku

|Hai, gimana hari ini?

|Jangan lupa makan, jangan lupa istirahat

|Aku tau bentar lagi ujian OSCE, tapi jangan terlalu stress ya? Jangan kebanyakan minum kopi, inget tubuh kamu ngga kuat

|Kamu pasti bisa, kamu hebat

|Maaf baru hari ini aku berani ke sana, berani nyamperin kamu

|Gue bego ya?

|Gue ga sadar kalo gue nyakitin lo, sadarnya waktu lo udah ngehindar yang bikin gue sakit juga

|Please kasih gue kesempatan, seenggaknya setelah gue jelasin gue bisa tenang

|Gue berharap kita bisa balik, tapi kalo lo emang mau berhenti gue ga bakal ngelarang

|Gue sayang sama lo

Aku membaca rentetan pesan yang kudapat baru saja.

Gila, mau nangis.

Hari ke-8, bolehkah aku berharap bahwa dia memang mengirimiku pesan setiap hari sejak hari itu?

Bolehkah aku berharap dia masih menungguku?

Awalnya saat membaca semua kata-kata itu aku ragu, karna dia memang pribadi yang cuek. Dia peduli dengan caranya sendiri bukan dengan kata-kata, makanya ini dia pake joki gombal ato gimana.

Tapi semua pikiran itu langsung menghilang ketika sebuah pesan baru masuk.

|KOK CENTANG BIRU??

(Anaknya Om Seiya✨ deleted this message)

"BEGO, APAAN SIH? AHAHAH" tawaku seketika.

Fix, ini mah Hokuto.

You
Iya centang biru|

Hai, gue baik dan gue harap lo juga|


Anaknya Om Seiya
|Jangan kemana-mana
|Tunggu di rumah, 5 menit aku sampe

You
Kalo nggak dirumah?|


Anaknya Om Seiya

|Isara bilang kamu di rumah
|Please, jangan kabur lagi

Aku segera merubah posisiku yang awalnya rebahan menjadi duduk tegak sambil merapalkan seluruh kata umpatan yang kutahu untuk Isara. Ember banget, heran.

Aduh, papa mama nggak di rumah lagi, harus pakai alasan apa ini. Aku nggak siap, aku memang mulai memikirkan saran Isara untuk mendengarkan Hokuto, tapi ya nggak sekara-

Ting-tong.

ANJING, 5 MENIT DARI HONGKONG, INI MAH 2 MENIT AJA GA NYAMPE.

Aku segera turun sambil sedikit membenarkan rambutku yang berantakan sehabis tiduran tadi. Membuka pintu putih yang memisahkan kami sehingga sekarang aku bisa melihat wajahnya yang menampilkan senyum tipis. Tangannya terulur ke arahku, menenteng sebuah kantong kresek berisi sejenis minuman yang sudah bisa kutebak.

"Mango greentea," jawabnya seakan mengerti tentang pandangan heran yang kulemparkan padanya. Sudah kuduga, kesukaanku.

"Oh... thanks?" Kataku sambil sedikit menjauhkan badanku dari depan pintu, mempersilahkannya masuk.

Dan disinilah kami sekarang, duduk berhadapan di sofa ruang tamu. Padahal biasanya jika kami di sini dia sudah menyandarkan kepalanya pada pundakku sambil mengerjakan tugasnya di laptop. Semuanya sudah berubah sejak hari itu.

"Kamu ngantuk?"

Aku menengadahkan kepalaku yang semula menunduk untuk menatap netranya. Mengangguk sekilas, "makanya cepetan."

Dia menggigit bibir bawahnya, terlihat gugup dan hal itu membuatku sedikit merasa bersalah. Aku berbohong, aku sama sekali tidak mengantuk, aku terbiasa begadang.

"Maaf..." Lirihnya.

Dia sedikit mengacak rambutnya frustasi sebelum melanjutkan kalimatnya. "Maaf, aku ngga ada disitu waktu itu. Maaf, aku ngga bisa lindungin kamu. Maaf, aku..."

"...aku baru tau dari Akehoshi soal kejadian itu, dan seketika aku nyesel. Aku tau kamu ngga manja, harusnya aku tau pasti ada alasan kenapa kamu sampai nangis padahal cuma ngga dijemput. Maaf..."

"Tapi please jangan tiba-tiba ngilang gini, aku kalut nggak kamu kabarin seminggu ini. Waktu aku datengin juga selalu ngacir duluan—"

"Sejak kapan lo peduli?" Kataku, masih berusaha menaruh nada dingin di setiap kata. Namun munafik namanya jika aku mengatakan tidak rindu dengan sosok di depanku ini.

Dia menatapku nanar, dan hal itu malah membuatku tidak bisa lagi membendung air mataku. "Kalo lo bosen sama gue, lo bisa bilang. Kita bisa putus baik-baik—"

"Nggak." Katanya sambil menggeleng dan bangkit dari duduknya.

"Kalo lo gue memang ngerepotin, lo bisa bilang—"

"Nggak."

Dia menarik lenganku, membuatku ikut berdiri dan kemudian menenggelamkan wajahku pada dadanya. "Kamu ngga pernah bikin aku bosen, kamu ngga pernah ngerepotin aku." Katanya sambil sesekali mengecup pucuk kepalaku.

"Tapi lo lebih milih sama yang lain," lirihku dengan suara yang agak teredam karena hoodie hitamnya yang berada tepat di depan wajahku.

Dia menangkupkan tangan kanannya pada pipi kiriku, membuatku mendongak dan mempertemukan manik kami. Sedangkan tangan kirinya menumpu di pinggangku seakan mencegahku melarikan diri.

"Dengerin dulu ya?" Katanya sambil tersenyum miris kemudian menurunkan tangannya dari pipiku untuk merogoh kantong celananya.

Kalung.

Dia memakaikan benda itu pada leherku hanya dengan satu tangan. Kemudian kembali tersenyum, "Happy anniversary, udah tiga tahun nggak kerasa ya?"

Kembali menunduk aku menatap kalung dengan liontin kecil itu.

"Maaf kecil, biar bisa sembunyi di dalem baju juga. Ga baik tau pake perhiasan di luar rumah, banyak jambret sekarang."

Aku langsung memicingkan mata kearahnya, "tapi kamu malah ngasih ini?"

"Y-ya aku ngga tau mau kasih apa lagi, okay? Trus kata kak Anzu kasih kalung aja..."

"Kak Anzu?"

Dia tersenyum lembut lalu mengecup kedua mataku yang agak bengkak mulai dari kanan, kiri, dan terakhir mengecup dahiku agak lama. "Kak Anzu, kakak sepupu aku. Udah nikah kok, selama ini ikut suaminya di Surabaya."

"Jadi cewek—"

"Iya, cewek potongan sebahu yang kamu liat di janji jiwa itu kak Anzu. Itu waktu nemenin aku beli ini, nyari yang pas susah banget rasanya aku diomelin terus, yang nggak ngerti selera cewe lah, yang apa lah..."

Speechless, aku merasa terbodohi.

Dia yang menyadari tatapan kosongku menarik ujung hidungku pelan. "Mukanya biasa aja dong," katanya sambil terkekeh.

"Kok ga bilang dari awal—"

"Seru tau, liat kamu ngambek cemburu ya udah aku tunda-tunda aja bilangnya. Eh tapi ga taunya malah menghindar seminggu kayak gini, enggak lagi deh."

Aku meronta di dalam pelukannya, tidak lagi peduli wajahku yang memerah hingga telinga. "Dipikir nggak sakit apa ngeliat kamu jalan bareng yang lain, lebih cantik lagi."

Tatapannya kembali menjadi sendu, "Nggak, buat aku kamu paling cantik."

"Apa sih, geli." Cicitku sambil memukul dada bidangnya pelan. Habisnya tumben banget Hokuto kayak begini.

"Maaf, waktu itu kamu pasti takut banget ya? Lain kali spam call aja kalo aku ngga dateng-dateng ya? Maaf..."

"Nggak usah maaf-maaf terus, ini belom lebaran."

"Tapi kamu sendiri gimana? Mau ini jadi happy anniversary atau happy failed anniversary? Aku ga bakal larang lagi kalo kamu mau kita berhenti sampe disi—"

Aku berjinjit sedikit dan menarik tali hoodienya. Mempertemukan kedua bibir kami dalam sebuah kecupan singkat, "Itu udah jawab pertanyaan kamu belom?"



𝑭𝒊𝒅𝒆𝒍𝒊𝒕𝒚 — 21.08.2020

Random quest:
Siapa kira-kira suami mbak Anzu?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top