Dua Tahun Lagi
Orang tua selalu punya cara untuk bilang mereka tahu segalanya.
"Rani! Nanti kalau kamu nikah, di gedung ini lagi aja," bapak mbisikin sambil membarengi langkahku.
Baru juga turun panggung ngawinin anak sulung, batinku, udah ngoyak-ngoyak.
Aku membetulkan konde sambil nyenyumin bapak yang jenggot kriwis-kriwisnya dicukur setelah negosiasi alot tadi pagi. Bersama rombongan pager ayu dan bagus, aku nunggu giliran makan di ruang VIP. Mbak Halimun dan suaminya sudah turun singgasana. Harusnya bapak tuh duduk di meja bundar bareng manten dan besan, dilayani, bukannya berkeliaran pakai beskap, bisik-bisik sama anak perempuannya kayak ngomongin masalah genting aja, padahal enggak. Nunggu gitu lho, bentar lagi juga acara kelar. Kalau ada maunya nggak bisa ditunda. Dasar bapak nih, bapak-bapak anti sosial, paling susah disuruh ngakrab sama orang lain karena gengsinya kegedean.
"Gedungnya bagus, harganya juga terjangkau. Kata pengelola gedungnya, dua tahun sekali direnovasi," sambung beliau, ngecuprus aja di sebelahku. "Semoga aja dua tahun lagi masih gratis sewa AC-nya."
"Dua tahun lagi?" aku mengernyit.
"Ya masak dua tiga tahun lagi kamu belum mau nikah? Dua tahun lagi itu ideal, bapak masih bisa napas buat ngumpulin duit lagi. Jangan kecepetan, kalau bisa, pas dua tahun. Sesuai sama jarak umurmu sama Halimun!"
Ya aku sih mau-mau saja. Tapi aku nggak yakin dua tahun lagi si Bima udah siap. Sekarang aja kuliahnya nggak tahu gimana, bulan lalu ngajuin proposal judul malah disuspen gara-gara ketahuan ngejiplak skripsi lama. Mana mungkin dua tahun lagi dia udah memenuhi standar bunda yang maunya punya menantu kerja di perusahaan besar kayak Mas-nya Mbak Halimun. Pegawai PLN.
"Kira-kira dua tahun lagi jadi berapa, ya?"
"Apanya?" bunda tahu-tahu nimbrung.
"Sewa gedung ini."
"Oh ...,"—tuh, kan, bunda juga sama nggak tertariknya ngomongin sewa gedung dua tahun lagi—"Bapak mau dahar apa dulu? Sop apa langsung nasi?"
"Tengklengnya gimana?"
"Katanya sih enak."
"Empuk dagingnya?"
"Empuk."
"Udah mbok cobain?"
Bunda melirikku dan kami pun mendengus kompak, "Sampun," jawab bunda dimanis-manisin.
"Langsung nasi aja kalau gitu," bapak ngusir bunda dengan kibasan tangan. "Bentar, aku mau ngomong sama Rani dulu."
"Nanti duduk semeja sama pengantin dan besan lho, pak," bunda mewanti-wanti.
"Eh ... eh ... aku di sebelahmu sama Halimun, lho, ya,"—membisik—"Jangan di sebelah bapaknya Bagas, baunya anyir kayak kuburan, aku nggak tahan."
Bunda ngelirik aku lagi, kali ini ngajak barengan putar bola mata waktu bapak menggidik bahu.
"Ran," panggil beliau lagi, "tanah di belakang rumah eyangmu dulu itu mau dijual."
"Diomongin di rumah aja, pak. Malu didengar orang," aku mendesis.
"Kosik, tho," bersikerasnya. "Dengerin dulu. Tanah itu mau bapak beli, nah jadi dua tahun lagi kalau giliranmu, bapak udah siap!"
"Ya nanti Rani omongin sama Bima," aku ngambil piring sambil menggumam.
"Ya kalau nggak sama Bima, sama yang lain," katanya enteng. "Ya udah, bapak ke sana dulu, ya. Nanti kamu semobil sama bapak aja. Oh iya ... jangan kebanyakan makannya, nanti mobil bapak nggak kuat jalan!"
"Enak aja memangnya Rani sapi sampe mobil bapak nggak kuat jalan."
"Lho bukan kamu, pakdhemu. Tapi bapak 'kan nggak mungkin nyuruh pakdhemu nggak makan banyak, nanti bapak kualat."
Baru juga selangkah, bapak udah balik lagi. "Kamu awasin kateringnya, ya. Kalau sisa, suruh kirim ke rumah. Eman."
"Iyaaa ...."
"Jangan mecucu! Dua tahun lagi, gantian Kintamani dan Halimun yang ngurusin nikahanmu, jadi jangan kecewain mbakmu."
Hayah ... yang kecewa kalau sate sama tengklengnya sisa nggak dibawa ke rumah juga paling dia sendiri, mana Mbak Halimun ngurusin makanan sisa mau dibawa ke rumah apa enggak? Besok pagi aja mempelai berdua langsung take off buat honeymoon ke Lombok.
"Emang Mas Bima udah siap kawin dua tahun lagi, Mbak?" tanya Kintamani, adik bungsuku, yang muncul dengan sepiring buah-buahan.
Aku nggak menjawab.
Lalu dia celingukan, "Mas Bima nggak jadi dateng, ya?"
"Dateng, tapi nggak sampai kelar," kataku.
"Kayak gitu mau nikah dua tahun lagi, paling juga bentar lagi bunda udah minta Mas Bagas ngenalin Mbak sama temen bujangnya yang kerja di PLN!"
"Hus!"
"Mas Bima madesu!" ejeknya sambil kabur.
Wooo ... bajigur. Biarpun aku juga agak curiga pacarku madesu, tapi aku bukan perempuan nggak punya hati yang tega ninggalin seseorang hanya karena dia nggak kerja di perusahaan besar, ataupun nggak lulus-lulus kuliah.
Kuputuskan mengabaikan imbauan bapak soal dua tahun lagi, nggak akan keburu kayaknya kalau dua tahun, dan mulai menciduk sup dalam-dalam biar dapat ayamnya.
Author Note:
Jadi kemarin saya ikutan kelas Plot-nya Mbak Rosi L Simamora dan ngirim plot cerita ini, karena beliau bilang cakep dan tinggal eksekusi, jadi saya eksekusi. Saya 'kan murid yang berbakti. Wkwkwk...
The characters of The Story
Karakter Utama
Maharani
Gadis jawa yang biasa distereotipkan lugu dan manis oleh kawan-kawan kantornya. Maharani sendiri memang cukup lugu, tapi tidak tolol. Dia sangat setia pada pasangannya, Bima, sehingga saat mengetahui Bima mengkhianati hubungan, dia sangat terpukul dan ingin melakukan sesuatu untuk menebus kesetiaannya bertahun-tahun dengan berbuat nakal dalam semalam.
Yudha
Pemuda yang punya masa lalu tak menyenangkan. Ibunya hamil di luar nikah, tapi ayahnya tak mau bertanggung jawab. Adalah Jonah, sepupu ayah kandungnya yang kemudian menikahi ibu Yudha untuk menyelamatkan si jabang bayi dari niat sang ibu mengaborsinya. Yudha selalu punya keinginan memiliki kekasih yang menerima diri dan masa lalunya apa adanya. Kebanyakan gadis menolaknya saat mengetahui ayah Yudha (bukan ayah kandungnya) adalah seorang transgender pemilik toko kue dan klub terbatas. Klub terbatas ini adalah sebuah pub untuk kaum binan. Meski sepenuhnya straight, Yudha cukup nyaman membantu sang ayah mengelola bisnis dan sesekali menjadi maskot berpakaian perempuan karena memang dia berubah cantik jika berdandan. Maharani tidak suka itu.
Note:
Pub asalnya dari singkatan public house. It's a place to come when you need a drink in peace, suasananya lebih tenang dari bar atau night club dan biasanya lebih banyak memutar lagu-lagu ballad klasik.
**ilustrasi bukan cast, ya
Karakter pendukung:
Bapak dan bunda Maharani
Pasangan jawa yang tinggal di Jogja, meski bukan orang tua yang sangat kolot seperti gambaran orang tua jawa pada umumnya, mereka agamis. Bapak Maharani adalah seorang pria yang sangat prinsipil. Sebagai ayah dari tiga orang putri, cita-cita utama pria ini adalah memberikan hak yang sama pada ketiga putri mereka, salah satunya menyelenggarakan upacara pernikahan yang sama megahnya. Megah menurut ukuran sang ayah adalah menyelenggarakan pernikahan di gedung sesuai standard-nya dan menanggap wayang kulit.
Jonah (ayah angkat Yudha)
Seorang aseksual transgender yang sangat mengutamakan kebahagiaan putranya.
Note:
Apa itu aseksual?
Menurut sobatask. net aseksual = tidak tertarik pada aktivitas seksual.
Pada dasarnya, seseorang yang aseksual tidak tertarik atau tidak menginginkan aktivitas seksual, baik dalam hubungan atau di luar hubungan. Aseksualitas tidak mengacu pada cara seseorang bertindak, melainkan perasaan atau orientasi seseorang.
Yang ini fresh banget baru mulai ditulis jadi palingan akan rutin update barengan Sweetheart in Your Ear.
Masukin dulu aja di library, yah?
Enjoy the Little Thing
Kincirmainan
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top