Additional Part

"Udah nggak apa-apa, nih, udah sehat!" Sambil menuliskan sesuatu di bukunya, dokter pria yang masih muda itu menyambutku keluar dari bilik periksa.

Pakaianku sudah kembali rapi seperti sedia kala. Aku membalas senyum dokter kandunganku dengan senyum sama lebarnya sembari duduk.

"Obatnya dihabisin aja, tapi nggak saya tambahin lagi, ya. Ini dibawain resep ditebus kalau timbul rasa nyeri yang mengganggu, tapi seharusnya sih enggak ada. Udah nggak ada keluhan apa-apa, kan?"

"Nggak ada, Dok."

"Nggak ada yang perlu dikhawatirkan, Ibu Rani, penanganannya waktu itu tepat dan cepat. Tapi kalau mau aman, saran saya sih tetap ... eng ... kalau mau hamil lagi konsultasikan dulu saja dengan dokter, ya? Biar ibunda yang di rumah juga tenang."

"Iya, Dok. Terima kasih."

Sesudah menerima resep, dokter menambahkan, "Ibu Rani ... bener, ya? Sampaikan pada ibu di rumah. Intinya ... jangan khawatir. Titik. Bilang aja sama ibu di rumah begitu. Nggak usah nelepon saya lagi beliaunya, yah?"

Aku menyengir menyamarkan rasa malu.

Ya ampun ... gimana aku nggak malu, ya, masa bunda suka diam-diam nelepon ke nomor pribadi pak dokter mentang-mentang dia anak tetangga kami di Yogya dulu. Setiap penjelasanku mengenai kondisi pasca keguguran diverifikasi ke dokter dulu sebelum dipercayai sama bunda. Sampai suatu hari bapak curiga, dikira bunda ngapain kok nelepon cowok sembunyi-sembunyi, ternyata cuma kepo. Habis itu diceramahin sama bapak, baru berhenti.

Seperti yang dikatakan dokter, intinya aku masih bisa hamil lagi. Dalam kondisiku sekarang, itu yang paling penting buatku karena itu artinya aku sehat-sehat saja. Buatku, lho, ya. Buat bunda, sih, kalau memungkinkan maunya kondisiku dikembalikan seperti dulu. Entah apa maksud beliau. Dibanding aku, atau bapak, bunda seperti pihak yang paling berkepentingan sekarang. Kayak yang habis hamil terus nggak jadi punya anak itu dia aja gimana.

Kayak sekarang aja, begitu selesai berurusan dengan dokter, ponselku sudah penuh daftar panggilan tak terjawab dari nomor bapak yang kuduga bunda pelakunya.

"Assalamualaikum," sapa bunda cepat. "Kamu di mana, Nduk?"

"Wa'alaikum salam. Rani baru aja keluar dari rumah sakit."

"Terus? Dokter bilang apa?"

"Dokter bilang semuanya baik-baik aja."

"Bener dokternya bilang begitu?"

"Ya, benar, masa iya sih Rani bohong? Pokoknya penanganannya waktu itu tepat dan cepat, Rani udah bisa langsung hamil lagi kalau mau!"

"Hus!"

"Maksud Rani, ibaratnya ...."

"Nanti sebulan lagi kamu check up, siapa tahu ada yang ketinggalan di dalam, kan bahaya."

"Tapi kata dokter kalau nggak ada yang sakit nggak usah, kok."

"Udah, percaya sama bunda aja."

"Tapi bunda, dokter tadi bilang—"

"Kamu tuh nggugu (percaya*) bunda apa doktermu?" potong bunda gemas.

Aku sih sebenernya mau bilang nggugu dokternya, kan dia yang lebih ahli. Kalau soal bikin sambel terasi, atau mengatasi pria-pria patriarki seperti suaminya, baru aku lebih percaya beliau. Tapi ya masa aku mau bilang begitu? Akhirnya aku diam.

Tahu aku nggak berani bantah, bunda mengomel. "Hih ... kamu ini jadi perempuan kok nggak ada aji (nilai/ harga*)-ne sama badan sendiri. Perempuan kalau udah pernah keguguran itu ringkih, rapuh, namanya juga barang udah terlanjur di dalam, terus dikeluarin paksa, siapa tahu ada sisanya. Sekarang mungkin nggak kerasa, tapi siapa tahu nanti-nanti!"

"Ya udah ... bulan depan Rani ke sini lagi," kataku, menyerah.

Suara bunda melunak setelah berdeham penuh wibawa. "Kamu ke rumah sakit ... sama siapa?"

"Sendiri."

"Nggak sama Yudha?"

"Mau sampai berapa kali bunda nanya?"

"Lho biar udah nggak lanjut ... kan dia masih punya tanggung jawab meriksain kamu ...."

"Nggak ada Yudha, Bun, adanya asuransi kantor. Pak Gito juga udah tahu, diklaimin aja, katanya. Beliau bilang, asuransinya kover semua masalah kesehatan karyawan selama masih bekerja. Jadi, ya nggak perlu tanggung jawab Yudha lagi."

"Ya buat nganter gitu ...."

"Ada Gocar."

"Buat nemenin."

"Ada telepon dari bunda."

"Ngeyel aja."

"Anaknya bunda."

"Serius lho, Ran ... bunda khawatir."

"Kata dokternya nggak usah khawatir, nggak ada yang perlu dikhawatirin!"

"Bukan soal itu, lho. Soal kamu ... kamu itu 'kan perempuan, kamu pasti ngerti bunda khawatirnya kenapa, to, nduk?"

"Pasti di situ nggak ada bapak."

Bunda nggak ngejawab.

"Kalau ada bapak, bunda pasti diingetin supaya nggak mendesak Rani terus. Nanti Rani bisa stres, sakit, malah makin repot!"

Bunda terus diam.

"Rani janji, Rani nggak akan berhenti usaha."

"Kenapa sih kok kamu pakai mutusin Yudha segala? Anaknya juga masih mau kok sama kamu meskipun kamu udah nggak hamil."

"Rani punya pertimbangan lain, Bunda ...."

"Apa?"

"Ya pokoknya ada," tukasku, bersikeras menyimpan alasanku yang sesungguhnya. Sebab, kalau kubilang, mereka berdua pasti menyangkal dan akhirnya memaksa Yudha membujukku meneruskan hubungan. Udah bisa ditebak lah.

Kalau saja mereka tahu, Yudha, sih, nggak usah dibujuk pasti mau.

Setelah kujelaskan bahwa kami nggak lanjut bersama pun, yang keberatan hanya bunda. Bapak terima-terima saja dengan segala risikonya. Kalau bunda, aku ngerasa beliau lebih khawatir aku nggak akan dapat cowok lagi dibanding mempertimbangkan perasaanku atau perasaan Yudha. Jadi kupikir ini tetap jalan yang terbaik.

Sambil nunggu gocar-ku nyampe, aku berdiri di gerbang masuk rumah sakit.

"Bun, Rani matiin ya teleponnya. Ini Rani lagi nunggu Gocar, kalau sibuk, takut panggilan dari sopirnya nggak bisa masuk."

"Kabarin bunda kalau udah sampai rumah!"

Aku menghela napas sambil memutus sambungan telepon.

Ya ampun ... bunda ... bunda ... kuhempas pantatku di bangku penjual teh botol sambil menanti penjemputku menelepon. Memangnya bunda pikir hanya dia yang bingung mikir bakal ada yang mau atau enggak denganku? Kalau bapak nggak ngambang gitu keputusannya, tentu aku lebih senang periksa kandungan bareng Yudha. Mana ada ceritanya aku nunggu Gocar panas-panasan begini kalau ada dia?

Yah ... meskipun mobil Yudha nggak sebagus mobil eksmud yang duduk sendiri di lobi Giriatri menunggui ibunya kontrol bulanan dan sempat mengobrol denganku tadi, tapi aku senang duduk di sisinya. Walaupun AC mobilnya nggak dingin-dingin amat, tapi pilihan lagu di audio set butut Yudha selalu lucu-lucu. Kapan itu aku ketawa kencang gara-gara di playlist-nya nyempil lagu Bondan Prakoso saat masih anak-anak.

Ah ... Yud ... gimana kabarmu sekarang?

"Udah selesai?"

Kepalaku sontak terangkat. Kaget. Cowok yang sempat ngobrol satu dua kalimat denganku tadi, yang kubilang bermobil bagus, menyapa dari balik jendela mobil setengah terbuka.

"Iya," jawabku pendek.

Ia lantas mengangguk pada petugas loket parkir dan memajukan mobil. "Duluan, ya?" katanya lagi padaku.

Aku balas mengangguk. Mulai resah kenapa jemputanku nggak datang secepat biasa. Kalau macet biasanya nelepon, kok ini enggak? Udah hampir setengah jam aku menunggu. Jangan-jangan udah di-cancel nggak bilang-bilang lagi.

Buru-buru, kubuka kuncian ponsel dan kucek aplikasi pengguna ojolku. Lagi sibuk nunggu loading, sinyalnya jelek banget di bawah pohon beringin depan rumah sakit (jadinya aku berdiri siapa tahu ada sinyal nyangkut), sebuah motor menepi terlalu dekat denganku. Merengut kesal hampir keserempet lengan si pengendara, aku mundur. Namun, sebelum kusadari, handphone dan tas tanganku sudah berpindah ke tangan pembonceng motor hampir tanpa perlawanan. Tak kunyana ternyata mereka berniat jahat!

Sedetik kemudian, baru aku terhenyak.

Astaga ... aku dijambret?

Itu aja aku sadarnya gara-gara cowok di dalam mobil yang sedang menanti jalanan sepi untuk menyeberang ke sisi kiri jalan berteriak dan berlari mengejar. 

Yawlaaa ...😂😂😂

Kin

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top