9. Ternyata Cinta
Kalau kamu semanis ini, kenapa kamu nggak punya pacar?
Nggak semua orang bisa menerima keadaan orang lain apa adanya
https://youtu.be/Zlv1rdcpS9M
"Lho, Ran? Nggak lembur lagi?"
Langkahku terhenti. Seluruh divisi kreatif mengangkat wajah hingga tiap kubikel seperti punya mata dan kening. Aku melempar senyum pada Mbak Tiwi yang bertanya. Senyum dan gelengan kepalaku malah bikin kening-kening tadi mengernyit.
Sudah semingguan lebih aku absen lembur.
Aku sudah memberitahu beberapa orang terdekat di kantor mengenai kehamilanku, di antaranya Mbak Nin dan Bu Cynthia. Semula kulakukan supaya mereka mengerti kondisiku, tapi masih kusembunyikan dari Mbak Tiwi. Ini seperti pengkhianatan mengingat kami cukup dekat, namun sepertinya aku nggak mau mengambil risiko aib ini bocor ke mana-mana sebelum nasibku jelas. Mbak Tiwi adalah contoh orang yang nggak bisa jaga mulut meskipun dia bukan orang jahat.
Seperti yang kubilang sebelumnya, team HRD harus ada yang tinggal jika divisi manapun ada yang lembur. Biasaya kami gantian, tapi karena pengertian dua seniorku, namaku dicoret dari jadwal jatah tinggal. Sebenarnya aku nggak apa-apa lembur, toh paling cuma duduk-duduk. Akan tetapi, ada seseorang yang secara tegas memintaku menuruti saran Bu Cynthia yang baik hati supaya aku kerja seperlunya sementara waktu. Waktu Mbak Nin hamil, kami juga berkorban hal yang sama. Mereka juga paham kondisi psikologisku jauh lebih mengkhawatirkan dibanding wanita hamil lainnya.
Kenapa?
Ya karena semua orang menganggap bapakku horor banget orangnya. Sekantor kan pernah tamasya ke Yogya beberapa waktu lalu. Mampir ke rumah, tapi bapak—seperti biasa—hanya menemui mereka beberapa menit saja. Nggak banyak bicara. Senyum juga gerak kumisnya doang, dikira dingin gitu. Mereka berasumsi bapak orangnya mengerikan, padahal cuman gengsian doang. Begitu pada pulang aja langsung kepo nanya-nanya. Itu yang rambutnya biru muda siapa? Rambut kayak gitu boleh kerja di kantoran sama si Gito? Kayak burung parkit.
Maksudnya Mas Justin.
Sampai pintu di balik tubuhku menutup, aku masih bisa merasakan tatap curiga Mbak Tiwi yang seakan menusuk-nusuk punggungku.
"Menurutku kamu harus mulai berhenti pakai high heels," Yudha mulai mengkritik begitu aku masuk mobil. "Coba pakai wedges, atau kurangi tingginya."
"Tapi aku suka pakai high heels," aku mengeluh putus asa. "Meski yah ... memang betisku suka kram kalau udah sore."
Dia mengerling ke tumitku, "Aku tahu, high heels memang susaaah ditolak, ya, kan? Mana seksi-seksi bentuknya. Kakimu kelihatan bagus banget, apalagi yang warnanya merah itu ...."
"Oh aku lebih suka yang hitam," kataku, melepaskan sepatu dan merelakskan telapak kaki.
"Yang solnya merah?" tanya Yudha. "Capek? Mau dipijit?"
"Iya, yang solnya merah. Nggak usah. Ntar di kos aja."
"Nanti kalau teman papaku datang dari Milan, dia biasanya bawa pulang sepatu-sepatu cantik, aku bakal beliin satu buatmu."
"Papamu punya teman dari Milan?"
"Oh iya ... teman modelnya dulu."
"Kamu nggak pernah bilang papamu model, kenapa berhenti?"
"Banyak yang belum kuceritakan dan mendingan kamu lihat sendiri"—lagi-lagi dia begitu—kami mulai meluncur di jalan raya. "Dia berhenti karena harus ngerawat aku, butuh uang yang hasilnya pasti. Model jaman dulu kalau nggak terkenal nggak dapat uang, katanya. Sekalinya dapat uang memang lumayan, tapi kalau enggak ...." Bahunya bergerak untuk melanjutkan kalimat yang memang tak dituntaskannya itu.
"Terus dia buka kedai yang sekarang ini?"
"He em, hey ... kamu nggak notis ada yang berbeda dari penampilanku malam ini?"
Aku tersenyum meneliti, "Kamu pakai jaket warna hitam."
"Ya ...."
"Kamu pakai buatku?"
"Iya lah, buat latihan. Ini punya kawanku, tapi nanti aku beli sendiri."
"Kamu nggak punya jaket hitam memangnya?"
Alisnya mengumpul di tengah, "Enggak punya. Emang harus punya? Maksudku ... hitam polos gitu ... terlalu ngebosenin, kan? Ya ada sih hitam. Aku punya dua. Yang satu ada corak macannya di leher dan siku, yang satunya lagi ada manik-maniknya. Lucu, deh. Aku beli di Singapur. Apa boleh pakai yang itu aja?"
"Manik-manik? Manik-manik apa?"
"Ya manik-manik, warna silver. Kecil, sih di punggung. Gambarnya singa air mancur itu. Menurutku itu cukup manly, tapi kata papaku sih kalau pakai itu dan aku gendutan dikit, aku jadi mirip Ivan Gunawan."
"Jangan, jangan," kataku cepat.
"Betul, kan? Sudah kuduga, makanya aku pakai yang ini. Kalau yang ini oke?"
Aku meneliti sekali lagi bomber jaket kumal yang sama sekali bukan gayanya itu, "Ya ... boleh, deh."
"Oke ... kalau gitu nanti aku beli yang begini aja"—tersenyum riang—"ada lagi?"
Bibir bawahku kugigit, berpikir sembari kembali menelitinya. Makin lama dia makin menggemaskan. Yudha nggak suka menutup-nutupi usahanya untuk menyenangkan hatiku seperti cowok lain biasa melakukannya, dia selalu bilang, dan kadang kala itu lucu.
Kami berhenti karena lampu lalu lintas menyala merah. Dia melepas kemudi dan menyerongkan tubuhnya ke arahku.
Aku menutup mukaku menyadari sesuatu, "Oh ... jangan bilaaang ...."
Dia tertawa puas seraya mengarahkan spion tengah menghadapnya, "Gimana? Menurutmu mukaku nggak akan kelihatan licin khas orang Jakarta?"
Aku menyentuh janggutnya, "Jadi dia bisa tumbuh?" tanyaku takjub.
"Tentu aja, aku nggak nyukur dua hari. Sebaiknya kubiarkan panjang atau samar-sama gini aja?"
"Samar-samar aja," kataku cepat.
"Iya, kaaan? Aku juga berpikir begitu. Lebih baik berkesan barusan dicukur dan mau tumbuh lagi. Apa aku kelihatan ganteng?"
"Hmmm ..."—masih imut sih sebenarnya, tapi aku nggak mau mematahkan semangatnya—"iya, ganteng."
"Apa lagi?"
"Jangan pakai lip tint," tekanku.
Yudha menutup mulutnya, "Kamu tahu? Padahal ini transparan."
Gimana aku nggak tahu? Bibirnya mengilap seperti bibir Lee Min Ho begitu. Aku berdecih sambil membuka dashboard mobilnya. Menemukan beberapa warna lip tint di dalam sana.
"Itu nggak seperti yang kamu pikirin," dia mengekeh. "Sejak kapan kamu tahu itu ada di sana?"
"Sejak aku masuk sini pertama kali, habis kita batal sarapan bubur ayam."
Lampu lalu lintas berganti hijau, Yudha nggak mengelak dan malah tertawa-tawa canggung.
"Aku bisa ngerti yang warna nude, tapi merah? Pink? Kamu yakin ini bukan milik perempuan lain?" aku mencecar setengah bercanda.
"Bukan. Seribu persen bukan."
"Well stop wearing it," tandasku sungguh-sungguh. Meski aku sendiri nggak bisa bayangin kapan coba dia makai gituan? "Itu bikin kamu kelihatan lebih cantik daripada aku."
"Oh ... shut up," dia tersipu-sipu. "Jelas kamu lebih cantik. Nggak pakai make up pun, kamu cantik."
Kucebikkan bibir, Yudha mencubit pipiku gemas.
"Jadi ...? Kapan kamu mau bawa aku ke Jogja?" tanyanya.
"Segera."
"Aku harus mulai berhenti nyukur setidaknya dua hari sebelum kita berangkat."
"Kenapa nggak dari sekarang aja nggak nyukurnya?"
"Nggak bisa."
"Kenapa?"
"Aku nggak bisa kerja kalau daguku nggak bersih."
Yang kutahu, dia mengurus kafe dan kedai bersama papanya, lalu kenapa dia harus bekerja dengan dagu licin?
Siangnya mereka membuka kedai—lebih tepatnya toko—yang menjual signatured apple pie bertajuk Apple Mama. Yup. Wow aku hampir nggak percaya waktu dikasih tahu pertama kali. Kaget karena merek itu cukup dikenal di kalangan perusahaan. Kami biasa memesan lewat telepon untuk klien, atau mendapat kiriman ucapan terima kasih berupa seloyang pai apel lezat yang akan tandas sebelum tiga detik setelah segelnya dibuka. Waktu dia bilang dia nggak punya apa-apa, nggak punya rumah, kupikir dia benar-benar miskin. Kenyataannya kalau dia akan mewarisi toko itu, paling enggak dia tak akan benar-benar kelaparan.
Toko itu tutup pukul lima sore.
Setelahnya, mereka bersiap membuka kafe untuk kalangan terbatas di balik toko kue. Entah apa yang dia maksud dengan kafe kalangan terbatas, mungkin semacam klub penggemar tertentu, atau apa, aku nggak tahu. Bapak juga punya kedai kopi favorit untuk kalangan tertentu di Jogja, dulu sebelum beliau lebih sering menghabiskan waktu mengaji di rumah atau salat di masjid. Isinya bapak-bapak penikmat wayang yang akan menghabiskan semalam suntuk melinting tembakau, mengobrol soal politik, dan memesan bergelas-gelas kopi tubruk. Bayanganku kalau di kota mungkin semacam klub pecinta kesebelasan sepak bola.
Malam ini mungkin aku akan paham karena Yudha mau ngajak aku ketemu papanya di tempat kerja mereka.
"Kamu mau pulang mandi dulu, atau langsung aja?"
"Mandi dulu."
"Aku harus mandi juga?"
"Kalau kamu nggak berniat menciumku, kamu boleh nggak mandi."
Dia mengeluh panjaaang yang bikin aku gantian tertawa.
Akan tetapi, setibanya di kamar, tiba-tiba perasaanku nggak enak. Perubahan mood kayak gini memang sering terjadi bahkan sebelum hamil, tapi percayalah, rasanya ratusan kali lebih nggak enak saat berbadan dua. Kondisi badan capek, pikiran tak menentu, keinginan untuk menangis bisa tiba-tiba muncul begitu aja. Kalau ditanya sebabnya, apalagi Yudha yang nanya, aku bisa meledak.
Beruntung dengan ketrampilan tangannya, Yudha selalu bisa membujukku. Dia begitu sabar. Kalau aku memarahinya, dia akan diam dan menatapku dengan tatapan polos. Kadang aku sampai membuatnya menunggu di depan pintu karena nggak siap melihat mukanya, tapi selama apapun aku memaksanya tinggal di luar, dia nggak pernah pergi. Kalau sudah kusuruh masuk, dengan telaten dia mengurusku.
Seperti malam ini, dia memintaku menanggalkan baju supaya dia bisa merelakskan tengkuk dan punggungku. Aku langsung melenguh keenakan. Orang hamil memang menyusahkan. Selain mual dan muntah di pagi hari, malam harinya punggung masih harus dihajar derita. Aku nggak ngerti kenapa bunda mau hamil sampai tiga kali.
"Hey ..., kenapa kamu dikit-dikit nangis?" bisiknya di tempurung kepalaku. Jemarinya memijat lekuk leherku pelan, nyaman ... agak sensual.
Wajahku terbenam di bantal yang udah basah oleh air mata. Aku bisa merasakan sesuatu beberapa kali menohok tulang ekorku, tapi nggak ingin membahasnya. Namanya juga laki-laki. Kalau soal 'itu'-nya, aku udah nggak berani main-main, atau meremehkannya lagi.
"Ran ...," bisiknya.
Aku diam.
"Kita harus siap-siap ketemu papaku, lho. Apa kamu mau menundanya besok? Aku bisa bilang ke dia kalau kamu nggak enak badan."
"Nggak," kataku. Yudha menyingkir dari punggungku saat aku membalik badan hingga telentang. Dia lantas berbaring miring dengan kepala tersangga tangannya sendiri.
"Apa kamu masih takut?" tanyanya, membantuku menaikkan selimut sampai menutup dada.
"Nggak tahu," aku mengusap air mata. "Tiba-tiba aku ingat kata-katamu kemarin, soal menjadi orang tua. Aku nggak pernah mikirin apa aku akan jadi orang tua yang baik kalau anak ini lahir."
"Kamu pasti akan jadi mama yang baik, aku akan jadi papa yang baik juga. Kita akan belajar sama-sama," ucapnya tulus.
"Setelah semua ini beres, kita akan belajar jadi orang tua?"
"Tentu saja."
"Tapi gimana kita bisa jadi orang tua? Kita aja nggak kenal satu sama lain."
"Kita akan mengenal satu sama lain sambil belajar jadi orang tua yang baik."
"Gimana kalau kita gagal?"
Yudha hanya mengelus rambutku, mungkin dia udah mulai kehabisan akal karena tiap hari mendengarku merengek, "Ayo kita berusaha keras supaya nggak gagal."
Aku mendekap punggungnya yang memeluk sebelum aku menangis lagi. Setelah beberapa saat, dia mengangkat wajahnya untuk mengadu puncak hidung kami, "Nggak mual?"
Kepalaku menggeleng, "Apa kamu selalu manis begini?" tanyaku setelah kami ciuman dikit. "Kenapa kamu nggak punya pacar kalau kamu semanis ini?"
Tak menjawab, Yudha kembali melekatkan permukaan bibirnya di bibirku, "Mungkin karena aku terlalu manis."
"Kamu nggak manis saat pertemuan pertama."
"Itu karena aku tahu cewek nggak pernah suka cowok sensitif dan sentimentil pada kesan pertama."
"Aku suka."
"Oh ya?"
"Bima sangat sentimentil dan perasa saat kami pertama kenal. Dia menyadari semua perubahan sikap dan nada bicaraku, selalu nanya apa aku baik-baik aja, melakukan hal-hal manis yang bikin aku jatuh cinta."
"Anggap aja aku kebalikannya. Aku baru akan begitu saat seseorang sepenuhnya jadi punyaku."
"Kalau kamu kebalikannya, kenapa kamu nggak punya pacar yang bertahan sama kamu?"
"Nggak semua orang bisa menerima keadaan orang lain apa adanya."
"Apa yang nggak bisa mereka terima? Karena kamu pakai make up remover dan lip tint?"
"Apa kamu tahu liptint itu ada vitaminnya?"
"Bibirmu kekurangan vitamin?"
"Ya, aku terlalu banyak pakai lipstik, juga kekurangan vitamin C."
Aku menahan tawa sementara Yudha menciumi leherku.
Dia pasti bercanda. Setiap kali aku meledek pengetahuannya tentang make up dan baju perempuan, dia selalu membual bahwa dia pakai barang-barang itu lebih sering dariku. Terus terang, aku sudah mulai terbiasa dengan ketertarikannya pada hal-hal seperti itu. Mbak Nin bilang akhir-akhir ini aku kelihatan jauh lebih menarik dalam memadu-padankan pakaian dan berdandan, siapa lagi kalau bukan Yudha yang memilihkannya?
Dalam satu jam, akhirnya Yudha berhasil mengusir mood burukku. Kami sudah sama-sama mandi dan siap menemui ayahnya sebelum jarum jam menunjuk angka delapan.
Sapaan pertama pengunjung kafe yang lebih seperti pub itu saat kami melangkah masuk adalah, "Hey Yud, belum ganti baju?"
Aku langsung nanya, "Pakai seragam?"
Yudha melirikku gugup sambil mengangguk. Aku mengamit tangannya, berpikir dia gugup karena aku akan segera bertemu papanya.
Dia memilihkanku satu tempat duduk yang masih sepi pengunjung supaya terhindar dari asap rokok. Mungkin lantaran belum larut, hanya segelintir orang yang duduk-duduk. Kebanyakan dari mereka berdua, atau bertiga, dan anehnya tak ada satu pun yang tampak berpasangan lawan jenis.
Seorang pelayan mendekatiku ketika Yudha menghilang ke dalam.
Aku hampir saja menjerit saat pelayan itu bicara kepadaku. Dia tertawa maklum melihatku kaget bukan main. Pelayan wanita yang menanyaiku dengan senyuman ramah itu sama sekali bukan wanita sungguhan.
Dia banci.
Banci.
Bukan pria dengan gesture melambai, bukan, melainkan pria-pria berpakaian perempuan.
Setelah aku mencoba menenangkan diri supaya pelayan itu tak tersinggung, aku memilih salah satu menu mocktail secara acak, berharap pelayan waria itu segera meninggalkanku. Seperginya ia, aku menggunakan kesempatan untuk mengedarkan pandangan ke sekeliling. Astaga. Kayaknya aku mulai paham kenapa Yudha bilang ini klub untuk kalangan terbatas. Juga kenapa nggak ada satu pun pengunjung yang berpasangan.
Dengan menajamkan penglihatan, aku menelusuri sudut demi sudut. Menemukan dua orang pelayan lain yang juga mengenakan busana perempuan. Kepalaku langsung pening, penglihatanku kabur. Dinding-dinding ruangan dipenuhi foto dan lukisan bergaya pop culture. Beberapa diantaranya memajang foto perempuan cantik namun bergaris wajah tegas yang kuduga laki-laki. Jika kuperhatikan dengan saksama, beberapa gambar tampak menampilkan wajah yang sama.
"Ran," panggil Yudha, menyentuh pundakku.
Kesan pertama yang kudapat dari wajahnya di balik punggungku adalah bahwa dia baru saja bercukur.
"Kenapa kamu bercukur?" pertanyaan penuh nada curiga ini meluncur tiba-tiba.
"Papaku belum siap," katanya, nggak menjawab pertanyaanku. "Dia mau kamu ke ruang gantinya aja."
"Ruang ganti?"
"Iya, yuk, daripada di sini. Banyak asap rokok, nggak baik buat kamu."
Pikiran liarku melanglang tak terkendali, tapi berusaha mati-matian kutepis. Aku menyambut uluran tangan Yudha yang membimbingku masuk ke bagian dalam pub. Melewati dapur dan beberapa pegawai dalam pakaian normal. Hanya pelayannya saja yang memakai busana perempuan. Apa mereka punya dresscode atau semacamnya?
Mungkin saja, kan?
Sekarang ini banyak sekali cara orang mengundang pengunjung. Kafe dan pub biasa mungkin tak lagi diminati, makanya mereka membuat tema unik demi menarik pelanggan. Mungkin akunya aja yang ndeso, nggak pernah gaul, nggak tahu kalau tempat-tempat kayak gini sebenarnya menjamur di mana-mana.
Ya, bisa jadi.
Aku menahan lengan Yudha saat dia menyentuh kenop pintu satu ruangan yang letaknya paling ujung.
Sontak, aku jadi ingin memastikan satu hal yang pernah sekali menggodai isi kepalaku tapi tak pernah kutanyakan karena sudah buru-buru tertepis kejadian dua bulan lalu, "Yud ... kamu gay?"
Yudha berhenti menggerakkan kenop di tangannya dan memandangiku aneh, "Enggak lah!" katanya.
"Ini tempat apa, Yud?"
"Ini pub, klub buat minum dan ngobrol kalangan terbatas."
"Kenapa papamu bikin tempat beginian?"
Kenop pintu dilepasnya keseluruhan. Yudha menyisihkanku ke tepi, kedua tangannya merangkum pundakku yang kaku."Aku nggak tahu, aku bukan papaku," dia bilang. "Kamu kok gemeteran? Kamu sekaget ini aku bawa ke sini?"
"Ini tempat mesum?"
"Bukan, ini cuma tempat minum, sumpah."
"Orang-orang yang di luar itu ...."
Yudha mengembuskan napas, menatap langsung pada manik mataku, "Sebagian dari mereka seperti dugaanmu, sebagian yang lain adalah orang-orang yang nggak keberatan berada di sekitar orang-orang dalam dugaanmu."
"Pelayan itu?"
"Kostum."
"Mereka banci?"
"Ada yang banci, ada yang enggak."
"Kenapa papamu bikin tempat kayak gini? Kenapa dia nggak bikin kafe biasa aja, Yud? Yang ada kucingnya, anjingnya, hantunya, kalau mau yang unik-unik? Kenapa mesti yang ada bancinya?"
"Papaku ada di balik pintu ini, kamu bisa tanya langsung ke dia."
"Aku takut, Yud."
"Dia bukan bapakmu, Rani, kamu nggak perlu takut."
Dengan keyakinan yang hanya setengah, aku menanti sampai Yudha membuka lebar pintu di depan hidungku. Namun, sampai semua ruangan kupindai dari sudut ke sudut, tak ada sosok pria di dalam sana kecuali seorang wanita cantik yang tengah duduk menyilangkan kaki.
Seketika, aku baru ingat satu hal yang dengan bodohnya kuabaikan sejak Yudha bilang papanya adalah pemilik Pie Apple Mama.
Bahwa pemiliknya adalah waria.
Maharani
"Cintamu enteng banget, Yud?"
Yudha
"Cinta ya enak yang enteng, biar bisa dibawa-bawa."
Ada yang punya lagu cinta yang manis cocok buat cerita ini nggak, sih? Buat update-an selanjutnya. Biar rame aja gitu. Kadang kalau pas nggak mau update tuh ... eh lagu ini bagus, pas mau update lupa. Huhuhu ...
Jangan lupa vote dan komennya, dong ... saya private beberapa part, ya!
Kin
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top