8. Belajar Cinta

Jangan tahu kita berhubungan satu malam

Jangan pake jaket warna-warni

Jangan terlalu bersih

Jangan lupa ... salat

Jamaah di masjid, nilai tambah

***

https://youtu.be/lp-EO5I60KA

Kupikir, jika akan menikah—baik demi akta kelahiran jabang bayi dalam perutku, menyelamatkan leherku dari golok pusaka bapak, atau tanggung jawab sungguhan seperti yang dia bilang—kami tetap harus saling menyesuaikan diri. Tentu aku minta pendapat pada tiga serangkai sebelum mengambil keputusan. Mereka marah. Marah karena seharusnya sekarang aku udah menyeretnya ke Jogja sebelum perutku menggelembung, bukan saatnya nanya dia boleh ngantar jemput aku ke kantor atau enggak. Mereka bilang, mau kayak apapun dia, sekarang yang penting anakku punya bapak, kalau bisa kapanpun aku sempat, pasang tali kekang di lehernya saat dia lengah.

Kayaknya aku nggak perlu sampai masang tali kekang.

Dia bukan orang yang kelihatan pintar dalam berhubungan, cowok macam apa yang langsung nawarin nikah sungguhan waktu ada seorang perempuan yang baru sekali tidur bersama mengaku dihamilinya? Orak ono. Kalau ini Bima, dia pasti udah lari terbirit-birit, nggak pakai repot-repot nanya apa akan ketahuan dia benar bapaknya atau enggak setelah ke dokter kandungan. Bahkan ... siapa yang akan nyaranin ke dokter buat mastiin hamil beneran atau enggak? Ngelihat test pack disodorin gitu aja mereka pasti terkencing-kencing. Pria mana yang sudi sekonyong-konyong ditodong pertanggungjawaban tanpa perlawanan?

Artinya dia nggak seenggak peduli kesan yang ingin diperlihatkannya pada pertemuan pertama kali, sebelum kami gituan. Malah, menurutku kesan itu udah roboh seselesainya kami begituan.

Sementara itu, ketika kebanyakan cewek akan merasa terikat setelah berhubungan seksual, dengan sombongnya aku merasa aku enggak selembek itu. Aku ngerasa lebih kuat menghadapi putusku dengan Bima sehabis tahu bahwa ternyata aku bisa-bisa aja tidur sama lelaki lain tanpa perasaan dan membuatku lupa sama sekali bahwa setitik nila saja bisa bikin rusak susu sebelanga. Setitik sperma telat diangkat saja, bisa bikin seorang anak tak berdosa terpaksa dihadapkan dengan kejamnya dunia. Bisa saja anak ini jatah seorang ibu lain yang jauh lebih siap, kan?

Yudha bilang sendiri setelah ponselnya hilang dan tak lagi punya kontakku, dia nungguin aku yang menghubunginya duluan.

Dia bisa saja nekat datang ke kosku, tapi khawatir aku balikan sama mantan, bukan mengantisipasi akibat dari kebodohan kami melupakan pengaman.

Jelas. Aku nggak perlu tali kekang.

Mungkin aku hanya perlu mencari tahu apa yang bikin dia lebih antusias daripada aku. Buktinya sampai nawarin ngantar kerja segala.

Oh wow ... ngomong-ngomong, aku nggak percaya aku bisa menganalisa sepanjang itu. Kalau saja aku lebih berani menggunakan otakku di kantor, mungkin sekarang aku yang sedang menyiapkan SOP baru, bukan Mbak Nin. Mungkin bualan bapak bahwa aku sebenarnya pintar itu benar, aku terlalu senang bersikap seperti anak bawang di mana-mana, sebab itu menguntungkan. Aku nggak kebagian kerjaan berat dan kesalahanku selalu dimaklumi.

Kayaknya aku hanya ceroboh.

Yah ... anak di perutku ini buktinya.

"Pagi," Yudha tersenyum di depan pintu. "Nyenyak tidurnya?"

"Eng ... Lumayan"—aku melihatnya membawa rantang—"apa itu?"

"Aku bawain kamu bubur ayam."

Aku melihat jam di dinding, "Ini jam setengah tujuh pagi."

"Iya, kamu nggak bilang berangkat kerja jam berapa," katanya, lalu menyelinap masuk tanpa kupersilakan. Di depan pintu yang kututup, dia tersenyum penuh arti. "Aku sudah mandi."

Tadinya, aku nggak paham kenapa dia ngasih tahu sampai kemudian bibirnya mendarat di keningku, "Selamat pagi lagi, Ran," ucapnya. "Kamu nggak masalah sama bubur ayam, kan?"

"Biasanya, sih ... enggak," jawabku.

Daripada buburnya, aku lebih menyoalkan sentuhan fisik tanpa canggungnya. Seolah kami ini memang sepasang kekasih, bukan orang asing satu sama lain. Dalam semalam, nggak pakai deklarasi apa-apa, dia mencium keningku hanya karena aku mengandung anaknya. Bukan aku mengecilkan kondisi hamilku, tapi bagaimanapun juga bayi ini ada karena kecerobohan kami, bukan karena kami saling mencintai hingga aku pantas dihadiahi kecupan kening.

Kecupan kening itu sakral, seperti mahkota yang disematkan di kepala wanita karena seorang pria mencintainya dengan sungguh-sungguh.

Dia tidak mencintaiku, kan? Kami hanya kebablasan.

"Kenapa?" dia bertanya, memandangiku yang mengelus kening malu-malu dengan tatapan aneh.

Aku baru mau menjelaskan perasaan tak menentuku, tapi buru-buru sadar bahwa dia ternyata hanya merujuk soal bubur ayam.

"Kenapa apanya? Aku baru hamil kemarin sore, mana kutahu," aku menggerakkan bahu acuh tak acuh.

"Kamu udah hamil dua bulan." Yudha menohok jidatku dengan jari telunjuknya.

"Tapi aku baru mual-mual beberapa hari belakangan dan aku nggak hobi sarapan bubur ayam."

"Kamu sarapan apa?"

"Indomie rebus, roti, nasi kepal di kantin, apa aja yang praktis," jawabku. Aku nggak pernah punya waktu di pagi hari. Aku selalu bangun mepet dan lebih senang menggunakan waktu sarapan untuk tidur, apalagi waktu masih pacaran sama Bima. Aku baru tidur setelah kami telepon-teleponan.

"Mulai sekarang kamu harus makan makanan yang bergizi, ya?"

"Bubur ayam kaki lima, yakin bergizi?"

"Siapa bilang ini bubur ayam kaki lima?"

"Maksudnya?"

"Ini bubur ayam masakan papaku."

Aku melongo.

Bukannya apa-apa. Bapakku patriarki kelas kakap, dapur adalah daerah terlarang baginya. Ya. Buat bapak, orang-orang seperti chef Juna itu aneh. Yang agak nggak bikin aneh karena mereka masak buat nyari nafkah, kecuali itu, laki-laki memasak sama dengan nggak lazim. Memangnya bapaknya memasak buat nyari nafkah?

"Kok papamu yang masak?"

"Siapa lagi?"

"Di rumahku sih bundaku yang masak. Kalau bunda nggak masak, bapak nggak mau makan. Masakan pembantu nggak kepake sama bapak."

"Kalau bundamu sakit?"

"Beli sate."

Yudha tersenyum simpul, "Aku jarang lihat ibuku, aku udah bilang aku anak produk nikah jadi-jadian."

Aku duduk sementara dia menyiapkan bubur dengan alat makan pribadiku. Kami punya dapur umum, tapi beberapa alat makan disimpan di kamar masing-masing. Namanya juga ngekos bareng-bareng, kita nggak tahu alat makan kita dipake siapa kalau ditaruh sembarangan, kan?

Aroma kaldu menguar begitu rantang dibuka.

"Kok aneh," komentarku. Untungnya bau kaldu ayam lezat itu nggak bikin aku mual, alhamdulillah, aku bakal sarapan bubur ayam. "Kalau kamu produk nikah jadi-jadian, kenapa kamu malah tinggal sama bapakmu, bukan ibumu."

Yudha masih sibuk meracik bubur. Bau kaldu lolos. Bau telur rebus yang sekilas kayak kentut kalau baru dikupas lolos. Bau suwiran ayam juga lolos. Bahkan, bau khas lemak santan dari bubur yang bikin aku yakin itu bikinan rumah pun ... lolos.

Bubur tersaji di depan mukaku.

Yudha mengambilkan sendok, "Kasusku lain. Ibuku hamil dengan orang lain dan bapakku ngawinin dia."

"Hah? Bapak kandungmu kabur?"

"Iya."

"Terus? Kenapa ibumu pergi juga?"

"Karena bapak yang ngasuh aku ini yang minta, daripada digugurkan. Dia juga pengin punya anak."

"Ya Allah ..., kok aneh gitu, sih? Mana ada cowok single yang mau ngasuh anak orang? Apa bapakmu jatuh cinta sama ibumu?"

"Enggak."

"Lha terus?"

"Tunggu, ada yang kurang!" seru Yudha, lalu membuka kembali rantangnya. "Nanti-nanti aja habis dari dokter kandungan, kita ketemu papaku dan kamu akan tahu kenapa. Aku tahu kamu belum mutusin kita akan nikah buat anak itu, atau nikah sungguhan, tapi aku nggak mau ada yang ditutupi soal kondisi kita berdua."

Aku hanya bisa mengangguk setuju sementara Yudha membuka bungkusan terakhir dari kelengkapan bubur ayam yang nyaris dilupakannya. Dan aku menyesal sekali dia membuka bungkusan bawang goreng itu. Nggak sampai ditaburkan ke atas buburku, perutku berontak dan mual menyebalkan itu datang lagi.

Bawang goreng kan kesukaankuuu!

Siapa sih yang punya ide bikin wanita hamil mual-mual segala? Ini beneran nggak lucu. Kucing liar di sekitar rumahku berkali-kali bunting juga nggak pake morning sick, dia bisa makan apa aja dalam kondisi hamil, termasuk bangkai tikus.

***

Jujur, begitu keluar dari dokter kandungan, rasa takutku muncul lagi.

Sejak kecil kami dididik keras sama bapak. Bapak memang membebaskan pilihan kami dan nggak pernah membatasi minat dan bakat. Sekolah kami nggak harus nomor satu seperti bapak-bapak teman kami yang lain, tapi kalau soal disiplin, agama, mematuhi norma-norma yang berlaku di masyarakat, dia nggak main-main galaknya. Kalau nggak mau sekolah, nggak berangkat ngaji, ngambek nggak dibeliin sesuatu, dia nggak segan-segan menyabet pantat kami dengan rotan. Masalah hasil, beliau nggak terlalu mempermasalahkan.

Dia juga bukan jenis bapak yang akan melakukan apa saja supaya nilai kami bagus. Bapak paling nggak mau ngebayarin les di guru yang mengajar kami di sekolah, katanya itu sama aja dengan beli nilai. Sebagai gantinya, kami digembleng sendiri dengan tangan dinginnya. Biasanya kalau udah diprivat sama bapak, nilai kami membaik. Tapi kalau udah membaik, dia bakal malas ngajarin lagi semester berikutnya. Katanya, itu berarti kami mampu jika dalam keadaan tertekan. Apa lagi yang akan lebih menekan kami nantinya kalau bukan tuntutan hidup?

Begitulah bapakku. Orangnya nyentrik, tapi prinsipil.

Buat bapak, asal kami nggak bikin malu. Mbak Halimun yang paling sering pacaran sama cowok model aneh-aneh aja bapak nggak pernah ikut campur (bunda sih yang ikut campur), tapi tiap kali ada kasus hamil di luar nikah, entah saudara, artis, tetangga, anak kenalannya, baru dia ngumpulin semua anak gadisnya. Ngasih wejangan tentang betapa malunya orang tua kalau anak nggak jaga martabat. Bukan ditekankan bahwa itu dosa, itu bahaya, dan lain-lain. Menurutnya kalau soal begituan, kami ini harusnya nggak bodoh dan udah tahu. Buat apa dia nyekolahin kami sampai sarjana, ngundang guru ngaji dua kali seminggu, kalau begituan dosa aja nggak tahu.

Kalau soal dosa, urusanmu sama Allah, katanya.

Karena itu aku hati-hati.

Bisa aja sih aku ngelakuin itu sama Bima, kami bisa pakai pengaman, tapi buatku belum mendesak-mendesak banget lah. Ngapain, sih? Soalnya kalau sampai hamil, aku takut bukannya dikawinin, malah diusir. Atau dipasung, dijantur terbalik sampai meninggal. Kucingnya Mbak Halimun aja sering diomelin bapak kalau homal-hamil melulu. Untung anak kucing, nggak harus nyekolahin, katanya.

Ukuranku tuh bapak.

Terus terang aja.

Aku ngerti agama, kok. Aku juga takut neraka. Tapi itu urusan nanti, kalau bapak baru urusan hari ini atau besok. Kalau bapakku nggak apa-apa, aku akan ngelakuin apapun dengan dada membusung. Masuk IPS meski guruku bilang nilaiku cukup buat ambil IPA, nggak mau ikut pramuka, merantau ke Jakarta meski ibu-ibu pengajian bunda mewanti-wanti tentang kejamnya ibu kota, dan lain-lain. Tapi kalau bapakku keberatan, adaaa aja yang terjadi kemudian. Mungkin karena itu aku nggak pernah jadi cewek metropolitan meski tinggal di kota metropolis, aku hanyalah gadis yang menganggap sakral petuah orang tua.

Lihat aja aku. Sekalinya ngelanggar jadi begini. Justru yang membuatku merasa pendidikan keras dari bapak tetap kupegang adalah bagaimanapun takutnya aku, aku nggak pernah berpikir untuk menggugurkan anak ini.

Di mobil tua Yudha, aku nggak kuasa menahan titik air mata.

"Kenapa?" tanyanya lembut, nggak jadi ngidupin mesin.

"Nggak apa-apa," aku memalingkan muka darinya.

"Kamu jangan takut, aku nggak akan lari. Aku pasti tanggung jawab," tegasnya. "Ambil cutimu segera, biar kita bisa ke Jogja."

Aku menghela napas panjang, dia anak laki-laki. Dia nggak tahu betapa ngerinya aku. Bukan dia yang bakal berperut buncit dan ditatap dengan penuh cemooh. Bukan dia yang bakal mengalami perubahan mood, atau ngidam aneh-aneh, atau nyeri punggung seperti kesaksian hampir semua wanita hamil yang artikelnya kubaca di internet, atau jadi gendut, payudara nyeri penuh air susu, stretch mark, dan lain-lain, melainkan aku. Aku.

Tuh, kaaan ... aku jadi kesal, "Kadang aku suka sebel," aku bersungut. "Kenapa sih cuman perempuan yang bisa hamil, kenapa cuma perempuan yang nanggung kalau bikinnya berdua?"

"Terus maunya gimana? Dua-duanya hamil? Kepalanya di kamu, badannya di aku, gitu?"

"Ya enggak gitu jugaaa...."

"Ada yang bakal setuju sama kamu sih sebenarnya."

"Siapa?"

"Papaku," kata Yudha, sebelum tersenyum misterius.

"Bapakmu pasti orangnya baik, ya? Mana ada orang mau nanggung dosa orang lain? Eh ... tunggu dulu ... itu berarti dia bahkan bukan bapakmu, kan?"

"Iya," ucapnya, mengangguk sendu.

"Oh ... maaf, aku nggak mikir duluan nanyanya."

"Nggak apa-apa. Lagi pula, anak itu bukan buahnya dosa orang tua mereka. Yang dosa itu orang tuanya, anaknya nggak tahu apa-apa. Kalau kamu ngomong gitu sama papaku, dia pasti akan bilang persis seperti itu. Dia paling benci kalau ada orang bilang anak haram."

"Jadi bapakmu bukan tipe orang yang akan marah kalau kamu ngehamilin anak orang?"

Yudha mengerutkan hidung mendengar kesimpulanku, katanya, "Papaku cukup ... terbuka orangnya. Mungkin terlalu terbuka buat kebanyakan orang. Yang lebih penting buatnya, apa aku mau bertanggungjawab atas perbuatanku, atau enggak. Kalau bapakmu?"

"Bapakku cuma punya tiga anak gadis, jadi dia nggak pernah khawatir anaknya ngehamilin anak orang. Sementara itu, dia cukup yakin kami nggak akan berani hamil di luar nikah selama dia masih hidup."

Yudha tertawa, "Bapakmu punya kriteria menantu idaman?"

Aku menatapnya. Terang-terangan membuang napas lewat mulut, "Bapakku bukan orang yang akan nanyain kerjaan calon mantunya atau silsilah keluarganya, tapi bundaku mungkin iya,"—kubiarkan Yudha melanjutkan tawa—"Tapi dia orang yang bisa membaca karakter. Dia nggak pernah suka sama mantanku."

"Kenapa? Ada apa sama karakternya?"

"Tadinya sih aku nggak paham juga, tapi setelah aku tahu kelakuan busuknya, aku makin yakin orang tua itu punya feeling kuat soal hidup anaknya."

"Kira-kira dia bakal menilaiku kayak apa, ya?"

"Pertama ... dia nggak boleh tahu kalau aku hamil karena hubungan satu malam."

"Oke. Aku juga mikir gitu."

"Dua. Jangan pake jaket warna-warni."

"Apa?"

"Bapakku konservatif banget, dia nggak akan paham sama tipe-tipe cowok yang terlalu memperhatikan penampilan, apalagi pakai warna yang menurutnya biasa dipakai perempuan."

Yudha membisu, mulai kelihatan cemas dari caranya menggosok dagu dengan jari-jari lentiknya.

"Mungkin kamu harus pelihara jenggot sedikit kalau perlu, supaya nggak kelihatan mukamu yang licin khas orang Jakarta."

Aku belum selesai.

"Bapakku produk lama. Memang dia modern dan ngikutin perkembangan zaman, tapi nggak bisa dipungkiri, beliau Jawa kolot dan agak skeptis sama pria muda yang kulitnya kelewat putih, atau terlalu bersih. Dia suka cowok yang ... gagah, berkulit sawo matang, yang ... laki-laki banget."

Waktu kubilang 'laki-laki banget', kukira dia bakal tersinggung, tapi kayaknya Yudha sadar dia memang nggak laki banget. Buktinya, dia malah nanya, "Maksudnya aku disuruh gelapin kulit segala?"

"Ya enggak lah, maksudku supaya kamu nggak tersinggung duluan kalau dia nanya aneh-aneh. Kalau nggak langsung ke kamu, ya nanyain aku. Kalau dia suka sama kamu, mungkin dia bakal asal nanya aja gitu."

"Nanya aneh gimana?"

"Yah ... misalnya karena kamu putih, bersih, kayak bintang film Korea, dia mungkin bakal nanya ... kamu chinese atau enggak."

Yudha memotong, "Bukan, aku bukan chinese, cuma putih aja. Bersih karena rajin perawatan."

"Bukan berarti juga bapak nggak suka chinese, lho, itu cuma salah satu contoh pertanyaan aneh-aneh bapak yang berhubungan dengan penampilanmu. Kalau-kalau kamu memang ada keturunan, kan ditanyain begitu suka sensitif, padahal kadang bapak nggak ada maksud. Asal nyeletuk aja. Yah ... eng ... aku sendiri belum tahu banyak tentang kamu, jadi sebisa mungkin kuantisipasi biar kamu nggak syok. Banyak hal yang mesti kita antisipasi sebetulnya, sebelum benar-benar hadap-hadapan sama bapak."

"Iya aku paham, kira-kira apa lagi yang mesti kita antisipasi dulu?"

"Ada satu syarat mutlak khusus buat dijadiin menantu. Suku apa aja boleh ... asal agamanya sama."

"Agama kita sih kayaknya sama, aku sempat lihat kamu simpan mukena di dekat tempat tidur."

Aku menghela napas lega. Bagus, deh. Paling enggak, ini nggak nambahin kuruwetan kami nantinya. Jujur, aku menggunakan taktik barusan buat nanya secara nggak langsung. Bapak sih bisa kuberitahu sendiri nanti sebelum nanya-nanya yang ajaib.

"Tapi ...," Yudha mendesis gamang, "bapakmu nggak akan ngetes, kan?"

"Maksudnya?"

"Eng ...," dia tampak ragu. "Anu ... aku nggak bisa ngaji."

"Bapakku juga nggak bisa ngaji sampai ketemu bunda, jadi kayaknya itu bisa dimaklumi. Dia juga nggak akan ngetes yang gimana-gimana kayak Dedi Mizwar, tapi ... kamu bisa salat, kan?"

"Bisa ...." Imbuhnya, "kayaknya."

"Kamu kan tadi nanyain kriteria menantu idaman bapak, ya kujawab. Sebelum kriteria lain-lain, nomor satu bapak pasti mastiin kamu bisa salat atau enggak. Itu nggak terhindarkan, kamu nggak bisa pura-pura lagi menstruasi, kan? Sukur-sukur mau jamaah di masjid bareng beliau, itu nilai tambah."

Mukanya langsung pucat.

"Dengar, aku tahu ini kesannya maksa, tapi kamu bilang kita harus saling jujur, kan? Aku juga nggak enak, kamu harus terlibat kayak gini."

"Jangan gitu," cegahnya. "Malam itu nggak akan terjadi kalau kita nggak sama-sama mau. Meskipun mau kubilang aku narik anuku di saat yang tepat, aku toh nggak bisa jamin apa-apa. Ini murni kecelakaan dan kalau ada orang yang mesti disalahin, orang itu aku."

"Nggak ...," sangkalku lemah. "Aku juga salah. Sungguh, aku bukan gadis gampangan. Setelah kukasih tahu sedikit riwayat bapakku, kamu pasti paham maksudku. Waktu itu aku sedang kecewa berat, pikiranku nggak lurus. Mungkin ... bagus juga aku kena batunya, kalau enggak ... salah-salah aku malah ngulangin kebodohan itu lagi dan lagi."

Yudha menahan dan meremas jemariku supaya aku nggak meneruskan menyalahkan diri sendiri, "Kalau katamu kita harus saling jujur, aku ... punya satu pengakuan sebenarnya."

"Pengakuan? Pengakuan apa?"

"Kamu ingat waktu kita ketemu pertama kali di Go-Go?"

Tentu aja aku ingat.

"Aku sama sekali nggak kenal sama orang yang gabung di meja kalian."

"Apa?"

"Mereka datang barengan bertiga, dua di antara temen orang yang kalian undang itu duduk di mejaku."

"Kupikir kalian teman?" Pantas dia lebih banyak diam.

"Nggak. Kami nggak saling kenal. Aku yang nawarin diri buat diajak gabung karena mereka kurang satu orang lagi buat nemenin kalian. Beda dari kamu yang bener-bener nggak ada pandangan tentang aku, aku memang udah ngelihatin kamu duluan. Eh tapi bukan berarti aku sengaja mentang-mentang nggak pakai pengaman, ya. Aku bukan psycho yang nekat ngehamilin cewek cuma biar bisa ketemu lagi. Yang jelas ... kalau memang itu anakku, aku nggak mau dia kayak aku. Aku mau dia tinggal dengan salah satu dari kita, kalaupun kamu nggak mau aku tanggung jawab sungguhan."

Aku nggak bisa berkata-kata.

"Mungkin akan berlebihan kalau aku bilang cinta, tapi aku ngerasa semua ini nggak sepenuhnya terjadi semata-mata kebetulan. I am a sensitive person, aku percaya saat kita menginginkan sesuatu, atau berjodoh dengan sesuatu, akan ada jalan yang menyatukan kita. Mungkin daripada sekadar menikah untuk anak itu, kita bisa mencoba saling mengenal dan siapa tahu ...."

"Siapa tahu ... apa?"

"Siapa tahu kita bisa menjadi orang tua yang sebenarnya."

Bola mata hitam kelam Yudha membulat menatapku. Aku juga merasakan bola mataku membulat terpana, tapi bukan menghunjam seperti caranya memandang. Aku nggak menyangka sedikitpun kejadian satu malam dua bulan lalu melabuhkan petualanganku yang masih tanpa arah. Setelah tahu aku hamil, aku hanya memikirkan kerepotan-kerepotan demi meringankan bebanku sendiri. Aku tidak pernah berpikir jika anak ini lahir, itu berarti aku akan menjadi orang tua.

Kalimatnya terlalu mengejutkan bagiku hingga rahangku jatuh tanpa kusadari. Saat Yudha mendekatkan wajahnya seperti mengajak berciuman, baru aku bisa bergerak menarik badanku sampai menempel di pintu mobil yang tertutup.

"Kenapa?" tanyanya. "Semalam boleh."

"Semalam juga nggak boleh, tapi kamu nekat."

"Oh ... maaf," katanya. "Aku harusnya nggak buru-buru."

"Yah bukan gitu, sih ...."

"Terus? Kenapa?"

"Aku sedang nggak pengin ciuman."

"Oke ...."

"Aku ... lagi pengin yang lain," kataku pelan. "Kalau boleh ...."

Alis Yudha mengumpul di tengah, suaranya mendesah saat bertanya, "Hmmm ... Kepingin yang lain apa, nih, hm?"

"Coto Makasar."

"Hah?"

"Coto Makasar, jeroan sapi yang dimasak pake jinten sama tauco itu, dimakan pake burasa!"

"Aku tahu Coto Makasar! Tapi kita kan nggak lagi ngomongin makanan."

"Ya nggak tahu. Kamu kan nanya aku kepingin yang lain apa. Kujawab pengin Coto Makassar."

"Coto Makasar nyari di mana? Kok tahu-tahu mau makan itu? Nggak pengin nasi goreng aja, atau baso, yang gampang?"

"Jawabanku masih sama, aku nggak tahu, jangan tanya aku. Biasanya aku juga nggak pernah pengin Coto Makasar. Ini mungkin bawaan bayi! Dan tolong kamu ganti parfummu kalau mau nyium-nyium aku, kalau udah malem gini bau badanmu bikin aku mual."

Pipi Yudha bersemburat merah muda, "Jadi kalau ganti parfum boleh nyium-nyium?"

Aku merengut, tersipu karena nggak bisa menyangkal, lalu berpaling.

Sementara senyum di wajah Yudha melebar, dia lalu menghidupkan mesin mobil.

Aku merasa ini akan jadi lebih emosional dari yang kubayangkan, terutama karena Yudha sepertinya punya rahasia yang belum ia ungkap. Soal papanya.

Maksudku... Secara tersirat, papanya terdengar lebih aneh dari bapakku dan akan menimbulkan problematika lebih pelik, meski bukan soal persetujuan.

Yudha

"Aku nggak nyukur dua hari. Sebaiknya kubiarkan panjang atau samar-sama gini aja?"

Maharani

"Samar-samar aja." 

Saya harap nggak ada yang tersinggung soal pembahasan ras dan agama waktu ngomongin kriteria menantu bapaknya Rani, ya? Semua orang tua pasti penginnya punya menantu beragama sama, wajar ya? Soal suku sudah dibilang bapaknya Rani nggak masalah. Pembahasan soal ini penting buat saya untuk bangun karakter bapaknya Rani dan membangun kriteria fisik Yudha juga di bayangan pembaca. 

Sorry ini juga agak telat, tadinya mau sore tadi tapi saya masuk angin. Huhu...

Part depan diprivate boleh?

Kin

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top