14. Pembuktian Cinta


Cinta emang harus enteng, kalau berat, jadi beban

Kalau enteng, enak dibawa-bawa

https://youtu.be/TM-gCW45YHc

"Kamu nengok kiri duluan!" aku menggeram.

"Harusnya?" dengan bodohnya Yudha nanya.

Subhanallah ... kupikir paling enggak dia tahulah gerakan salat kayak gimana.

"Semua gerakan dalam rukun salat dan wudhu dimulai dari kanaaan!"

"Yang kiri duluan itu apa?"

"Apaan kiri duluan, nggak ada! Itu kalau masuk kamar mandi kaki kiri duluan."

Dia mengekeh, "Bercanda, aku tahu, cuma gugup aja tadi. Udah lama banget aku nggak salat sejak papaku bingung mau pake mukena atau kopiah."

"Ini bukan waktunya bercanda, semoga saja bapak nggak ngintip mushola tadi," keluhku sambil membuka pintu paviliun. "Kamu nggak disuruh tidur di kamar tamu dalam rumah, tandanya bapak nggak suka sama kamu!"

Mengejutkannya, Yudha nggak tampak terintimidasi, dia malah sibuk membuka ponsel sambil masuk ruangan yang akan jadi kamarnya akhir pekan ini. Saat kuintip, dia lagi browsing rukun salat. Aku ngeliatin muka polosnya yang penuh ingin tahu dengan pandangan mengasihani. Ini benar-benar malapetaka, tapi dia nggak menyadari.

"Kalau aku jadi bapak dari anak gadis yang merantau, aku juga nggak akan serta merta baik sama pria yang dibawa pulang sama anakku," katanya, tahu aku gelisah. "Aku sudah memperhitungkan ini, nggak berharap langsung disukai. Aku bukan dokter atau pegawai PLN yang pasti langsung disukai model orang tua konvensional kayak bapak dan bundamu, tapi kalau mereka nyari menantu yang tanggung jawab, aku bisa penuhin itu. Dan aku ... sudah punya cara sederhana untuk menaklukkannya."

"Mungkin sebaiknya aku nggak bilang ke bapak sekarang," kataku, makin merinding dengan statement terakhirnya.

"Soal kehamilanmu?"

"Iya, apa lagi?"

"Iya, jangan sekarang," tuturnya.

"Kamu juga berpikir begitu?" mukaku langsung semringah, aku tahu menunda akan makin berantakan, tapi kayaknya nggak juga akan ada waktu yang tepat. Terlebih sekarang.

Namun, ternyata aku salah kalau berpikir kami mulai sefrekuensi. Yudha justru menarik kopor dan mengangkatnya ke atas kasur, memilih-milih kaus, "Besok aja, sehabis kita jalan-jalan!" katanya ceria.

Aku nggak percaya kami akhirnya malah jalan-jalan betulan naik motor matic Kintamani. Aku udah nggak punya energi buat membantah kehendaknya yang menggebu-gebu. Dia juga nggak ngeh waktu kami pamitan, bapak sama sekali nggak keluar kamar. Yah bapak memang nggak pernah njagongi teman-temanku, apalagi teman cowok, gengsinya terlalu tinggi buat jadi bapak yang menginvestigasi. Beliau selalu mengorek informasi dari bunda. Namun, karena keadaanku yang serba salah, aku jadi overthinking, berpikir mungkin bapak udah mencium ada yang salah dengan kepulangan mendadakku.

Sore itu sebelum tutup, kamu menyambangi Taman Sari dan lihat-lihat keraton. Yudha mengambil banyak sekali foto kami berdua dengan latar belakang khas Yogyakarta. Setiap ada tulisan Jawa, plang jalan, bapak-bapak berblangkon, abdi dalem berkebaya, naik becak, andong, semua diabadikannya dengan kamera.

Di Mirota, aku nunggu di luar karena nggak tahan sama bau kemenyan. Keluar-keluar, dia nenteng banyak belanjaan, bahkan ngebeliin aku daster segala. Waktu kubilang di kaki lima Malioboro dia bisa dapat barang yang sama dengan setengah harga, dia nggak percaya.

"Nggak ah, bahannya lain," dia bilang habis nyoba nawar.

"Sama," kataku.

"Nggak sama!" bantahnya. "Nih, pegang."

Aku nggak mau.

"Beda bahannya. Yang di dalam materialnya lebih halus, jahitannya lebih rapi, tapi bolehlah dibeli buat oleh-oleh karyawan."

Dan dia pun beli beberapa kodi daster dan kaus buat dibagiin ke entah siapa tadi yang disebutnya satu per satu.

Alhasil, motor kami penuh belanjaan. Aku udah lempoh, dia ngotot waiting list di Raminten.

"Nanti malam kita ke angkringan Tugu, ya?" dia bilang, tapi nggak terdengar minta persetujuan, malah kayak ngasih tahu.

"Nggak mau, aku capek."

"Kan naik motor," katanya.

"Angkringan Tugu itu cuma lesehan biasa, Yud."

"Nggak, ah. Beda. Aku sering lihat gambarnya di mana-mana, suasananya romantis, ada pengamen yang bisa nyanyi apa aja. Aku pengin ngerasain minum kopi di sana."

"Terserah kamu ajalah."

"Tapi pulang dulu."

"Iya, aku pengin mandi," desahku.

"Aku mau salat Maghrib di masjid sama bapak," tukasnya nyantai sambil menyedot Susu Perawan Tancep yang dia pesan. "Kemarin udah dibeliin baju koko sama sarung. Kata Jonah, biar meyakinkan. Aku nggak boleh melewatkan momen salat Maghrib!"

Aku nggak ngerti jalan pikirannya, tapi aku diem aja. Begitu sampai rumah, dia mandi duluan dan siap-siap. Bapak agak kaget waktu Yudha membarenginya jalan ke Masjid. Seperti sudah ngerti adatnya orang Jawa kalau jalan sama orang yang lebih tua dan belum akrab, dia nggak mensejajari langkah bapak, melainkan agak di belakangnya.

"Bima nggak pernah salat di Masjid," gumam Bunda di teras saat kami melepas kepergian laki-laki masing-masing. "Selalu datengnya ngelimpe waktu salat, emang dia pikir orang tua nggak tahu muka orang yang biasa kena air wudhu atau enggak?"

Kalau aja bunda tahu telatennya si Yudha pakai krim malam, dia pasti paham nggak cuman air wudhu yang bisa bikin muka kempling begitu.

Usai waktu salat maghrib, aku mendatangi paviliun. Yudha sedang melipat sarung.

"Bapakmu nggak pulang," dia ngasih tahu.

"Emang, lanjut Isya," kataku.

"Berarti kita jalannya habis isya aja."

"Yud ... nggak usah berlebihan, isya kan waktunya panjang, bisa dimengerti kalau kamu bilang salat di kamar, atau nanti aja di mushola."

"Nggak, kok. Aku malah kalau bareng-bareng nggak lupa gerakannya," katanya polos.

"Ya terserah kamu aja, nanti kalau kamu berlebihan dan diajak tadarus sama bapak, mampus!"

"Kamu bilang bapak juga nggak bisa ngaji sebelum ketemu bunda."

Aku nggak mengiyakan, pun mengelak.

"Dulu kakekmu gimana waktu tahu bapakmu nggak bisa ngaji?"

"Mana kutahu?"

"Nggak pernah diceritain?"

"Ya kakek maklum, asal mau belajar."

"Nah ...."

"Nah apa?"

"Nah aku nggak perlu khawatir, yang penting kubilang aku mau belajar."

"Itu bukannya berlebihan namanya?"

"Lho ... kamu nggak suka punya suami yang bisa ngaji?"

Kagetlah aku dia nanya gitu.

Akhirnya mulutku kicep sendiri. Kadang aku mikir, iya juga, dia bakal jadi suamiku. Kalau aku setuju pernikahan ini bukan sekadar buat menyelamatkan status, aku akan jadi istrinya seumur hidup. Sementara Yudha kayak nggak melihat ada kemungkinan kami hanya akan menikah sebentar, kemudian udah.

Apa benar dia jodohku?

Ternyata mengambil hati orang tuaku nggak sesulit yang kuduga. Setidaknya buat Yudha. Tiga tahun sama Bima, bapak hampir nggak pernah ngebiarin dia jalan di sisinya. Kenapa? Ya karena dia nggak pernah barengin bapak salat jamaah di Masjid. Bolehlah nggak punya kerjaan mentereng, asal mau berkorban beli baju koko dan sarung Atlas. Ba'da Isya, Yudha udah nggak jalan di belakang bapak. Masih kaku, tapi udah terjadi percakapan.

"Bapak ngomong sama kamu?" tanyaku antusias.

Lagi-lagi dia sedang melipat sarung dan baju kokonya setelah ganti baju. Rapi. Teratur sekali lipatannya. Kayaknya dia yang bakal jadi bapak rumah tangga kalau kami menikah dan punya anak nanti. Dia menjawab, "Iya."

"Nanya apa aja?"

"Nggak nanya apa-apa. Cuma bilang, lain kali kalau ke Masjid pakai sandal biasa aja, nanti hilang."

"Cuma itu?"

"Sama ngasih tau tanah dari pemilik rumah yang di ujung sana itu mau dibeli. Terus warung Ndas Manyung yang di depan gang itu baru, yang punya masih muda, seumuran aku."

"Terus kamu bilang apa?"

"Aku nanya, bapak suka ndas manyung?"

"Nggak suka dia," kataku, mendahului.

"Iya, dia sukanya soto, sama gulai."

"Nggak pake tulang."

"Nggak pake tulang."

Kami diem-dieman.

"Aku suka bapakmu," kata Yudha setelah diam.

"Nggak penting kamu suka atau enggak sama bapak, yang penting sebaliknya."

"Memangnya kamu nggak ngerti maksud bapakmu ngasih tahu gitu?"

"Nggak, memangnya apa?"

"Lain kali kalau ke Masjid suruh pakai sandal biasa aja, berarti dia percaya aku rajin ke masjid. Dia juga perhatian karena nggak mau sandalku hilang."

"Terus?"

"Ngasih tahu aset keluarga itu tandanya dia tahu aku dan kamu punya hubungan yang serius. Bukannya kemarin bapak sendiri yang bilang kalau tanah itu disiapkannya buat pernikahanmu?"

Aku menahan geli, tapi karena bapak suka aneh, ya mungkin aja.

"Soal pengusaha ndas manyung yang seusiaku, itu berarti profesiku nggak masalah buat dia. Bapak udah tahu aku punya toko, meski masih mengira tokonya toko bangunan. Jelas dia suka sama aku!"

"Tapi bapak belum tahu ..."-aku membisik-"kalau aku hamil."

"Juga soal Jonah," tambah Yudha.

"Nah. Terlalu awal buat bilang dia suka kamu, sebab kesan pertama itu nggak selalu benar."

"Kamu kok malah matahin semangatku?"

"Aku heran, kamu kok malah lebih bersemangat daripada aku."

"Karena aku cinta sama kamu," akunya, nggak lupa sambil menowel pipiku yang makin gemuk.

Aku mendesah, tapi bukan berarti nggak senang mendengarnya. "Cintamu enteng banget, Yud."

"Cinta emang harus enteng, kalau berat, jadi beban. Kalau enteng, enak dibawa-bawa."

Pukul delapan kurang seperempat, kami diajak makan malam. Yudha melarang waktu kubilang kami mau ke Tugu. Bunda menata aneka macam makanan yang kutahu sebagiannya beli, nggak masak sendiri. Mungkin Yudha ada benarnya, mereka emang langsung suka meski mukanya licin kayak perempuan, dikira semua itu hasil rajin wudhu. Aku ngerasa nipu, tapi ya gimana. Nggak ada pilihan lain.

Bapak nggak banyak bicara. Kayak biasanya, semua dilayani sama bunda. Mau tak mau, aku ikut-ikutan melayani Yudha. Mengambilkan nasi, menawarinya lauk pauk, dan menuangkan air putih. Yudha kelihatan senang sebab biasanya dia yang melakukan semua itu untukku.

"Kintamani mana, Pak?" aku nanya.

"Di mana gitu," jawabnya, nggak jelas.

"Di tempat Nurul, di Sleman. Tidur sana," kata bunda.

"Tumben dikasih," komentarku.

"Nggak dikasih nesu," rutuk bapak.

"Nesu itu ngambek," jelasku saat Yudha melirik minta diterangkan tanpa meminta.

"Eh ... Yudha dari mana tadi asalnya?" Bunda ambil kesempatan.

"Jakarta, Bunda."

Bapak berhenti menggerakkan sendok. Sedangkan bunda tersenyum lucu karena udah duluan kaget tadi siang. Aku memejamkan mata. Tegang. Menyebut 'bunda' di keluarga Jawa hanya dilakukan oleh mantu resmi, atau jika sudah diizinkan. Setidaknya, di keluargaku begitu.

Tapi, Yudha nggak paham dengan perubahan atmosfer di meja makan, juga kekikukan bund. Dia nyerocos, "Saya lahir di Bandung, besar dan tinggal di Jakarta sama papa. Mama sama papa sudah lama pisah."

Belum nyuap apa-apa, bapak udah kesedak dan batuk.

"Pisah rumah?" ibu memperjelas.

"Pegatan?" bapak mendesis ke arahku.

"Iya, cerai," serobot Yudha. "Sudah nggak cocok. Sudah lama."

"Kenal Rani di mana?" tanya bapak, mendadak melupakan gengsinya. Kayaknya saking kagetnya. Perceraian itu nggak umum dalam keluarga kami.

"Yudha ini temannya teman," bunda yang jawab, Yudha mengatupkan bibirnya kembali.

"Teman yang mana?"

"Bapak nggak kenal," kataku.

Masih belum puas, namanya aja bapak. Nanya lagi, "Teman kantor?"

Kujawab pendek, "Iya."

Dahi bapak mengkerut beberapa lipatan, persis kayak anak tangga masuk rumah yang biasanya Cuma tiga tingkat. Mulai curiga, "Katanya nggak ngantor?"

"Temen kantor memangnya nggak bisa temenan sama yang nggak ngantor?"Aku ngeles.

"Juga ketemu waktu ngantar pesanan toko," bunda mencoba menengahi.

"Kantor kamu kan yang buat bikin iklan, Ran," kata bapak. "Ngapain pesan bahan bangunan?"

"Bukan toko bangunan!" bunda menyela. "Toko kue."

Hening.

Bapak memastikan sekali lagi, "Bukan toko bangunan?"

"Bapak yang nyangka toko bangunan," aku duluan membela diri.

"Kamu nggak ngoreksi," sanggah bapak. "Katanya toko punya bapak, kok toko kue, bukan toko peralatan listrik, kalau bukan toko bangunan?"

"Kenapa mesti toko listrik kalau bukan toko bangunan?" aku mulai gerah.

"Ya kan laki-laki biasanya tertarik sama listrik."

"Bapak nggak tertarik sama listrik."

"Tertarik, semua instalasi lampu di rumah ini bapak yang pasang."

"Lampu ruang tamu enggak," sergah bunda, makin nggak ketahuan juntrungannya.

"Ya soalnya lampu gantung susah masangnya."

"Bukan berarti bapak tertarik sama listrik kan kalau bisa pasang instalasi lampu? Yudha juga bisa pasang lampu, ya, Yud?"

"Bisa."

Habis itu, suara terakhir yang kami dengar di ruang makan hanya deham bapak membersihkan tenggorokannya yang tercekat. Aku sempat bilang, "Chef Juna juga tukang masak," dan bapak nyahut, "Jadi koki?" lalu diam lagi saat aku bilang bukan.

Aku heran, bapakku ini pendidikannya tinggi, orang eksakta, memang, kenapa sih susah banget nerima kenyataan kalau laki-laki juga bisa punya toko kue?

Yudha

"Kok nggak dimakan? Tadi katanya ngidam?"

Maharani

"Ya, tiba-tiba nggak ngidam lagi."


Halo

Ini saya update gara-gara @aqrsaw29 kayaknya nggak pernah lelah menghitung hari wkwkw... which is okay, saya bukan penulis yang keberatan ditagih kok, toh emang saya yang bikin jadwal.

Padahal harusnya saya update Sweetheart in Your Ear dulu karena pas jadwalnya kemarin Wattpad eror parah dan saya mutusin nggak update apapun. Kemarin test-drive aja pada bingung dikira update part baru. Bukan apa-apa, ya, buat saya nggak asyik aja gitu kalau update nggak muncul notif, readers ngomen nggak muncul notif, dsb, yah ... silakan bilang saya norak tapi ya emang gitu, sih. Komen dan vote-nya juga jadi sedikit huhu karena kebanyakan nggak dapat notifikasi update. Pokoknya nggak puas, deh.

Makanya sebenernya tadi sempet mau nunda besok, saya juga lagi sibuk streaming buat MV barunya infinite wkwk tapi disempetin deh soalnya udah jadwal 5 hari. Palingan nanti saya dimarahin di lapak sebelah karena menganaktirikan Saya dan Kiki /nanges/

But I do my best, ya ... kadang saya juga sibuk. Sibuk nggak ngapa-ngapain sih sebenernya, tapi kadang kalau lagi mood drop atau lagi ngelamun, main Hayday, nganter mamah terapi, maraton nonton download-an ya suka males buka wattpad. Kalau sibuk yang penting-penting sih saya enggak, kok, lol, tenang aja. You can colek me anytime.

Pengumuman buat quote-nya belum, ya? Saya belum milih ya karena alasan comeback Infinite ini. Rasanya kalau ada waktu luang, selalu dipake streaming. Kan milihnya kudu konsen gitu :-p Saya harap nggak ada yang kecewa, silakan kalau masih mau tag, yang ikut baru dua puluh enam-an. Kalian sebenernya suka beneran nggak sih sama cerita ini? Kadang saya nggak pede, kok yang ikut GA-nya dikit. Pasti hadiahnya kurang, ya? hahaha

Tapi, pasti saya umumin segera, kok. Ayo banyakin tag-nya.

Apa lagi, ya? Oh iya ... kalian suka age gap nggak sih? Cowoknya lebih tua, gitu? Kalau ceweknya lebih tua mah udah ya si Kikan-Pras tapi itu juga nggak ekstrem age-gap-nya. Saya kemarin lihat di Pinterest duh ... om-om lajang ganteng-ganteng banget, cyin. Jadi pengin bikin age gap love story.

Jangan lupa vote dan komen. Yang inspirit, jangan lupa streaming. Fandom lain juga welcome to help hahaha ... banyak yang suka kok lagu barunya, Itu saya pake di media.

Love, love

Kin

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top