13. Keramahan Cinta

Bapakku adalah jendral di rumah ini,

Kalau sebutan Tuhan berlebihan untuknya.

Sepanjang perjalanan dari bandara Adi Sucipto ke Malioboro, di dalam Trans Jogja nomor 1A, Yudha bersenandung, "Pulang ke kotamu ... ada setangkup haru dalam rindu .... Masih seperti dulu-"

Yudha mengusulkan supaya kami naik Trans Jogja aja, katanya takut aku mual kalau langsung pindah taksi. Ngelihat dia bersenang-senang, aku yakin dia cuma pengin jalan-jalan. Lihat aja mukanya. Senyum ceria bikin wajah manisnya makin mirip anak-anak. Nggak usah nyanyi-nyanyi aja dia udah paling menonjol. Kulitnya yang terawat tampak paling bersinar di antara sebagian besar penumpang bus berkulit sawo matang.

"I am super excited," katanya, bibir bawahnya digigit saking geregetan.

Biarpun kudiemin karena kesal selama di pesawat, orang di sampingku ini kayak nggak pernah capek memaklumi. Kalau buatku sekarang ini kami lagi nganter nyawa ke kandang buaya, dia malah bersikap seperti mau nonton sirkus. Dia dan papanya sama aja, masa tadi Jonah nganter kami ke bandara pakai dress panjang melambai-lambai? Dikira ini di Hawaii apa? Kayak nggak berdosa gitu tengah hari bolong. Aku jadi nggak yakin waktu dia bilang akan bekerja sama. Kalaupun dia pakai baju laki-laki, ayam rabun aja kayaknya bakal tahu dia banci.

"Nanti habis naruh barang, jangan langsung terus terang sama bapak, ya, Ran," Yudha bicara.

"Kenapa?"

Kupikir dia bakal bilang nanti malam atau besok saja, biar beliau nggak kaget, ternyata, "Ini 'kan masih sore, jalan-jalan dulu di Malioboro. Papa minta dibeliin daster batik di Mirota."

Hihhhhhh ... gemas aku. "Kita di sini bukan buat piknik!" semprotku.

Yudha mengerucutkan bibir. "Aku udah lama banget nggak ke Yogya."

"Aku yakin habis ketemu bapak, kamu pengin cepat-cepat pulang," aku menggumam. "Kamu nggak jadi tumbuhin rambut di dagumu?"

"Nggak sempat, kamu ngabarin dapat cutinya baru kemarin lusa. Ya aku nggak nyukur seudah itu, tapi belum mau tumbuh banyak. Udahlah nggak apa-apa. Lagian kayaknya aku bakal suka bapakmu, dia lucu."

"Oh nggak selucu bapakmu!"

Yudha meringis memperlihatkan gigi-gigi putihnya. "Kamu masih bete soal tadi? Nggak ada yang tahu dia laki-laki," ujar Yudha sambil membuang mukanya ke jendela.

"Di situlah lucunya!"

"Kamu terlalu tegang, Ran."

"Kamu yang terlalu nyantai, Yud."

Kayaknya memang aku sendiri yang panik sampai tanganku dingin semua, normal nggak sih kayak gini, tuh? Dia terlalu apa ya ... nyantai ... seolah momok berumah tangga dengan orang yang sama sekali asing nggak pernah mengusik keyakinannya. Bukannya aku pernah nggak yakin soal mempertahankan bayi ini, tapi aku menganggapnya sesuatu yang terpaksa kuhadapi, sehingga kadang aku merasa kesal pada diriku sendiri. Yudha? Jangankan kesal, dia selalu ceria. Dia lucu, menyenangkan, bikin aku senang, sekaligus kadang sebal.

"Jadi ... Jonah tuh siang-siang juga selalu pakai baju perempuan?"

"Menurutmu kenapa toko pai-nya laku banget?"

"Dia juga dandan kayak di klab malam kalau siang?"

"Nggak lah, dia lebih kelihatan kayak mama rumah tangga kalau di toko pai."

Oh iya ... aku ingat dia pernah berkunjung dengan makeup nggak setebal yang kulihat di malam hari. "Kok kulit dia bisa haluuus banget gitu, sih, dia nggak punya bulu di tangan dan kakinya. Gurat-gurat mukanya ...."

"Dia suntik hormon," kata Yudha santai.

Aku menutup mulut. "Ganti kelamin juga?"

"Belum."

"Berarti bakal?"

"Ya dia perempuan, masa dia mau punya penis seumur hidup? Umurnya baru empat lima, dia memang nggak berkeinginan punya pasangan hidup, tapi tujuan hidup seseorang nggak hanya itu, kan?"

"Buat apa dia ganti kelamin kalau nggak mau dipake?"

"Rani ...," keluhnya. "That's ignorant."

"Sorry," ucapku tulus. "Kadang aku kelewat penasaran."

"Mungkin aku akan bilang bapak sejujurnya aja, kalau persoalan Jonah mengganggumu terus."

"Maksudmu?"

"Yah ... bilang kalau bapak dan ibuku cerai, lalu aku diasuh pamanku."

"Itu juga nggak sepenuhnya jujur, kan?"

"Iya, sih ...," Yudha menggaruk pelipis. "Aku jadi gugup."

Jadi gugup?

Jadi gugup, katanya?

Aku udah gugup sejak ketahuan dia punya papa waria. Mungkin sejak zaman Majapahit aku udah gugup! Taruhlah kami bisa memaksa bapak mengerti bahwa Jonah itu bukan ayah melainkan pamannya, atau taruhlah suatu hari bapak tahu yang sebenarnya jika kami berhasil mengelabuhinya sebelum menikah, tapi bagaimana dengan besok-besok dalam tanda kurung masa depan? Apa anakku akan memanggil kakeknya dengan sebutan nenek? Kalau kubilang, sayang ... itu bukan kakekmu yang sebenarnya. Lalu di mana kakeknya yang sebenarnya? Hidup macam apa yang menyambut jabang bayi ini nantinya?

Belum kalau dia nanya papanya, Yudha mungkin dengan entengnya akan menjawab, itu kakek dan nenek jadi satu. Emang dia hermaphrodit?

"Yud ...," panggilku. "Kenapa sih kamu nggak kerja aja?"

Aku selalu pengin nanya ini kalau sempat, siapa tahu dengan punya pekerjaan yang sepenuhnya lain dari Jonah, kami nggak harus berurusan dengannya terlalu sering.

"Aku lagi nyari," katanya.

"Maksudku sebelum-sebelum ini."

"Oh ... aku kan nggak suka kerja kantoran," katanya polos.

"Cuma itu?"

"Yaaa ... selain itu aku suka kerja bareng Jonah. Seru tau, Rani, ngerjain bisnis sendiri. Lagian ... memang toko dan kafe itu dirancang buat diwarisin ke aku suatu hari, jadi kenapa enggak aku mengurusnya dari sekarang, kan?"

"Karena dia nggak akan punya anak lagi?"

"Iya, karena anaknya cuma aku. Dan asal kamu tahu, Jonah orangnya serius dan telaten, mungkin tahun depan kami bakal buka salon."

Aku menanggapi dengan santai. "Oh ya?"

Padahal dalam hati luaaar biasa pengin protes. Salon? Kenapa salooon? Kenapa bukan toko bangunan aja, paling enggak biar bapakku puas dengan anggapannya. Kalau mereka memang ada rencana buka toko bangunan, aku nggak perlu meralat anggapan bapak, kan suatu hari dia akan punya juga. Tapi, aku nggak enak mau nyaranin begitu. Kalau Jonah dengar ideku buat buka toko bangunan daripada salon, gimana tanggapannya coba?

"Iya," angguk Yudha. "Dan jangan khawatir, kalaupun aku nggak cari pekerjaan baru, aku tetap akan berhenti jadi maskot di Kafe Mama."

Aku menggulung senyum, nggak yakin. Tadi pagi waktu dia nyampe kos, aku masih mencium bau aseton dari kuku-kukunya. Bohong kalau dia bilang nggak numbuhin rambut wajah karena cutiku mendadak. Dalam sehari aja rambut di dagunya tumbuh kentara. Meski halus dan samar, tapi tetap tampak karena kontras dengan kulit putih mulusnya. Kalau memang dia sengaja nggak nyukur dari hari Kamis saat permohonanku dikabulkan, seharusnya sekarang bapak bisa lihat dagunya nggak selicin adonan donat setelah ngembang dua kali lipat.

Dia masih dandan diam-diam.

Tapi aku malas berdebat, dan memilih bersikap tak tahu menahu.

Mungkin dia butuh waktu sampai menemukan pengganti. Soal ini aku boleh lega karena mereka terbukti pasang iklan di web dan papan informasi pub-nya.

Kami turun di Halte Malioboro 2 depan Kepatihan. Yudha girang bukan main waktu aku manggil tukang becak. Seharusnya, kami bisa aja jalan, karena dekat banget. Belok gang samping Batik Terang Bulan, gang mentok seberang Melia Purosani, beberapa langkah, nyampai, deh. Tapi, aku udah mulai capek dan curiga Yudha bakal lebih lama lihat-lihat pedagang kaki lima daripada jalan.

"Berhenti sini mawon, Pak," kataku menyetop becak.

"Lho, kenapa, Mbak? Panjenengan putranya Pak Soeharno yang burungnya banyak itu, toh?"

"Inggih, nggak apa-apa. Sini aja."

"Bapakmu terkenal ya, Ran?" bisik Yudha sambil nurunin barang-barang.

"Di Yogya, radius Malioboro, iya. Bapakku anggota paguyuban seniman sama takmir Masjid."

"Bapakmu masih pakai blangkon?"

"Mana ada orang pake blangkon kalau bukan abdi atau kusir, sekarang bapak-bapak pakai kupluk. Apalagi kalau usianya udah lewat lima puluh."

"Aku pikir masih pakai blangkon sama kemeja yang lurik itu."

"Kalian orang Jakarta bayangannya sama orang daerah selalu gitu, tapi masih mending, sih. Mbak Tiwi pikir bapakku ke mana-mana bawa keris."

"Emang enggak?"

Aku mendengus. Sebal.

"Orang Jawa zaman sekarang tuh ya kayak orang kota lainnya aja gimana, udah hampir nggak ada orang pakai kebaya kecuali simbah-simbah dan tukang jamu. Seniman kalau nggak lagi perform juga blangkonnya ditinggal di rumah."

Kenyataannya, bapakku sehari-hari ya pakai baju koko. Berewokan kriwis-kriwis, sebagian sudah memutih. Kulit kepalanya sensitif, jadi nggak pernah pakai penghitam rambut. Dulu pernah pakai Restor Black waktu ubannya mulai nggak terkendali, tapi berhenti karena kemranyas, katanya. Sejak itu, bapak agak ketombean, jadi hampir selalu pakai baju putih.

"Assalamualaikum!"

"Assalamualaikuuum," Yudha membeo, kerepotan narik dua koper dan mencangklong satu tas tangan, tapi mukanya semringah bukan buatan.

Gila juga ini orang.

Pengin banget kuingetin, dia tuh ke sini bukan hanya mau dikenalin sebagai pacar seperti anggapan bapak, tapi sebagai orang yang akan menikahiku karena kondisiku berbadan dua. Namun, dua hari ini sejak telepon malam itu, dia bungah sekali karena membiarkan bapak berpikir dia akan ketemu calon mantu dalam keadaan normal.

Ini kan abnormal.

Pintu depan rumahku yang separuhnya terbuat dari kaca seperti rumah jaman dulu terbuka. Bunda menyambut dengan senyum lebar menawan. Sepertinya bukan hanya bapak dan Yudha yang berpikir ini akan jadi perkenalan hangat antara calon mantu dan calon mertua, bunda juga. Siang ini bunda mengenakan gamis bunga-bunga yang kayaknya baru, jilbabnya rapi pakai korsase segala, bukan jilbab langsungan andalannya kalau mendadak harus ninggalin dapur buat bukain pintu saat ada tamu. Bibirnya, duh, bunda ... merah membara.

"Wa'alaikum salaaam!" balas bunda, renyah dibuat-buat. Bau santan dan aroma manis menguar begitu kami berdua mencapai teras.

"Bunda masak-masak?" aku menuduh.

"Yo masak biasanya, to," katanya habis aku cium punggung tangannya. Bola matanya melirik-lirik antusias ke arah Yudha.

Syukurlah, Yudha nurut padaku. Dia cukup nggak berwarna siang ini. Jaket jeans barunya berwarna biru muda, lengkap dengan beberapa emblem dan variasi robekan disengaja yang nggak norak atau berlebihan sama sekali. Pas. Kelihatan nggak dibuat-buat agar tampak sopan, tapi tetap sopan ukuran pemuda masa kini. Aku sih nggak apa-apa kalau dia mau pakai skinny jeans, paling enggak dia tahu aku nggak suka model jeans ala maknae idol Korea yang digulung semata kaki memperlihatkan motif kain di baliknya, tapi jujur aku nggak berharap Yudha begitu pandai memadukan jeans dengan celana katun hitam yang pas di kaki kurusnya. Aku nggak sempat nanya, tapi kayaknya sepatu kanvas hitam yang dipakainya sebaru si jaket bomber. Mungkin dia belanja online juga bareng si jaket.

Sekilas, kalau di mata ibu-ibu, dia kelihatan seperti anak baik-baik yang patuh. Wajah tampan manis dan bibir merahnya akan memukau bunda karena jelas bunda akan langsung tahu dia nggak merokok. Ibu-ibu mana sih yang nggak kesengsem sama cowok yang suka kebersihan? Lihat, tuh, bola mata bunda membulat berbinar-binar.

"Bunda ... ini ... Yudha," aku memperkenalkan singkat.

Pipi Yudha bersemburat merah muda, dengan sigap dia meraih tangan bunda, dan mengecup punggung tangan beliau.

Bagus sekali, sampai sini dia udah otomatis jadi calon mantu favorit bunda. Suami Mbak Halimun orang Sumbawa, dia menjabat tangan semua orang dengan genggaman kuat nan akrab. Orang tua Jawa jelas nggak terlalu terkesan dengan cara itu, apalagi ibu-ibunya.

"Abyan Yudha Putra," sebutnya. "Bunda."

Aku merenges waktu bunda main mata sama aku.

"Manggilnya apa?" tanya wanita yang ngelahirin aku itu, agak genit. "Abyan, Yudha, atau Putra?"

Ish ... pura-pura. Jelas kemarin aku nyebut namanya Yudha ke bapak, mustahil bapak nggak cerita. Aku malah yakin dua hari belakangan mereka udah bikin skenario hidup macam-macam tentang Yudha sesuai khayalan mereka.

Dan Yudha ... sesuai dugaanku, pintar ngadalin ibu-ibu, "Bagusnya apa, ya, bunda?"

"Lho ... kok malah nanyaaa," tawa sosialita medhok bunda berderai.

"Yudha," sambarku nggak sabar, kakiku udah mulai pegal. "Panggilannya Yuuu-dhaaa."

"Abyan juga cocok," sergah bunda. "Kenapa manggilnya nggak nama depan?"

"Soalnya waktu kecil ada yang namanya sama, Bunda," jawab Yudha. Aku mengernyit, baru tahu malah.

"Oalah ... padahal bunda pikir namanya udah unik, lho! Lain dari yang lain. Kalau Yudha itu malah pasaran. Tuh, di sini anaknya mantri sunat sama juragan bakpia juga namanya Yudha. Temen pengajian bunda juga ada."

"Temen pengajian bunda kan ibu-ibu," selaku.

"Maksud bunda anaknya," Yudha mendengus. "Inggih kan, Bunda?"

Inggih?

Dia bilang inggih barusan? Perasaan, waktu baru naik Trans Jogja tadi aja dia masih nanya, inggih itu artinya 'iya', ya?

"Hok oh, bener!" Bunda mengayun jabat tangan Yudha yang dari tadi belum lepas juga. "Rani memang kadang gitu, suka nggak fokus!"

Asem.

Kupikir julukan suka nggak fokus nggak akan kudengar selain di kantor.

Urusan bunda mungkin udah bisa kutepis dan kuanggap lancar. Beliau nemenin Yudha duduk di ruang tamu, nawarin bandrek siang-siang, sementara aku ke kamar mandi buat pipis. Barangku sudah diangkut Mbak Mul ke kamar. Sampai bapak datang, bisa dipastikan ruang gerak Yudha hanya ruang tamu sesak yang dipenuhi koleksi sovenir bunda. Kalau bapak suka dia, dia bakal ditidurkan di kamar tamu. Kalau enggak, dia bakal disuruh tidur di sayap kanan. Kamar tamu juga, tapi jarang dipakai. Kasurnya masih kapuk, belum spring bed.

Pas aku balik ke ruang tamu, bunda lagi nanya, "Kenal Rani di mana? Di kantor?"

"Inggih," jawab Yudha. Kagok, tapi maksa.

"Oh ngantor di gedung kantornya Rani juga?" pertanyaan jebakan.

"Boten," Yudha ngibasin tangan sopan. Aku takjub, kapan dia belajar kata 'mboten' itu? "Waktu saya ngantar kue dari toko."

Aku menempati sisi kanan Yudha.

"Yudha ini temannya temen Rani, Bun," aku menambahkan penjelasan yang sengaja kukarang sebelumnya. Ancang-ancang aja kalau Yudha ngejawab seenak udelnya.

Tapi bunda nggak menggubris jawabanku. "Oh ... pinter usaha, ya?"-tersenyum kecut-"Nggak pengin kerja kantoran?"

Aku cubit samar pinggang Yudha, untung dia langsung paham, "Penginnya ngegaji orang aja, Bun. Nggak digaji."

Wah ... jawaban pintar.

"Tapi udah stabil kan ya usahanya?"

Tipikal. Aku tahu bunda bakal nanya gini.

"Alhamdulillah," cuma itu tanggapan Yudha. Yang cukup mengejutkan buatku mengingat dia biasa sangat ceriwis. Alhamdulillah itu jawaban paling kena buat orang tua. Misterius, penuh tanda tanya, tapi nggak layak ditanyakan lebih lanjut.

Diplomatis.

Coba ... nanti dia bisa diplomatis juga nggak di depan singa yang sebenarnya. Singa berambut nyaris putih, berjidat hampir botak, berkumis tebal tapi berjanggut kriwis-kriwis yang sedang berjalan tenang sambil neliti daun-daun teh-tehan yang ditanam berjajar seperti prajurit pengawal sepanjang jalan masuk rumah.

"Assalamualaikum!" sapa bapak dengan suara rendah berwibawa.

Aku mengkeret. Biasanya bapak nggak mengucap salam dengan nada begitu. Nada begitu hanya diucapkan kalau beliau ingin menunjukkan bahwa dialah singa jantan di rumah ini, misalnya kalau ada pacar-pacar anak gadisnya. Wajarnya, bapak suka ngelucu kalau salam. Kadang kum-nya dipanjang-panjangin, kadang kalau lagi kumat slenge'annya suka jawab salam sendiri dengan 'wa'alaikum sayaaang'.

Langkah pertamanya masuk rumah udah bikin Yudha nelan ludah.

Bapak berdiri di ambang pintu dengan jidat mengerut. Seolah nggak ada orang selain istri dan anak gadisnya, Yudha sama sekali diabaikan.

Pertanyaan pertama bapak untukku adalah, "Udah salat?"

Yudha

"Tapi pulang dulu, aku nggak mau melewatkan momen salat Maghrib di masjid sama bapakmu."

Maharani

"Nggak penting kamu suka atau enggak sama bapak, yang penting sebaliknya."

Selamat Tahun Baru!

Sumpah ini semalem udah diupdate tapi eror mana notif nggak muncul, jadi karena panik malah saya hapus. Sorryyyy beneran maaf telat.

Ini note saya semalam:

Hehehe ... Januari 8 nanti Infinite mau come back, yang sayang Yudha semoga inget Yudha pas nonton MV-nya. Yang keinget Yudha-nya sama Key, Taemin, atau siapa aja juga nggak apa-apa, sih. Saya suka semua cowok Korea yang shyantique-shyantique kok. LOL

Buat menyambut comeback-nya Infinite, saya mau bikin giveaway ah sekalian dikaitin sama cerita ini. Caranya gampang. Follow IG saya @kincirmainan19 (nanti kalau udah pengumuman mau unfollow nggak apa-apa) supaya kamu bisa mention dan TAG saya di IG, ya. Ingat, TAG ya, jadi akan muncul di halaman IG saya di bagian Tag itu, lho. Sebab syarat menangin giveaway-nya adalah quoting salah satu kalimat di cerita ini dengan hastag #EnjoyTheLittleThing #kincirmainan dan #InfiniteComeBack background quote-nya terserah kamu, bisa pakai cover cerita ini, bisa kamu bikin sendiri.

Pemenangnya akan saya umumin lima hari lagi pas update part 14. Hadiahnya buat satu orang pulsa sebesar 100K aja. Jangan banyak-banyak wkwkwk kan buat seneng-seneng aja sekaligus merayakan senangnya hati saya karena Infinite bakal come back setelah setahun lebih.

Periode GA-nya hari ini sampai part 14 di-update.

Oke?

Semoga ada yang mau ikutan. Hahaha

I love you! Jangan lupa dong vote dan komennya yang banyak, yaaah ....

Kin

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top