11. Gelora Cinta

Bahagia tuh nggak harus semuanya sempurna

Ternyata.

https://youtu.be/jpb81HAxHs8

"Raniii! Haaai haaai!"

Aku hampir kena serangan jantung.

Mau pura-pura nggak kenal, dia udah nyebut namaku. Sempat mau pura-pura nggak dengar, tapi Jonah dengan lantangnya menyebut nama lengkapku-"MAHARANI! IYA KAMU!-dengan suara laki-laki. Dalam skinny jeans dan jaket merah bulu-bulunya, dia mengeluarkan suara tenor persis almarhum Bruri Marantika.

Lunglai, dari keluar makan siang bersama Mbak Tiwi, aku berjalan ke arahnya. Mbak Tiwi tentu saja kebingungan, ngapain pemilik kedai pai apel itu datang kemari, tanyanya. Kubilang, paling mau ngurus tagihan.

Begitu aku menemuinya, dia nggak ngomong apa-apa dan langsung menarikku ke lobi. Mengambil salah satu sudut kemudian duduk menyilangkan kaki. Pada siang bolong begini, aku baru sadar, kecantikannya malam itu mungkin sebagian besar pengaruh ilusi cahaya lampu ruang rias. Dalam makeup tak setebal beberapa malam lalu, gurat wajahnya tampak begitu maskulin. Bukan hanya aku, bapakku juga bisa kena serangan jantung.

"Jangan bilang Yudha yaaa aku ke sini," pesannya duluan, agak berbisik. Nggak perlu lah kugambarkan bagaimana dia mengucapkannya, seperti perempuan, tapi sedikiiit dilebih-lebihkan. Sedikit, ya. Nggak kayak banci, lebih seperti perempuan yang kemayu.

Oh iya, dia membawa kantung besar bertuliskan nama kedai pai-nya.

"Nih," katanya, meletakkan bingkisan itu di meja dan menyodorkannya kepadaku. "Bagiin ke temen-temen kantor kamuuu."

"Terus, aku harus bilang apa?"

Alis ala bintang korea-nya mengumpul di tengah, "Memangnya mereka belum pada tahu kamu pacaran sama Yudha?"

Aku menelan ludah, "Ya ada yang udah tahu ... tapi-"

"Memangnya mereka nggak tahu Yudha itu anakku?" potongnya cepat. "Tahu laaah ... cewek yang jalan sama kamu itu ... dia seriiing ke kedai dan pub-ku. Belok itu diaaa."

Maksudnya Mbak Tiwi.

Aku jadi kemakan umpannya, "Masa?"

"Hmmm ... iyaaa!" katanya, meyakinkan banget. Pake ngangguk kenceng sampai aku khawatir bulu mata palsunya jatuh. "Cuma ... yah seringnya sih datang sama temen-temennya. Cuma berasa aja dia mah nggak lurus. Hati-hati, lhooo."

"Mbak Tiwi baik," kubilang.

"Memang, tapi tahu nggak cewek belok itu jauh lebih gampang deketin cewek straight, daripada gay deketin cowok straight. Cewek 'kan emang kalau sama sesamanya suka pegang-pegang, suka buka-bukaan, curhat-curhat, ntar tahu-tahu cinta. Kalau udah cinta ... hmmmm...."-jarinya menukik lentik menunjuk hidungku-"lupa akhirat."

Aku nyebut, tapi habis itu tertawa. Gimana, ya, bagiku Mbak Tiwi nggak gitu, sih. Dia baik aja udah. Aku nggak takut.

"Kalau cowok memangnya gimana?" pancingku.

"Cowok straight 'kan udah geli duluan kalau dipegang-pegang, apalagi kalau ama banci," jelasnya, apa adanya banget. Aku ngangguk-angguk.

Lalu, saat kami kembali diam, aku bertanya, "Cuma mau nganter ini?"

"Iya, nggak boleh? Kan aku bakal jadi mama mertua kamu," dia menjawab. "Yudha sih kebanyakan ngelarang, tapi maksud aku ... kan nggak apa-apa kalau kita tambah dekat, ya, kan?"

Kalau dia mama-mama beneran, sih, aku bakal bahagia banget dapat kunjungan begini. Well ... aku juga nggak marah, atau apa, tapi nggak bisa kupungkiri ... ada malu-malunya. Apalagi di kantor, kalau di kos, sih, mending. Sekarang aja semua mata seperti sedang mengawasi kami. Dua satpam di depan pintu, tiga orang karyawan resepsionis gedung, tamu-tamu perusahaan yang kayaknya sibuk main handphone atau baca koran, curi-curi pandang ke sini.

Jonah sendiri, sepertinya mulai sadar aku agak canggung menyambutnya.

"Aku cuman bentar, kok," katanya.

"Balik ke kedai?"

"Iyaaa," dia mengangguk cantik. "Mau ke salon dulu, sih, ngambil wig."

"Itu wig?" tanyaku, menyambar.

"Ini extension, dong ...!" Jonah melempar helai rambut yang jatuh di bahunya ke belakang. Kemudian, dia terkesiap sendiri, seperti menyadari sesuatu, "Eh ... emang kayak wig?"

"Enggak," aku menggeleng, memperhatikan rambut panjangnya yang halus dan terawat. "Makanya aku nanya, soalnya nggak kelihatan kayak wig."

Jonah mengelus dadanya, lega, "Ini mahal banget cuy, kalau kelihatan kayak wig, aku tuntut hairdresser-nya." Lalu ketawa sendiri.

"Kamu ... banyak kerjaan?" dia menyambung lagi.

Meskipun enggak, aku ingin dia cepat pulang kalau memang hanya itu keperluannya, "Iya, sih, lumayan. Soalnya ... aku lagi mau ngajuin cuti supaya bisa ke Jogja, jadi kerjaan yang ada aku beres-beresin dulu."

"Oh ..."-angguk-angguk-"kata Yudha ... aku nggak boleh ikut sampai semuanya jelas dan beres."

Tentu saja, kalau dia ikut pulang (dengan dandanan kayak begini pula) bahkan sebelum aku jujur sama bapak, yang wasalam bisa sekampung, bukan cuman bapak doang.

"Aku paham, kok, tapi ... gini, Ran ... aku cuman mau bilang ke kamu ... tolong bilang ke Yudha, dengan cara apapun, please ... please ... jangan abaikan aku."

Ludahku kembali tertelan. Nah, kan. Nggak mungkin dia mampir jauh-jauh cuman bawain kue. Kasihan, sih. Ingin rasanya kubilang, kenapa sih kamu harus jadi waria? Kalau perempuan beneran, pasti seru punya mama mertua sebaik dia. Yah tapi kalau dia perempuan biasa, belum tentu ya dia nemuin aku secara personal pake nyogok segala. Ini 'kan sogokan supaya aku nggak membiarkan Yudha ambil keputusan yang akan merugikannya.

"Aku ngurus Yudha sejak bayi. Ibunya cuma ngasih ASI sampai dua bulan. Dia itu anakku, lahir batin, Ran, meski aku nggak melahirkannya. Aku yang kebingungan waktu perempuan itu minggat nggak bilang-bilang, padahal Yudha nggak pernah diajarin minum pake dot. Bayangin! Aku nyuapin susu sesendok demi sesendok supaya dia nggak kelaparan. Dulu mulutnya nggak gede gitu, keciiiil"-jarinya memeragakan dengan membentuk cubitan kecil-"Aku yang nyuapin, nyebokin, aku bawa dia kerja ke mana-mana. Akuuu yang nangis kalau dia sakit, masa ya dia tega mau pura-pura aku bukan siapa-siapanya."

Aku membuat ekspresi sepengertian mungkin melihatnya mati-matian menahan tangis.

"Tapi ... di lain sisi aku juga memahami posisimu. Sampai sekarang Yudha belum ngasih kepastian akan bagaimana, setiap kali aku nyoba bicara, dia selalu ngambek dan nyuruh aku nunggu. Well ... makanya aku nyoba bicara sama kamu aja, tolong, ya, Ran ... izinkan aku datang kalau kalian mau nikah. Aku bisa akting, aku bisa dandan laki-laki!"

Aku menghela napas berat.

Seandainya dia tahu, mengizinkannya datang sebagai bapak Yudha dalam pakaian laki-laki pun, sebenarnya tak akan menyelesaikan masalah. Memangnya hidup kami akan selesai setelah kami menikah? Memangnya sewaktu-waktu bapak nggak akan datang ke Jakarta, atau datang nengok kedainya? Ini bapakku, lho. Kalau nggak datang sendiri karena gengsi pun, dia bisa utusan seseorang buat nyelidikin. Apa jaminannya bapak enggak tahu bahwa pemilik kedai Mama adalah waria? Lebih tepatnya, berapa lama bapak akan nggak tahu menahu? Kalau itu terjadi, bagaimana?

Apa aku harus mengambil pilihan kedua? Meminta Yudha menikahiku demi anak ini saja, bukan untuk menjadi orang tua?

Apa Yudha nggak akan terluka?

Dan seperti permintaannya, aku nggak pernah bilang ke Yudha tentang kunjungan rahasianya.

***

Aku mematut diri di cermin sementara Yudha duduk bersandar di kepala ranjang, menekuni majalah wanita yang kubeli saat menunggunya menjemputku pulang kantor. Aku miring ke kiri, lalu ke kanan dengan gelisah. Mengempiskan perut, dada membesar. Menormalkan dada, perut membuncit. Menahan napas melengkungkan bahu agak lumayan, tapi kalau napas dilepas, sama aja.

Aku merengek, "Perutku udah kelihatan njembling, ya?"

"Belum, masih ramping," jawab Yudha tanpa melihat.

Kuubah kembali posisi berdiriku, "Udah, kok."

"Kamu muntah terus, Sayang, gimana mau jembling?" katanya, menirukan pilihan kataku, tapi dengan pengucapan yang canggung.

"Biasanya perutku nggak begini, memang kamu nggak inget ukuran perutku dua bulan lalu?"

"Enggak. Eh, Ran ... coba besok kamu beli majalah ibu muda, kita mungkin udah mulai harus nyiapin baju hamil supaya kamu tetap kelihatan seksi."

Rahangku menggertak.

Yudha menelan ludah, lalu buru-buru meralat ucapannya, "Oh iya ... kayaknya udah dikit."

"Bener, kaaan?" keluhku. "Padahal baru mau ke tiga bulan! Gimana kalau sembilan bulan?!"

"Pasti lucu," katanya, kayaknya sih tanpa mikir panjang.

"Lucu?" aku terpelatuk. "Lucu kamu bilang?"

"Maksudku lucu yang manis, Ran," gelagapnya kena semprotanku. "Bukan lucu yang bikin ketawa kayak donal bebek gitu."

"Sama aja!"

"Beda dong, Ran ... maksudku tuh lucu kayak hot, seksi. Aku suka wanita ham-"

Kupotong, "Aku pasti bakal kelihatan kayak pinguin ...."

"Pinguin juga sebenarnya luc-"

"Kamu pikir ini lelucon, ya?"

"Lho ... maksudku ... aku suka pinguin."

"Memangnya siapa yang peduli apa yang kamu suka kalau udah begini? Kamu mikir nggak apa yang sebentar lagi akan beredar di semua kantor dalam gedung tempatku kerja kalau ada yang hamil di luar nikah begini?"

Yudha tahu itu bukan pertanyaan untuk dijawab, pelan, dia menutup majalah di pangkuannya.

"Kamu sih enak tiap hari bisa pakai celanamu yang biasanya. Aku? Makin hari, rokku makin sesak! Aku harus pasang dobel tape di blusku, biar tete-ku nggak meluber kemana-mana!"

Majalah tadi ditaruhnya di meja. Dia sendiri menepi.

"Kamu bisa makan apa aja, nggak muntah! Kamu nggak perlu nahan mual tiap ketemu aku! Kamu nggak pusing-pusing tiap pagi dan kamu nggak harus nyembunyiin perut kalau papasan sama orang! Memang lucu buatmu, kan!"

"Hey ... hey ... sabar, dong," kedua kakinya sudah diturunkan dari kasur. "Kok akhir-akhir ini kamu makin sering marah-marahnya?"

"Nah itu. Itu. Satu lagi yang nggak kamu rasain. Kamu nggak ngerasain gimana aku nahan marah tiap kali lihat orang yang nggak kusuka sekadar bernapas. Tiap satu jam sekali aku ke toilet buat nangis, nggak tahan lihat Mbak Sukma ngunyah kerupuk kayak orang utan. Tiap ada bau aneh aku muntah kayak orang kena bulimia, kamu pikir lucu?!"

"Oke ...."

"Jangan oke-in aku!"

"Rani ...."

"Kamu nggak ngerti, Yud! Semua ini gara-gara kamu! Coba kamu dulu sadar buat pake pengaman, semua ini nggak akan terjadi!"

Yudha berdiam.

Mulai melantur, "Jangan-jangan kamu sengaja ya bikin aku bunting?!"

"Ran ... aku keluar dulu aja, ya?"

"Keluar aja yang jauh sana!"

"Kalau kamu udah enakan badannya, aku nunggu di luar, oke?"

"Nggak usah! Pulang aja sana! Pulang!"

Hal kayak gini, terjadi hampir setiap hari.

Semakin Yudha tak menampilkan hasrat untuk membantah, aku akan makin kolokan tanpa bisa kukendalikan. Aku tahu dia nggak akan kemana-mana meski kuusir, hingga kadang aku suka semena-mena. Mbak Ambar yang tinggal di sebelahku sering menampung Yudha selama aku dikuasai setan hormon, nggak satu pun dari mereka berusaha menasehatiku. Percuma. Ini bukan aku yang sebenarnya, ini adalah dorongan fluktuasi mood wanita hamil yang tak terhindarkan.

Harus kuakui, aku memang stres. Karenanya aku mudah marah.

Aku masih merasa semua ini nggak adil buatku. Dan pikiran itu terpicu setiap kali aku melihat sesuatu yang menyebalkan. Masalahnya, di saat begini, hal yang biasanya nggak menyebalkan pun tahu-tahu jadi memuakkan. Sepanjang berada di kantor, aku berusaha menekannya. Begitu lihat Yudha, aku kayak ngelihat sansak tinju yang siap sedia buat dijadiin pelampiasan.

"Rani ...."

Aku nggak menyahut.

Sudah satu jam sejak Yudha meninggalkanku sendiri.

Dia masuk dan tanpa ragu duduk di sisiku.

"Pijit, yaaa?" tawarnya mesra.

Aku malah nanya, "Kenapa kamu nggak pernah marah?"

"Karena aku tahu kamu nggak bermaksud bikin aku marah."

"Mbak Nin bilang, saat dia hamil, dia juga sering bersikap menyebalkan. Lain kalau lagi nggak hamil, suaminya lebih sering maklum. Aku nggak bisa ngebayangin dia lebih cepat marah saat lagi hamil, enggak aja dia udah dijulukin ratu judes-nya HRD."

Yudha merapat ke tubuhku. Aku memasrahkan tubuh di peluknya.

"Apa benar seorang suami bisa punya ikatan yang begitu kuat sampai mereka bisa memaklumi kata-kata kasar istrinya saat lagi hamil, padahal janin itu ada di perut wanita, bukan di perut mereka?"

"Aku nggak tahu," Yudha menghidu rambutku. "Aku cuman mikirin betapa berat harimu dan betapa bahagianya aku karena kamu mau menanggung perbuatan kita berdua seorang diri."

"Kalau boleh, aku nggak ingin."

"Kalau boleh, aku nggak keberatan mengandung."

Sontak, aku menarik diri, "Apa?"

Dia kelihatan bingung, "Tolong jangan diartikan secara harfiah," katanya.

"Yud ... kamu nggak kayak Jonah, kan?" tanyaku hati-hati.

"Enggak, kubilang jangan diartikan secara harfiah. Maksudku ... aku juga ingin-kalau bisa-menanggung berat yang kamu pikul sendirian. Bukan lantas aku beneran pengin bunting!" nada bicaranya meninggi.

"Kamu marah?" tuduhku, tersulut.

"Enggak ...."

"Kamu ngebentak barusan."

"Enggak, Rani. Aku cuma mencoba ngejelasin ke kamu, biar kamu nggak nanya berulang-ulang apa maksudku."

"Kamu nggak gay kan, Yud?"

Yudha memijat pelipisnya.

"Yud!"

"Enggak! Demi Tuhan, enggak!"

"Lihat mataku," suruhku.

"Ran ...."

"Yud ... lihat mataku!"

"Oke!" katanya sambil mengangkat kedua tangan setinggi dada. "Aku lihat matamu sekarang."

"Are you gay?"

"No. I am not."

"Kalau kamu gay, kamu harus jujur, Yud. Jangan bilang kamu mau tanggung jawab segala, nggak sekadar nikahin aku."

"I am not gay," tegasnya. "Mau berapa ribu kali kamu nanya, aku enggak gay. Titik. Kalau kamu nggak lagi hamil sekarang, aku pasti udah nidurin kamu puluhan kali sejak kita ketemu lagi. In fact, waktu kamu nelepon aku lagi setelah dua bulan, hanya itu yang ada di kepalaku. Aku pengin gituan lagi sama kamu, daripada mikirin cinta waktu itu, aku lebih nafsu pengin nelanjangin kamu sekali lagi. Puas?"

Bibirku langsung terkunci. Ceklek. Yang barusan itu telak sekali, bahkan aliran darah ke jantungku terasa kuat berdesir.

"Masih mau nanya lagi?" tantang Yudha.

Aku cemberut.

"Aku bisa nahan diri asal kamu ngambil topik selain itu, itu menyinggung sekali, asal kamu tahu. Aku memang kadang pakai baju perempuan kalau lagi kerja, sejak dulu aku nggak pernah benci sama hal-hal berbau perempuan. Dan iya, aku nggak ngerasa terpaksa dandan atau bersolek. Kalau sebagian besar temanku ngira aku tertekan punya papa waria, aku enggak. I love Jonah, dia ayah yang baik. Terlebih setelah aku dewasa dan paham betapa besar jasanya ke aku, aku nggak pernah benci dia. Tapi bukan lantas aku kayak gitu, mau seumur hidup aku pakai rok, aku straight. Please, pilihlah topik lain. Apa kamu sebenci ini sama bagian hidupku yang itu?" panjang lebarnya.

Dan dengan tanpa perasaan, aku membenarkan, "Iya. Aku benci sekali sama bagian hidupmu yang itu."

Yudha tampak terluka. Aku berhasil melukainya.

Namun, ternyata desah napas beratnya bukan mengindikasikan bahwa dia menyerah, sebaliknya. "Aku tahu kamu nggak sungguh-sungguh. Ini hormonal."

"Oh ya?"

"Iya!" angguknya, dengan senyum. "Aku cinta sama kamu, Rani."

"Aku juga cinta sama kamu."

Mata Yudha membeliak kaget dengan balasanku yang mungkin lebih cepat dari dugaannya. Diusapnya lembut pipiku, "Bener?"

"Nggak tahu," jawabku.

"Ran, jangan bercanda."

"Aku nggak tahu yang barusan itu hormonal, atau memang ngerasa begitu," ungkapku jujur. "Kadang aku kangen kamu, kadang aku benci banget lihat kamu. Kadang aku nggak pengin kamu pulang, kadang aku pengin sekali aja kamu nggak muncul di hadapanku. Kalau aku ingat semua ini gara-gara benihmu terlalu bandel, aku bahkan berharap aku dan Bima nggak pernah putus."

"Astaga ... tega banget kamu, Ran ...."

"Itu kan hormonal."

Aku mengelak dari cubitan yang mendarat di hidung, sebagai gantinya, bibir sehatnya yang malam ini tak tersapu lip gloss karena aku melarang bersarang tepat di sudut bibirku. Seperti sebelum-sebelumnya, kalau dia beruntung aku nggak mual, kami berciuman.

"Bulan depan berarti trimester pertamanya sudah lewat ya?" bisiknya.

"Kenapa?"

"Katanya berhubungan seksual saat hamil itu nggak bahaya, kok. Nggak akan hamil lagi juga kayak pikiran konyolmu waktu itu, terus bayinya nambah lagi."

"Itu kan bercanda."

Yudha tertawa mesra, tubuhku sudah kembali terangkum dalam lengannya. Aku sudah terbiasa nggak menyalahkan reaksi alat vitalnya yang lebih gesit dibanding gerakan seekor lalat menghindari ayunan raket listrik, seolah setiap bersentuhan denganku, antenanya langsung menangkap sinyal. Nut nut, gitu caranya menggambarkan. Aku pun, sebenarnya merasakan dorongan hasrat yang kadang tak terbendung.

Hormonal, kata dokter saat kunjungan kedua kami minggu lalu. Dia bilang, sabar ya, saya ngerti kadang wanita lebih berhasrat saat sedang hamil, tapi lebih baik ditunggu sampai janinnya lebih kuat. Sejak itu, Yudha jauh lebih percaya diri menganggap bukan hanya dia yang selalu tergoda dengan penampilanku yang-menurutnya-makin menggiurkan.

Aku-tentu saja-nggak pernah mengakuinya.

Kenapa?

Bayangan bapak masih suka menghantui. Sampai hari ini aku belum dapat izin cuti untuk pulang ke Yogya.

Aku takut aja, nggak tahu kenapa.

"Kita nggak akan begituan sebelum menikah," tandasku.

Yudha nggak kecewa sama sekali. Menurut perhitungannya, paling sebulan setelah terus terang, kami akan dinikahkan. Tentu saja pernikahan sederhana, aku nggak berharap banyak.

"Kalau kantorku nggak ngasih cuti, mending kita berangkat Jum'at malam aja ya, Yud? Minggu-nya langsung pulang. Itu juga kalau nggak diusir bapak."

"Jangan," larang Yudha. "Nanti kalau buru-buru aku khawatir janinnya kenapa-kenapa."

"Janin beginian konon lebih tahan banting," kataku serius.

"Jangan ngomong gitu, ah. Janin ini sama aja dengan janin yang lain, harus dijaga. Mau sampai kapan kamu nganggap janin ini buah dosa, dia nggak salah, yang salah ibu bapaknya. Aku nggak mau ambil risiko."

"Kamu beneran pengin jadi bapak, ya?"

"Aku nggak mau anak ini kayak aku, bukan masalah pengin jadi bapak."

"Kamu tahu, nggak?" tanyaku sambil mengeratkan lengannya di pinggang. "Kadang aku ngerasa bersyukur itu kamu, kalau cowok lain ... mungkin sekarang ini aku lagi sendirian, meratapi nasib, sementara orang itu lagi nidurin cewek-cewek lain."

"Sudah kubilang, takdir kita memang beririsan."

"Seandainya irisan takdir kita lebih manis, ya, Yud?"

"Hmmm? Nggak juga, kalau lebih manis, mungkin kamu bakal lebih milih cowok lain. Yang bapaknya bukan waria, yang nggak suka pakai lip tint, atau yang anti bolak-balik majalah wanita."

"Yud ...."

"Aku straight, tulen," tukasnya sebelum aku menyelesaikan kalimat. "Kamu nggak ngerasa ada yang nyodok-nyodok tulang ekormu sekarang?"

Tawaku nggak bisa kutahan.

Dalam lubang lumpur pun ... seseorang bisa bahagia.

Maharani

"Kayaknya jangan sekarang deh ngomong sama bapaknya."

Yudha

"Iya, nanti aja habis ke Mirota. Belanja."

Hey ... terus terang, cerita ini memang ide awalnya muncul karena sosok Lee Sungjong-nya Infinite. Dia 'kan kesayangan saya itu. Saya tahu Sungjong sering diejek homo-lah, gay-lah, bahkan yang paling serem, dia pernah lho dikatain transgender. Kan kurang ajar, ya? There are moments when Sungjong felt so depressed about the rumor. Terlepas dia memang kelewat shyantique, tapi orientasi seks 'kan area privasi dia, ya. Saya sendiri, selama seseorang bilang enggak, sengondek apapun, misalnya, ya berarti enggak. Kita nggak boleh lho prejudice atau menghakimi gitu. Kalaupun punya anggapan begitu, tahan.

Sebenernya bukan mau ngomongin itu, sih, sebenernya mau ngaitin sama Jonghyun yang juga K-pop idol kayak Sungjong. Huhuhu ... buat siapapun yang berduka kayak saya, saling nguatin, ya? Jangan ada lah yang menghina-hina, nggak baik. Mau diapain juga, kematian seseorang nggak pantas buat bercandaan. Please. Saya anggap semua yang baca karya saya adalah orang-orang berpikiran terbuka. Kita boleh nggak setuju, nggak memihak, bahkan nggak peduli, tapi menghina itu nggak pernah dibenarkan.

Saya juga mau minta maaf komen di part sebelumnya belum dibalesin karena keburu syok sama berita itu. Seriusan, biasanya juga saya bales. Tapi kemarin buat bercanda rasanya susah. Jonghyun is such a nice, kind, and generous person. No one expect it to happen. Saya lebih syok lagi saat ngelihat betapa banyak orang menghina dan mengolok-oloknya. Let's not be part of it, spread love, not hate.

Duh saya udah kayak duta perdamaian aja kalau gini. Lel.

BTW tetep, ya, vote dan komennya ditunggu yang banyak. Sekarung. Kalau berat, ntar ada yang ngangkut /apasih/

I love youuu

Kin

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top