10. Yang Mengagungkan Cinta
Bapakmu mau besan kayak gimana?
Aku wujudin!
https://youtu.be/JcC5VGOx8I8
Waktu Yudha bilang perempuan ber-rok selutut yang duduk menyilangkan kaki dengan senyum ramah itu adalah ayahnya, aku mencoba tertawa. Demi kuburan nenek moyangku—sejak mendapati dua garis merah tertoreh pada benda yang baru pertama kali kulihat secara langsung seumur hidup dan hampir bikin aku pengin gabung main kartu di akhirat sama mereka, itu hal paling menggelikan yang pernah kudengar—aku mencoba tertawa, tapi gagal. Yang keluar dari mulutku malah suara aneh mirip ringkikan kuda yang kukunya kejepit.
Dan demi hormon hamil sialan, kandung kemihku tiba-tiba seperti penuh.
Lain dengan perempuan jadi-jadian yang nanya aku mau minum apa di luar, wanita—pria—wanita—mbuh aku nggak ngerti harus menyebutnya apa ini sama sekali nggak kelihatan di mana letak kelaki-lakiannya. Mungkin kalau dia buka rok, aku baru akan bisa menertawakan betapa ironisnya nasibku. Masalah yang tanggung jawab beres, giliran lain-lainnya malah begini.
Apa yang akan bapakku bilang kalau ayah calon mantunya waria?
Ini sih sama aja aku ngantar leher buat disembelih. Nggak akan ada bedanya aku bilang hamil dan nggak tahu siapa bapaknya dengan bawa pulang pelaku berbapak begini. Yudha benar-benar nggak paham waktu aku cerita panjang lebar mengenai bapak.
"Rani," panggil Yudha, kulihat jakunnya bergerak. Dia pasti juga menerka-nerka seperti apa reaksiku karena sedari tadi aku mematung. "Ini papaku."
Kalaupun Yudha bilang orang di depanku ini ayah kandungnya, aku mungkin akan percaya. Mereka sama-sama cantik, Yudha pasti akan secantik dia kalau pakai make up dan pakaian perempuan.
"Rani ...," gantian wanita pria itu yang menyebut namaku. Dia menurunkan kakinya yang menyilang dan mengangkat kedua tangannya setinggi dada, menggerakkan jemarinya yang panjang, lentik dan bercat kuku merah tua. "Ke sini, Sayang," panggilnya.
Bahkan suaranya terdengar lebih lembut dan perempuan dibanding suaraku.
Aku melirik Yudha, dia mengangguk meyakinkanku.
Namun, kakiku tetap nggak mau bergerak.
"Ran ..., nggak apa-apa," bisik Yudha. "Aku sengaja nggak ngasih tahu kamu langsung karena ini rumit. Begitu kuberitahu keadaan kita ke papa, dia bilang, dia yang akan ngejelasin ke kamu. Kamu nggak perlu takut, kami akan bekerja sama denganmu."
Bekerja sama denganku?
Maksudnya?
"Yud ...," aku membisik.
Yudha berdeham, mengelus dan setengah mendorong bahuku. "It's okay ...."
"Bukan gitu, Yud ... aku ...."
"It's okay, honey ... sini ... aku nggak gigit, kok," kata wanita pria itu genit. Rambut hitam lurusnya yang entah palsu entah asli berkibar saat dia mengibasnya sambil tertawa manja.
"Pap!" Yudha menghardik tertahan. "Jangan bikin dia makin takut!"
"Yud ...," aku menarik lengan baju Yudha. "Yud, aku ... aku ...."
"Ran ... it's okay."
"Bukan gitu, Yud! Aku kebelet pipiiis!!!"
Haduuuh ... begitu hajatku terbuang, aku jauh lebih lega.
Kata pertama yang Yudha ucapkan saat aku keluar dari toilet hanya satu, "Maaf."
Aku membuang napas berat kuat-kuat, menyingkirkannya dari ambang pintu untuk mencuci tangan, "Ini nggak akan berhasil," kataku di cermin.
"Aku juga sempat mikir begitu, tapi papaku bilang dia akan bekerja sama."
"Bekerja sama gimana? Aku nggak mau nambahin kekacauan ini dengan bohong sama orang tuaku, ya. Lagian, mau bohong apa, bilang kalau dia ibumu, bukan ayahmu? Lalu kalau berhasil, memangnya suatu hari bapakku nggak akan tahu? Ini sama aja kayak aku pulang tanpa penjelasan apa-apa. Mungkin malah lebih baik kalau aku bilang ke bapak bahwa anak ini nggak ada ayahnya. Siapa tahu dia percaya kalau aku bikin-bikin alasan."
"Alasan macam apa? Dihamilin jin waktu kamu kesurupan?" semprotnya.
"Jangan sembarangan kamu," aku marah. "Bapakku mungkin orang Jawa, tapi dia berpendidikan dan punya agama. Nggak semua orang jawa nglenik!"
Yudha lebih dulu merebut tanganku sebelum emosiku tak terkendali, "Dengar, Rani. Aku nggak mencoba nyelametin siapapun, aku nggak di sini karena ingin nyelametin kamu dari bapakmu. Aku bisa aja nggak peduli, Ran.
"Tapi, aku nggak mau nggak jadi bagian buat hidup anak yang ada di kandunganmu karena aku bapaknya. Dan seperti ini lah kehidupanku. Aku nggak mau ada rahasia di antara kita. Kamu terima atau enggak, aku akan ke Jogja sama kamu. Kalau perlu, bapakmu nggak perlu tahu siapa bapakku! Dia toh bukan ayah kandungku, kan? Kalau kamu nggak mau ... it's okay ... it's okay ... aku akan berembuk dengan Jonah bagaimana baiknya nanti."
Setelah dia ngomong begitu, aku agak kaleman dikit. Bukan, bukannya aku setuju aja dengan idenya, tapi aku jadi kepikiran hal lain. "Apa karena ini cewek-cewekmu mutusin kamu? Karena Jonah waria?"
Pengangan Yudha di tanganku melonggar.
"Ada lagi yang nggak kamu bilang ke aku? Lipstik di dasbormu itu ... punya dia, kan?"
Nggak ada jawaban.
"Kamu juga kayak dia?"
"Enggak! Enggak lah! Kalau aku kayak dia, aku nggak akan nidurin kamu, gila apa?!"
"Terus kenapa lipstik itu ada di sana? Kenapa kamu nggak bisa kerja kalau dagumu nggak bersih? Kenapa, Yud! Katamu nggak ada rahasia?!"
"Oke ... oke ... aku juga nggak berniat ngerahasiaiin ini terus-terusan, kamu kubawa ke sini biar tahu semuanya."
"Oke. Jelasin."
"Aku ... aku ..."—jeda—"aku maskot di sini," pendeknya.
Pelan. Pelan sekali.
"Apa?"
"Aku dress up di sini. Oke?" terangnya lagi dengan ekspresi tertekan. "Menjelang tengah malam, dua kali dalam seminggu, aku dan Jonah keluar dengan busana perempuan."
Astaga ... aku lemas. Terhuyung sampai punggungku menabrak dinding.
"Dan aku udah melakukannya sejak umurku delapan belas tahun, tapi demi Tuhan aku nggak ngapa-ngapain!"
"Begitu caramu nyari nafkah?"
"Begitu cara tempat ini menarik pelanggannya. Aku dan papaku punya website di internet tentang tempat ini. Hanya bisa diakses oleh orang yang berlangganan dan mereka lah pelanggan terbatas yang kumaksud."
"Itu prostitusi terselubung?"
"Ngawur! Bukan! Kontennya benar-benar tentang Kafe Mama, nggak ada yang lain. Kalaupun mereka menemukan pasangan di sini, bukan lantas karena kami sengaja bikin ajang begituan. Ini murni pekerjaan."
"Kenapa kamu nggak kerja aja kayak orang lain?"
"Aku akan coba."
"Apa?"
"Aku akan coba. Meskipun aku sangat nggak suka kerja kantoran, aku akan cari cara lain kalau kamu nggak mau aku tetap kerja seperti ini."
"Kalau semudah itu, kenapa waktu itu kamu bilang cewekmu nggak terima caramu cari nafkah? Kamu pasti selalu ngasih alasan ini ke mereka, tapi nggak kunjung kamu wujudkan, kan? Makanya mereka ninggalin kamu?"
"Itu nggak benar, Ran. Memang aku sudah berkali-kali ditinggalin karena mereka nggak mau ngerti. Mereka sama kayak kamu, nggak mau terima karena papaku waria. Tapi selama ini aku nggak pernah janji begini. Kamu lain, Ran. Kamu ibu dari anakku. Kamu mungkin satu-satunya kesempatanku, Ran."
"Karena aku nggak punya pilihan lain?"
"Kamu pasti akan menyukaiku," tukasnya yakin. "Kamu nggak punya pilihan, iya, anggap aja aku memanfaatkan momen ini. Tapi nanti ... aku yakin kamu NGGAK MAU punya pilihan lain."
"Jangan terlalu yakin, aku belum mutusin apa-apa."
"Kata orang, laki-laki itu menang karena bisa memilih, sedangkan perempuan menang karena mereka bebas menolak. Aku akan ngejaga dan ngerawat kamu baik-baik, Ran, sampai kamu nggak bisa nolak aku lagi. Aku akan bikin hidupmu nggak berarti tanpaku."
"Kamu cuma mau jadi ayah bayi ini. Sama kayak dia ke kamu dulu!"
"Aku bukan dia, Ran. Lagian, memang itu benihku. Aku memang bapaknya dan seperti yang kubilang di awal, aku nggak ada di kamarmu karena kebetulan. Aku yang minta. Aku udah milih kamu."
Tuh, kan. Dia tuh selalu gitu. Siapa sih perempuan yang nggak melunak kalau laki-laki ngomong begitu? Aku jadi pengin mendengar lebih. "Kenapa memangnya kamu milih aku?"
"Ya karena kamu tipe-ku."
"Gimana kamu tahu aku tipe-mu? Kamu baru lihat aku sekali, apalagi waktu itu gelap!"
"Siapa bilang aku baru lihat kamu sekali? Waktu aku lihat kamu pertama kali, nggak gelap sama sekali. Terang benderang!"
Apa?
Aku kembali menatap pantulan wajahku yang mengernyit di cermin toilet. Kucengkeram yang bisa kucengkeram. Dengan sigap, Yudha beralih tempat ke balik punggungku, merangkulkan lengannya di bahuku. Matanya terpejam saat hidungnya tertanam di rambutku.
"Yud ...."
"Hm?"
"Apa maksudmu terang benderang?"
"Kamu benar-benar nggak inget?"
"Inget apa?"
"Aku sudah beberapa kali lihat kamu tiap dapat jatah antar pie ke kantor advertising-mu."
Masya Allah ....
Pantesan dia tahu di mana aku bekerja.
Kalau dia pernah ngantar pie ke kantor, itu berarti aku pernah melihatnya juga sebelum ini. Tapi, aku sama sekali nggak bisa mengingat satu kali pun pertemuan dengannya. Satu kali pun. Aku memang terbiasa buru-buru dan mungkin waktu itu aku begitu terbutakan oleh Bima sehingga semua pria di dunia ini terlihat sama saja.
"Aku sudah naksir kamu beberapa saat sebelum kejadian di Gogo waktu itu," imbuhnya. "Tapi, sumpah, aku sama sekali nggak berpikir sejauh ini."
"Astaga Yud ..., kenapa aku ngerasa dipermainkan?"
"Ran!" Yudha mengguncang tubuhku yang sudah lemas seolah tak bertulang. "Kumohon ... sedikitpun aku nggak berniat mempermainkanmu, se-enggak ada harapan-nya aku karena bapakmu mungkin nggak akan setuju melihat kondisi keluargaku jika kamu nggak hamil, aku lebih senang kita berhubungan normal seperti pasangan lain."
Yudha membalik tubuhku, mengendus samar pipiku sebelum mendaratkan permukaan bibirnya yang lembut di bibirku.
"Kasih kami kesempatan, Ran ... bukan karena kamu nggak punya pilihan, tapi karena aku sayang sama kamu."
"Aku nggak sayang sama kamu," kataku. "Belum."
"Nggak apa-apa, nggak semua hubungan harus dimulai dengan alasan yang sama."
Aku menyerah. Tanganku menyelinap ke balik lengannya. Jemarinya merangkum wajahku, kusentuh punggungnya yang pipih dan kurus sebelum bibir kami bertautan. Aku tahu apa artinya sambutanku pada ciumannya. Itu berarti aku menyanggupi mengarungi medan terjal bersamanya. Oh aku tahu benar mulut lelaki begitu mudah mengucap janji. Suatu hari, kami pasti akan berdebat lagi mengenai pekerjaan, atau ayahnya yang jauh lebih nyentrik dari ayahku. Aku masih diliputi keraguan, tapi pernyataan Yudha membuatku tersanjung.
Duh gusti ... apa yang harus kubilang ke bapak kalau urusannya serumit ini?
Saat aku dan Yudha kembali ke ruang ganti, Jonah sedang menerima telepon. Dia berdiri, menyandarkan pantatnya di tepi meja rias. Dia nggak mengacuhkan kedatangan kami karena sibuk bersikap galak dengan entah siapa di telepon. Bulu mata anti badainya berkibar-kibar. Bola mata berlapis soft lens biru langitnya bergerak ke sana-kemari, sesekali dia memutarnya seperti Yudha kalau sedang kumat ganjennya.
Dia bilang begini, "Yikes. Disgusting. Don't talk about your dick, it stinks! Iya, bau busuknya sampai ke mari. Jangan pernah datengin tempat gue lagi kalau lo masih punya pikiran jorok. Gue jijik tahu, enggak? Nggak mau!"
"He talk like human," bisikku, bercanda. Maksudku, aku cukup tahu ada bahasa banci atau waria yang bahkan ada kamusnya sendiri, tapi dia tidak bicara seperti itu.
"Iya, dia udah ngerasa perempuan seutuhnya," jawab Yudha, berbisik juga. "Dia nggak bersikap seperti waria, dia perempuan."
Waktu kami bisik-bisik, Jonah memutus sambungan teleponnya. "Sudah akrab lagi?" tanyanya. Bersidekap. Mungkin dia tersinggung dengan sikapku sebelumnya.
Apa aku harus minta maaf?
"Maharani, namanya cantik sekali, secantik orangnya," dia ngomong gitu. Aku bilang makasih, hampir tanpa suara. "Dari Jogja, ya?"
"Iya."
Jonah mendekat dengan langkah anggun ke arahku. Nggak berani beradu tatap, aku malah memperhatikan blus sutra yang dikenakannya. Cantik sekali, di bagian dadanya menyembul wajar, tapi aku nggak bisa mastiin itu implan atau cuma sumpelan. Dia tampak seperti wanita-wanita yang dibawa para bos ke pesta perusahaan, seperti nyonya-nyonya besar, bukan seperti waria yang sering kutemui di jalanan, atau di berbagai pertunjukan.
Jemarinya yang berkuku merah kinclong menarik sebuah kursi yang kemudian didudukinya tepat di hadapanku. Aku tetap menunduk sampai dia menyentuh dagu dan mendongakkan mukaku. Aku tak bisa mengelak lagi dari bersitatap dengannya.
"Straight ...," decihnya. "Laki-laki, perempuan, sama-sama nggak berani tatap muka sama waria."
Aku mau minta maaf, tapi lidahku kelu.
"It's okay, nggak usah minta maaf. Tante ngerti."
"Tante?" Yudha menyela.
Jonah mengabaikannya, malam mempertegas. "Tante Joana."
Yudha memotong lagi, "Pah ... please...."
Dibalas dengusan, "Okay ... fine. Secara biologis ... aku ini Om-nya. Jadi yang lebih mendekati sebenernya aku tantenya, kan?"
Aku nggak mudeng.
"Orang yang ngehamilin ibunya itu kakak sepupuku. Dia minggat entah kemana kayak pengecut rendahan, nggak ada bedanya sama perempuan yang ngelahirin dia."
"Aku belum nyerita soal itu juga," Yudha memijat keningnya.
"Oh belum?" Jonah mengikih. "Ya udahlah ... kamu nanti tanya dia aja soal riwayat keluarganya, bisa, kan?"
"Katanya lo yang mau jelasin?" Yudha menyambar.
"Heh! Nggak sembarangan ya kamu ngomong sama papa!"
"Oh ... come on ... papa bikin dia bingung dan makin nggak percaya sama gue."
"Okay okay!!!" salak Jonah dengan suara laki-laki. "Ya Tuhan ... ngebesarin anak laki-laki susahnya minta ampun!"
"Jadi kalian ... nggak sepenuhnya asing satu sama lain?" aku memberanikan diri membuka mulut.
"Enggak," jawab Jonah cepat. "Mamanya Yudha pacaran sama kakak sepupu jauhku, hamil, kakak sepupuku kabur. Waktu itu aku belum jadi begini banget,"—tertawa—"jadi aku propose dia asal dia nggak gugurin kandungannya. Aku nikahin, habis itu kalau dia mau pergi, pergi aja. Syukurlah dia pergi beneran!"
"Aku nggak bisa berhubungan dengan ayah kandungku karena selain dia pergi, anggota keluarga orang ini nggak ada yang mau punya hubungan apapun sama dia," Yudha menambahkan sambil mengarahkan dagu ke arah Jonah.
"Sampai dia tujuh tahun, dia manggil aku mama," Jonah menyabet lenganku seiring tawanya yang berderai. "Oh ya ampun... waktu itu dia pikir semua orang punya penis! Waktu dia lihat anak perempuan tetangga lari telanjang habis dimandiin ibunya, dia menjerit dan ngadu ke aku, katanya si Tia tititnya hilang dipotong ibunya!"
Aku ikutan ketawa, sementara Yudha hanya meringis getir menahan malu.
"Kamu nggak berencana ngegugurin bayi itu kan, Rani?" tanya Jonah serius.
"Nggak."
"That's good," katanya. "Ada perempuan-perempuan kayak aku yang pengin banget punya anak, tapi nggak bisa."
Bola mataku bergerak nggak fokus, masih belum bisa menerima saat dia menyebut dirinya perempuan.
"Aku perempuan," tegasnya. "Sama kayak kamu."
Aku memaksakan senyuman.
"Meski aku nggak pernah punya keinginan berhubungan dengan laki-laki," tambahnya.
"Dia aseksual."
Aseksual? Apa lagi itu? Bukannya kalau banci, berarti dia homoseks?
"Dia nggak ngerti," Jonah menyuarakan ekspresi wajahku. "Iya, kan? Ngerti aseksual?"
Yudha menyela duluan, "Udah aseksual, aromantis pula," katanya, terdengar mencemooh, tapi senyum miringnya menyiratkan bahwa dia sedang tidak serius mengejek. "Aseksual itu ... dia nggak punya keinginan berhubungan seksual, dia jijik kalau udah digodain cowok-cowok. Kayak yang barusan kamu denger di telepon itu. Salah satu konten di website-nya ya soal itu, bahwa banci nggak selalu homo. Transgender itu masalah jenis kelamin, bukan masalah orientasi seks."
"Maaf ...," potongku sebelum perutku mual bukan karena bau-bauan, tapi karena kepalaku pusing nggak bisa ngikutin arah pembicaraan mereka. "Pelan-pelan."
"Oh udahlah ... masalahku itu bukan masalahnya. Yang penting sekarang kita bicarain soal bapaknya aja. Kapan kalian ke Jogja?"
"Kayaknya gue nggak bisa ngajak lo, Pap."
"Maksudnya?"
"Bapaknya Rani bisa ngamuk lihat lo begini."
"Oh nggak bisa, gue tetap harus ikut ke Jogja. Kalau nggak besok, ya pas kalian kawin. Gue sudah bilang gue mau kerja sama! Dandan laki-laki juga gue mau. Jangan bilang lo mau kawin tanpa gue, sanggup lo bayar jasa gue ngegedein lo sampai sekarang, hm? Hey Rani ... kamu bilang aja sama aku, bapakmu suka tipe besan kayak gimana, aku wujudkan impiannya!"
Maharani
"Kenapakamu nggak pernah marah?"
Yudha
"Karena aku tahu kamu nggak bermaksud bikin aku marah."
***
Makasih buat saran lagu-lagunya kemarin, honestly it brought back the mood.
Gimana?
Do you still like Yudha setelah tahu apa yang dia kerjain buat menarik pengunjung pub-nya? What you think about his father? Dia nggak akan muncul sebanyak bapaknya Rani, sih, tapi dia cukup protektif sama Yudha, lho.
Last but not least at all, don't forget to vote and comment, pleaseee ... muach!
Kin
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top