BAB 9: Darinya yang Pertama

Bismillahirrahmanirrahim

~.~

“Setiap orang memerlukan jeda untuk sendiri, memintal waktu seorang. Hingga dia bisa perlahan menyadari, apa yang kurang dalam hidup sebagai hamba-Nya.”

~.~

“Cepetan, La! Si Gladys udah karatan tuh nunggu di bawah.”

“Bentar,” ucapku pada Meda yang sudah berdiri di ambang pintu.

Sekali lagi, aku menelisik tubuhku dan tersenyum setelah melihat penampilanku yang sudah rapi lewat cermin. Satu buah kitab bahkan sudah menghiasi tangan kiriku. Malam ini kami memang ada ngaji kitab bareng kyai Akhyar di masjid jami. Gladys yang kelewat rajin itu sudah siap duluan dan nunggu di taman asrama. Tumben banget dia berani sendirian malem-malem gini, malam jumat pula.

“Lama banget dandannya, mau ngelirikin santri cowok, ya!” tuduh Meda.

Aku mencubit pipnya. “Enak aja, gak ada tipeku di sini.”

Masalah cowok adalah salah satu topik yang selalu ingin aku hindari. Mmm … gak tahu kenapa aku merasa kalau usiaku sekarang masih kurang pantes buat ngomongin masalah itu. Masih panjang, dan masih banyak hal lain yang akan aku temukan di luar sana. Tapi meski begitu, bukan berarti juga aku tidak memiliki tipe dalam menentukan lelaki idaman saat ini. Aku rasa setiap perempuan memiliki kriterianya sendiri, bahkan sejak masih kecil.

Dulu, waktu masih bocah, aku selalu menginginkan seorang lelaki berkuda putih yang akan datang persis seperti dalam cerita Princess. Beranjak remaja, keinginanku itu berubah. Aku menginginkan lelaki yang memiliki paras menawan, otak cemerlang dan materi yang selalu bisa mencukupi kebutuhanku. Tapi sekarang ketika beranjak dewasa, lagi-lagi keinginan itu berubah. Semakin dewasa seseorang maka pola pikirnya akan berganti, kan?

Aku masih belum bisa mendeskripsikan lebih detail seperti apa lelaki yang aku inginkan untuk sekarang, semuanya masih tampak abu. Hanya saja dalam gambaranku, aku ingin dia yang serba tahu—dalam artian bukan yang sok tahu—kurang lebih seperti ensiklopedia, lah. Huft, aku memang mikirnya suka kejauhan. Tapi serius, akan asik kalau dia selalu bisa menjawab apa yang aku tanyakan. Apapun itu, baik ilmu pengetahuan maupun agama. Kira-kira ada tidak?

Aku langsung mendahului langkah Meda sebelum dia membalas cubitanku. Lingkungan asrama sudah sangat sepi, sudah dapat dipastikan kami santri yang paling lambat datang ke masjid dan akan mendapatkan shaf terakhir. Yah, kebiasaan deh. Padahal, kajian dengan kyai Akhyar adalah salah satu rutinitas yang aku tunggu-tunggu. Karisma dalam berbicaranya itu loh, apa yang beliau sampaikan selalu bisa masuk ke dalam hati dengan lembut, tanpa menggurui.

“Siapa yang sampai terakhir dia yang ngantri ambil sarapan kita besok pagi!”

“Eh?” Aku gelagapan setelah teriakan Meda barusan mengagetkanku. Meda dan Hafshah sudah lari mendahuluiku yang baru sadar dengan apa yang Meda ucapkan. Haish, mereka mengerjaiku. Dengan langkah cepat menuruni anak tangga, aku mengejar mereka.

“Culametan gak adil, ya!”

Masih dengan tawa yang berderai, Meda berucap, “Terima konsekuensi, Lalaaa.”

Huft, baiklah. Untung aku anak baik.

Di tengah aku mengeluarkan kecepatan penuh untuk mengejar Meda dan Hafshah, tiba-tiba mereka menghentikan langkah dengan mendadak, membuat aku hampir saja terhuyung ke depan jika rem yang kugunakan tidak kuat.

“Kenapa, sih?” omelku.

Meda mengintruksikanku untuk diam lewat jari telunjuk yang dia tempelkan pada bibir, kemudian Hafshah mengodeku lewat tatapan matanya. Di depan tidak jauh dari kami Gladys sedang berbicara dengan seseorang yang tidak begitu jelas jika dilihat dari arah kami berdiri.

“Kayaknya lagi serius, deh.”

Aku dan Meda mengangguk, menyetujui ucapan Hafshah setelah memeperhatikan Gladys yang menunduk.

“Samperin, yuk!”

Semua mengangguk dan langsung melangkah ke arah Gladys.

“Dypsi, kamu lagi sama siap—eh, Ustadzah?” ucapku dengan sebuah cengiran karena tidak menduga jika seseorang yang sedang berbincang dengan Gladys itu adalah ustadzah Benaz.

Yang terjadi selanjutnya adalah omelan Gladys karena protes dengan keleletan kami hingga membuat ustadzah Benaz tertawa. Setelah perdebatan kecil yang terjadi, ustadzah Benaz menyuruh kami untuk segera ke masjid. Namun, saat aku akan mengikuti langkah ketiga sahabatku menuju masjid, ustadzah Benaz menahanku.

“Kamu, kan, tadi ustadzah suruh ambil titipan surat. Sudah ustadzah tunggu sampai akaran, tetep aja gak nongol.”

Aku menepuk jidatku kala ingat. “Oh, iya. Maaf ya Ustadzah, aku lupa.”

Ustadzah Benaz memberengut kesal. “Kebiasaan! Nanti jangan lupa setelah selesai, ambil ke wisma asatidz!”

Nggih, Sesepuh,” ucapku dengan sedikit merundukan badanku seperti orang hormat.

Ustadzah Benaz kembali menyuruhku untuk bergegas menyusul yang lain. Aku menurut, dan ketika sampai pada formasi Geng Micin, aku mendengar Meda bertanya tentang topik obrolan yang barus aja terjadi antara Gladys dan ustadzah Benaz. Kepo sekali!

“Paling minta izin lagi buat ke pasar, kan?” tebakku yang dijawab cibiran oleh Gladys.

Pintu masuk masjid semakin dekat, tapi kita masih terus ngobrol ngalor-ngidul. Gladys bilang, tadi ustadzah Benaz minta dibeliin yang seger-seger, sampai Hafshah memberikan idenya untuk membelikan ustadzah Benaz cendol dawet. Aku spontan menghentikan langkahku saat mendengar dua kata itu.

“Kok, kaya potongan lagu, ya? Bentar-bentar ….”

Aku bisa mendengar Meda mendengus kesal, tapi tidak aku hiraukan karena sekarang otakku sedang mencari lirik yang serasi dengan cendol dawet. Hingga telah aku temukan jawaban dari lagu itu, aku mulai melantunkannya.

Koyo ngene ras—”   

“GAK USAH!”

Nyanyianku seketika terhenti mendengar ucapan Meda, Hafshah dan Gladys yang kompak dengan menggeret tanganku untuk kembali melangkah. Ih, kenapa, sih? Sensi amat kalau aku sudah mulai konser solo.

~.~

Yogyakarta, sabtu malam, pukul 23:24 WIB.

Saat aku menuliskan ini, maka saat itu pula aku memohon dengan segenap harap, semoga surat ini sampai kepadamu. Dengan segala gemuruh ini, aku menulis dengan segala keyakinan yang aku coba bangun, semoga dengan keikhlasan hati, kamu bersedia untuk membaca surat ini.

Rai, sabtu malam ini rasanya sudah tidak bisa lagi aku tahan setiap pertanyaan yang sudah mulai muncul untuk menggiring hatiku dalam menghakimimu. Pada tahun ketiga ini, jeda itu mulai hadir di tengah kita tanpa ingin aku sadari. Setahun ini, aku sudah tidak pernah mendengar lagi kabar darimu, bahkan pesan-pesan yang aku kirim lewat pesan singkat dan email-pun tidak pernah mendapat balasan. Di sini, aku hanya bisa duduk tanpa tahu permasalahan apa yang sedang terjadi padamu. Aku tidak pernah ingin menerka-nerka. Biarkan semesta menjalankan misinya untu mencapai visi, akankah kata kita ada pada guratan takdir masa depan? Atau, kita hanya bagian dari bait yang sudah tidak ada lagi kata lanjut untuk menyambung. Yang harus tetap kamu ingat, aku masih tetap setia di sudut kota ini, menantimu dalam ketidak pastian untuk kembali menggenggammu

Rai, semoga pradugaku ini salah. Tidak pernah ada tembok yang sengaja kamu bangun di tengah jarak yang sudah ada di antara kita. Semoga janji-janji yang pernah terucap dulu lebih kental dan kekal. Aku tidak pernah menuntutmu dalam sebuah janji. Yang aku ingin, semoga apa yang telah kita rangkai, tetap kamu jaga dalam keutuhan, hingga Sang Pencipta memberikan restunya lewat semesta.

Malam ini, aku tutup surat ini seiring mengeringnya denting hujan yang semula membasuh bumi. Dengan ditutupnya surat ini, maka secara tidak langsung aku menyampaikan, bahwa rinduku masih memiliki tuan yang sama.

Kamu.

Lintang Samudra.

Tepat saat aku menutup surat ini, di luar hujan turun hingga embunnya membuat jendela yang berada di hadapanku terlihat buram. Surat ini merupakan surat yang dititipkan kepada ustadzah Benaz selaku pembimbingku di sini. Pada alamat yang mengirim, nama teh Raka tercantum. Tapi ternyata setelah aku buka, bukan teh Raka pengirimnya. Mungkin, surat ini datang ke rumah dan karena aku di sini akhirnya teh Raka kirimkan ke sini.

Surat ini hadir membuatku sadar jika selama ini aku telah melupakan sebuah janji konyol yang pernah aku buat. Aku bisa merasa sebuah kegamangan yang tersirat dalam surat ini. Sebuah emosi terasa sangat nyata saat aku baca setiap kalimat yang tertulis. Surat dengan tulisan tangan yang sangat rapi ini sudah berhasil membuat malamku dihinggapi rasa bersalah karena membiarkan setiap harapan selalu mengudara dari seorang pria di masa laluku.

Memori itu juga seketika berkelebat di depan mataku, menyajikan sebuah proyeksi yang menampilkan potongan kejadian yang dulu pernah terjadi. Aku memegang pelipisku yang seketika terasa berdenyut. Dadaku terasa sesak, meski air mata tidak sedikitpun membayang di pelupuk mata.

“Tunggu kak Lintang, ya. Rai mau, kan?”

“Kenapa Rai harus menunggu? Memangnya Kak Lintang mau ke mana?”

Aku yang dulu baru duduk di kelas tiga sekolah menengah pertama, memberikan tatapan bingung pada kak Lintang, lelaki yang siangnya baru saja mendapat berita kelulusanya sebagai siswa sekolah menengah atas.

“Lanjut sekolah. Tapi gak di sini.”

“Kalau gitu, Kak Lintang pergi saja. Kenapa Rai harus menunggu?” tanyaku dengan ketus.

Kak Lintang yang sudah dewasa memberikan senyumannya, seolah sudah merasa terbiasa dengan aku yang memang selalu bersikap ketus. Berteman dengannya sejak kecil, membuat dia selalu bisa mengerti aku, meski aku kerap kali salah mengerti tentang dia. Dia selalu peduli, meski aku selalu masa bodo. Aku sering marah padanya, dan sesering itu pula dia selalu berhasil membuatku kembali berucap, “Iya, Rai maafin,” setiap dia selesai berujar maaf dengan menyogokku melalui sebungkus es krim.

“Karena salah satu alasan kak Lintang pergi itu untuk Rai.”

Aku semakin menyipitkan mataku dengan tangan yang kusedekapkan di depan dadaku. Dengan gerakannya yang luwes, aku lihat dia memasukkan kedua tangannya pada saku jaket yang tengah dia kenakan.

“Kak Lintang harus jadi keren dulu, sebelum nanti melamar anak gadis orang.”

“Masih kecil, ngomongnya lamar-lamaran aja.”

“Kan, aku bilang juga nanti, aku harus keren dulu biar gak malu-maluin nantinya.”

“Memang siapa yang mau Kak Lintang lamar?”

Pembicaraan ini membuatku bingung, hingga hidungku tiba-tiba gatal dan memintaku untuk menggaruknya. Adegan menggaruk hidung itu pula yang membuatku tidak fokus dengan apa jawaban yang kak Lintang berikan selanjutnya. Yang aku dengar hanya kak Lintang yang kembali memberiku pertanyaan.

“Kamu mau kan, Rai, untuk nunggu aku?”

Hari yang sudah mulai larut, memberikan nuansa yang semakin hening untukku. Jemariku sudah mulai bergerak abstrak karena ketakutan sudah mulai hadir. Maksud hati ingin segera menghentikan pembicaraan yang terjadi di depan rumah abah, aku segera mengangguk untuk memberikan jawaban atas pertanyaan yang kak Lintang lontarkan.

Senyum yang menyerupai purnama malam ini hinggap di bibirnya. Aku sudah tidak bisa fokus sekarang, tapi bukan karena senyum itu. Aku bahkan sama sekali tidak mengerti apa maksud dari senyuman itu. Yang aku pikirkan sekarang, apa yang barusan berkelebatan di belakangku? Ditambah suara-suara cekikikan yang membuat bulu kudukku seketika meremang. Hawa dingin yang berbeda juga sudah mulai menyentil kulitku. Ya, aku takut karena mereka yang tidak orang lihat kini kembali aku lihat.

~.~

Hari jumat adalah salah satu hari yang paling ditunggu-tunggu oleh kebanyakan santri. Pada hari jumat, seluruh santri diperbolehkan untuk menggunakan fasilitas warung telepon atau yang sering disebut wartel untuk menghubungi keluarga di rumah.

Aku mengamati sekitar, banyak wajah-wajah yang sangat antusias menunggu meski antrian mengular. Aku tahu, biar bagaimanapun berkirim kabar adalah salah satu hal yang sangat ditunggu. Melepaskan rindu walau hanya hitungan menit adalah sesuatu yang selalu menjadi penyemangat dalam menjalani hari seminggu penuh ini. Tidak jarang juga, aku melihat wajah kesal beberapa santri saat keluar dari sebuah bilik yang sama sekali belum pernah aku masuki. Mereka kebanyakan kesal karena belum puas mengobrol dengan orangtua tapi waktunya sudah habis.

Tidak mudah juga untuk mendapatkan fasilitas ini, setiap santri harus mendapatkan izin dulu dari sekretariat yang bertugas. Hal itu pula yang sering membuatku mendapat pertanyaan, “Syahlaa, kamu gak mau minta izin buat telepon orangtua kamu juga?”

Aku hanya bisa membalasnya dengan gelengan dan berucap, “Tidak Ustadzah, lain waktu saja.”

Percaya atau tidak, selama ini aku hanya menjadi tim hore ketika Meda bertelepon ria dengan orangtuanya. Sesekali pula aku request makanan ketika sahabatku itu tengah mengabsen apa saja yang ingin dikirimkan dari orangtuanya.

“Culametan, jangan lupa orek tempe, buah-buahan juga, cemilan yang manis, sama—”

“Lalaaa diam dulu! Aku belum selesai menyebutkan pesananku!” omelnya karena kesal aku yang terus berceloteh dari luar bilik yang tidak dia tutup. Pipinya itu sudah menggelembung, persis ikan buntal yang sangat sensitif jika mendapat ancaman.

Aku hanya membalasnya dengan sebuah cengiran. Di sampingku, Gladys dan Hafshah juga sedang cekikikan melihat reaksi Meda. Selain aku, yang sama sekali tidak pernah masuk ke dalam ruang bilik itu juga Gladys. Aku tidak tahu alasannya, dia juga tidak pernah bercerita. Jadi, ya sudah, aku tidak punya hak untuk bertanya lebih jauh. Meski hubungan antara kami berempat sudah sangat lengket seperti saudara, tetap saja aku memahami batasan-batasan yang tidak memperbolehkanku terlalu jauh masuk ke dalam dunia mereka.

Sebenarnya ucapanku pada Meda beberapa saat lalu hanya bercanda. Sengaja untuk menghibur dua sahabatku—Gladys dan Hafshah—yang nampaknya sedikit terlihat sedih kala melihat teman-teman yang lain bertelepon dengan keluarganya. Ya, meski aku tahu mereka mencoba untuk menutupi itu semua.

Sama seperti mereka, aku juga kadang kangen sama teh Raka, juga bapa. Tapi sampai saat ini, aku masih merasa belum baik-baik saja jika harus menghubungi mereka. Bahkan setiap pergantian semester, aku tidak pernah pulang. Semenjak kepergianku kala itu, belum pernah sekalipun aku langkahkan kakiku untuk pulang.

Bukannya aku siput lupa cangkangnya. Tapi, bukankah aku pernah bilang, suatu saat nanti juga aku akan pulang. Bukan untuk saat ini. Nanti, setelah aku bisa pulang dengan sepotong hati baru yang sudah tidak ada lagi segala macam penyakit hati di dalamnya.

~.~

Kalian gak ngerasa rancu kan pas bagian yang aku italic? Itu maksudnya Syahlaa flashback percakapannya sama Lintang dulu.

Eh, Lintang? Siapa dia? Hihiw!

Ngemeng-ngemeng, sudah ada yang nemu jawaban buat teka-teki  nomor wahid? Coba tuliskan terkaan kalian!

Ketjup jauh💕
FinaSundari

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top