BAB 7: Bismillahirrahmanirrahim

Bismillahirrahmanirrahim

~.~

Dikarenakan aku nulisnya ngebut sambil ngantuk, untung aja gak nubruk bantal terus pelor. Jadi, aku minta kesediaan kalian untuk selalu awasi typo, dan langsung ingatkan aku jika ada kekeliruan yang terdapat dalam bab ini.

Selamat membaca.

~.~

Sesaat sebelum upacara hari senin dimulai, aku membenarkan terlebih dahulu topi berlambang anggota PMR yang kukenakan sebelum memulai sikap sempurna. Lencana di lengan sebelah kanan bertuliskan wakil ketua, dan itu cukup menginformasikan apa posisiku di ekskul ini. Senin kali ini, aku kebagian tugas jaga sesuai dengan jadwal yang sudah diberikan oleh koordinator sie upacara.

Cukup sedih jika mengingat, sebentar lagi kami yang sudah kelas dua belas harus lengser dan tidak aktif lagi dalam ekskul. Pasti nanti akan rindu saat-saat kumpul dan bertugas. Terlebih jika mengintrogasi siswa yang pura-pura sakit hanya demi berteduh dari teriknya mentari pagi ketika upacara. Harusnya mereka tidak mengeluh, toh matahari pagi sangat bagus untuk kesehatan tubuh.

Sembari mendengarkan amanat yang tengah disampaikan pembina upacara, mataku tetap awas dalam mengamati setiap barisan yang ada dalam jangkauanku. Hingga satu titik menarik atensiku, satu siswa memutar tubuhnya dan berjongkok. Aku segera bersiap dan berbalik kanan.

“Tandu, Yas,” ucapku pada Tyas yang juga bertugas tidak jauh dari tempatku berdiri.

Kami langsung membawa tandu dan menghampiri siswa yang masih berjongkok dengan wajah pucatnya.

“Masih bisa jalan?”

Dia menggeleng, membuatku dan Tyas dengan sigap membantunya untuk rebahan di atas tandu. Dalam hitungan ketiga, aku dan Tyas mengangkat tandunya dan segera membawa ke ruangan UKS. Jika di sekolah biasa, mungkin hal seperti ini akan dilakukan oleh laki-laki. Tapi tidak di sini, semuanya tetap memiliki batasan yang memang harus didirikan.

Sampai di UKS, kami kembali membantunya berbaring. Tubuhnya seperti sangat lemah dengan wajah yang sudah pias. Tangannya bahkan tremor. Satu yang masih kusyukuri, dia masih bisa menjaga kesadarannya.

“Apa yang kamu rasakan … Yuli?” tanyaku setelah melirik nama yang tertera di seragamnya.

“Lemes, Mbak.”

“Memangnya kamu tadi pagi tidak ikut sarapan?”

Yuli hanya bisa menggeleng lemah, membuatku sedikit mengerti dengan apa yang terjadi. Perlahan aku merogoh kantong rokku. Di dalam kantong rokku ada satu permen bubble dan satu permen kecup yang memang hampir tidak pernah absen dari kantongku. Aku buka permen kecup itu, kemudian aku asongkan kepada Yuli.

Sepengamatanku, Yuli kekurangan energi karena tidak ikut sarapan tadi pagi. Dan salah satu alternatifnya agar energi dalam tubuhnya tetap terjaga adalah dengan memberikan makanan yang mengandung glukosa karena glukosa itu yang dapat dipecah dengan mudah menjadi energi. Biasanya glukosa tersebut bisa didapatkan dari serealia, umbi-umbian dan beberapa makanan lainnya. Tapi, jika sedang dalam keadaan genting seperti ini, permen menjadi salah satu alternatif yang bisa digunakan.

Setelah memastikan Yuli mendapatkan penanganan lebih lanjut dari anggota yang bertugas untuk jaga ruang UKS, aku memilih pamit untuk kembali ke pinggir lapangan. Sebelum kembali ke pinggir lapangan, aku melihat seorang siswa yang dipapah masuk. Dia adik kelas, kalau tidak salah namanya Nadiya. Aku tahu namanya karena waktu itu Hafshah pernah bilang jika Nadiya pernah satu kamar dengan dia dan Meda dulu, sebelum aku dan Gladys masuk.

“Kenapa?” tanyaku sekedar basa-basi.

Nadiya malah menjawab sembari memalingkan mukannya dengan sinis, membuatku kesal.

“Nyeri haid.”

Ish, aku semakin yakin untuk tidak akan bertanya pada orang ini lagi.

Tyas menyenggol lenganku, mengajakku untuk kembali melanjutkan langkah kami. Mungkin, Tyas sadar akan perubahan raut mukaku.  Sedikitnya, Tyas ini sudah mengenalku dengan baik. Kami satu angkatan hanya berbeda kelas.

“Istirahat menjelang zuhur jadi kumpul di ruangan ekskul kan, La?”

Hmmm. Bu Resi tadi sebelum upacara bilang lagi,” jawabku.

Bu Resi merupakan guru kimia yang bertugas sebagai pembina ekskul PMR. Bukan hanya bu Resi, ada juga pak Tio yang merupakan guru biologi.

Istirahat nanti, rencananya ketua, wakil ketua, masing-masing koordinator sie dengan pembina akan mendiskusikan tentang ekskul exhibition yang bertujuan untuk menarik minat siswa baru untuk bergabung. Acara ini juga menjadi salah satu acara yang paling ditunggu-tunggu oleh para siswa, karena pada acara inilah biasanya masing-masing ekskul akan memamerkan prestasi-prestasinya.

~.~

Aku mengembuskan napasku lewat mulut dengan kencang ke arah ujung kerudung atasku, membuatnya sedikit bergoyang. Masih ada waktu sebelum adzan zuhur karena memang diskusi kami tidak terlalu lama, aku lebih memilih untuk melangkahkan kakiku lebar-lebar menuju kamar asrama.

Dengan berjalan rusuh, aku menggerutu dalam hati. diskusi barusan terjadi sedikit perdebatan antara aku dan Azri—ketua PMR. Bukan hanya kali ini saja, sih. Beberapa kali kami memang selalu berselisih pendapat. Meski ujung-ujungnya, kita sama-sama harus menekan ego masing-masing demi keberhasilan bersama.

Tapi tetap saja, Azri itu irit ngomong tapi sekali ngomong selalu terdengar menyebalkan. Ah, apalagi dengan mukannya yang kadang tengil itu. Haish, mood-ku tambah anjlok.

Ketika aku sampai di kamar, kulihat Hafshah yang tengah merebahkan dirinya di ranjang. Aku duduk di atas ranjang Gladys karena males manjat ke ranjang atas dengan bertanya, “Kenapa Haf?”

Hafshah menjawab dengan masih memejamkan matanya, “Kepalaku pusing habis belajar ekonomi.”

Aku berdecak pelan, kirain kenapa.

Dengan sekali hentakan, aku merebahkan diriku di atas ranjang Gladys. Seperti biasa, sangat rapi. Menetralkan deru napasku yang tadi sempat memburu karena kesal.

Berulang kali pula aku mengganti gaya rebahanku yang terasa tidak nyaman, mungkin karena seragam yang aku kenakan. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk mendudukkan tubuhku.

“Kalem, La. Sing selow, sing santuy,” gumamku.

Aku menjaga pikiranku agar tidak terus terpikir tentang kejadian di ruang ekskul tadi. Sepertinya aku butuh sesuatu untuk mengalihkan atensiku. Salah satu hal buruk yang aku miliki adalah terlalu memikirkan apa yang seharusnya tidak perlu lagi untuk dipikir.

“Buku abah,” ucapku kala teringat buku yang kemarin hampir saja aku buka. Kali ini sepertinya waktu yang tepat. Keadaan kamar sedang sepi. Setidaknya, aku masih memiliki sedikit waktu lagi sebelum Meda, Gladys dan Eren datang untuk mengambil peralatan shalat mereka.

Namun, saat aku berdiri, kulihat seprei Gladys sudah kusut dan salah satu ujungnya terlepas. Aku menepuk dahiku, ini pasti gara-gara rebahanku yang gak kalem. Dengan segera aku merapikannya sebelum omelan Gladys kembali kudapat. Setidaknya, meski tidak serapi pada awal, aku sudah berusaha tanggungjawab merapikannya lagi. Semoga, Gladys kali ini sedang dalam suasana hati yang baik.

Setelah memastikan ranjang Gladys aman, aku langsung melangkah menuju rak buku. Mengambil buku coklat yang berada di balik buku anatomi dan fisiologi yang ditulis oleh Koes Irianto.

Meski sudah berulang kali memegang buku pemberian abah ini, tapi rasa deg-degannya tetap sama. Buku ini seperti memberikan aura tersendiri yang menggelitik. Dengan mengucap bismillah, aku membuka talinya.

Lembar pertama dan lembar kedua, aku sudah sangat hapal isinya. Lembar pertama bertuliskan namaku, dan lembar kedua bertuliskan Darul Akhyar yang abah tulis menggunakan aksara sunda. Sementara lembar ketiga, aku buka perdana hari ini. Di situ, kembali aku temukan tulisan tangan abah. Kali ini, dengan kalimat yang lebih panjang.

Assalamualaikum, Neng. Ketika kamu buka lembar ketiga ini, itu berarti kamu sudah memulai langkah yang pantang untuk kamu kembali mundur. Sesuatu yang sudah dimulai, maka harus memiliki akhir sebagai puncak, bukan gagal karena memilih berbalik arah. Sesuatu yang berupa tanya, juga harus memiliki jalan untuk menemui jawab, bukan malah kamu gantungkan sebagai dongeng yang tak berarah. Neng, siap untuk memulai? Berarti kamu juga harus siap untuk mencapai akhir. Siap untuk mendapatkan tanya? Berarti kamu juga harus siap menemui jawab. Semoga Allah selalu meridhai.

Tanganku bergetar, mataku sudah berkaca. Membaca pesan abah aku jadi ragu untuk membuka lembar keempat, tapi jika aku hentikan berarti aku sudah gagal karena berbalik arah. Berulangkali aku mengembuskan napas berat, hidungku bahkan sampai bergemerisik. Dengan kembali memantapkan hati, aku membuka lembar keempat. Kali ini aku kembali dibuat bingung seperti saat aku membuka lembar kedua satu tahun yang lalu.

Bukan, kali ini bukan lagi tulisan beraksara sunda yang aku temukan. Tapi, kini aku malah menemukan deretan kotak persis teka-teki silang dengan tiga mendatar dan dua menurun. Aku memegang keningku yang seketika pening. Satu hal yang aku sadari, bahwa saat aku membuka lembar keempat ini, maka deretan kotak itu telah sukses menarikku ke dalam permainannya.

Dulu, abah juga sering mengajakku bermain teka-teki seperti ini. Tapi meski begitu, kali ini terasa sangat berbeda. Jauh sekali perbedaannya. Teka-teki kali ini, seakan abah ingin memberikan amanatnya lewat kotak-kotak yang tersaji, bukan hanya sebuah pengetahuan seperti dulu. Aku sangat mengenal abah, beliau tidak mungkin memberikan sesuatu yang tidak mempunyai sebab yang kuat. Hal itu juga berhasil menyuntikkan semangat dalam diriku, aku harus menyelesaikan lima teka-teki ini. haula wa quwwata illā billāhil 'aliyyil azhīmi. Dengan izin Allah aku yakin aku bisa.

Tekad itu terus menguat hingga aku tidak memiliki keraguan lagi untuk membuka lembar kelima. Pada lembar itu, aku mendapatkan sebuah tanya pertama yang harus menemui jawab. Sebuah jawab yang terdiri dari lima huruf.

Jika kamu menyelami lautan, capailah hingga dasarnya agar kamu temukan mutiara yang tersimpan di dalamnya. Jika kamu daki gunung, dakilah hingga puncaknya agar kamu temukan keindahan dari atas megahnya awan.

~.~

Oke, sudah dibuka tanya pertama yang harus menemui jawab. Selamat menerka-nerka ;)

Ketjup jauh💕
FinaSundari

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top