BAB 4: Masygul
Bismillahirrahmanirrahim
~.~
Ini bab terakhir di masa lalu, mulai bab depan kita masuk ke masa sekarang Syahlaa sebagai santri. Kita gabung lagi dengan Geng Micin. Hihiw :)
Biar lebih ngena, boleh sambil diputer lagu di atas.
Sekalian tolong bantu temukan typo, ya. Mataku udah pegel karena lupa gak pake kacamata :(
Selamat membaca.
~.~
"Ketika dewasa, perpecahan yang terjadi bukan hanya karena berebut mainan. Lebih dari itu, perbedaan pola pikir lebih mendominasi hingga mendatangkan sebuah perpecahan."
~.~
Banyak yang berkata, kita harus merasakan terlebih dahulu jatuh agar menghargai setiap perjuangan. Mungkin, jatuhku kini karena telah terlalu jumawa pada takdir, berlakon congkak tanpa mendengarkan nasihat orang.
Teh Raka juga sering bilang, bahwa aku terlalu egois dalam hidup. Bertingkah semaunya dan sulit mendengarkan nasihat. Aku membenarkannya. Tapi, aku melakukan itu bukan tanpa sebab. Aku hanya kesal saat kebanyakan orang terlalu sibuk memberi nasihat tanpa berpikir, bahwa satu buah pengertian lebih berarti ketimbang berbondong-bondong saling mengunggulkan diri dalam mendewasai. Selama ini, hanya abah yang selalu kudengar. Setelah abah pergi ketika aku duduk di kelas delapan sekolah menengah pertama, aku seolah hilang pegangan dan kekosongan itu mulai hadir.
Setelah kegagalan ini, aku sadar jika semuanya bukan soal sebuah usaha semata. Ada hal lain yang lebih utama untuk dilakukan, tapi malah aku lupakan. Seharusnya aku tahu sejak awal, bahwa usaha tanpa doa seakan mendaki langit tanpa ribuan anak tangga. Padahal, anak tangga itulah yang dijadikan sebagai kiasan koneksi kita dengan Allah.
Aku terus menelusupkan diriku pada pelukan teh Raka. Tubuhku perlahan mulai pulih. Teh Raka benar-benar telaten dalam merawatku, memberikan diet yang tepat untuk sakitku.
Tapi khusus malam ini, ketika jam telah menujukkan angka sepuluh malam, aku belum bersiap untuk tidur. Aku juga sengaja menahan teh Raka untuk tetap bersamaku, bahkan memelukku. Sesuatu yang jarang terjadi semenjak kami beranjak dewasa. Biasanya untuk sekedar pelukanpun gengsi. Tapi malam ini, sama sekali tidak ada gengsi dalam diriku. Kupeluk erat tubuhnya, mencari sebuah kenyamanan. Kupejamkan mataku, kuresapi setiap rasa yang hadir. Perlahan pula, aku bertanya pada hati, kapan terakhir kali aku memeluk kakak yang telah mengurus segala kebutuhanku selama ini?
Isakan kecil mulai lolos dari bibirku.
"Kamu kenapa?" tanya teh Raka.
Sebisa mungkin aku mengontrol isakanku sebelum menjawab.
"Aku kesel sama diriku sendiri. Aku gagal, Teh. Teh Raka lihat!" ucapku sembari menunjuk rak kaca yang berdiri kokoh di sebelah meja belajarku. Di situ, berjajar dengan rapi piala yang kudapat setiap kali mengikuti lomba.
"Dulu, mama selalu senang ketika aku berhasil. Mama juga bilang kalau mama bangga sama aku. Tapi kali ini." Ucapanku tersendat, bulir air mata kembali merangsek untuk keluar. " Aku sudah gagal. Aku gagal memberikan yang terbaik dan mengecewakan orang-orang yang sudah menaruh ekspektasi tinggi kepadaku."
Terdengar helaan napas teh Raka, sebelum tutur katanya yang lembut kembali menyapa pendengaranku. "Mama akan selalu bangga sama kamu, Dek. Begitupun dengan aku, abah dan bapak. Kamu sudah hebat dengan menjadi diri kamu sendiri. Hanya saja, memang ada sedikit kekeliruan dalam pola pikir kamu."
Aku merenggangkan pelukanku. Kusandarkan tubuhku pada kepala ranjang, bersiap untuk mendengarkan penjelasannya lebih lanjut.
"Bagian mana yang salah?"
"Cara kamu membahagiakan mama sekarang, itu yang salah."
Aku mengangkat sebelah alisku, sudah menjadi ciri khas saat aku melemparkan sebuah ketidak mengertian pada lawan bicaraku.
"Kamu tahu, di dunia ini hanya akan ada tiga hal yang tidak akan terputus meski seseorang telah meninggal. Yang pertama, ilmu yang mendatangkan manfaat tanpa kemudharatan. Kedua, amal jariyah. Dan yang terakhir adalah doa anak yang shalih."
Teh Raka memegang kedua bahuku, meremasnya pelan. Aku bisa artikan, bahwa remasannya itu sebagai keseriusan yang tersirat dalam ucapannya.
"Kamu bisa membahagiakan mama dengan caramu sendiri, tapi kamu juga harus tetap ingat bahwa yang paling mama butuhkan sekarang adalah doa kita, anak-anaknya. Buat mama bangga karena telah berhasil mendidik kita walau hanya sebentar."
Mataku kembali berkaca. Apa yang telah aku beri untuk mama selama ini? Tidak ada.
"Ucapan Teh Raka selalu mengandung belati yang siap menghunus jantungku," ucapku dengan dramatis. Sontak hal tersebut mengundang kekehan darinya. Kami sama-sama saling menetralkan aliran darah yang seakan berdesir hebat hingga ubun-ubun. Dialog malam ini, sepertinya akan sedikit mengubah pola pikirku.
"Dek, kamu sudah ngambil keputusan tentang tawaran bapak kemarin?"
Aku menggelengkan kepalaku. Kemarin, bapak datang dengan memberikan tawaran untuk aku dan teh Raka agar kembali tinggal bersama bapak dan ibu Hida-istri bapak. Aku belum memiliki keputusan karena memang dari dulu, hal inilah yang aku hindari. Bapak sudah berulang kali mengajak kami, tapi berulang kali juga aku tolak.
Namun kali ini, sepertinya ada hal lain yang memerintahkanku untuk tidak terlalu keras dengan keputusan yang selalu aku ambil. Malam ini pula, aku melihat pengharapan yang sangat besar pada bola mata teh Raka.
"Bagaimana dengan jawaban Teteh?" tanyaku balik.
Bulan sabit terukir pada bibirnya yang ranum. Aku sebenarnya tahu apa jawaban yang akan teh Raka katakan. Hanya saja, aku ingin kembali mendengar dari tutur kata teh Raka sendiri.
"Jawabanku tetap sama, Dek. Anak mana yang ingin hidup terpisah dari orangtuanya? Selagi belum menikah, aku ingin kembali bersama bapak."
Aku tersenyum mengerti, karena itulah yang dari dulu teh Raka inginkan namun terhalang olehku. Aku benar-benar egois bukan?
"Aku tahu, dan kali ini aku akan mencoba untuk mengerti."
Binar itu semakin menyala dengan hangat pada kedua bola matanya. Dengan bibir bergetar, teh Raka berucap, "Berarti kamu setuju kita kembali ke bapak?"
Aku memutuskan kontak mata kami, kutundukkan kepalaku sembari memainkan jemariku.
"Maaf, Teh. Aku akan kasih tahu keputusanku besok. Aku capek, pengen tidur."
Dengan segera aku tarik selimutku, kurebahkan tubuhku dengan membelakangi teh Raka. Aku hanya tidak ingin kembali melihat kekecewaan pada diri teh Raka. Biarkan malam ini aku bermonolog untuk menentukan langkah apa yang akan kuambil sebagai garis tengah. Sebuah keputusan yang tidak mengecewakan teh Raka, juga menyelamatkan hatiku.
"Aku tunggu besok ya, Dek. Sekarang kamu istirahat, aku kembali ke kamarku."
Setelah bunyi handle pintu, aku segera menenggelamkan kepalaku pada bantal. Lagi-lagi aku terisak, malam ini aku benar-benar sangat cengeng. Dikit-dikit nangis, dikit-dikit baper, khas sekali sebagai perempuan yang selalu perasa.
Abah dulu selalu menasihatiku dengan teh Raka. Abah bilang bahwa kami harus terus menjaga silih asih, silih asah dan silih asuh dalam sebuah persaudaraan. Namun, ketika beranjak dewasa memang sulit untuk mempertahankannya. Ketika ego sama-sama tinggi, perbedaan pola pikir dalam menentukan sebuah sikap kerap sekali lebih mendominasi.
Malam ini aku benar-benar kembali nokturnal. Rasanya ingin segera tertidur untuk melupakan sebentar masalah yang ada, tapi aku tetap tidak bisa. Permintaan bapak yang meminta kami untuk kembali bersama seakan terus meneror pikiranku.
Huft. Akhirnya kududukkan kembali tubuhku, kuusap wajahku dengan kasar sebelum mencepol rambut sebahuku. Aku lebih memilih untuk duduk di kursi belajar, menghidupkan lampu belajar dan mulai menelusuri rak buku tempatku menaruh berbagai macam bacaan.
Namun, tepat pada baris rak buku kedua, pandanganku terpaku pada sebuah buku coklat tua yang sudah lama sekali tidak menarik atensiku. Seketika itu pula, perkataan abah saat memberikan buku itu kembali terputar tanpa dikomando.
"Neng, buka buku ini saat kamu merasa kekosongan di hatimu, dan kamu sudah tidak memiliki arah."
Otakku mencerna dengan cepat, menyatukan kepingan-kepingan yang rancu hingga menemukan sebuah titik terang. Bukankah kini aku juga sedang tidak memiliki arah, bingung harus mengambil keputusan apa, dan kini kekosonganpun mulai hadir.
Apa ini saatnya aku membuka buku itu? Apa saat ini adalah timing yang dimaksud abah untuk aku membuka buku pemberiannya?
Hatiku ragu, tapi rasa penasaran mulai mendominasi. Terlebih dengan perkataan abah yang menjadi syarat.
Aku sudah bertekad, tidak lagi akan ragu untuk membuka buku itu. Meski dengan tangan yang mendadak tremor, aku meraihnya. Kubuka ikatan tali yang melingkar sebelum membuka lembar pertama pada buku tersebut.
Setelah berulang kali meraup oksigen untuk memenuhi rongga dadaku, akhirnya aku buka lembar pertama. Di situ, terukir dengan sangat cantik namaku, Raina Syahlaa. Aku tersenyum, kala yakin bahwa itu adalah tulisan tangan abah.
Tidak puas dengan membuka lembar pertama, tanganku mulai membuka lembar kedua. Namun, saat lembar kedua itu terbuka, seketika mataku memicing, kebingungan seketika mulai mendominasi otakku.
Bagaimana tidak bingung, pada lembar kedua itu abah menuliskan dua buah kata dengan menggunakan aksara sunda.
Kutaruh buku itu dengan keadaan masih terbuka di atas meja, tanganku refleks menepuk dahiku. Bagaimana ini? Meski aku sudah pernah diajari aksara sunda oleh abah, tapi semua itu seakan menguar dari otakku dan aku harus menyatukan kembali kepingan ingatan itu. Sungguh menyebalkan.
Walau begitu, aku harus mencoba untuk membacanya. Aku tidak akan terlebih dahulu beranjak pada lembar ketiga disaat aku sendiri belum mengetahui arti dari lembar kedua. Memangnya yakin bisa memahami lembar selanjutnya saat lembar sebelumnyapun belum berhasil untuk dipahami?
Kali ini aku meraih buku catatanku sewaktu kecil, saat di mana dulu abah mengajariku aksara sunda. Abah itu orangnya apik sekali, segala macam hal dia ajarkan. Abah bilang, meskipun aku hidup berbeda zaman dengan beliau, tapi bahasa daerah tetap tidak boleh dilupakan karena itu merupakan warisan yang juga harus dilestarikan.
Dengan usaha yang sangat keras, aku mencoba untuk membacanya. Dengan sabar, huruf demi huruf mulai kutemukan.
"Da ...," ejaku.
Aku menggaruk hidungku yang tiba-tiba gatal dengan berdecak kesal.
"Ra ..., ish bukan!" gerutuku saat salah membacanya. Hidungku terasa semakin gatal saja.
Akhirnya aku memutuskan untuk menuliskan huruf-huruf yang sudah berhasil terlebih dahulu aku terjemahkan pada sebuah kertas, berjaga-jaga jika lupa, sebelum melanjutkan mengartikan huruf selanjutnya.
Hingga aku berhasil menerjemahkan huruf-huruf itu, aku eja kembali tulisan tanganku.
"Da ... rul, Akh ... yar. Darul Akhyar?"
~.~
Pelukan tanda perpisahanku dengan teh Raka terlepas. Bisa kulihat, jejak air mata yang dengan cepat dia hapus. Aku tersenyum dengan hangat, berharap jika senyumanku bisa memberikan kelegaan pada hatinya untuk melepasku.
Setelah mengelus lengan teh Raka, aku beralih pada bapak. Meski tidak ada air mata yang mengalir, namun matanya yang mengembun sudah bisa menjelaskan suasana hatinya saat ini.
"Kamu yakin ingin pergi sendiri, tidak ingin bapak antar?"
Aku mengangguk dengan sangat yakin. Inilah keputusanku, aku telah memenuhi keinginan teh Raka untuk kembali tinggal bersama bapak, tapi tanpa diriku.
Darul Akhyar bagaikan kata kunci yang Allah arahkan lewat buku pemberian abah. Malam itu, setelah berhasil menerjemahkan huruf demi huruf, aku langsung mencari tahu apa maksud dari Darul Akhyar yang abah tuliskan. Dan ternyata, Darul Akhyar merupakan sebuah pesantren yang sudah tersohor di Jawa Tengah. Bahkan, namanya masuk ke dalam jajaran sepuluh pesantren terbaik di provinsinya.
Aku masih belum mengerti apa maksud abah memberikan sinyal itu padaku. Setidaknya, dengan aku pindah ke Darul Akhyar, ada satu rasa bersalahku yang terobati. Dengan aku pergi, teh Raka bisa kembali tinggal bersama bapak. Aku juga ingin memperbaiki diriku, dan mungkin Darul Akhyar adalah tempat yang paling cocok untuk menempaku. Ya, semoga saja.
Awalnya, teh Raka merasa berat dengan keputusan yang aku ambil, begitupun dengan bapak. Tapi, lambat laun mereka mengerti dan akhirnya mengizinkanku. Jadi, setelah semester dua kelas sepuluh ini usai, aku akan melajutkan pendidikanku di SMAIT Darul Akhyar.
Tidak hanya keputusaknku untuk pindah yang mengejutkan bapak, tapi keputusanku untuk pergi sendiri tanpa diantar juga telah sukses membuat bapak geleng-geleng dengan pola pikirku.
"Apa kamu setidak mau itu jika tinggal kembali bersama bapak, hingga kamu memutuskan untuk pergi?"
Suara bapak sedikit serak saat pertanyaan itu dilontarkan. Aku menarik napas hingga suara hidungku bergemerisik. Sebisa mungkin aku tahan agar tangisku tidak pecah.
Aku menunduk sebelum menjawab. "Maaf jika Rai selalu egois dalam mengambil keputusan. Anggap saja, keputusan Rai ini sama seperti keputusan bapak untuk menikahi bu Hida dulu. Tetap bapak ambil kan, meski dulu Rai tidak menyukainya?"
Aku melirik sebentar ke arah wanita yang berada tidak jauh di belakang bapak. Bu Hida balas menatapku dengan air mata yang sudah menetes. Di pangkuannya, terdapat Galuh-putra bapak dengan bu Hida-yang baru berusia tiga tahun tengah terlelap di gendongannya.
Bapak mengangguk. "Bapak paham, inilah konsekuensi yang harus bapak terima atas semua keputusan yang sudah bapak ambil."
Aku memeluk bapak dengan sangat erat. Sebuah isakan akhirnya lolos dari bibirku meski sudah dengan keras kugigit bibir bawahku untuk menahannya.
"Rai sayang sama Bapak. Maaf karena selama ini selalu memendam semua rasa sakit hati Rai. Rai pergi untuk memperbaiki semuanya, Pak. Rai butuh tempat untuk memulihkan apa yang selama ini telah kacau di hati Rai. Tolong ridhai keputusan Rai, Pak. Karena ridha Allah tidak akan Rai dapat jika Rai belum mendapatkan ridha dari Bapak."
Bapak membalas pelukanku tak kalah erat. Isakan kami bahkan saling bersahutan di tengah kebisingan stasiun. Di samping kami, teh Raka juga tak kuasa menahan tangisnya.
"Bapak akan selalu meridhai kamu ke manapun kamu pergi. Semoga Allah senantiasa melindungi kamu. Tanpa kamu minta, ridha dan doa bapak selalu ada buat kamu. Rai, kanyaah (kesayangan) bapak."
Pelukan kami terlepas kala teh Raka memberi tahu kereta yang akan membawaku pergi akan berangkat dalam sepuluh menit lagi.
Aku mengusap air mata dan ingusku dengan selembar tisu yang teh Raka berikan. Waktuku sudah habis, kini saatnya aku pergi, mengembara untuk mencari ketenangan batin yang aku butuhkan dengan lebih mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa.
Kusalimi teh Raka, bapak, dan juga bu Hida. Setelah mengucapkan salam, kugeret koperku untuk memasuki tempat cek in. Kubalikkan tubuhku sekali lagi, kupandangi wajah bapak dan teh Raka yang masih menunjukkan gurat kesedihan. Bapak melambaikan tangannya, begitupun dengan teh Raka. Aku tersenyum untuk mereka, sebuah senyum yang selama ini sangat jarang mereka dapatkan dariku. Kubalas melambaikan tangan, sembari berucap tanpa suara.
"Rai pamit."
Aku pergi. Dan suatu saat nanti, akan kupastikan aku kembali dengan sebuah hati yang baru. Tanpa kekecewaan, kedengkian dan dendam.
~.~
Terjemahan:
Kanyaah: kesayangan.
~.~
Mau ngumpulin sundanese people yang sudah berhasil membaca aksara sunda di atas sebelum lanjut baca ceritanya, coba mana?😚
O iya, tolong koreksi jika aksara sundanya ada kesalahan. Tapi in syaa Allah sudah benar karena aku juga sudah beberapa kali meminta dikoreksi kepada yang lebih paham. Hehe
Ketjup jauh💕
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top