Rumah sakit

Sunyi, hanya suara tetesan air infus yang terhubung ke tangan gadis yang terbaring dengan mata terpejam. Suara napasnya terdengar sangat berat, wajah yang sebelumnya terlihat cantik kini hanya pucat yang terlihat. Tak ada raut apa pun di wajahnya, seakan tengah menikmati kedamaian hatinya dalam tidur. Entahlah, beberapa menit lalu dokter yang memeriksa Alfira baru saja mengatakan jika gadis itu sudah tersadar dari pingsannya, dan kini tengah tertidur karena obat bius yang tadi disuntikan untuk menurunkan demam di badannya yang semakin tinggi. Apa gadis itu tengah bermimpi sesuatu sekarang?

Elvan duduk tepat di samping kanan ranjang Alfira dengan tangan yang masih menggenggam benda pipih milik gadis di depannya. Sudah setengah jam yang lalu ia menghubungi salah satu kontak yang ia sangka sebagai keluarga terdekat Alfira. Namun, tidak ada balasan apa pun dari seberang sana padahal pesan tertulis sudah dibaca penerima. Bahkan, ia berulang kali menelepon juga dan hasilnya nihil, tidak ada jawaban.

Laki-laki itu menghela napasnya, jujur saja ia merasa kasihan, sekaligus merasa bersalah kepada Alfira. Ia tidak menyangka jika tindakan yang ia lakukan ternyata membahayakan nyawa seseorang. Seperti yang dikatakan Alfira, ini semua ulah mantan-mantannya. Ia tak habis pikir mengapa mereka sepertinya tidak ada rasa takut sama sekali jika yang mereka tindas kehilangan nyawanya atau mengalami cacat. Polisi pasti tidak akan tinggal diam, dan ujung-ujungnya ia juga terlibat.

"Sial! Apa keluarga lo ngga ada yang peduli sama sekali?" gumam Elvan kemudian meletakkan ponsel Alfira.

°°°

Tangan mungil gadis itu perlahan bergerak mencoba membangunkan seseorang yang sedang tertidur di sampingnya. Ia merasa seperti tengah menahan pecahan kaca di tenggorokannya, begitu sakit, dan ia membutuhkan setetes air untuk membasuh tenggorokan keringnya.

"Lo udah bangun?" tanya Elvan setelah membuka matanya, laki-laki itu segera duduk dan mengelap ujung bibirnya barang kali ada sesuatu yang ke luar dari mulutnya ketika ia tidur. Ia bahkan tidak tahu sejak kapan ia ikut tertidur di sana.

Elvan mengambil air di samping ranjang seperti yang Alfira tunjukkan. "Mau gue bantuin minum?" ujarnya dengan lembut.

Elvan kemudian membantu Alfira minum setelah mendapat anggukan dari gadis itu. Ia mengambil sedotan dan membersihkannya, setelah itu ia berikan kepada Alfira untuk segera meminumnya.

"Gimana sekarang keadaan lo?"

"Kenapa gue di sini?" tanya Alfira mulai bicara setelah tidak merasakan sakit di tenggorokannya lagi. Setahunya, ia tadi masih berada di sekolah.

"Lo pingsan di sekolahan tadi, dan gue bawa lo ke sini," jawab Elvan singkat.

"Ini rumah sakit apa? Di mana tepatnya?"

"House Safe, ini deket sekolah kita kok."

Elvan mengerutkan keningnya ketika melihat ekspresi Alfira yang terlihat terkejut. "Keluarga lo ... mereka sibuk katanya, nanti segera ke sini." Sebenarnya Elvan tak ingin berbohong. Namun, ia juga merasa tidak enak jika harus mengatakan sejujurnya tentang keluarga Alfira yang terus menolak panggilanya, dan tak peduli tentang pesannya mengabarkan keadaan Alfira.

Alfira memalingkan wajahnya menghadap jendela yang masih terbuka gordennya, terlihat langit malam setelah hujan begitu indah. Ada beberapa bintang di sekitar bulan sabit, sangat indah. Benar saja, sudah hampir mendekati akhir bulan.

"Ngga usah bohong, gue tau kok. Mereka ngga bakal dateng ke sini," ucap Alfira tanpa melihat Elvan. Sorot matanya teduh, seakan sudah pasrah dan tahu dengan apa yang terjadi. "Lagian lo kenapa bawa gue ke rumah sakit gede, pasti biayanya mahal, kan?"

"Gue udah bayar administrasinya."

Alfira sontak menoleh tak percaya. "Duit dari mana lo? Jangan bilang lo minta ke---"

"Duit tabungan gue," sahut Elvan seraya kembali menunduk untuk sedikit memejamkan matanya yang sangat berat. Sudah enam jam ia menunggu Alfira bangun, dan sekarang sudah hampir tengah malam waktu istirahatnya.

"Kapan-kapan gue balikin," lirih Alfira. Ia tahu, ayahnya dan kakaknya pasti tidak akan pernah menginjakkan kakinya ke tempat ini. Apa lagi ia yang kini dirawat di sana.

"Ngomong-ngomong, kenapa keluarga lo ngga ada yang ke sini?" tanya Elvan kembali mengejutkan Alfira.

"Gue kira lo tidur, maafin gue ya nyusahin lo. Untuk kata-kata gue pas di toilet, gue tarik lagi. Semua ini bukan salah lo, ini emang takdir gue si."

"Jawab dulu kenapa keluarga lo?" sela Elvan. Ia termasuk orang yang tidak bisa begitu saja hanyut ketika ada yang mengalihkan topik utamanya.

"Itu urusan pribadi gue."

"Tapi tetep aja, gue kan bakal jadi keluarga lo di masa depan. Masa ngga boleh tau masalah calon istri sendiri," ucap Elvan yang langsung mendapat tatapan mematikan dari Alfira.

Alfira tak tahu sejak kapan ia merasa menjadi semakin dekat dengan Elvan. Atau mungkin itu cuma perasaannya saja, ia mulai bisa berinteraksi dengan Elvan dan rasanya menyenangkan ada seseorang yang bertanya keadaannya.

"Dulu ibu gue mengalami kecelakaan, gue kira ibu gue sudah meninggal langsung di tempat, ternyata masih ada harapan sedikit," ujar Alfira serius, sepertinya ini adalah waktunya ia mengeluarkan semua unek-unek yang terus ia pendam selama ini sendirian. Entah siapa itu yang pertama mendengarkannya. "Ayah gue bawa ibu ke rumah sakit ini, tapi ternyata biayanya sangat mahal. Dalam satu malam, kita harus bayar 10 juta, 6 juta untuk biaya peralatan dan kamar, 4 juta untuk biaya obat-obatan. Ibu gue hampir berhasil ditangani, tapi karna kecerobohan gue, ibu gue gagal ditangani dan meninggal dunia. Ayah gue sama kakak gue sampai sekarang masih benci dan nyalahin gue."

Elvan bingung dengan cerita Alfira yang menurutnya terlalu singkat itu, banyak makna yang tidak bisa langsung ia pahami. "Kecerobohan?"

"Ya intinya masalah biaya, dan orang yang nabrak ibu gue. Udahlah gue ngga mau bahas lebih jauh lagi," ujar Alfira. Ia tidak mau jika nantinya ia menyesal karena terlalu banyak mengungkap tentang kehidupannya, Elvan adalah satu-satunya orang yang entah kenapa ia bisa bercerita nyaman kepadanya.

"Emm ... yaudah deh, lo istirahat lagi aja ya, ngga usah mikir macem-macem dulu. Kalo lo udah mendingan, besok boleh langsung pulang, kok." Ternyata ada banyak masa lalu pahit di kehidupan Alfira, ia sempat merasa jika ia adalah anak yang paling tidak beruntung di dunia ini. Tapi nyatanya, masih ada kehidupan-kehidupan yang lebih sulit di luar sana yang ia tidak ketahui. Alfira gadis yang terkenal sangat pendiam, ternyata ada sebab ia seperti itu.

Elvan bangkit dari duduknya dan menyelimuti Alfira, kemudian duduk menepuk-nepuk pelan tangan gadis itu hingga matanya juga ikut terpejam dengan kepala bertumpuan satu lengannya.

Story novel by alichyeon & heijohns

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top