Pacar?
Setelah Elvan berhasil membuat Alfira mengenakan pakaian baru yang ia belikan, dan berbicara serius perihal perasaan. Keduanya pergi menuju bioskop seperti niat awal. Sebagai kekonsistenan janji Alfira yang bersedia menemani Elvan kemarin.
Elvan membuka layar ponselnya, sudah pukul 16.45 yang artinya mereka harus segera bergegas untuk menuju bioskop, hanya lima belas menit lagi film yang akan mereka tonton segera dimulai. "Ayok, sebelum filmnya dimulai!"
Elvan mencoba kembali menggandeng tangan Alfira untuk menuju ke lantai tiga tempat bioskop di gedung itu. Namun, Alfira langsung menolaknya dan pergi begitu saja mendahului Elvan dengan wajah datar.
Bahkan di dalam bioskop Elvan mulai menggerakan tanganya mencoba untuk kembali memegang tangan gadis yang duduk tepat di sebelah kirinya itu. Belum sempat mengangkat tangannya, langkahnya terhenti ketika melihat Alfira melipat tanganya diatas perut dengan raut wajah cantik gadis itu yang hanya menatap kosong ke depan. Ia terdiam, kemudian mengurungkan niatnya dan fokus hanya menonton film yang sedang diputar.
Disisi lain Alfira merasa geram dengan apa yang telah Elvan lakukan terhadapnya, ia terus memikirkan apa yang barusan terjadi di toko baju. Ia masih memikirkan tentang Elvan yang mencuri fotonya dan tanpa izin mempostingnya. Ia tebak, ketenanganya akan terusik kembali esok di sekolah. Tapi mau bagaimanapun, ketika ia mencoba untuk protes kepada pria itu, tidak akan berpengaruh apa pun. Sekali sudah terjadi, tidak bisa diubah lagi.
“Baik? Engga? Sebenernya Elvan baik engga, si?” gumam Alfira dalam hati. Ia masih berpikir bahwa ia tidak ada bedanya dengan gadis-gadis yang menjadi korban dari kebrengsekan Elvan jika ia menerima tawaran pria itu.
“Kenapa hati gue terus berdetak, ya? Aih, bodoamat. Gue tau Elvan cuma boongan ngomong gitu tadi,” lanjutnya sembari memejamkan matanya yang mulai pening karena cahaya di depan sana. Jarak antara tempat duduknya dengan layar hanya terpaut dua kursi saja, pantas cahayanya hampir merusak mata.
Dua jam berselang begitu saja, tidak ada ucapan yang keluar sepatah kata pun saat film berlangsung baik Elvan maupun Alfira.
Elvan menggeliat untuk meregangkan otot-ototnya yang terasa keram sembari melirik ke sampingnya. Tepat kepada seorang gadis yang tengah asik mengotak-atik ponsel yang entah apa isi di dalamnya.
“Gimana filmnya, seru?” tanya Elvan seraya beedekatan dengan Alfira untuk sedikit mencari tahu tentang hal yang membuat gadis itu sangat serius.
“Biasa aja,” jawab Alfira dengan raut muka datar. "Pacar-pacar lo chat gue lagi," sambungnya sembari memperlihatkan beberapa deretan pesan yang ia dapat dari beberapa fan Elvan.
"Mana?" tanya Elvan serius, lalu mengambil ponsel Alfira. Benar saja, banyak kata kasar yang Alfira dapat dari mantan-mantannya. Elvan menoleh untuk meminta maaf. "Maafin gue, tapi lo ngga usah khawatir. Kan gue yang bakal jagain lo."
Setelah mengatakan kata-kata yang bahkan tidak Alfira percayai itu, Elvan membuka seluruh isi pesan Alfira, lalu membalasnya satu persatu dengan pesan suara.
"Ngga usah ganggu pacar gue lagi!" desis Elvan kemudian memblokir satu-persatu nomor asing itu. "Selesai!"
"Hhh, percuma! Besok pasti berulah lagi," ucap Alfira seraya berdiri dan membenarkan dresnya. Sebetulnya ia juga sudah sangat tidak nyaman menggunakan pakaian seperti itu, tapi akan membuang-buang waktu dan uang jika ia berganti pakaian lamanya lagi. Tanpa ia ketahui, Elvan sudah membayar pakaian itu dan akan membuangnya jika Alfira tidak menerimanya. Jadi, ia harus menerimanya karena akan sangat disayangkan pakaian mahal seperti itu harus dibuang. "Udah, ngga usah kebanyakan janji. Lo ngga sebaik itu. Ayo pulang, udah terlalu lama gue berduaan sama lo,” lanjutnya.
“Siap Tuan Putri,” jawab Elvan semangat. Dalam hatinya ia senang karena akhirnya tujuannya setengah jalan, ia juga sudah amat lelah seharian ini melakukan hal yang notabenenya bukan seperti ia sebelumnya. Ia tidak suka nonton film, bahkan ia sangat benci berada di tengah kemacetan di hari weekend. Tapi, sekali lagi ia teringat taruhan Ardhan.
Keduanya kemudian meninggalkan tempat itu dan pergi menuju basement.
°°°
Matahari sudah menenggelamkan diri beberapa menit lalu, meninggalkan kegelapan malam yang hanya ada lampu-lampu perkotaan tanpa memperlihatkan cahaya indah Bulan atau Bintang di langit malam ini.
Dua sejoli itu berboncengan menyusuri kemacetan ibu kota yang tidak ada liburnya, ditambah dengan puncaknya kemacetan karna sudah memasuki jam pulang kerja, membuat Elvan semakin mempercepat laju motornya menerobos melewati celah-celah yang terlihat agar terbebas dari kemacetan.
Alfira menatap kosong jalanan dengan sedikit mengeratkan pegangannya pada ujung saku jaket Elvan. Belum lama ia dipukul oleh ayah kandungnya sendiri karna beberapa hari tidak pulang, kini ia sudah harus mempersiapkan diri lagi jikalau nanti ayahnya melihat ia pulang larut lagi.
“Nanti turunin gue di depan gerbang aja, gausah sampe rumah,” ucap Alfira ketika Elvan menghentikan motornya menunggu lampu jalan berubah warna menjadi hijau.
“Kenapa ga sampe rumah aja? Tanggung banget," jawab Elvan seraya menoleh ke kaca sepion.
“Kalo lo ngga mau, gue turun di sini aja,” titah Alfira.
Elvan mendengus kesal dengan melajukan kembali motornya, "Iya, iya!"
Setelah lima menit, mereka sampai di sebuah gang perumahan komplek dekat dengan rumah Alfira. Hanya beberapa meter lagi sampai. Namun, lagi-lagi Elvan menghentikan motornya secara tiba-tiba.
“Stop!” teriak Alfira dengan menepuk pundak Elvan. “Udah sampe sini aja, terima kasih buat hari ini,” lanjutnya seraya mengembalikan helm milik Elvan dan pergi begitu saja.
“Ngga ada pelukan?"
"Nggak!"
"Yaudah. Sama-sama cantik, jangan kapok ya jalan sama aku,” ujar Elvan menggoda gadis itu. "Baik-baik di rumah, jangan kangen, oke!”
•••
Sesampainya di depan rumah, hati Alfira menjadi tidak tenang, degup jantungnya meningkat. Ia takut jika pulang ayahnya sudah menghadangnya dan siap memberikan pukulan untuknya. Ia terus melirik jam bundar di tangannya yang terus berputar. Sudah pukul sepuluh malam, ayahnya pasti masih duduk di depan televisi.
Alfira membuka knop pintu rumahnya pelan-pelan. Lampu di rumah itu masih belum ada yang dinyalakan, gelap-gulita seperti tanpa penghuni. Untung saja, nasib baik masih berpihak kepada Alfira, sepertinya ayah dan kakaknya tidak ada di rumah, mungkin masih ada urusan di luar.
Alfira menghela napasnya lega. Ia kemudian berjalan dengan santai untuk menyalakan sakelar lampu rumahnya.
•••
Alfira menggeliat katika merasakan sinar matahari pagi yang merembes masuk lewat jendelanya. Perlahan, ia mengusap kedua matanya untuk melihat jam di atas nakas.
"Ya ampun! Aku kesiangan,” ucap Alfira seraya menyibak selimut yang masih menbungkus setengah badannya. Ia segera masuk ke kanar mandi setelah mengambil handuk di belakang pintu dengan langkah tergesa-gesa.
Setelah hanya lima menit membersihkan diri, Alfira langsung bergegas mempersiapkan diri untuk berangkat kesekolah.
•••
Bell masuk berbunyi sesaat setelah Alfira memasuki gerbang sekolah, beruntung ia tidak terlambat karena ikut tetangganya yang kebetulan akan ke pasar di dekat sekolah. Satu menit saja ia terlambat, sudah di pastikan ia tidak di perbolehkan masuk oleh satpam sekolah.
Alfira berjalan menuju kelasnya seperti biasa, tampak beberapa siswa lain juga yang tergesa-gesa berjalan di sekolah. Alfira sedikit merasakan keanehan pada pandangan orang-orang yang melewatinya, ia merasakan kebanyakan siswa perempuan memandanginya dengan tatapan sinis.
Alfira sudah bisa menebak itu, pasti karena ulah Elvan kemarin. Ia kembali acuh dan terus berjalan menuju ruang kelasnya.
Setibanya di ruang kelas, Alfira kembali merasa canggung karena semua mata tertuju padanya dengan bisik-bisik yang masih sedikit didengarnya.
Tak lama setelah ia duduk di kursinya seorang gadis dengan rambut sebahu datang secara tiba-tiba di depan mejanya.
“Sejak kapan lo pacaran sama Elvan?" tanya gadis dengan papan nama Elsa itu. Tangannya tidak diam begitu saja, Elsa terus membuka rambut yang menutupi wajah Alfira untuk memastikan apa yang ia lihat benar adanya. Gadis yang diposting Elvan adalah Alfira.
Sedangkan di sini, Alfira terus mengabaikan pertanyaan itu, dan tetap melakukan kegiatannya. Membuat semua orang tidak suka melihat kediamannya yang terkesan sombong.
Tak lama berselang, untung saja Pak Handoko memasuki kelas tepat waktu sebelum perpecahan terjadi. Banyak siswi yang berniat memberikan pelajaran atas diamnya Alfira yang membuat mereka marah.
Alfira menoleh ketika ada gulungan kertas kecil yang menabrak kepalanya, lebih tepatnya sengaja dilemparkan ke kepalanya. Ia kembali memalingkan wajah ketika teman-temanya masih bertanya perihal kejelasan hubungannya dengan Elvan.
Karena terlalu mengganggunya, bahkan bisa menimbulkan keributan yang akan menyadarkan Pak Handoko yang tengah menulis di papan. Alfira akhirnya memiliki ide untuk melawan mereka, ia kemudian mengambil ikat rambut yang diberikan Elvan. Ia masih menyimpanya baik-baik di sakunya. Alfira menaikkan kedua ujung bibirnya ketika teringar Elvan memberikan benda kecil itu kemarin.
Setelah menyadarkn diri agar tidak terlalu larut dengan perasaan semunya. Alfira memakai ikat rambut itu, membuat semua orang di kelasnya terkejut.
"Jadi benar, itu dia?" bisik gadis yang duduk tepat di belakang Alfira.
"Gila! Dia cantik."
Dan masih manyak lagi kata-kata yang terlontar dari mulut orang-orang di sekitar Alfira yang bahkan tidak ia tanggapi. Ada perasaan lega di sana ketika ia bisa membuat kaget dan membalas perkataan, bahkan perbuatan berlebihan teman sekelasnya dengan tindakanya.
Mungkin jika Alfira terus diam mereka akan semakin menjadi, akan lebih baik jika ia sedikit memanfaatkan ketenaran yang Elvan buat untuk membalas mereka, dan membuat mereka tidak bisa berkata-kata lagi.
•••
Bell istirahat berbunyi, terlihat disana Elvan keluar dari kelasnya dan berjalan menuju belakang sekolah. Saat sampai di parkiran tadi pagi, ia sudah membuat janji dengan Ardhan untuk membicarakan perihal jalannya taruhan itu.
"Gimana kelanjutanya, udah sampai mana proses lo?" Tanya Ardhan sembari mengambil sebatang rokok pada sakunya kemudian meminta teman di belakangnya untuk berbagi api pada rokoknya.
"Gue udah jadian sama Alfira," jawab Elvan meremehkan. "Lo liat sendirikan postingan gue? Nyesel kan lo tau Alfira ternyata cantik?"
"Apa?!" Ardhan membeo. Sejak kapan ia menyesal tidak mengenal gadis cantik? Selama ia tidak mengejarnya pun, banyak gadis cantik yang mendekatinya. "Oke, tantangan lo dimulai dari hari ini, ya!"
"Lo siapin aja hadiah yang lo janjiin ke gue," tukas Elvan dengan satu alis terangkat.
"Lo tenang aja, gue selalu tepatin janji, kok," jawab Ardhan dengan santai.
"Gue pegang kata-kata lo!" tukas Elvan lalu pergi dari sana.
TBC.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top