Jadian
Dua hari berlalu begitu saja tanpa ada kabar dari Elvan. Di sekolah, Alfira selalu menunggu kedatangan pria itu ke kelasnya seperti biasa. Namun, jangankan muncul di kelasnya, Alfira bahkan tidak menemukan Elvan di luar kelas. Entah pria itu bersembunyi, atau memang hilang di telan bumi begitu saja.
Alfira tidak bisa bertanya kepada siapa pun karena ia tidak sedekat itu dengan orang-orang di sekolahnya, di sisi lain, ia juga sedikit malu untuk mengakui bahwa ia berusaha mencari tahu tentang Elvan dan merasa kehilangan pria itu.
Setiap hari, Alfira sengaja memakai ikat rambut dari Elvan. Berkat pria itu ia sudah tidak takut menunjukkan wajah lagi, dan lebih bersyukur dengan apa yang terjadi dan ditakdirkan untuknya. Tujuan lain ia memakai ikat rambut juga agar Elvan senang ketika melihatnya.
Mungkin jalan satu-satunya adalah mengirim pesan untuk Elvan. Tapi Alfira selaku bingung untuk memulai suatu topik. Ia merasa basa-basinya akan terkesan garing, dan bisa jadi memalukan juga.
Alfira mengambil ponsel pada ranselnya. Kemudian menghela napas dalam-dalam. Ia tidak ingin terus-menerus dikejar perasaan bersalah, atau mungkin lebih tepatnya kekhawatiran tak menentu karena jauh dari Elvan.
"Hai, bisa bertemu? Gue ingin minta maaf dengan sungguh-sungguh atas kejadian beberapa hari lalu."
Alfira akhirnya bisa bernapas lega setelah pesan yang ia ketik terkirim dan langsung dibaca penerimanya. Bahkan gadis itu terus menerus mantengin tulisan yang ada di bawah nama kontak itu. Ia menunggu tulisan online segera berubah menjadi sedang mengetik.
Sudah lima menit berlalu, dan sudah tiga kali pula tulisan onlien itu hilang dan muncul. Mungkin Elvan memang tidak berniat membalas pesannya, atau mungkin kesalahannya belum termaafkan. Perihal baju waktu itu, Alfira sadar jika seseorang pasti akan merasa kecewa jika barang pemberiannya disia-siakan begitu saja dan tidak dihargai. Begitu pun dengan Elvan, pasti pria itu benar-benar kecewa dengan apa yang ia lakukan.
Semua siswa berhamburan ke luar kelas setelah mendengar bel pemberitahuan pulang dibunyikan. Orang-orang berlalu lalang meninggalkan sekolah dengan circle masing-masing. Ada yang tertawa sembari bercerita ke teman di sampingnya, ada pula yang sengaja memantulkan bola basket dan berlari ke lapangan untuk kulikuler. Sedangkan di salah satu ruang kelas, seorang gadis sendirian sengaja memperlambat gerakannya dengan mata yang terus terjaga ke pintu kelas. Barang kali muncul seseorang yang ditunggu kedatangannya.
Ting!
"Oke. Jam 4 di cafe Lavender dekat sekolah."
Alfira tersenyum setelah membaca pesan yang dikirim Elvan. Ia harus segera bergegas pulang untuk mempersiapkan diri. Ia hanya punya waktu dua jam untuk bersiap-siap.
•••
Alfira membuka lemari pakaiannya, mencari baju yang pantas untuk dipakai ke luar untuk jalan. Setidaknya ia harus tampil sedikit berbeda dari sebelumnya.
Alfira melihat dres abu-abu selutut dengan lengan sesikut di pojok lemari. Dres itu ia beli lima bulan lalu ketika kakaknya berulang tahun, ia ingin ikut andil dalam pesta waktu itu yang diadakan di rumah. Namun Vano melarangnya ke luar kamar, bahkan dengan tega menguncinya dari luar.
Walaupun hanya melihat dres itusaja sudah membuatnya sakit hati, Alfira tetap nekat memakainya. Ia harus melupakan hal-hal yang menyakitkan pada masa lalu demi hidup lebih baik di masa depan.
Alfira duduk di depan cermin di kamarnya. Ia kemudian memakai pelembab wajah agar kulitnya tidak terlihat kering, setelah itu ia memakai lipbalm juga agar bibirnya tidak terlihat pucat. Setelah urusan wajahnya selesai, Alfira menyisir rambutnya yang sudah sangat panjang dari satu tahun lalu ia memotongnya. Ia juga mengambil tali pita di laci untuk menghiasi rambutnya sebagai pengganti bando.
Semuanya sudah terlihat sempurna di mata Alfira. Ia tersenyum dan kembali melihat jam di layar ponselnya. Setengah jam lagi ia harus sudah sampai di cafe Lavender yang disebut Elvan.
Dengan langkah sedikit mengendap-endap, Alfira ke luar dari kamarnya. Ia menyapu pandangannya ke seluruh arah dengan hati-hati, setelah melihat tidak ada orang di mana pun, ia kemudian melanjutkan langkahnya.
"Mau ke mana?"
Langkah Alfira terhenti, jantungnya serasa mau lolos dan pindah dari tempatnya karena terlalu terkejut. Perlahan, ia menoleh untuk melihat pemilik suara itu.
"Alfira izin ke luar sebentar, Kak. Ada tugas kelompok," jawab Alfira dengan tatapan yang terus menunduk.
"Oh, oke," sahut Vano singkat seraya pergi dari hadapan Alfira dengan membawa secangkir kopi panas di tangan kanannya.
"Nanti kalau ayah nanya ...."
"Ya," sela Vano yang sudah menghilang di balik pintu kayu dengan tulisan private room di depannya.
Alfira terdiam ketika mnegingat apa yang dilakukan kakaknya ketika ia pulang dari rumah sakit. Jelas-jelas ia terus mengirim pesan, dan menelepon kakaknya untuk memberitahukan keadaannya. Namun dengan entengnya Vano menolak memberikan penjelasan itu. Mungkin kali ini juga akan seperti dulu lagi. Alfira siap dengan apa pun yang akan terjadi nantinya.
•••
"Maaf gue telat."
Alfira mengatur napasnya untuk lebih tenang setelah berlarian. Jarak antara rumah dan sekolahnya sekitar dua puluh menit jika berjalan kaki. Untuk menghemat biaya transport, Alfira sengaja jalan kaki dari rumah tiga puluh menit lalu agar tidak telat. Namun, ada kejadian tak terduga di perjalanan yang mengharuskan Alfira turun tangan untuk membantu dua wanita yang jatuh dari sepeda motornya. Alhasil hal itu malah membuatnya telat untuk menemui Elvan, dan harus berlarian agar tidak telat.
"Lo telat sepuluh menit," ucap Elvan tanpa melihat Alfira dan menyibukkan diri dengan buku menu di tangannya.
"Maafin gue." Alfira duduk di depan Elvan seraya meletakkan tasnya di samping tempat duduknya.
"Iya, lo mau pesen ap ...." Elvan menghentikan ucapannya ketika tatapannya menangkap sosok gadis cantik di depannya yang terus menerus mengatur pernapasannya, ada beberapa tetes air keringat pada gadis itu yang menambah kesan cantik di mata Elvan. "Tumben dandan. Apa itu karena mau ketemu gue?"
Alfira menggeleng cepat. "Bukan, gue emang gini dari dulu. Lo kan baru ketemu gue sekali kemarin."
"Terus tujuan lo ngajak gue ketemu apa?"
Alfira menarik napas dalam-dalam kemudian menatap Elvan. "Gue mau minta maaf soal waktu itu, pakaian yang lo---"
"Ssst, gue ngga kenapa-napa, kok," sela Elvan langsung memotong ucapan Alfira.
"Terus, dua hari ini lo ke mana aja? Lo ngga muncul di depan gue karena lo marah, kan?"
"Lo kangen?" tanya Elvan sedikit tersenyum. "Gue ngga marah soal baju itu. Terus dua hari ini gue ada tugas penting di OSIS, makanya gue ngga sempet dateng ke kelas lo."
Alfira terdiam ternyata dugaannya salah, Elvan bahkan tidak memikirkan masalah waktu itu sama sekali. Mengapa ia sendiri yang begitu takut Elvan tidak menemuinya lagi?
"Chat lo waktu itu?" tanya Alfira kembali.
"Yang soal lo ngasih jawaban ke gue? Gue ngga mau maksain lo aja," sahut Elvan.
Elvan tersenyum penuh arti, ia sudah memikirkan jawaban seperti itu sejauh ini. Walaupun ia ingin sekali memaki Alfira, ia harus tetap terlihat pemaaf dan pria hebat di mata Alfira.
"Apa lo udah berubah pikiran?" tanya Elvan serius. "Lo udah sadar kalo lo suka gue? Lo mau jadi pacar gue?"
Alfira menoleh ke kanan dan kirinya untuk memastikan tidak ada orang yang ia kenal di sekitar sana. Ia kemudian mengangguk. Bukan karena apa ia menerima pernyataan cinta Elvan. Ia sadar bahwa ia memang sudah tertarik dengan pria itu. Persetan dengan apa yang akan terjadi nantinya jika Elvan tidak seperti dugaannya atau berubah pikiran, ia hanya ingin jujur tentang perasaannya saja.
"Serius, lo mau?" tanya Elvan kembali untuk memastikan.
"Iya," jawab Alfira malu-malu. Ia sudah memikirkan matang-matang. Baru beberapa jam lalu ia bimbang kembali, tapi karena jawaban dan ucapan Elvan tadi, ia semakin yakin jika Elvan adalah pria baik. Hal-hal negatif yang ia bayangkan selama ini hanyalah secercah kekhawatiran berlebihan belaka, dan hanya opininya saja.
Pada dasarnya, semua orang akan tahu sifat asli manusia ketika menilainya sendiri. Bukan dari cerita orang lain.
"Jadi, kita jadian, nih?" tanya Elvan dengan wajah sumringah. Rencananya akhirnya berhasil. Tidak sia-sia ia belajar banyak tentang memikat wanita introvert seperti Alfira. "Sekarang boleh, kan, aku public ke satu sekolah?"
"Tapi fans-fans kamu?" Alfira bahkan tidak sadar kapan ia mengganti panggilan lo-gue menjadi aku-kamu'an.
"Tenang aja, aku bakal atasi semuanya. Aku akan ngelindungin kamu bagaimana pun caranya."
TBC.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top