Hujan dan masa lalu

"Pipi lo kenapa?"

Faik menoleh ketika Haris dengan wajah bingungnya menunjuk Elvan yang baru saja sampai di sekolah. Kini mereka tengah berada di parkiran sekolah dan masih menaiki motor masing-masing.

Faik terus mencubit pahanya agar tidak tertawa melihat wajah Elvan. "Itu karma."

"Karma?"

"Iya, biasa berbagi hati," sahut Faik.

"Serius lo punya perasaan sama pacar-pacar lo?" tanya Haris yang kemudian turun dari jok motornya dan menghampiri Elvan. "Terus pipi lo kenapa merah gitu?"

"Sedikit suka," jawab Elvan dengan sedikit senyuman. "Pipi gue? Ini tanda kelakian gue. Kalo belum dapet tanda ini, berati lo belum jadi laki!"

"Gue nanya serius, ya." Haris menatap sedikit jengkel ke kedua temannya yang terus mengulur jawaban.

"Gue udah mutusin semua pacar gue, dan ini balasannya," tutur Elvan seraya mengusap pipinya. "Gue ditampar Farah, ditonjok Jesika, dan gue ditendang Anna."

Faik dan Haris langsung tertawa terbahak-bahak mendengar penuturan Elvan tanpa sedikit melas. Baru kali ini Elvan terlihat menyedihkan, biasanya tidak ada yang berani menyentuh dan melukai laki-laki itu walaupun seujung rambut.

"Udah lah, lupain aja." Elvan turun dari motornya dan berjalan meninggalkan kedua temannya.

"Jangan marah, mau ke mana lo?"

"Jemput 30 juta gue," tukas Elvan dan tersenyum sembari mengedipkan satu matanya.

"Semoga berhasil!"

°°°

Elvan duduk di depan kelas Alfira, menunggu gadis itu datang. Sudah lima menit berlalu begitu saja, dan ia sama sekali belum melihat batang hidung Alfira.

"Hei!" Elvan menghentikan seorang gadis yang akan masuk ke kelas itu.

Gadis berambut pendek berponi itu langsung salah tingkah dan tersenyum malu-malu menjawab panggilan Elvan. "Hai, Elvan," sahutnya.

"Liat Alfira, ngga?" tanya Elvan dengan mata yang terus melirik ke kanan dan ke kiri.

"Ck, kirain mau kenalan, gue ngga liat," ucap gadis itu kemudian meninggalkan Elvan begitu saja.

Ketika Elvan hendak meninggalkan tempat itu, tiba-tiba matanya menangkap sosok gadis yang ia cari. "Alfira!?"

Alfira mendongak sekilas dan menemukan Elvan yang tengah berdiri di depan kelasnya. "Ah iya, gue hampir lupa."

Melihat Alfira yang begitu saja meninggalkannya yang sudah menunggu lama membuat Elvan geram, dan langsung menyusul gadis itu masuk ke kelas. Menariknya hingga kini Alfira menghadapnya.

"Apa-apa'an sih?" tanya Alfira terkejut.

"Kenapa lo---" Elvan menatap lama wajah Alfira, ingin sekali ia memaki gadis itu sepuas hati. Namun, kali ini ia urungkan karena mengingat jika Alfira yang akan membuatnya mendapatkan 30 juta. "Arrgh! Ngga jadi."

"Ini, gue mau balikin celana olahraga lo," tutur Alfira seraya mengulurkan plastik berisi celana Elvan.

"Emm ... oke, gimana rok lo?" tanya Elvan terus memperhatikan seragam Alfira.

Alfira kemudian duduk di bangkunya ketika menyadari seluruh isi kelas kini memperhatikannya. "Gue udah langsung beli kemaren. Makasih, ya!"

"Oke, gue ke kelas dulu, ya. Jaga diri baik-baik," ucap Elvan seraya mengeluarkan jurus buayanya dengan tersenyum manis yang membuat gadis-gadis di sana langsung meleyot melihatnya. "Untuk semuanya aja yang di kelas ini, kalo ada apa-apa dengan Alfira seperti kemaren. Gue ngga akan tinggal diam, kalian pasti tau akibatnya berurusan dengan gue. Paham!"

Entah kenapa ujung bibir Alfira terlihat sedikit terangkat. Ia tersenyum melihat perlakuan Elvan, walaupun ia tahu jika Elvan pasti memiliki tujuan entah itu apa, tapi hatinya tidak bisa dibohongi jika ia merasa tersentuh dengan Elvan.

Elvan membungkuk kemudian mengacak rambut Alfira, dan langsung ditampas gadis itu. "Sampai ketemu di kantin."

°°°

Alfira menatap jam di tangannya, dan ia harus menunggu sepuluh menit lagi baru bisa ke luar dari kelas untuk pulang.

Tidak seperti biasanya, hari ini Alfira terlihat ingin cepat-cepat mendengar bel pulang sekolah, bahkan ia terus melihat ke luar jendela. Gadis itu mendengus pasrah ketika melihat awan yang mulai berubah abu-abu, dan burung yang terus berterbangan ditambah angin membuat pohon-pohon di sekitar sekolah bergoyang.

Alfira tidak suka hujan, lebih tepatnya takut hujan. Jika ia bisa, ia ingin terus menghindari hujan. Ia tidak ingin hal seperti beberapa waktu lalu ketika ia pergi ke pusat pembelanjaan dan turun hujan saat ia pulang terjadi lagi. Waktu itu Alfira terus gemetaran. Lebih anehnya lagi, sopir taxi online yang ia pesan di aplikasi tida-tiba menurunkannya di tengah jalan ketika Elvan sedang balapan waktu itu.

Alfira tidak tahu motiv sebenarnya sopir itu. Bahkan sampai sekarang ia belum menemukan sopir itu lagi.

Kring ...

Ketika suara gemercik hujan membuat banyak orang bergembira bahkan ada yang sengaja bermain di bawah hujan, di sini di kelas, Alfira duduk sendirian. Kedua telinganya sudah ia sumpal dengan earphone yang tersambung ke ponselnya. Volume sudah ia full-kan sehingga ia tidak mendengar suara air lagi.

Kenangan buruk masa lalu tiba-tiba terlintas di benak Alfira. Kejadian lima tahun silam ketika hujan dengan kejamnya merenggut nyawa ibunya yang tidak bersalah.

"Mah, besok Alfi harus ikut perkemahan. Tapi sepatu Alfi bolong."

Suara anak kecil yang merengek ke ibunya terngiang-ngiang di kepala Alfira. Semakin lama, suara-suara itu semakin jelas dibenak gadis itu.

"Besok pagi Mama beliin, yah. Sebentar lagi mau hujan," jawab wanita paruh baya yang sedang duduk seraya menjahit pakaian.

"Ngga mau, pasti besok Mama lupa. Pokoknya Alfi mau sekarang!"

Alfira berlari dan masuk ke kamarnya dengan membanting pintu begitu keras.

Setelah beberapa menit merajuk di dalam kamar, Alfira melihat ke luar jendela kamarnya, dan benar saja hujan lebat sudah membasahi seluruh kota Jakarta sore itu.

Alfira gelisah dan merasa tidak enak karena sudah merajuk ke ibunya. Gadis itu kemudian ke luar dari kamarnya dan mencari ibunya untuk mengatakan jika ia setuju jika ibunya akan membelikan sepatu besok. Namun, ia sudah terlambat dan ibunya sudah dulu ke luar rumah dengan hanya menggunakan payung rusak untuk melindungi kepalanya dari tetesan air hujan langsung.

Alfira meneriaki nama ibunya, tapi karena suara hujan yang begitu keras membuat suaranya tidak tembus sampai ke telinga ibunya. Perlahan, Alfira melihat punggung ibunya yang sudah mulai menjauh dan ke luar dari gang rumahnya.

"Mama ke mana, Dek?"

Alfira mendongak ketika mendengar suara Vano kakaknya yang baru saja ke luar dari kamar.

"Mama ke luar tadi, Kak."

"Hujan-hujan gini? Ke mana?" tanya Vano dengan raut khawatir.

Alfira kembali menunduk dan menjawab dengan ragu-ragu. "Beliin Alfi sepatu baru. Tadi Alfi bilang kalo besok mau ada acara perkemahan di sekolah Alfi, dan sepatu Alfi rusak."

"Kamu yang minta, kan?" tanya Vano kembali.

"Iya, tapi Alfi berubah pikiran, dan Mama udah ke luar duluan," ujar Alfira terlihat ketakutan.

"Pah, susul Mama, yuk. Di luar hujan deres banget, kasian Mama pake payung rusak," teriak Vano ke arah ayahnya yang sedang tidur di atas sofa di depan ruang televisi.

Belum sempat Vano membangunkan ayahnya, tiba-tiba banyak orang beramai-ramai datang ke rumahnya dengan raut khawatir.

"Itu Nak Vano, Bu Indah ...."

"Ada apa dengan Mama saya?" Vano mencoba mencari jawaban dengan menatap satu-persatu orang di depan rumahnya itu.

"Bu Indah tertabrak mobil di depan gang sana," ujar seorang wanita paruh baya seraya menunjuk di mana ibu Vano sekarang.

"Pah ... Mama," teriak Vano seraya berlari di tengah hujan deras pergi ke tempat ibunya berada.

Tubuh Alfira bergetar hebat, kemudian berlari menyusul Vano.

"MAMA!!"

°°°

"Alfira lo kenapa?"

Alfira menoleh dan mendapati dirinya yang sekarang ternyata masih di dalam kelas. Ia melirik ke sekitarnya, dan kelas sudah sangat kosong. Hanya ada Elvan yang duduk di bangku depannya dengan wajah penuh pertanyaan.

Alfira mengusap wajahnya gusar, kenapa mimpi buruk itu terus menghantuinya? Alfira tidak suka hujan karena suara hujan akan mengingatkannya dengan kejadian 5 tahun lalu ketika ia menyebabkan kematian ibunya.

"Minum ini dulu," ujar Elvan seraya mengulurkan botol air putih yang ia temukan di samping tas Alfira. "Lo nggapapa?"

"Emm ... ngga apa-apa. Cuma mimpi buruk," sahut Alfira. Matanya melirik jam di tangannya, pukul tiga lebih seperempat. Berarti sudah satu jam ia tertidur di dalam kelas karena menunggu hujan reda.

"Gue anter pulang, ya?" tanya Elvan.

"Sejak kapan lo di sini?" Bukanya menjawab Elvan, Alfira malah balik bertanya perihal keberadaan laki-laki itu.

"Sejak bell pulang sekolah, gue liat lo ketiduran. Padahal udah berulang kali gue panggil lo, tapi lo ngga bangun-bangun. Jadi, gue nunggu di sini sampai lo bangun," jawab Elvan.

"Makasih ya," ucap Alfira kemudian menghampiri Elvan dan memeluk laki-laki itu. "Gue takut."

Elvan mematung beberapa detik, dunianya seakan berenti di detik itu juga. Mungkin karena tindakan Alfira yang begitu tiba-tiba, jadi membuat jantung Elvan berdetak dua kali lipat. Ya, pasti karena terkejut.

Elvan mengulurkan tangannya dan membalas pelukan Alfira. "Nggapapa, gue ngga bakal ninggalin lo sendirian."

Alfira tersadar dan terkejut ketika menyadari dirinya yang refleks memeluk Elvan. "Maafin gue," ujarnya canggung.

"Nggapapa, kalo mau peluk-pelukan lebih lama lagi gue siap selalu, kok," ucap Elvan seraya tersenyum meledek.

Alfira kembali menatap tajam Elvan, kemudian mengambil tasnya dan berjalan meninggalkan laki-laki itu.

"Gue anter pulang, jam segini udah ngga ada bus," ucap Elvan seraya berlari menyusul Alfira.

"Ada taxi online."

"Handphone lo lobat."

Alfira mengehentikan langkahnya, dan benar apa kata Elvan. Ponselnya sudah mati karena kehabisan baterai.

"Tadi gue liat handphone lo mati," ujar Elvan sebelum ia diserbu banyak pertanyaan Alfira. "Mau kan, gue anter pulang?"

"Kali ini aja, ya!"


_TBC_


A Novel Story By
alichyeon & heijohns

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top