Dekat?

"Cie yang udah jadian."

Elvan menoleh ketika ada sebuah tangan kekar yang merangkul pundaknya. Ia kemudian tersenyum sombong sembari mengangkat sekilas pundaknya agar terbebas dari rangkulan temannya itu.

Selama perjalanan, Elvan terus menerus terenyum penuh arti, membuat semua orang yang ia lewati terheran-heran. Baru kali ini mereka melihat Elvan tidak seperti biasanya. Pria itu seperti kehilangan kesan cool yang selalu ditunjukkan ketika berjalan, lebih tepatnya aura kepopulerannya.

"Sejak kapan?" tanya Haris penasaran. Ia terus membuntuti Elvan yang berjalan semakin cepat. "Kayaknya Alfira masih cuek ke lo, sih?"

Setelah mereka sampai di basecamp yang terletak di tangga, Elvan menoleh sedikit tertawa melihat ekspresi keingin tahuan temannya. "Siapa si yang ga bisa tertarik dengan pesona gue?"

"Hmm, iyain. Sejak kapan?"

"Ngga tau, tapi Alfira udah suka ke gue. Cuma masih bingung aja dia sama perasaannya."

"Jadi, kalian belum jadian?" tanya Haris terkejut.

Elvan mengangguk. Ia juga tidak tahu kejelasan hubungannya dengan Alfira bagaimana. Hanya ia saja yang mengkonfirmasi hubungan itu sebagai pacaran, sedangkan Alfira belum mengakui sama sekali. Tapi, jika dilihat dari wajah Alfira yang berseri kemarin, ia yakin jika gadis itu sudah mulai tertarik kepadanya. Hanya satu langkah lagi, Alfira pasti mau menerimanya.

Elvan melihat ke belakangnya seperti tengah mencari seseorang. "Ke mana Faik?"

"Di kelas," sahut Haris dengan mulut penuh roti.

"Tumben." Elvan mengambil ponsel pada saku celananya untuk melihat beberapa notif dari ponselnya. Banyak dm-an yang ia dapat dari beberapa followers-nya di Snapgram. Kebanyakan dari mereka meminta penjelasan perihal foto Alfira. Membuat tangan Elvan gatal ingin membalasnya dengan mengelak. Namun ia harus sabar selama beberapa hari untuk memenangkan taruhan.

Mendengar pertanyaan Elvan, mmbuat Haris teringat alasan Faik tidak ke luar kelas ketika ia melewati kelas Faik. Ia kemudian tertawa ringan setelah meletakkan botol mineral di sampingnya. "Patah hati dia."

"Serius?" tanya Elvan seraya menyimpan kembali ponselnya. Mungkin bagi sebagian orang patah hati adalah hal sepele yang tidak perlu dikhawatirkan. Namun bagi Elvan, hal seperti itu bukan hal sepele. Kebanyakan orang akan kehilangan beberapa hal penting ketika patah hati. Seperti semangat hidupnya. "Yok, samperin!"

Elvan melangkah meninggalkan Haris yang masih duduk di ujung tangga. Selang beberapa detik, Haris menghela napas berat lalu ikut bangkit dari duduknya dan menyusul Elvan.

•••

"Ngga pantes lo nge-galau," ujar Elvan setelah duduk di kursi depan meja Faik.

"Yoi," sambung Haris. "Kan gue udah pernah bilang, jangan percaya virtual apalagi cewek lo lebih tua dari lo."

Elvan melirik menatap tajam Haris. "Hust, udah ngga usah dibahas yang dulu," ucapnya.

Faik masih diam mengalihkan pandangannya ke arah jendela di samping kirinya. Siang ini awan terlihat sedikit mendung, seakan tahu tentang perasaannya yang sedang tidak baik-baik saja.

"Sini cerita," titah Elvan dengan menopang dagunya dengan satu tangan.

"Elvan lo dicariin Alfira."

Medengar kata Alfira membuat Elvan kembali bersemangat. Ia menoleh, benar saja ada gadis cantik di ambang pintu dengan membawa sebuah plastik di tangannya.

"Kenapa?" tanya Elvan seraya menghampiri Alfira.

"Gue mau balikin baju lo," ucap Alfira.

Kedatangan Alfira yang menghampiri Elvan membuat heboh di kelas itu. Baru saja kabar tentang hubungan mereka menjadi trending topik di sekolah pagi tadi. Sekarang mereka harus melihat dengan kepala mereka sendiri keduanya bertemu dan menyapa satu-sama lain.

"Kan gue bilang itu buat lo." Elvan merendahkan nadanya agar tidak terdengar banyak orang. Ia tidak ingin mereka tahu jika pemberiannya ditolak oleh Alfira. Akan ditaruh di mana mukanya nanti, jika mereka tahu ada gadis yang tidak tertarik dengannya. "Yaudah, buang aja!"

"Kenapa harus dibuang?" tanya Alfira. Kini mereka menjadi pusat perhatian banyak orang yang sengaja datang untuk melihat langsung kedekatan mereka.

"Buat apa juga pakaian wanita. Di keluarga gue ngga ada gadis seumuran lo."

"Yang katanya sepupu lo kemarin?" tanya Alfira.

"Sepupu gue ngga suka barang bekas, Alfira."

Alfira menghela napas. Padahal ia tahu pria itu pasti menolak pakaian yang diberikannua. Kenapa tidak ia buang saja? Memang ya, dejavu itu meresahkannya. Ia terus kepikiran perkataan Elvan kemarin, ditambah dari pagi ia tidak bertemu dengan Elvan seperti biasanya, hal itu membuatnya tiba-tiba ingin bertemu dan memastikan keadaan Elvan.

"Yaudah ntar gue buang."

Elvan menatap Alfira dengan wajah sedikit kecewa. "Apa salahnya terima aja sih? Ya sudah, ngga papa buang aja, padahal lo sendiri yang bilang ga suka buang-buang barang yang masih baru, lo aneh tau, ngga?" ucapnya sedikit meninggi kemudian meninggalkan Alfira yang mematung.

Sebenarnya, ini adalah cara Elvan membuat hubungannya lebih jelas dengan Alfira. Dengan berpura-pura marah, dan tidak mendekati Alfira selama beberapa hari. Mungkin gadis itu akan segera sadar, dan akan lebih mudah nantinya membuat Alfira mengakui perasaannya. Misi terakhir, membuat Alfira menerimanya sebagai pacar.

"Elvan," lirih Alfira, ia sedikit tidak enak telah berperilaku seperti itu kepada Elvan yang berniat baik, mungkin overthingking-nya terlalu berlebihan tentang pria itu. Padahal jelas-jelas Elvan selalu menolongnya dari bullyan orang-orang, walaupun yang menimbulkan mereka membullynya adalah Elvan sendiri. Pria itu tidak melepas tanggung jawab atas apa yang disebabkannya.

Alfira dengan berat hati meninggalkan tempat itu, membuat semua orang menerka-nerka apa yang terjadi. Banyak orang yang mengira Alfira ingin memberikan hadiah kepada Elvan, namun ditolak pria itu.

"Kasihan, ya, hubunganya kandas cuma satu hari," decak salah satu wanita yang Alfira lewati.

Padahal jelas-jelas, Alfira tidak mengakui hubungan aneh itu. Tapi kenapa rasanya sedikit sakit melihat Elvan marah kepadanya?

•••

"Kalian marahan?" tanya Faik yang mulai membuka mulut. Niatnya ingin memberikan selamat kepada Elvan atas berhasilnya hubungan itu. Namun tergagalkan perihal pacarnya yang tiba-tiba mengirim surat undangan.

"Engga, kami baik-baik aja kok sebentar lagi," sahut Elvan. "Gimana perasaan lo sekarang?"

"Gue udah ngga apa-apa, melihat lo sama Alfira tadi menyadarkan gue jika sia-sia menangisi hubungan yang bahkan tidak akan pernah balik lagi."

"Lah? di mana letak hikmahnya? gue cuma omong-omongan bentar sama Alfira," ucap Elvan. Faik terlalu aneh jika harus diajak serius tentang suatu hal.

"Yakan gini, seperti kata lo tadi. Bentar lagi baikan. Itu berlaku kalo masalahnya sepele seperti lo sama Alfira tadi, kalian sama-sama cinta. Tapi jika masalahnya udah seperti hubungan gue sama Icha, gue ngga bisa bilang bentar lagi baikan, kok. Ini tentang beda jalur perasaan, dan gue harus ikhlasin dia kalo memang dia bukan jodoh gue," ujar Faik.

Walaupun kedua teman Faik masih belum memahami apa isi ucapan pria itu. Mereka tetap mengangguk dan mengacungkan jempol. Yang pasti, sekarang Faik sudah tidak nge-galau lagi.

"Jadi, Icha ngga suka lo?" tanya Haris.

"Iya, dia cuma jadiin gue selingan pas tunangannya kerja buat modal pernikahan mereka," ucap Faik.

Haris menahan diri agar tidak tertawa dengan pengakuan Faik. Beberapa hari lalu ia mendengar pria itu memuji pacarnya, bahkan membelanya ketika ia menyarankan beberapa hal, dan sekarang Faik sakit hati karena ucapanya sendiri membuat Haris ingin tertawa terbahak-bahak. Untung saja, Faik teman dekatnya, jadi ia masih bisa menahan diri dan merasa iba.

"Ngga papa, cewek banyak di sekolah ini. Ngga usah khawatir," ucap Elvan untuk menghibur Faik yang terlihat akan sedih lagi.

"Siap, kenalin sama yang paling setia pokoknya," ujar Faik kemudian tertawa. "Lo boleh ketawa, Ris. Gue tau, lo nahan tawa, kan, dari tadi?"

"Enggak."

"Bohong, gue ngga dengerin lo kemaren-kemaren. Makanya gue malu banget dari tadi mau ngomong," ujar Faik.

Tawa yang sedari tadi tertahan, sekarang pecah karena ucapan Faik. "Berati lo nge-galau gara-gara malu sama gue?"

"50% malu ngadepin lo, 50% sakit hati sama Icha."

"Ada-ada aja lo." Elvan bangkit dari duduknya. "Gue ke kelas dulu, ada tugas dari wali kelas buat bagiin catetan materi."

"Oke."

•••

Alfira masih melamun di dalam kelasnya, mungkin kali ini ia sudah benar-benar membuat Elvan kecewa. Apa ia harus meminta maaf? Aih, tidak usah. Lagi pula, Elvan sendiri yang memaksanya nerima pakaian itu. Jadi ia tidak salah jika ingin mengembalikannya karena tidak mau menerima.

Akan tetapi, mengapa hatinya seperti enggan jauh dari Elvan? Baru beberapa menit saja ia tidak menerima pesan dari Elvan yang menyuruhnya makan sudah membuatnya merasa sedikit ada yang hilang. Ada apa dengannya?

Alfira menghela napasnya pasrah. Kemudian menyenderkan punggungnya pada kursi dan memajamkan mata sebentar. Ia teringat nanti sepulang sekolah ia harus memberikan jawaban atas ungkapan perasaan Elvan kemarin. Apa itu masih berlaku?

Berulang kali Alfira melihat layar ponselnya, menantikan notifikasi dari Elvan yang akan menyuruhnya memberikan jawaban. Namun nihil, tidak ada apa pun di sana.

Dengan hati-hati, Alfira mengetikkan beberapa kata pada pesan yang akan terkirim ke nomor Elvan.

"Apa tawaran itu masih berlaku?"

Alfira kembali membaca ketikkannya pada layar ponsel. Setelah berpikir panjang, ia kembali menghapusnya karena merasa kurang dengan kata-kata itu, atau terlalu berlebihan.

"Apa nanti sepulang sekolah kita akan ketemu?"

"Argh!!!" Alfira kembali menghapus pesan itu, lalu menenggelamkan wajahnya di lengan yang tersandar di meja.

Ting!

Alfira langsung membuka ponselnya setelah mendengar notif pesan dari seseorang. Benar saja, itu Elvan yang mengirimnya. Namun, isi pesan itu membuat senyum Alfira memudar.

"Tentang ucapan gue kemarin, lupain aja! Gue ngga maksa lo buat jawab nanti sepulang sekolah, karna gue udah tau jawaban lo apa. Maaf udah terlalu maksain. Sekarang gue masih suka ke lo. Tapi ngga tau nanti."

Harusnya Alfira baik-baik saja dengan semua itu dan merasa senang. Namun kenapa hatinya tidak bisa berbohong? Ia merasa ada yang hilang dari dirinya. Walaupun kata-kata sebelum terakhir dari isi pesan itu mendebarkannya. Akan tetapi, pada akhirnya pesan itu diakhiri dengan kata membingungkannya juga. Apa ini akhir dari semuanya? Apa ia tidak bisa bertemu Elvan lagi? Apa ia akan se asing itu kembali dengan Elvan?

Di sisi lain, Elvan tersenyum setelah mengirimkan pesan kepada Alfira. Ia sudah bisa menebak jika Alfira di sana sedang kebingungan, bahkan merasa sedih membacanya. Ia berharap langkah terakhirnya ini akan segera berhasil. Hanya menunggu waktu saja, Alfira pasti akan mendatanginya.

TBC.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top