Day 1
Brak!
"Dari mana saja kamu?"
Alfira yang baru saja merebahkan tubuh di atas ranjang langsung duduk terkejut. Di ambang pintu kamarnya sudah ada Bhara, ayahnya dengan tatapan tajam mengintimidasi. Mungkin ayahnya khawatir atau apa pun itu. Ia kira, jika ia tidak pulang ke rumah tidak ada yang mencarinya. Namun sepertinya ada raut khawatir di wajah ayahnya.
"Alfi sakit, Pah," lirih Alfira seraya bangkit dari duduknya untuk menghampiri Bhara. Tubuhnya masih sedikit sakit untuk sekedar berjalan saja.
Dua hari ini ia berada di rumah sakit akibat insiden beberapa hari lalu di sekolah. Sebenarnya ia sudah diperbolehkan pulang kemarin setelag ia pulih, namun ia memilih untuk tinggal, dan mengistirahatkan diri di rumah sakit. Ia lelah dengan semuanya, rumahnya, atau pun sekolah.
"Bangun! Dasar pemalas," titah Bhara menarik kasar satu tangan Alfira untuk mengikutinya.
"Pah, lepas ... sakit," pinta Alfira tak berdaya ketika Braha menarik paksa tangannya. "Kemarin Alfi juga hubungin Kak Vano, tapi ...."
Bruk!
Tubuh Alfira terhempas ke lantai dengan keras, gadis itu menoleh untuk meminta pertolongan dari kakaknya. Namun, Vano bahkan tidak berekspresi sedikit pun ketika menatapnya. Laki-laki itu langsung mengalihkan pandangan dan sibuk dengan gitar di tangannya.
"Apa maumu?" tanya Bhara seraya menonyor kepala Alfira.
"Maksud Papah?" Alfira mendongak untuk bertanya kepada ayahnya.
Bhara memijit pangkal hidungnya. "Kamu pikir jika Saya mengabaikan kamu berati kamu bebas keluyuran di luaran sana sama banyak pria?"
"Tapi Alfi hubungin Kak Vano kalo Alfi sakit," ucap Alfira.
"Vano!"
"Ngga sama sekali, lihatlah handphone Vano, Pah. Ngga ada notifikasi. Itu cuma alasan."
Bhara mengambil ponselnya dan menunjukkan foto Alfira yang tengah berboncengan dengan Elvan. Foto itu mungkin diambil saat ia di antar Elvan beberapa waktu lalu setelah pulang dari rumah sakit.
"Bagaimana bisa ada foto itu?"
Bhara duduk di atas kursi menghadap Alfira dengan satu kaki terangkat. "Masih mau mengelak?" ujarnya pelan.
"Itu teman Alfi," jawab Alfira.
"Teman macam apa? Apa kamu sengaja mau malu-maluin keluarga?Menjijikan!"
Alfira berjongkok seraya memegangi kedua kaki ayahnya untuk memohon pengampunan. Mungkin kata pengampunan lebih dibutuhkan daripada kepercayaan."Kumohon, percaya pada Alfi kali ini, Pah!"
Bhara sedikit melembut tak tega melihat darah dagingnya putus asa di bawah kakinya seperti itu, walaupun perasaan benci di hatinya masih belum cukup untuk memaafkan gadis itu.
Dengan satu hentakan, Alfira langsung terpental sedikit ke belakang. Bhara menoleh sekilas, lalu pergi begitu saja.
Sebelum itu ia menoleh kembali dan berucap, "sekali lagi saya lihat kamu seperti itu, tidak ada kata pengampunan lagi untukmu."
Alfira menunduk tak kuasa menahan air matanya yang terus menetes. Ia samar-samar menoleh melihat ekspresi kakaknya yang juga terdiam melamun seraya memegang gitarnya yang nganggur. Pandangan itu mulai kabur karena mata Alfira yang terus mengeluarkan air mata, membuat seluruh pandangannya buram tak jelas.
Dengan sekuat tenaga, Alfira bangkit dan tertatih-tatih pergi ke kamarnya. Seluruh badannya terasa sakit, bahkan untuk sekedar menyentuh tembok.
Alfira kembali menoleh untuk melihat jam dinding yang tertempel di samping bingkai foto keluarganya yang masih utuh dulu. Sudah pukul sembilan malam, ia harus segera membersihkan diri lalu beristirahat setelah meminum obat nantinya. Sudah beberapa hari ini ia tidak masuk sekolah, mungkin sudah banyak pelajaran yang tertinggal selama ia tidak masuk. Akan sangat merepotkan jika ia harus meminjam buku teman sekelasnya yang bahkan tidak dekat dengannya satu pun.
°°°
Pagi harinya, Alfira sudah duduk di depan meja hiasnya. Ia melihat satu lengannya yang terlihat lebam karena benturan yang dibuat ayahnya semalam. Ia perlaham mengoleskan foundasion ke atasnya untuk sedikit menutupi lukanya, setelah itu ia memakai lipstik merah muda yang hampir menyerupai warna bibir aslinya untuk sekedar menutupi pucat pada bibirnya.
Setelah selesai dengan semuanya, Alfira ke luar kamar dengan hati-hati, dan pergi begitu saja ke sekolah tanpa menyiapkan sarapan baik itu untuk dirinya atau kakaknya. Mungkin kakaknya tidak akan merasa kehilangan jika ia tidak memasak kali ini. Lagi pula Vano sudah pernah bilang jika pria itu tidak suka masakannya. Jadi, sudah dipastikan tidak akan ada yang merindukan masakannya.
Setelah Alfira pergi ke sekolah, Vano turun dari kamarnya yang terletak di lantai dua. Ia menguap dua kali lalu membuka penutup saji di atas meja. Namun, lagi-lagi kosong. Padahal Alfira sudah kembali ke rumah kemarin.
Harus ia akui, selama ini hanya omongannya saja yang menolak makanan Alfira. Akan tetapi setelah gadis itu pergi, ia akan dengan senang hati memakan masakan adiknya. Baru setelah makanan itu habis, ia langsung mencuci piringnya dan meletakkannya di tempatnya agar Alfira tidak tahu jika ia memakannya. Dan mengira ia membuangnya.
°°°
"Pacarku udah dateng."
Alfira melirik sekilas, melihat tiga pria yang salah satunya adalah Elvan di dekat tempat parkir.
"Apa kamu udah nggapapa?" tanya Elvan seraya mendekati Alfira.
Alfira kembali menajamkan matanya. Sejak kapan kata lo-gue diganti aku-kamu dalam kamus bahasa Elvan?
"Apalagi yang lo ingin dari gue?"
"Gue ingin lo mengakui kalo kita udah jadian," titah Elvan.
Aneh, bahasanya kembali seperti semula lagi. Membuat Alfira bingung. "Dih, sejak kapan?"
"Kemarin pas di motor. Lo bilang iya pas gue nanya mau ngga jadi pacar gue."
Alfira kembali mengingat-ingat kejadian sebelumnya. Saat ia diantar pulang ke rumah, di perjalanan Elvan terus-terusan mengajaknya berbicara agar Alfira tidak mengantuk. Namun silanya, Alfira tidak terlalu jelas mendengar itu. Apa mungkin pas ia menyetujui perkataan Elvan. Ternyata pria itu menanyakan pendapatnya tentang hubungan ini?
"Gue nggak ngerasa jawab gitu," ucap Alfira lalu pergi.
"Lo mau ngga jadi pacar gue?"
"Apa? Oh, iya."
"Mau?"
"Iya."
Alfira mengehtikan langkahnya tatkala Elvan menunjukkan bukti record percakapannya di motor. Ia lupa jika Elvan memiliki kamera pada helmnya. Padahal nyatanya ia tidak mendengar ucapan Elvan pas itu. Yang ia degar hanya suara angin karena kecepatan Elvan yang tinggi. Karena ia terlalu capek menanggapi ucapan pria itu yang bahkan tidak jelas didengar, jadi ia hanya menjawab iya saja.
"Percaya?"
Alfira tetap mengacuhkan Elvan dan berlalu pergi begitu saja dari sana. Percuma saja berdebat dengan Elvan yang selalu ingin menang sendiri.
"Alvira!" panggil Elvan. Namun masih tidak mendapat tanggapan dari gadis yang ia panggil.
Elvan menggertakan giginya seraya menggenggam kedua tangannya. Ia bersumpah jika ia akan menbalas semua perlakuan Alfira padanya kelak. Jika saja ini bukan masalah taruhan itu, ia benar-benar anti mengejar gadis seperti Alfira. Selain menguras tenaga, juga menguras kesabarannya.
TBC.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top