Celana

Gadis berseragam abu-abu itu menatap pantulan wajahnya di cermin, kantung matanya semakin besar karena setiap malam ia jarang tertidur.

Berbeda dengan gadis di luaran sana yang berusaha diet, Alfira justru berusaha menambah berat badannya agar tidak terlihat kekurangan gizi. Gadis itu menghela napasnya pasrah melihat tubuhnya yang semakin hari, semakin menyusut, berat badanya setiap bulan selalu turun. Padahal ia selalu makan dan olahraga seperti orang-orang pada umumnya.

Alfira mengerutkan dahi ketika melihat nomor tidak dikenal dari layar notifikasi pesan yang masuk ke ponselnya.

Mau gue jemput, nggak? Sekalian gue lewat depan rumah lo.

#Elvan

"Elvan?" Setahu Alfira, yang memiliki nomor ponselnya hanya keluarga, dan guru wali kelasnya saja. Lalu, dari mana pria itu mendapatkan nomornya?

Sudah dua hari ini Alfira terus diganggu oleh kehadiran Elvan yang selalu muncul setiap hari di depannya. Baik itu ketika di kantin, di lapangan upacara, bahkan ketika pulang sekolah selalu ada Elvan.

"Ngga usah, gue udah di sekolah."

Setelah mengirim ketikkan terakhirnya kepada Elvan, Alfira bergegas memakai kaos kaki dan sepatunya. Ia tidak ingin jika Elvan datang terlebih dahulu di sekolah, dan tahu bahwa ia berbohong.

Alfira tidak mau jika gadis di sekolahnya akan tambah geram di pagi hari melihatnya yang berangkat bersama Elvan. Walaupun Alfira terlihat acuh dengan tatapan kebencian gadis yang menyukai Elvan, jauh di dalam lubuk hati gadis itu terpendam rasa khawatir dan tertekan. Tidak ada manusia yang suka jika dibenci banyak orang, begitupun dengan Alfira yang masih termasuk golongan manusia biasa.

"Kak Vano, Alfi berangkat sekolah dulu, ya. Nasi gorengnya udah Alfi siapin di atas meja," ujar Alfira kepada sosok laki-laki yang sedang asyik memainkan gitar.

Dia Vano, laki-laki berumur 22 Tahun yang bersetatus sebagai kakak kandung Alfira. Namun, hubungan keduanya tidak seperti saudara di luar sana. Vano selalu ketus dan dingin kepada Alfira. Apa pun yang dilakukan Alfira selalu salah di matanya.

Alfira mengulang kalimatnya karena mengira Vano mungkin tidak mendengarnya karena sedang bermain gitar.

"Kak Vano ...."

"Hmm," sahut Vano tanpa menoleh.

"Nasi gorengnya---"

"Gue ga suka nasi goreng," sela Vano.

"Sejak kapan? Bukannya dulu nasi goreng adalah makanan favorit Kakak, ya?" tanya Alfira seraya mendekati Vano.

"Sejak lo buat nasi goreng," desis Vano. "Cukup, ya, Fi. Gue ngga suka kalo lo udah sentuh makanan di rumah. Alergi gue sama lo." Setelah mengucapkan itu, Vano bangkit dari duduknya dan pergi begitu saja meninggalkan adiknya.

Alfira memegang dadanya yang begitu sakit, seakan menjalar ke tulang-tulang di tubuhnya. Gadis itu mendongak untuk mencegah air matanya agar tidak tumpah di pagi hari, ia berkata pada hatinya agar tetap kuat dan menjalani hari ini dengan gembira. Ia juga mengingat janjinya jika ia adalah gadis kuat, dan tidak boleh menangis dalam keadaan apa pun.

°°°

Elvan memarkirkan motornya setelah sampai di sekolah. Seperti biasa, ia sudah disambut di tempat parkir oleh Anna, pacarnya.

Anna adalah satu dari puluhan gadis di sekolah yang menjadi pacar Elvan. Mereka tahu jika Elvan memiliki pacar selain mereka, dan memilih untuk diam. Termasuk Anna, akan tetapi, Anna adalah pacar terlama Elvan dan terdekat Elvan.

"Makin ganteng aja pacarku ini," ujar Anna seraya memeluk lengan Elvan dari samping.

"Iya dong, Sayang. Setiap liat wajah kamu tuh aura di tubuh aku langsung terpancar."

Brummm ....

Elvan menoleh ketika Ardan sengaja memarkirkan motor di sampingnya. Mereka berdua menatap satu sama lain dengan tatapan tajam.

"Ada yang mau gue omongin," ucap Ardan setelah melepas helmnya.

"Di sini aja," sela Anna yang tidak suka melihat Ardan membawa pacarnya. "Emang mau ngomong apa lo sama My baby Elvan?"

"Bukan urusan lo," tukas Ardan seraya berjalan mendahului Elvan.

Melihat keseriusan raut wajah Ardan, membuat Elvan penasaran. Ia kemudian memilih melepas genggaman Anna dan berjalan menyusul Ardan. "Tunggu di sini bentar."

"Yah."

°°°

"Lo ngga serius, ya, sama tantangan gue," ujar Ardan.

Kini mereka berdua tengah berada di belakang sekolah. Tempat di mana tidak banyak siswa yang ada di sana, hanya beberapa siswa laki-laki yang ingin merokok saja.

Ardan mengembil sebungkus rokok di saku celananya dan menyodorkan ke Elvan. Namun langsung di tolak laki-laki itu.

"Maksud lo?" tanya Elvan.

"Gini aja, gue bakal balikin 15 juta lo kalo lo beneran berhasil dengan tantangan gue, Gimana?"

Elvan mengerutkan keningnya, sebenarnya Alfira itu siapa? Mengapa teman-temannya, dan kini Ardan juga begitu antusias untuk memberikan tantangan memacari gadis itu.

"Bentar, gue mau nanya. Sebenernya Alfira tu siapa, sih?" tanya Elvan dengan serius. "Kenapa lo kayaknya tertarik banget nantang gue buat macarin tuh gadis?"

"Lo tinggal jawab iya, atau batal."

"Oke."

Elvan memilih untuk memendam rasa penasarannya dan memilih mengikuti apa yang Ardan, dan dua temannya mau. Lagi pula, hanya memacari gadis seperti Alfira saja sudah dapat 30 juta itu benar-benar sesuatu yang luar biasa, bukan? Dapat gadis, dan juga dapat uang.

°°°

"Van, ngerokok yuk," ajak Faik ketika selesai pelajaran.

"Gue mau ke Alfira," sahut Elvan seraya menutup bukunya. "Pagi ini gue ngga ketemu tuh cewe."

"Tumben semangat banget lo."

Elvan melihat Haris yang juga ada di sampingnya kini. "Sini gue bisikin!"

Kedua teman Elvan yang sama-sama memiliki syndrome kata rahasia langsung kepo dan mendekatkan telinga mereka ke Elvan.

"Ardan mau balikin 15 juta gue kalo gue berhasil tantangan dia," bisik Elvan. Wajahnya terlihat begitu semangat.

"Serius?" tanya Faik yang begitu terkejut.

"Berati taruhan 10 juta gue ngga jadi, kan?"

"Ngga bisa!" Elvan menatap kedua sahabatnya tajam. "Yang udah terucap ga boleh ditarik lagi, titik. Udah gue cabut dulu."

Elvan langsung berlari ke luar kelas dengan begitu semangat. Jarak antara kelasnya dan kelas Alfira tidak begitu jauh, hanya terhalang satu kelas saja.

Seperti biasa, Elvan akan menunggu Alfira di depan kelas gadis itu. Satu orang, dua orang, dan semua penghuni kelas yang ke luar langsung tertuju kepadanya.

"Iya gue tau, gue ganteng," gumam Elvan seraya membenarkan rambutnya agar tidak menghalangi wajah tampannya. "Sepertinya gue harus potong rambut lagi ntar."

Elvan melihat sudah tidak ada lagi siswa di kelas Alfira yang ke luar. Namun, ia juga belum melihat wajah gadis yang ia tunggu. Ia menyembulkan kepalanya di balik pintu cokelat di depannya.

"Pantes ngga ada," gumam Elvan, kemudian berjalan masuk ke dalam kelas. Mendekati gadis bersurai hitam panjang yang kini tengah memalingkan wajahnya menatap jendela di atas kedua tangan yang bertumpuan meja. "Lo tidur?"

Elvan berdiri tepat di depan wajah Alfira. "Ngapain lo ngelamun? Galau karna kecepeten berangkat sekolah terus ga bonceng di gue?"

Alfira hanya menggerakkan matanya sekilas untuk menatap Elvan.

"Ke kantin bareng lagi, yuk!" ajak Elvan seraya membungkuk agar wajahnya sejajar dengan wajah Alfira.

"Bisa diem nggak sih, lo?" ucap Alfira dengan nada yang sedikit tinggi dan menatap Elvan. "Mau lo apa, si? Lo asik-asikan mainin gue, gue yang sengsara karna penggemar lo ngamuk."

"Siapa?" tanya Elvan serius.

"Pacar lo naruh lem di kursi gue," tukas Alfira.

"Hah? Serius? Pacar yang mana?"

Alfira menghela napasnya. Menghadapi laki-laki gila seperti Elvan, apakah ia juga harus jadi gila juga?

"Makanya punya pacar tuh jangan banyak-banyak, satu aja. Lupa, kan jadinya?"

Elvan menggaruk lehernya yang tidak gatal, dan tersenyum ke arah Alfira. "Janji, besok gue putusin semua pacar gue, dan gue bakal punya pacar satu doang yaitu lo."

"Kapan gue bilang mau jadi pacar lo?" tanya Alfira ketus.

"Tadi ... tadi lo bilang lo mau jadi pacar gue satu-satunya."

"Dih, kapan?" cecar Alfira.

"Ah, sudahlah. Sini biar gue bantu rok lo," sela Elvan untuk mengalihkan pembicaraan.

Alfira menampas tangan Elvan yang hendak menyentuh roknya. "Percuma, ga bisa dilepas. Harus dirobek, tapi ini rok abu-abu satu-satunya gue."

"Besok gue beliin yang baru, yang ini robek aja. Lo pake celana buat rangkepan, kan?" tanya Elvan.

"Engga."

"Hmm ... bentar gue ambilin celana olahraga gue."

"Bekas lo?" tanya Alfira yang sepertinya Enggan dengan saran Elvan.

"Engga, masih bersih. Gue pelajaran olahraga jam terakhir, ngga papa lo pake aja."

Elvan berlari ke luar dari kelas Alfira dan menuju ke kelasnya, ia mengambil celana trening hitam selututnya dari dalam laci mejanya. Kemudian ia kembali berlari menuju ke kelas Alfira tanpa memedulikan orang-orang yang ia lewati menatap aneh kepadanya.

"Nih lepas aja rok lu dan pake ini, gue jagain pintu. Tenang aja gue cowo baik, kok." tukas Elvan.

Alfira menatap celana yang Elvan letakkan di atas mejanya berulang kali. Ia bimbang memilih antara ego dan kebutuhannya. Jika ia kukuh dengan egonya, mau sampai kapan ia duduk di sini? Belum tentu ada orang yang sebaik Elvan. Mau-tidak mau, akhirnya Alfira mengikuti arahan Elvan.


_TBC_


A Novel Story By
alichyeon & heijohns

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top