Chap 20 : Moral Ambiguity

Note: WARNING! Chapter ini sedikit menyinggung soal perlakuan berbeda antara kaum minoritas. Mohon bijak dalam menanggapi.

— 20 —

Leo menyipitkan mata ketika menyadari sesuatu yang memercik di sekitar December. Dan pada detik berikutnya, pria itu tak bisa menutupi keterkejutannya akan sesuatu. Yang membuat tubuhnya harus terpental mundur. Tak hanya Leo seorang, dua sosok yang menahan tubuh December sebelumnya, juga jelas terlihat menerima nasib serupa.

Hanya saja, Leo masih bisa menahan diri hingga tubuhnya tidak harus menabrak dinding.

"Aiya," Leo menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. Melihat sosok December saat itu, harapan untuk bisa menang--menangkapnya--sirna sudah. "Aku lupa dengan kemampuan merepotkanmu itu,"

December perlahan bangkit sambil memegangi kepalanya yang terasa sakit sebelah. Tubuh sang wanita tampak berselimut aura keemasan. Dan helaian bulu emas juga terlihat gugur dari sekitar tubuhnya.

'Kau benar, Partner,' ujar December pada dirinya sendiri.

'Hmm?' Sosok December yang lain terdengar menyahut dengan deheman panjang.

"Entah apapun cara yang kugunakan untuk mengubah diriku," ujar December mengangkat kepalanya. Mata berwarna pucatnya, perlahan mulai menunjukkan warna jingga gelap yang sesungguhnya. "Pada akhirnya, aku tetaplah pembunuh. Darah yang telah menodai tanganku, takkan pernah bisa kubersihkan."

'Benar sekali, Partner!' sahut diri December dengan gembira. Dan dengan semangat ia melayang untuk menghampiri December, lalu memeluknya dari belakang melewati kedua bahunya. 'Jadi ...,'

"Ayo habisi mereka." Lanjut December dengan suara yang terdengar menggema.

Pedang berwarna emas tampak berbaris melayang di balik punggung December. Yang pada detik itu juga, Leo terlihat membelalakkan mata dengan apa yang dilihatnya. Dan—

"BERLINDUNG!" teriak Leo sebelum barisan pedang emas itu bergerak menyebar mengincar orang yang ada di hadapan December.

Barisan pedang itu meluncur cepat dan menyebar mengincar orang-orang yang ada di hadapan December. Mereka yang cepat bergerak, tentu dapat selamat dari hujanan pedang emas itu. Namun yang tidak, kematian lah yang datang menjemput.

Hujanan pedang itu terus dilancarkan tanpa henti. Merusak hampir setengah fasilitas yang ada di ruangan tersebut.

Seketika, December menghentikan serangannya. Matanya memandang malas kepulan asap yang ada. Perlahan ia berbalik. Melangkah pergi dari jalan keluar yang sesungguhnya, dengan cara menjebol dinding ruangan itu menggunakan kekuatannya. Dan begitu jalan keluar lain telah terbuka di hadapan December, ia pun melangkah pergi dari tempat tersebut.

Asap mulai menipis. Pandangan pun mulai kembali jelas. Leo perlahan melangkah keluar dari tempat persembunyiannya. Dan terpaku mendapati para bawahannya yang tergeletak mati karena terlambat bersembunyi.

Pedang berwarna emas yang menusuk masing-masing dari mereka, menacap tegak dan berlumur darah merah hingga mengganti warna permukaan bilahnya.

"ENIGMA ...," sebut Leo kini ganti memandang dinding yang dihancurkan December. Manik ungunya menajam. "Kalian benar-benar serius menyatakan perang kepada kami."

— 20 —

Pemantik itu menciptakan sebuah api kecil. Perlahan meraih ujung kertas bergambar yang berada di atasnya, dan mulai membakarnya sedikit demi sedikit.

Goldenweek menutup pemantik di tangannya itu. Menyimpannya, lalu ganti fokus pada kertas foto yang dipegangnya. Yang tentu saja, perlahan masih dilahap oleh si jago merah. Dan ketika api itu sudah mulai dekat, Goldenweek melepaskan foto--yang tampak melukiskan foto pria berambut silver dan bermata merah--terbakar itu dari tangannya. Membiarkannya pergi bersama abu hitam yang diembuskan oleh angin.


Sang pimpinan ENIGMA memandang abu hitam yang melayang-layang di udara dengan tampang tak bersemangat. Well ... itu memang ekspresi yang selalu ditampilkannya di hadapan orang-orang ENIGMA.

Tangannya bergerak naik kemudian. Meraih rokok yang sedari awal sudah bertengger di bibirnya, dan mengembuskan asap rokoknya ke udara. Matanya memandang jauh ke ujung kota Archimedia. Dimana dari tempatnya yang berada di atap markas ENIGMA, ia samar bisa melihat pantai selatan yang mengarah langsung ke laut pulau Elia.

Dan tiba-tiba, suara asing terdengar olehnya.

"Welcome back," sapa Goldenweek sadar ada sebuah portal muncul di balik punggungnya. Mendatangkan sosok Watson, Sora, Latte dan Madness.

Goldenweek berbalik sambil tetap mempertahankan posisi duduknya. Matanya menghitung sosok yang telah kembali dari misi penyelamatan itu. Dan menyadari, ada satu eksistensi yang tidak ada.

"Terlambat ya," tebak Goldenweek ketika melihat tubuh Madness yang dibawa oleh Watson. Ia tak mempertanyakan ketidakhadiran December di antara mereka.

"Sepertinya begitu," jawab Watson melirik tubuh dingin yang dibopongnya.

"Kalau begitu, siapkan pemakamannya," ujar Goldenweek sembari menyesap rokoknya lagi. "Aku yakin itu yang diharapkan dua orang yang bersamamu itu,"

"Ah benar. Soal Ketua—"

"Aku paham," potong Goldenweek, "kau tak perlu menjelaskannya. Pergilah untuk mempersiapkan pemakamannya,"

Watson sejenak ragu untuk langsung mengiyakan. Ia memandang Sora dan Latte berganti. Yang sejak mereka kembali, keduanya hanya membisu tanpa ada yang tahu apa isi pikirannya. Kecuali diri mereka masing-masing.

"Saya mengerti." Akhirnya, Watson mengiyakan perintah Goldenweek. Sesaat membungkuk singkat kepada pimpinannya, sebelum melangkah pergi meninggalkan atap bangunan tersebut.

Dan membiarkan Sora dan Latte tetap berdiri mematung di posisi mereka masing-masing.

"Ada yang ingin kalian keluhkan?" tawar Goldenweek usai Watson pergi.

Keduanya diam. Saling menghindari pandangan dengan perasaan gelisah.

"December yang membunuh Madness, 'kan?" terka Goldenweek dengan santai sambil menikmati rokoknya.

Tebakan itu sukses menarik perhatian dua sosok pendek di hadapannya. Kedua membelalakkan mata.

"Bagaimana kau ... tahu?" tanya Latte akhirnya berbicara lebih dulu.

"Bagaimana?" balas Goldenweek bertanya balik, "karena akulah yang menyuruhnya. Aku mengizinkan kalian menjalankan misi penyelamatan ini, dengan dasar agar kalian bisa bertemu Madness untuk yang terakhir kalinya,"

"Goldenweek ... tahu ini yang akan terjadi?" tanya Sora ganti bertanya.

"Dikatakan tahu, rasanya tidak cocok," jawab Goldenweek, "rasanya ini lebih cocok dikatakan direncanakan. Aku sudah merencanakan semua ini, dan tak mengira akan sesukses ini. Aku bangga pada diriku sendiri."

Pernyataan itu sukses membakar sumbu amarah Latte. Tanpa berpikir sedang berhadapan dengan siapa, wanita berkulit gelap itu menerjang ke tempat Goldenweek berada. Sora tak sempat menahannya. Sehingga ia hanya bisa terpaku di tempatnya dengan mata membelalak.

"Latte, jangan!" henti Sora amat sangat terlambat.

"Kenapa kau juga—!!" Amarah dan laju Latte terhenti tiba-tiba di tengah jalan saat ia menyadari sesuatu nyaris menembus lehernya. Itu lancip seperti jarum dan berwarna hitam.

Terlambat berhenti sedetik saja, Latte berani bersumpah jarum itu pasti akan menusuk lehernya.

"Maaf, tapi aku takkan segan-segan membunuhmu andai kau berbuat masalah denganku," ujar Goldenweek dengan santai. Tak merasa bersalah telah mengaktifkan dan mengarahkan skill-nya ke Latte. "Siapapun yang menghalangi jalanku, akan kulenyapkan. Bahkan para anggota ENIGMA sekalipun."

Latte meneguk ludah. Dan Sora terlihat gemetar di belakang sana.

Ini kali pertamanya mereka mendengar Goldenweek berbicara semacam itu. Ini kali pertamanya, mereka merasakan niat membunuh Goldenweek yang ditujukan kepada bawahannya.

Ini kah sosok seorang Goldenweek sebenarnya? Sang pimpinan ENIGMA generasi ke-5, yang dianggap paling kejam dan brutal dibanding pimpinan terdahulu.

"Kenapa ... kalian bisa sekejam itu?" tanya Latte dengan suara yang gemetar.

"Kalian?" balas Goldenweek bingung.

"Kau ... maupun December," jelas Latte, "sesungguhnya ... kalian menganggap apa orang-orang di sekitar kalian? Yang ikut memperjuangkan hal yang sama,"

"Memperjuangkan hal yang sama? Kurasa kau salah pada bagian itu, Latte," ujar Goldenweek sembari bangkit dari posisinya. Melangkah mendekati Latte yang mematung di tempatnya. "Kita semua memang ENIGMA, tapi masing-masing dari kita memiliki tujuan yang berbeda.

Apa kau berpikir, tujuanmu bergabung dengan ENIGMA sama dengan December? Atau Sora? Ataupun Madness? Tidak. Mereka dan kau itu jelas berbeda. Kau tahu kenapa?"

Latte menyipitkan mata. Rasa tak suka, perlahan mulai lahir di benaknya.

"Karena kau adalah kaum minoritas," sambung Goldenweek tanpa merasa bersalah, "kaum minoritas yang mencari perlindungan di bawah naungan ENIGMA,"

"Kau ...! Berengsek!" sentak Latte kesal. Amat kesal.

Pembicaraan soal kaum minoritas seperti ini, selalu membuatnya kesal bukan main. Karena tanpa ia inginkan, memori masa lalunya yang disiksa, dihina, diperbudak oleh kaum mayoritas, selalu tergambar tanpa ia inginkan. Padahal, bukan salahnya ia terlahir berbeda, 'kan?

"Jangan bicara seolah kau paham nasib yang kualami selama ini!" tambah Latte lagi, "jangan bertingkah seolah kau tahu rasanya disiksa karena perbe—"

"Aku memang tak paham rasanya," potong Goldenweek santai, sembari mematikan rokoknya dengan menginjaknya. "Tapi aku paham, kau tidak cocok hidup di neraka dunia ini." Mata emasnya melirik Sora yang masih gemetar di tempatnya.

"Kau ... maupun Sora." Tambah Goldenweek sedikit lebih lirih.

Huh?

Goldenweek melangkah melewati Latte sembari menonaktifkan kekuatannya. Ia jelas tak menoleh ataupun melirik sedikit pun ke arah Sora saat melewatinya juga. Sang pria pergi begitu saja meninggalkan dua bawahannya yang tak tahu lagi harus bagaimana.

Yang mana, sang putih sesungguhnya. Mana sang hitam sebenarnya.

Dan yang utama ...

Siapa sebenarnya yang telah mereka percayai selama ini?

— 20 —

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top