Chap 19: Rejected

— 19 —
Suara berdesing terdengar tepat setelah December membaca ucapan tanpa suara Madness.
'Maaf, dan terima kasih. Tolong jaga dua sahabat bodohku itu.'
Rangkaian kalimat itu berhasil ditangkap December dengan sempurna. Dan ia tak tahu harus membalasnya dengan apa ataupun bagaimana.
Dua pasang mata menatap tak percaya pemandangan yang baru saja terjadi. Cairan merah gelap yang kental itu mulai mengalir keluar, dan menodai surai perak yang acak-acakan itu.
"M-Madness ...?" Sora memanggil nama pria yang tengah tergeletak tersebut. Tapi, tak ada respon sedikitpun. Yang detik berikutnya, air mata mulai berlinang di kedua pelupuk matanya, hingga akhirnya tangisannya pecah begitu saja.
Latte jatuh berlutut melihat kematian sahabatnya. Semuanya terjadi begitu cepat. Ia tak tahu kapan December menekan pelatuk pistolnya itu. Menembak kepala Madness tepat di keningnya.
Ia tak tahu, mengapa ia harus melihat ini. Ia tak tahu, mengapa December tega melakukan itu.
Terlepas dari dua sosok yang mengalami syok berat tersebut, sang pelaku penembakan masih terlihat berdiri di tempatnya. Pistol yang ia gunakan untuk membunuh mantan rekan seperjuangannya itu, perlahan ia turunkan. Dan setelahnya, December tampak menonaktifkan skill [BARRIER]-nya yang ia gunakan kepada Latte serta Sora.
Tanpa ia duga, sebuah tinju mendarat di pipinya.
"Pembunuh berengsek!" teriak Latte dengan mata yang berlinang air mata. "Kenapa?! Kenapa mahkluk sepertimu ada di ENIGMA?!"
December tak memberi respon. Wanita tinggi itu hanya diam menerima pukulan kedua penuh kesedihan yang dilancarkan Latte. Ia berpikir, pukulan itu pantas ia dapatkan.
"Aku ... aku membencimu, December!" teriak Latte melancarkan pukulan terakhirnya lebih bertenaga.
Namun kali ini, December tidak tinggal diam. Dengan sempurna, wanita jingga itu berhasil menahan pukulan terakhir lawan mainnya. Menahan--menggenggam--kepalan tangan berselimut iron gloves itu.
Latte cukup terkejut melihat December berhasil menahannya. Ia mencoba menarik kembali tangannya, tapi December menggenggam tangannya dengan erat. Wajahnya yang terluka karena segala pukulannya, jelas lurus menatapnya. Membuat Latte tanpa sadar meneguk salivanya keras.
"Kau membenciku?" tanya December dengan maksud memastikan jika ucapan Latte sebelumnya, hanya omong kosong atau sebuah kesungguhan. "Kalau begitu bencilah. Benci aku hingga kau merasa ingin membunuhku setiap kali kita bertemu. Karena itu bukan masalah bagiku. Toh, sedari awal aku tak pernah menganggap kalian sebagai rekan atau temanku sesungguhnya.
Kalian semua, hanya orang asing bagiku. Tidak lebih dari itu. Membunuh Madness, bukanlah perkara yang sulit bagiku. Bahkan kau maupun Sora sekalipun."
Latte menatap tak percaya segala ucapan December. Semula, ia percaya itu hanya bualan bodoh. Tapi, saat matanya memandang iris jingga pucat December yang tajam mengarah kepadanya, itu telah memberikan bukti bahwa ucapan December barusan bukanlah guyonan.
December melepaskan genggamannya dari Latte perlahan. Membiarkan wanita berkulit gelap itu jatuh terduduk di hadapannya.
Pandangan December kemudian beralih ketika dirinya mendengar suara asing. Yang tak lama, sebuah portal hitam keabu-abuan, muncul di udara. Memunculkan sosok laki-laki berambut cokelat pasir bertubuh jangkung, dan berkulit pucat. Mata biru pucatnya memandang December penuh hormat.
"Ketua, waktunya sudah habis," ujar pria tersebut, "saatnya kembali ke markas. Dan ada apa dengan wajah Anda?"
"Kau datang tepat waktu, Watson," balas December membuang muka dari pria yang menyandang nama Watson itu. "Bukan apa-apa. Hanya terluka karena pertarungan fisik dengan lawan. Sekarang cepat bawa pergi Sora dan Latte,"
Watson memandang curiga pimpinan squad-nya tersebut. Namun, begitu ia mendengar perintah selanjutnya, Watson langsung mengangguk mengiyakan. Dan cukup terkejut ketika ia melihat keadaan dua orang yang disebutkan December.
"Madness?" tanya Watson menoleh kembali kepada December.
"Oh benar. Bawa juga dia," ucap December teringat. "Kurasa mereka berdua juga mengharapkan sahabatnya itu dikubur dengan layak."
'Dikubur?' Watson terdiam kemudian. Menoleh lagi ke arah lain untuk mencari sosok yang dibicarakan.
Dan tak perlu waktu lama baginya untuk menemukan sosok Madness. Tergeletak tak bergerak bersimbah darah, dengan sebuah luka--yang dapat Watson perkirakan--tembak di keningnya.
Headshot.
"Dan tinggalkan aku," tambah December. Yang langsung menarik kembali perhatian Watson kepadanya.
"Maaf, apa?" tanya sang pria jangkung itu terkejut.
"Pergilah dengan mereka. Aku akan kembali sendiri setelah mengurus sesuatu," ujar December.
"Tapi—"
"Cepatlah. Sebelum orang-orang FROTENCE mengepung kita," potong December, "aku yakin, mereka pasti sedang dalam perjalan kemari."
Watson semula ragu. Rangkaian pemikiran, terbayang di benaknya. Tapi pada akhirnya, ia mengangguk mengiyakan.
"Baiklah," ujar Watson mulai mrmbuka portal menuju markas ENIGMA. "Tolong kembali dengan selamat, dan jangan berbuat hal bodoh."
— 19 —
Setelah Watson pergi bersama Sora, Latte dan mayat Madness, December berbalik melangkah mendekati mayat Wolfine. Ia berhenti di samping tubuh yang dingin itu. Lalu berjongkok di sana.
"Kau tahu apa yang tak kusukai dari dirimu, Wolfine?" ucap December datar. Walau ia tahu, balasan takkan mungkin datang dari mulut sang pria. "Saat dimana segala ucapanmu, merupakan sebuah fakta. Aku ... sungguh membenci bagian itu."
'Kalau begitu, tak ada gunanya lagi kau menolak kenyataan yang ada, Partner,'
December membelalakkan mata akan suara yang didengarnya. Lalu mendongak, dan mendapati sosok dirinya tengah berdiri menjulang di hadapannya dengan senyum sinis di bibirnya. Kedua tangannya tampak bersembunyi di balik pinggangnya. Matanya berwarna jingga menyala, tidak pucat seperti milik December.
Dan dunia yang ada di sekeliling mereka, terasa sangat berbeda. Dimana seluruhnya gelap, serta terlihat tak memiliki ujung. Tak hanya itu, sosok tubuh Wolfine juga tak nampak di dunia serba hitam tersebut. Jadi hanya ada December.
December dan ... dirinya sendiri kah?
"Aku ... bukannya menolak kenyataan atau fakta yang ada," balas December. Setiap ucapannya terdengar menggema di dunia itu. "Aku hanya ... hanya ingin—"
'Ingin membelokkan fakta itu?' tebak dirinya sendiri. Senyum sinisnya masih terukir di bibirnya.
Sebelum akhirnya, sebuah tawa pecah dari dirinya sendiri. Sebuah tawa merendahkan.
'Oh my lovely partner,' sebut diri December melangkah mendekati December. Sedikit membungkuk, dan meraih dagu lawan bicaranya agar tatapannya lurus mengarah kepadanya. 'Apa kau tahu ada hal yang tak bisa dibelokkan? Sesuatu yang telah ditetapkan Xaaldin, sejak kita dilahirkan di dunia ini,'
December menggigit pipi bagian dalamnya. Ia tahu jawabannya, dan sangat memahaminya betul.
"Takdir," jawab December dengan sangat terpaksa.
'Benar!' sahut diri December dengan semangat. 'Takdir kita adalah menjadi pembunuh, partner. Bahkan rekanmu sendiri juga menyebut kita demikian, 'kan? Kau juga sudah membunuh banyak Unpossessor di luar sana, 'kan? Jadi, apa lagi yang perlu dikhawatirkan?'
"Itu ... berbeda cerita," jawab December. "Mereka memang pantas dibunuh. Para manusia yang tak pernah memanusiakan lainnya. Para manusia yang menganggap mereka adalah yang tertinggi. Mereka pantas untuk mati!"
'Itu benar! Dan orang-orang di sini juga tidak jauh berbeda. Mereka—'
"Menyerahlah!"
December membelalak kembali saat dunia serba hitam itu menghilang. Dan tubuhnya seketika jatuh ke depan oleh dorongan kuat dari belakang kepalanya. Menahan kuat kepalanya dan kedua tangannya yang terkunci di belakang pinggangnya.
"Halo, old friend," sapa seorang pria berjongkok di depan December, sembari mengacungkan sebuah pistol tepat di depan wajah December. "Siapa yang mengira kau akan menunjukkan batang hidungmu di sini lagi. Tertarik untuk kembali bekerja untukku?"
"Bahkan tidak di dalam mimpimu, Leo," balas December menatap kesal pria di hadapannya.
Pria yang memiliki surai putih panjang dan lebat itu mengembuskan napas kecewa. Mata ungunya memandang tubuh Wolfine yang tak bergeming di samping December.
"Ah, sungguh disayangkan, 'kan, Wolfine?" balas Leo meminta pendapat.
"Ya, sangat disayangkan," jawab sebuah suara, yang langsung membuat December membelalak.
Di sampingnya, tubuh yang seharusnya telah kaku dan dingin itu, tampak menggerakkan jemari tangannya. Dan perlahan tapi pasti, tubuh laki-laki berambut hitam tersebut, bangkit dari posisi tidurnya. Mengundang tatapan horor dari December ketika melihatnya.
"Kau ... bukankah kau seharusnya sudah mati!" teriak December tak terima. Tentu saja ia tak menerimanya, karena jelas sekali ia sudah menembaknya. Tak hanya di dada, tapi juga kepalanya.
Jadi, manusia mana yang masih bisa berdiri setelah ditembak di area vitalnya semacam itu?
"Yah ... maaf saja karena sudah mengecewakan harapanmu," ujar Wolfine menggaruk keningnya yang tertembak. Bagian itu terasa gatal. "Tapi sayangnya, aku belum mati,"
"Sepertinya, selama kau bekerja di FROTENCE dulu, kau belum sekalipun melihat kekuatan rahasia Wolfine ya, December," komentar Leo tersenyum puas.
"[RECYCLE LIFE]," sebut Wolfine dengan datar. Lambat laun, kedua luka fatal yang diterima tubuh Wolfine, tampak menutup atau pulih. Yang tentu saja, keadaan itu membuat December semakin membelalakkan mata. "aku dapat mengulang kehidupan dengan ongkos 1% kontaminasi Serum Roseffila di tiap titik vital, atau tiap luka yang menyebabkan aku mengalami kematian. Ngomong-ngomong, aku senang akhirnya kau mau mengakui hal yang kau benci dariku, December,"
"Dan sekarang, kami akan menangkapmu, ENIGMA." Ujar Leo merasa telah berada di puncak kemenangannya.
Tapi seketika, December tampak tersenyum sinis.
"Tidak hari ini, FROTENCE." Balas December.
[REJECTED]
Activated!
— 19 —
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top