Chap 11 : Let It Go

— 11 —

"So ... ra?"

Wanita berambut cokelat itu menatap Sora tak percaya. Ponsel hitam masih menempel di telinga kirinya, dan panggilannya sendiri masih tersambung dengan Sora yang kini jelas telah berada di hadapamnya.

"Seo!" Sora tiba-tiba menjerit. Selangkah mendekat ke wanita yang lebih tinggi itu, dan mencengkaram ujung bajunya. "Tolong antar Sora kembali!"

Seo mendelik.

"Sora," sebut Seo menurunkan ponselnya dari telinganya. "Aku tahu tak ada aturan yang melarang kita meminta bantuan anggota squad lain. Karena pada dasarnya, ENIGMA itu satu. Tapi ...,"

Seo terhenti. Keningnya terlihat memunculkan urat-urat sarafnya. Tangannya yang membawa ponsel, nampak mengerat kuat hingga ia yakin dapat meretakkan layar ponselnya itu.

"Bukan berarti dengan kekuatan teleportasi yang kumiliki, aku harus menjadi kurir antar-jemput lintas wilayah!" sambung Seo terdengar geram.

Sebelum ia mendapatkan panggilan dari Sora beberapa waktu lalu, Seo tengah sibuk mengurus ini itu di Oraton Distric. Hingga akhirnya, ia menerima panggilan darurat dari Sora. Tapi, Seo tak mengira bahwa hal ini yang justru ia dapatkan.

"Selain itu, aku tak bisa jauh-jauh mem—"

"Tidak, bukan Sora!" Sora memotong cepat. Ia menggeleng dan kembali menatap Seo. Yang pada saat itu, Seo bisa melihat bahwa satu-satunya mata yang tidak tertutup penutup mata itu, tampak berkaca-kaca. "Tapi Madness!"

"Apa?" Nama yang disebutkan Sora, seketika sukses membuat Seo membelalakkan mata.

"Tolong bawa Madness ke markas sekarang, Seo. Sora ... Sora tak mau kehilangan Madness!"

Si rambut cokelat mengerutkan kening. Kenapa Madness bersama Sora? Apa yang hendak dilakukan laki-laki pendek itu dengan Sora? Tapi, melihat bagaimana tingkah Sora saat ini, Seo dapat mengambil kesimpulan bahwasanya Sora tidak berada dalam bahaya.

"Uh ... baiklah!" Seo akhirnya mengiyakan. Yang seketika, langsung melahirkan senyum penuh syukur di bibir Sora. "Hanya kali ini saja. Mengingat kau terlalu lucu untuk seorang laki-laki,"

"Eh?" Senyum Sora seketika sirna. "Apa hubungannya lucu dengan bantuan dari Seo?"

"Tak perlu kau pikirkan. Mana Madness?"

— 11 —

Di ruang medis markas ENIGMA, tampak ruangan tersebut terasa sepi sore itu. Hanya ada sosok Christina di sana. Bersenandung riang, sembari menggarap sesuatu di meja kerjanya lewat hologram biru yang melayang di atas mejanya.

Kebanyakan, tim peneliti ENIGMA sudah selesai dengan pekerjaan mereka. Karena memang, Gleen--selaku kepala peneliti--memberlakukan aturan untuk meniadakan penelitian apapun ketika lewat pukul 2 siang. Dan hanya ia yang sudah mendapat izin dari Gleen langsung, yang masih diperbolehkan bekerja meneliti sesuatu hingga hari berganti sekalipun.

Lagu yang disenandungkan Christina telah tiba di bait akhir. Bahkan, wanita berambut merah itu terlihat sangat menikmati alunan lagu yang ia nyanyikan. Dan beruntung, ia sendiri di ruangan tersebut. Sehingga sang wanita tak perlu sungkan menunjukkan suara sumbangnya, tanpa khawatir ada orang protes mendengarnya.

"GLEEN!"

Christina mengatup rapat mulutnya saat suara wanita datang menyebut nama Gleen. Ia langsung memutar kursi putar yang didudukinya, menghadap sosok Seo yang tiba-tiba muncul bersama Sora. Dan sosok pendek yang berada dalam gendongan punggungnya.

"Seo, tidak sopan muncul tiba-tiba seperti ini," komentar Christina mengkritik cara Seo datang.

"Mana Gleen?" Mengabaikan kritikan Christina, Seo langsung mempertanyakan kehadiran pria berambut blue cyan itu.

"Sedang dalam misi," jawab Christina jujur. "Dan siapa yang kau—!!" Belum selesai si rambut merah berucap, ia tiba-tiba beranjak dari duduknya dan mendekati Seo.

Tangannya bergerak terulur ke depan. Meraih surai putih dari sosok yang digendong Seo di punggungnya.

"Fuck," Ia mengumpat seketika saat melihat wajah dari sosok tersebut. Tampangnya seketika berubah geram melihat siapa itu. "Kenapa kau bawa Madness kemari?"

"Chris, Sora akan menceritakannya nanti!" ujar Sora mewakili. Laki-laki bermata satu itu sendiri, terlihat menarik-narik ujung jas laboraturium yang tengah dikenakan Christina. "Tapi untuk saat ini, tolong Madness ya. Sora mohon!"

Christina menunduk untuk bertatapan langsung dengan Sora. Karena pada dasarnya, laki-laki itu memang lebih pendek darinya.

Iris emas itu menatap kepadanya penuh harap. Juga berkaca-kaca menahan tangisannya untuk tidak tumpah. Namun, tatapan itu justru terasa begitu membunuh bagi diri Christina.

"Uh, baiklah," Akhirnya, karena tak kuasa melawan tatapan mematikan Sora, Christina mengiyakan. "Akan kutolog dia. Tapi aku perlu memeriksanya terlebih dulu, dan akan kuhubungi Gleen agar ia melakukan perawatan lebih lanjut jika memang ini berhubungan dengan Tier-nya."

"Terima kasih, Chris!" balas Sora tersenyum penuh syukur. Seketika memancarkan cahaya surga di balik punggungnya. Yang mana itu terasa menyilaukan di mata Christina.

'Ugh! Imutnya! My heart is not kuat!' batin Christina menoleh ke arah lain sambil memegangi dadanya.

— 11 —

Goldenweek melangkah memasuki ruang medis dengan langkah mantapnya yang tenang. Menghampiri Gleen yang sudah kembali dari misinya karena mendapat panggilan cito dari Christina, dan kini terlihat bersandar di dinding luar ruang isolasi.

"Gleen," Suara datar Goldenweek yang khas, cukup untuk membuat Gleen mendongak. Melepas perhatian sang ilmuwan dari holo-tab di tangannya.

"Hei, Goldenweek," balas Gleen terdengar tak bersemangat.

"Kudengar kau kedatangan tamu,"

Gleen mengangguk. Lalu menunjuk pintu ruang isolasi di sampingnya dengan kepalamya.

Tanpa berkata-kata lagi, Goldenweek segera membuka--dengan cara menggeser--pintu putih di hadapannya. Melangkah masuk ke ruang isolasi tersebut, yang saat itu tengah diisi oleh satu orang pasien saja. Dan terlihat sibuk memainkan konsol video game yang dipegangnya di atas ranjang tidurnya.

"Hei," Pria pendek dengan surai putih itu menyapa Goldenweek dengan segera, ketika ia menyadari kunjungan ketua ENIGMA itu. Tapi matanya tak teralihkan dari game-nya.

"Madness," sebut Goldenweek berdiri di samping kiri ranjang yang ditempati Madness.

"Siapa yang mengira, kita akan bertemu secepat ini," ujar Madness mengembuskan napas. "Padahal baru kemarin kita berhadapan satu sama lain."

Goldenweek bungkam. Ia sedikit berbalik. Memandang sebuah monitor yang terhubung dengan kabel. Dimana kabel tersebut, terlihat tersambung di pergelangan tangan kanan kiri Madness. Sedangkan monitor yang ada, itu tampak merekam kondisi tubuh Madness.

"Kenaikan ya," tebak Goldenweek kembali memandang Madness. Yang dibalas si rambut putih dengan dengusan dan gedikan bahu. "Lalu, berapa persen sekarang?"

"97," jawab Madness dengan singkat dan padat. Dan tentunya masih fokus pada game yang ia mainkan.

Mendengar angka yang disebutkan Madness, seketika membuat Goldenweek merasakan nyeri di dadanya. Tapi ia hanya diam.

Mendapat respon berupa keheningan, membuat Madness penasaran. Ia menghentikan permainannya, menurunkan benda panjang berwarna merah-hitam-biru itu. Dan, menoleh kepada Goldenweek.

"Kau ini monster ya," ujar Madness tak bisa menahan diri untuk tidak berkomentar. "Usai mendengar hal semacam itu, wajahmu masih saja datar seperti itu. Sungguh, aku penasaran dari mana kau mempelajari ilmu stoic expression-mu itu,"

"Lalu kau mau aku bagaimana?" balas Goldenweek seolah memberikan Madness sebuah penawaran.

Bukannya menjawab, Madness hanya mendengus sambil memutar bola matanya. Meskipun Goldenweek berkata demikian, ia tahu bahwa pria jangkung itu takkan benar-benar melakukan apa yang diinginkan Madness.

"Kalau begitu, bagaimana soal hasil penyelidikannya?" tanya Goldenweek membuka bahasan baru.

"Tentu saja ada di ruanganku di markas FROTENCE," jawab Madness kembali melanjutkan game-nya.

Dan kali ini, terdengar sebuah helaan napas panjang dari Goldenweek.

"Well then ... there's no other way," ujar Goldenweek kemudian.

Tepat setelah Goldenweek mengutarakan kalimat yang terasa putus asa itu, tepat bersamaan dengan karakter game yang dimainkan Madness, berakhir menerima kekalahan. Membuat pria pendek itu kembali memandang kepada Goldenweek. Iris merahnya menatap iris emas Goldenweek dengan tak percaya.

Tapi, sikap diam pria jangkung itu, sudah dirasa cukup bagi Madness.

"You ... really fuckin monster, Goldenweek." Komentar Madness tersenyum masam kepada sang ketua ENIGMA.

— 11 —

Dunia yang dilihat wanita berambut pink itu serasa berputar seperkian detik. Sebelum akhirnya ia bisa merasakan punggungnya yang mendarat di permukaan dengan keras.

"Kemenanganku yang ke-30, Amona," ujar wanita berambut cokelat gelap sepunggung, yang baru saja membanting si rambut pink. Perlahan melepaskan tangannya dari lengan lawan mainnya.

"Aduduh," Amona berusaha membalikkan tubuhnya ke posisi tengkurap. "Duh punggungku ... encok. Senior Xianlu membantingku keras sekali,"

Xianlu mengibaskan surai panjangnya yang saat itu terikat rapi. "Jangan berlebihan," komentarnya, "aku bahkan tidak menggunakan setengah dari kekuatanku untuk sparing kali ini,"

"Tolong jangan gunakan hingga setengahnya. Karena aku yakin, setelahnya aku hanya akan tinggal nama," balas Amona terdengar memohon.

Xianlu hanya memutar bola matanya sebagai balasan. Lalu berbalik untuk melangkah ke pinggir area lapangan latihan untuk mengambil botol minumnya dan milik Amona. Tapi, saat ia hendak menbawa kedua botol itu ke tengah lapangan, ponsel di tas Amona berbunyi.

"Amona! Ponselmu bunyi!" beritahu Xianlu agak berteriak.

"Ah, tolong lempar kemari, Senior!" balas Amona dari tengah lapangan.

Karena moodnya sedang baik, Xianlu pun melakukan langsung apa yang diminta Amona. Toh wanita berambut pink itu juga mengatakan magic word-nya.

Amona menangkap ponselnya yang melambung ke arahnya dengan sempurna. Sejenak memandang notifikasi apa yang terpampang di layar ponselnya, sebelum akhirnya menempelkannya di telingan kirinya.

"Ya, halo? Ada apa?" ujar Amona. Senyum semringah tampak terpatri di wajahnya. menghapus habis rasa sakit dan penat yang dirasakannya.

Namun, secepat rasa sakit dan penatnya hilang, secepat itu juga senyum semringah Amona luntur dari bibirnya. Dan digantikan dengan ekspresi terkejut.

— 11 —

Pintu besi tua itu didorong pelan dari dalam. Menimbulkan bunyi 'ngiik' yang cukup untuk membuat Amona menoleh ke pintu masuk atap gedung tempatnya berada.

"Hei, Golden—!!"

Belum selesai Amona menyelesaikan sapaannya, kekasihnya telah menerjang dirinya lebih dulu. Membuat wanita yang lebih pendek itu jatuh terduduk.

"Goldenweek ...?" panggil Amona menyebut nama kekasihnya.

Tapi Goldenweek tak menyahut. Ia hanya diam sembari terus mendekap Amona. Tapi, sang wanita samar mendengar suara isakan dari sang kekasih. Membuat tangan Amona spontan bergerak mengusap punggung Goldenweek, dan memberikan kecupan pada surai cokelat keemasannya.

"Shh ... let go," Amona berucap lembut. Tangannya tak berhenti memberikan usapan lembut di punggung kekasihnya. "It's going to be okay. I promise. So, you can cry if it's hurt, Goldenweek. I'm with you."

Dan tanpa ragu lagi, Goldenweek pun melepaskan seluruh emosi yang telah ditahannya. Menangis deru dalam pelukan hangat nan penuh kasih yang diberikan Amona.

Is he really a monster?

— 11 —



Note:
Ane sungguh menikmati saat menulis scene dimana Christina merasa tersipu dengan senyum yang diberikan Sora. XD

*referensi: webtoon Deadly Seven Inside Me ©Deruu RioTa

Dan, ane merasa nyesek menuliskan scene Amona×Goldenweek di bagian akhir :"v

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top