2.Want Be My Friend?
Junior masih melihat kepergian Abraham di halte itu. Ia memang tak punya hak apapun untuk menanyai masalah yang sedang dialami orang lain, sekalipun itu teman sekelasnya sendiri. Lagipula mereka memang tak pernah dekat sebelumnya, bahkan Junior ragu kalau Abraham maupun Gio menganggapnya sebagai teman. Pemuda itu menghembuskan nafas pelan hingga tiba tiba seorang gadis lewat disebelahnya seraya menggerutu kesal karena jemputannya tak kunjung tiba.
"Tunggu, kau Adelwis kan?"tanya Junior sambil menuntun sepedanya menghampiri Adelwis.
"Maaf soal makananmu yang tumpah tadi, bagaimana kalau aku meneraktirmu makan mie ditempat kerjaku?"lanjutnya lagi.
"Ooo jadi tadi itu kamu? eh tunggu! ditempat kerja?"
"Iya, tempat kerja,"jawab Junior sambil memperlihatkan senyumannya yang membuat Adelwis terpaku beberapa saat.
Mereka tiba di sebuah mini market setelah menaiki sepeda selama 30 menit. Rekor waktu terlama bagi Junior karena biasanya ia hanya memerlukan waktu 15 menit saja. Hal ini tak lain disebabkan Adelwis yang tidak terbiasa berdiri dibelakang sepeda Junior. Gadis itu sekarang menduduki kursi dengan payung bundar di tengah mejanya yang berada di depan mini market sementara Junior masuk lalu keluar lagi sambil membawa dua cup mie instan
"Mie ini tidak mahal, tapi tenang saja kau tidak akan sakit perut jika memakannya,"jelas Junior saat melihat Adelwis yang hanya diam menatap mie instan dengan asap mengepul didepannya.
"Eh tidak, kau salah kalau mengira aku seperti anak kaya yang manja itu "Elak Adelwis cepat sambil mengambil mie itu dan mulai menyantapnya.
"Pelan pelan makannya"
"Ini enak sekali! Kenapa tak pernah ada yang bilang ada mie seenak ini?"kata Adelwis penuh minat.
"Oh ya ngomong ngomong kau bekerja part time ya? Kenapa bisa ? Apa kau....."
"Pertanyaanmu banyak sekali ... ya aku memang bukan orang kaya seperti kalian, aku bisa sekolah di Dsinscho juga karna pamanku menang undian."
"Undian apa?"
"Ummm, pasta gigi"jawab Junior sambil menyengir.
Adelwis mengerutkan kening tak percaya.
"Memangnya ada?"
"Ceritanya panjang dan itu tidak penting ... ah gawat! aku lupa menyiram kebunku"
Junior bergegas pergi ke atas mini marketnya yang memiliki atap datar sehingga memungkinkannya untuk menanam beberapa tanaman. Tanpa meminta izin lebih dulu Adelwis ikut naik meski ia merasa sedikit takut karena sepertinya tangga itu telah tua hingga menimbulkan bunyi deritan saat diinjak.
"Kau suka berkebun?"tanya Adelwis yang sekarang tengah mengamati Junior.
"Iya dulu saat di desa aku punya kebun yang sangat luas "
"Apa saja yang kau tanam?"
"Ya apa saja!"
"Kau senang tinggal di desa?"
"Ya ... udara disana masih sejuk walau matahari telah berada diatas kepala , kau bisa mendengar kicauan burung yang terbang dengan bebasnya dilangit, gemericik air, penduduk yang ramah dan masih banyak lagi"
"Pasti kau punya banyak teman."
"Tentu saja! Saat kecil kami bermain dekat aliran sungai, terkadang membantu mengembalakan ternak milik pak lurah dan ..."
Junior berhenti bercerita saat ia tak sengaja menengok kearah Adelwis yang nampak murung.
"Kau kenapa?"
"Senang sekali bisa jadi dirimu ...
Duniamu menyenangkan berbeda sekali denganku"
"Kau tidak boleh bilang begitu, karena banyak orang yang ingin hidup sepertimu ... kau tidak sadar ya? Kau punya segalanya,"kata junior, nada bicara merendah.
"Segalanya tapi aku tidak punya teman"jawab Adelwis tersenyum hambar.
"Sejak awal kau selalu bersekolah ditempat yang terbaik, semua keinginanmu pasti terwujud, untuk apa berharap jadi anak desa sepertiku ... kau pintar sedangkan aku bodoh, kau punya orang tua sedangkan aku ..."Junior tak melanjutkan kata katanya dan lebih memilih menikmati angin sejuk yang menerpa wajahnya.
"Emm, Junior kau tidak menanam bunga?"kata Adelwis mencoba mengganti topik.
"Tidak."
"Kau seharusnya menanamnya, tempat ini pasti cantik jika dipenuhi berbagai jenis bunga."
"Setangkai Edelweiss bisa menjadi kebunku, dan seorang teman bisa menjadi duniaku.
Adelwis ... mau berteman denganku?"
"Teman? Te ... tentu saja"jawab Adelwis menyambut uluran tangan Junior sambil tersenyum
.....
Adelwis masuk ke dalam kelas dengan ceria, kemarin ia baru saja mendapatkan seorang teman. Hal yang tak pernah dimilikinya sedari dulu. Bukan karena ia tak pandai bergaul, tapi itu karena kebanyakan teman di sekolahnya dulu segan padanya dengan alasan yang Adelwis pun tak tau. Ada yang berbeda dikelas hari ini karena Gio masuk sekolah, tapi tempat duduk didepan Adelwis tetap kosong. Ia lebih memilih duduk ditempat lain. Sekilas ia melirik ke arah Abraham, Gio baru tau jika ia sekelas dengan teman atau mungkin mantan temannya sekarang.
Azhalea yang melihat keberadaan Gio mulai kumat rumpinya dan dengan segera menghambur ketempat Amarylis serta Queena.
"Eh ... kalian tau tidak? ibuku bilang perusahaan ayahnya Gio itu bangkrut"kata Azhalea setengah berbisik, tapi kata katanya itu masih terdengar oleh Adelwis.
"Benarkah? Lalu kenapa dia masih disini? Jika dia miskin maka ia tidak pantas sekolah disini" Balas Queena sedang Amarylis hanya diam, itu adalah hal yang memang sering dilakukannya jika kedua temannya sedang membicarakan masalah yang dianggapnya kurang baik tapi ia juga tau jika sebenarnya Azhalea dan Queena tidak sejahat itu, hanya terkadang sedikit rumpi saja.
Gio pun juga mendengar kata kata Azhalea yang sebenarnya tak pantas disebut bisikan, namun dari pada memikirkan hal yang tidak penting pikiran Gio justru lebih memilih mengingat kembali pertemuannya dengan Mrs Vania dirumahnya kemarin sore
"Kenapa kau tidak masuk sekolah?"suara Mrs Vania yang dingin memecah kesunyian.
"Anda seharusnya tau apa yang terjadi pada keluargaku, aku tidak punya uang"kata Gio dengan tidak kalah dinginnya.
"Kau akan tetap sekolah, aku yakin Dsinscho masih tetap menerimamu, kau juara kelaskan? Aku akan mengurus beasiswamu jadi masuklah besok" kata Mrs Vania sambil beranjak dari tempat duduknya dan berjalan pergi.
"Bagaimana jika aku tidak mau? Memangnya siapa kau berani mengaturku?"
Mrs Vania berhenti berjalan dan menengok.
"Kau harus mau, balasan paling kejam untuk orang yang telah menjatuhkanmu adalah kesuksesan. Aku adalah wali kelas XI A, namaku Mrs Vania"
Gio tersadar dari lamunannya, kata kata terakhir Mrs Vania terus membayang dikepalanya, Gio yakin kalau Mrs Vania tau tentang politik kotor dari ayah Abraham tapi bagaimana cara ia mengetahuinyalah yang membuat Gio bingung.
Prraaakkkk.....
Tiba tiba Wiliam yang baru datang menepuk meja Gio dengan sketboard -nya
"Berani beraninya kau duduk ditempatku!"
"Ini tempat dudukmu?"
"Kau masih saja bertanya!"
"Kalau begitu kau cari tempat duduk lain ... aku sudah terlanjur nyaman dengan tempat ini."katanya menghiraukan William dan juga Abraham yang kini ikut menengok, bagi Gio akan terasa sangat aneh jika ia duduk ditempat lain, karena sebelumnya ia selalu duduk di barisan tengah paling akhir. Awalnya hanya mengikuti Abraham, namun seiring berjalannya waktu itu menjadi tempat favoritnya juga.
"Sombong sekali, kau pikir aku tidak tau kalau perusahaanmu bangkrut? kau tidak pantas berada disini, miskin!"
"Jaga mulutmu!"bentak Gio, satu pukulan mendarat dipipi kanan Wiliam yang sontak saja membuat seluruh kelas menjadi ribut.
Wiliam juga mencoba membalasnya namun meleset.
"Hentikan!" Teriak Mrs Vania yang baru saja datang.
"Apa yang kalian lakukan?" Tanya wali kelas mereka itu dengan emosinya yang meluap luap ia menghampiri Wiliam dan Gio.
"Anak miskin ini mengambil tempat dudukku"tunjuk Wiliam tanpa rasa bersalah.
"Wiliam jaga kata katamu, Gio duduk ditempatmu"perintah Mrs Vania kali ini suaranya menurun, Gio terpaksa menurut dan duduk ke depan Adelwis.
"Ini hanya masalah kecil, kalian kelas XI SMA sekarang bukan anak SMP yang baru masuk SMA kalian sudah kelas XI, hanya tinggal dua tahun lagi untuk lulus, apa masih pantas berkelahi hanya karna berebut tempat duduk? Masih pantas meledek status ekonomi?"
Seluruh kelas hening, Mrs Vania melirik ke arah sketboard diatas meja Wiliam.
"Wiliam kau tau kan ini ruang apa?"
"Ini ruang kelas."
"Ya, dan ruang kelas digunakan untuk belajar bukan untuk bermain sketboard, kemarin aku sudah membiarkanmu sekarang letakan sketboard-mu dimejaku."
"Ini milikku, hakku ingin melakukan apa saja padanya."
"Tapi kau memakainya ditempat yang tidak seharusnya."
"Aku tidak peduli."
"Baiklah, aku juga tidak peduli jika kau tidak mendapatkan nilai Bahasa inggris dirapotmu nanti."
Ancam Mrs Vania yang membuat Wilian terkejut dan terpaksa meletakkan sketboard kesayangannya dihadapan Mrs Vania.
"Kenapa tidak sekalian saja kau laporkan pada ayahku?!"gerutunya.
"Ide bagus, boleh minta nomor telponnya?"balas Mrs Vania, Wiliam hanya bisa cemberut mendengarnya.
Tiba tiba suara nada dering dari Handphone Azhalea berbunyi membuat kelas yang telah tegang menjadi semakin tegang.
"Milik siapa itu?"tanya Mrs Vania meski ia telah mengetahuinya, Azhale terpaksa mengangkat tangannya dengan sedikit takut.
"Apa kalian semua membawa handphone?"tanya Mrs Vania yang dijawab dengan anggukan seluruh kelas, Mrs Vania hanya bisa menghembuskan nafasnya pelan.
"Mulai besok handphone tidak diperbolehkan!"
"Ap? bagaimana jika digunakan untuk kamus?"tanya Adelwis yang mendapat dukungan seluruh kelas.
"Apa kalian tidak punya buku kamus?"
Siswa siswi menggeleng.
"Dipertemuan selanjutnya kalian sudah harus memiliki buku kamus masing masing"
Beberapa jam berlalu setelah kejadian itu kelas masih saja diselimuti ketegangan, Abraham yang sejak tadi pura pura membaca buku sebenarnya diam diam melirik ke arah Gio dengan khawatir.
"Hey Wiliam, jika kau bilang Gio tidak pantas sekolah disini itu artinya aku juga tidak pantas. Aku bukan orang kaya " kata Junior angkat bicara, Wiliam menengok kearahnya.
Seluruh kelas terkejut begitu pula dengan Adelwis walau sebenarnya ia sudah mengetahuinya. Adelwis hanya tak habis pikir dengan tindakan Junior, itu sama saja dia tengah menggali kuburnya sendiri.
"Ssstttt...junior"tegur Adelwis cemas.
"Tidak apa apa Adelwis, mereka harus tau yang sebenarnya, sekarang aku ingin bertanya pada kalian, apa ada syarat kalau masuk di Dsinscho harus kaya? Tidakkan? Apa jika ada orang miskin sepertiku ditengah tengah kalian akan menimbulkan kerugian atau omzet perusahaan kalian berkurang? Apakah kemiskinan itu menular? Setahuku tidak!
Lalu apa masalahnya? Kenapa harus bermusuhan? bukankah lebih baik kalau kita berteman?"
Seluruh kelas saling berpandangan, tapi Abraham rupanya tak tersentuh sama sekali dan lebih memilih keluar kelas.
....
Hari ini ada rapat disekolah sehingga kelas dibubarkan lebih awal, Adelwis tak menyia-nyiakannya. Gadis itu langsung pergi ke toko buku dan bergegas menemukan rak yang berisi deretan kamus. Hanya saja rak itu terlalu tinggi membuat Adelwis tak dapat mengapainya hingga seseorang mengulurkan tangannya dan menyerahkan kamus itu pada Adelwis.
"Gio?"
....
To Be Continue
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top