17. When it Rains

"Selamat Ammy, kau memang pantas mendapatkannya"kata Azhalea dengan sumringah pada Amarylis yang baru saja keluar dari kelas setelah pembagian raport.

Seperti biasa Amarylis tersenyum lembut.
"Terima kasih"

Para siswa lain bersliweran diantara lorong sekolah. Beberapa diantara mereka memilin bibir tat kala melihat nilai merah yang tertera diraportnya. Yang lainnya malah ada yang sampai menghentak hentakkan kaki kesal disepanjang lorong tanpa memperdulikan tatapan aneh dari orang orang disekitarnya.

Disudut lain, sebuah kursi panjang yang tak jauh dari papan mading tampak diisi oleh seorang gadis. Ia adalah Adelwis, cukup lama ia menikmati kesendirian dan menatap tanpa minat kearah kerumunan orang yang memberikan ucapan selamat pada sang peringkat satu semester ini.

Berulang kali gadis itu berniat beranjak dari tempatnya, namun langkahnya terus saja terasa beku. Hingga akhirnya yang bisa ia lakukan hanya menghembuskan nafas berat.

"Kenapa?"tanya Gio ikut duduk disamping Adelwis, ditutupnya buku yang ia baca demi mendengar apa kiranya yang tengah menggangu gadis itu.

Sang gadis yang diajak bicara menengok kearah pria disampingnya. Masih dengan ekspresi yang sama. Perlahan ditiupnya poni panjangnya yang hampir menutupi separuh matanya. Adelwis tak berniat bicara. Namun setelah mengikuti arah pandangannya, Gio dapat mengambil kesimpulan yang paling logis.

"Sesekali tidak mengapa jika kau tidak menjadi yang pertama"hibur Gio seraya mengaitkan poni itu kebelakang telinga Adelwis.

"Aku..."

"Nilaimu tetap bagus"

"Tetap saja, hanya peringkat dua"

"Aku tiga, kita berdampingan"Gio berseru dengan bangga yang dilebih lebihkan membuat Adelwis tersenyum kecil.
"Ayo beri selamat pada Ammy"

Adelwis melirik kearah kerumunan itu. Sekali lagi ia mencoba menarik nafas dan ikut tersenyum saat melihat tawa Gio yang seakan memberikan energi positif dalam moodnya.

"O.K"

Gio bangkit dari duduknya sembari memberikan isyarat pada Adelwis agar turut mengikuti langkahnya.

"Hai, Ammy...ada sesuatu yang ingin dikatakan Adelwis"kata Gio mengawali percakapan diiringi kerlingan kearah Adelwis yang mendesis kala mendengar katanya.

Adelwis menggigit bibir bawahnya dan tersenyum canggung pada Amarylis yang masih setia menunggu sepatah kata terucap dari mulutnya.
"Selamat ya" akhirnya hanya dua kata itu yang bisa ia sampaikan walaupun sudah berfikir sedemikian lama.

Gio yang semenjak tadi memperhatikan hanya tersenyum singkat. Setidaknya gadis itu telah berhasil mengalahkan egonya.

"Terima kasih, kalian juga hebat"puji Amarylis tanpa pernah melepas senyumannya. Lonceng berdentang beberapa kali membuat Amarylis melihat sekilas kearah jam tangannya yang telah menunjukkan waktu pulang.
"Oh ya, bagaimana kalau kita pulang bersama?"

"Ah, aku sepertinya tidak bisa, banyak yang harus kulakukan lebih dulu sebelum pulang"tolak Adelwis dengan sopan.

"Yah, dan aku juga tidak bisa karena harus menunggunya"Gio ikut menimpali.

Amarylis tertawa kecil melihat ekspresi Adelwis yang berubah dan langsung mendelik kearah Gio.
"Kalau begitu aku duluan ya, bye"

"Bye"jawab keduanya serempak.

"Kau pulang duluan saja"suruh Adelwis

"Kalau aku tidak mau?"

"Kenapa begitu?"

"Karena aku tidak mau"

"Itu bukan sebuah jawaban"

"Ayo, apa yang mau kau lakukan? Aku akan menunggumu"

Tak mau mengalah, Adelwis melipat tangannya didepan dada.
"Kubilang pulang saja, aku akan lama"

"Kubilang aku tidak----"
Gio menggantung kata katanya ketika mendengar handphone berbunyi, ditatapnya layar handphone itu dan Adelwis bergantian seakan meminta izin untuk menerimanya. Tanpa mengerti kenapa Gio melakukan itu Adelwis mengernyit bingung lalu mengangguk pelan.

"Hallo?"

Tak memerlukan waktu lama. Hanya sebuah percakapan singkat yang direspon dengan beberapa kalimat 'iya' atau 'tidak'. Gio menghembuskan nafas pelan saat menutup sambungan teleponnya.

"Aku tidak bisa menunggumu, ibuku bilang ada acara dirumah dan aku harus pulang cepat"

Mendengar hal itu bibir Adelwis membentuk huruf O. Diam diam ia bersyukur akan keadaan ini. Sebenarnya ia bukannya tidak ingin ditemani Gio, tapi Adelwis hanya khawatir terus terusan berada disampingnya pria itu malah membuat kesehatan jantungnya terganggu. Ia perlu istirahat sebentar saja dari bayang bayang Gio.

Setelah melambaikan tangannya, Gio berlari pelan keluar dari gedung Dsinscho. Begitupula dengan Adelwis yang mulai melangkah menuju lorong tempat ratusan loker tersusun.

Adelwis merapikan barang barangnya yang berada kotak kecil yang tertata rapi sepanjang lorong itu. Ia memasukkannya satu persatu kedalam tas sampai secarik kertas asing menarik perhatiannya. Setahu Adelwis ia tak pernah menaruh contekan atau semacamnya didalam loker.

Perlu dicatat kalau gadis itu benci segala hal yang termasuk kedalam tindakan kecurangan. Didorong oleh rasa penasaran ia membuka kertas itu dan mendapati sebuah tulisan tangan yang terlihat begitu familiar. Tulisan Junior.

Temui aku di halte bus

Adelwis mencoba mencari keberadaan Junior. Tak biasanya pria itu melakukan hal macam begini. Junior lebih suka berbicara langsung daripada mengatakannya lewat media kertas.

"Adelwis, aku duluan ya" kata Azhalea seraya melambaikan tangan.

Berbalik badan untuk melihat sumber suara. Adelwis menggangguk dan membalas senyuman gadis yang mulai mempercepat langkahnya kearah William yang telah menunggu dengan jemu sedari tadi.

Suara cicitan burung yang berasal dari sebuah pohon besar tak jauh dari jendela yang memberi penerangan bagi lorong itu membuat Adelwis bergidik ngeri saat ia menyadari kesendiriannya dilorong yang seluas itu. Dengan cekatan ia menutup pintu loker dan menguncinya. Langkahnya terdengar menggema dilorong seperti sebuah nyanyian perpisahan.

Adelwis menyipitkan matanya kala sampai didepan halte. Tak ada siapapun disana. Namun ia dapat menyaksikan keberadaan se- cup mie instan yang biasa ia makan ditempat junior beserta secarik kertas diatasnya.

Maaf

Hanya satu kata itu yang tertera disana. Sekali lagi ia mencoba mencari cari eksistensi Junior yang rupanya tengah mengajaknya bermain petak umpet.

"Kau masih ingat hari itu ketika aku mengajakmu bersepeda sampai mini market?"Junior tiba tiba muncul dari balik sebuah pohon dengan menuntun sepeda lamanya.

"Junior?"

"Bagaimana kalau kita ulang lagi dari awal?"

"Ke mini market"kata Adelwis seraya menganggukan kepalanya.

"Setangkai Edelweiss bisa menjadi tamanku, dan seorang teman bisa menjadi duniaku... Adelwis, mau berteman denganku?" Kata Junior tanpa lupa berlutut didepan gadis itu sebagaimana seorang pangeran yang mendamba sang putri.

Adelwis tertawa kecil, mengikuti permainan Junior dilebarkannya rok sekolah yang ia kenakan dan menunduk anggun seperti yang biasa dilakukan kaum bangsawan.
"Dengan senang hati"

Mereka bersepada berdua membelah jalanan sunyi dengan tawa riang yang tercipta. Hari itu, satu kali lagi mereka menuliskan sebuah prasasti akan sebuah janji, menjadi teman. Selamanya.

....

Diantara riuhnya hari itu seorang wanita tampak berdiri tenang dari balik sebuah pintu kelas yang tak tertutup sempurna. Sedari tadi memperhatikan siswa siswinya yang diliputi suka cita. Beberapa siswa mulai membubarkan diri. Sedangkan wanita itu masih setia menatap para muridnya yang mulai lenyap satu persatu tanpa bosan. Sesekali ia membenahi letak kacamata yang membingkai wajahnya. Lalu kembali tersenyum bangga. Ia berhasil, tugasnya selesai.

Mengantarkan anak anak itu selangkah lagi menuju mimpi. Kesuksesan seorang guru itu dilihat dari bagaimana keadaan murid muridnya. Apabila murid berhasil itu artinya sang guru berhasil melakukan tugasnya.

Mrs. Vania menengok sekali lagi pada tirai jendela kelas yang melambai lambai kerahnya. Angin seakan mengajaknya kembali bernostalgia dengan membawa potongan potongan memori dan memutarnya kembali seperti sebuah film nyata meski sekedar halusinasi.

Ia seakan dihadapkan dengan reka adegan disaat ia memasuki kelas ini dan bertemu murid muridnya untuk yang pertama kali. Ia bahkan dapat mendengar tawa renyah anak anak itu menggema diseluruh ruangan. Mrs.Vania tersenyum singkat. Sebentar lagi, para murid itu takkan berada disini lagi.

Dari pada bergegas merapikan buku bukunya yang berserakan diatas meja, wanita itu lebih memilih duduk disamping jendela untuk memperhatikan para muridnya yang berjalan beriringan seperti semut semut kecil yang tengah melewati lapangan dibawah sana.

Perlahan tangannya meraih gelungan rambutnya dan melepasnya. Membiarkan rambut hitam panjangnya tergerai bebas. Hal yang tak pernah dilakukannya lagi semenjak kepergian Kalva untuk selamanya.

Angin kembali berhembus. Wanita itu memejamkan matanya merasakan angin mengelus lembut rambutnya. Dan saat ia membuka matanya pria itu ada disana. Disampingnya. Masih dengan senyuman yang sama seperti saat terakhir kali ia melihatnya. Begitu nyata namun tetap tak bisa direngkuh. Ilusi yang tercipta dari sebuah rasa rindu.

"Aku berhasil kan? menjadi guru yang hebat seperti yang kau bilang?"

....

Amarylis telah berulang kali menengok kekanan, kekiri dan sesekali kearah arlojinya bergantian. Sudah hampir satu jam ia menunggu dalam jemu. Biasanya Abraham tidak pernah terlambat jika membuat janji. Entah apa yang tengah menghalangi jalan pria itu.

Amarylis menghembuskan nafas pelan sebelum memutuskan untuk beranjak segera pulang dan berhenti menunggu sampai tiba tiba seseorang menarik pergelangan tangannya hingga membuatnya berbalik refleks.

Pria itu datang dengan keringat yang memenuhi wajahnya. Dilihat dari bagaimana ia bernafas, mungkin ia menempuh jarak yang entah sejauh apa dengan berlari. Tapi jika didepan gadis itu, senyuman tak pernah lepas dari wajahnya. Disodorkannya sebuket bunga Amarilis dengan sumringah

"Amarilis?"tanya gadis didepannya seraya menaikan sebelah alisnya seolah yang diberikan Abraham padanya adalah suatu hal yang aneh.

Abraham terkekeh kecil, ia tau gadis didepannya hanya berpura pura tak mengerti.
"Lambang rasa bangga bukan?"

"Kau masih ingat arti bunga ini? Terima kasih" Amarylis meraih bunga Amarilis itu dengan senyum mengembang yang menurut Abraham lebih cantik dari bunga itu sendiri.

Hujan turun rintik rintik. Aroma tanah basah menguar menyambut pesan rindu dari sang langit untuk bumi pertiwi yang bersahaja.

"Ayo berteduh"ajak Abraham.

Bukannya mengiringi langkah Abraham yang sudah mulai berjalan mendahului, gadis itu malah tersenyum dan merentangkan kedua tangannya menikmati hujan.

Merasa tak mendengar langkah kaki dibelakangnya, Abraham menengok dan mengeleng gelengkan kepalanya melihat Amarylis yang tak beranjak selangkahpun dari tempatnya berdiri tadi.

"Ammy nanti kau sakit"tegur Abraham.

"Aku hanya ingin bermain sebentar"

"Kau bukan anak kecil lagi"

"Bermain dan bahagia bukan hanya untuk anak anak, Abraham"Amarylis memejamkan matanya, membiarkan tetesan air itu menyentuh wajahnya.
"Bermainlah bersamaku"

"Tidak tidak"tolak
Abraham.
"Aku terlalu dewasa untuk melakukan itu"sindirnya

"Oh ayolah,"Amarylis yang sudah separuh basah itu berlari kecil menuju Abraham yang berteduh didepan sebuah toko souvenir yang telah tutup dan menariknya.
"Ayo, Abraham, Ayo"

Abraham menggeleng tanpa ekspresi, Amarylis memberengut saat tak berhasil menarik tubuh pria itu. Hanya separuh tangannya yang ditarik Amarylis yang dapat tersentuh air langit itu.

"Yasudah, aku main sendiri saja" rajuk Amarylis sambil berlari ketengah jalan.

Abraham hanya tersenyum memperhatikan. Jarak pandangnya berkurang seiiring hujan yang kian lebat, meski masih dapat menyisakan siluet gadis itu yang menari nari bak angsa putih yang begitu anggun.

Namun senyumannya sirna tatkala melihat dua buah cahaya yang memancar dari balik tikungan tak jauh dari jalanan tempat gadis itu. Jantungnya memacu dengan cepat saat merespon sinyal yang dikirimkan otaknya tentang kemungkinan seperti apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Amarylissssss!!!"jeritnya susah payah.

Gadis yang dipanggil tak merespon karena suara Abraham terkalahkan oleh deru air hujan. Tanpa pikirpanjang lagi Abraham berlari menuju gadis itu yang sepertinya baru tersadar akan ada sebuah mobil yang melintas.

Amarylis terpaku ditempatnya dengan nafas tersengal sementara laju mobil mulai mendekatinya tanpa sedikitpun mengurangi kecepatan. Abraham terus berlari meski kakinya tergelincir berkali kali. Ia baru sadar kalau ternyata jarak antara tempat berteduhnya dengan Amarylis sudah sangat jauh.

Sekali lagi langkah Abraham terhenti. Kakinya tersangkut besi penutup selokan. Dengan friustasi ia menarik kakinya namun yang terjadi ia malah tersungkur ketanah bersamaan dengan bunyi tabrakan tepat didepan matanya, Amarylis berteriak pilu.

Nafas Abraham tercekat. Dilihatnya gadis itu terpental jauh kesisi jalan sedangkan pengendara mobil turun dengan cemas. Abraham masih berusaha melepaskan kakinya. Ia merasa tak berguna. Ada sesak yang seakan menghantam dadanya.

"Ammy..."lirihnya.

....

Tamat















Ooopsss, bercanda

To Be Continue

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top