16.Interest Forecast

Saat aku memintamu menjadi temanku, saat itu juga aku telah memintamu menjadi duniaku.

.....

Lampu gantung yang menyerupai kristal diruangan itu bersinar benderang, meja makan dipenuhi berbagai hidangan yang didominasi makanan jepang kesukaan Amarylis. Ruangan itu kini tak tampak sepi lagi seperti sebelumnya.

Amarylis terkejut bukan main melihat tamu yang di undang ibunya untuk makan malam bersama mereka. Seorang pria dengan pakaian kasual yang telah ia kenal sebagai calon ayah barunya itu kini duduk di apit seorang anak laki laki dan seorang gadis yang seumuran dengannya.

"Ammy, bukankah kau bersekolah ditempat yang sama dengan Adelwis?"tanya ibunya dengan senyum sumringah yang tak pernah lepas dari wajahnya.

"Eh, Halo Ammy"sapa Adelwis kaku

"Hai"

Amarylis tersenyum singkat sebelum meraih sebuah kursi dan duduk. Dua gadis itu duduk bersebrangan tanpa ada sepatah katapun yang keluar dari mulut mereka selama makan malam berlangsung. Hanya cerita Zein yang sesekali dapat menimbulkan gelak tawa, membuat suasana terasa hidup.

Adelwis menatap pemandangan luar dari balik jendela kaca yang sangat luas. Dari dalam rumah itu ia bisa melihat sebuah taman hijau yang diterangi beberapa lampu taman warna warni diberbagai bagian pohonnya.

"Maaf, aku terlalu terkejut hingga bersikap canggung padamu" kata Amarylis yang sudah tiba tiba ada disamping Adelwis.

"Tidak masalah, aku mengerti"jawab Adelwis diiringi senyuman.

"Senang sekali rasanya mengetahui kau adalah anak Om Harry"

"Benarkah?"

"Ya, dalam bayanganku aku takut kalau tidak bisa beradaptasi dengan anaknya" Amarylis tertawa renyah.
"Tapi kalau itu adalah kau, aku tidak perlu takut lagi"

Adelwis ikut tertawa dan melirik kearah adiknya yang sibuk dengan Psp-nya diruang tengah.
"Mungkin kau akan sedikit kesulitan dengan Zein"

Zein mendelik kesal mendengar penuturan kakaknya.
"Jangan percaya pada Adelwis, aku ini baik kok" katanya seraya melepaskan Psp-nya dan melirik kearah Amarylis.
"Apalagi pada kakak secantik ini"

Adelwis mencebikkan bibir kala melihat kelakuan adik satu satunya itu yang kini sudah bisa merayu.
"Heh, kau ini masih kecil sudah berani menggoda seorang gadis"

"Aku mengatakan yang sebenarnya" Zein kembali fokus pada permainannya.
"Kak Ammy memang lebih cantik dari pada Adelwis"

"Dasar kau adik tak tau diuntung, kalau aku jelek artinya kau juga tau"seru Adelwis seraya melemparkan bantal sofa dan mengejar Zein.

Amarylis kembali tertawa melihat pertengkaran dua kakak beradik itu. Adelwis berhenti saat menyadari ia tidak sedang berada dirumahnya. Bisa bisa rumah Dr.Miranda menjelma menjadi kapal pecah karena tingkah konyol Zein.

"Maaf"

"Tidak masalah,"Amarylis menggelang pelan, kaki jenjangnya melangkah menuju sofa yang sejak tadi hanya diisi oleh Zein.
"Kurasa aku tidak akan merasa kesepian lagi"

"Kesepian?"

"Ya, ibuku biasanya sibuk di Rumah sakit"

"Tenang saja kakak cantik, Pangeran Zein akan selalu menemani kakak"

Kali ini Adelwis tidak mengelakan kata kata Zein, gadis itu hanya tersenyum sekilas kearah ayah dan calon ibunya yang sedang mengobrol ria tentang konsep pernikahan mereka di kursi santai tak jauh dari taman.

Sementara itu dirumah Queena,
Ia menatap dalam dalam kearah bunga aster yang tumbuh dihalaman belakang rumahnya. Jam didinding telah menunjukkan pukul 11 malam, tapi matanya enggah terlelap. Meski udara dingin menelusup diantara jaket tebal yang sengaja ia kenakan. Bahkan secangkir susu hangat pun tak mampu membuatnya merasa lebih baik.

Ada sesuatu yang berbeda yang ia rasakan. Sesuatu yang mendesak ingin ia sampaikan.
Perlahan tangannya memetik sekuntum bunga itu dan memisahkan kelopak bunganya satu persatu sambil bersuara lirih.

"Dia menyukaiku"

"Dia tidak menyukaiku"

"Dia menyukaiku"

"Dia tidak menyukaiku"

Begitu terus sampai kelopaknya hampir habis.

"Dia menyukaiku" Queena melepas satu kelopak lagi.

Sekarang tersisa sekelopak lagi yang enggan ia sentuh, gadis itu menghela nafas berat. Ditatapnya sehelai kelopak lagi dengan nanar. Jika ia lepaskan kelopak bunga terakhir itu, apakah itu berarti 'Dia tidak menyukai Queena?'

Queena menggeleng cepat, diraihnya vas kecil tanpa bunga yang sejak tadi terabaikan diatas meja dekat pintu kaca yang tertutupi tirai. Dengan sigap ia mengisi air kedalam vas itu
Dan memasukkan bunga Aster dengan satu kelopak itu disana lantas beranjak ke kamar. Berharap kelopak terakhir itu tak pernah layu.

"Dia menyukaiku"bisik Queena optimis.

....

Derap langkah menggema diseluruh lorong sekolah. Para murid berlomba mencapai kelas.
Diantara riuh pagi itu, rupanya masih ada yang merasa sepi. Seorang gadis tampak merebahkan kepalanya di meja. Menatap kosong wajah William yang juga menumpukan kepalanya diatas meja mengahadap kearahnya yang semenjak tadi enggan bicara.

"Kenapa?"tanyanya samar.

"Sebentar lagi kenaikan kelas kan?" Kata Azhalea balas bertanya.

"Lalu?"

"Bukankah itu artinya kita akan terpisah? Kemungkinan untuk satu kelas lagi sangat kecil"

"Kenapa? Kau takut akan merindukanku ya?" Goda William.

Azhalea memberengut.
"Kau sendiri memangnya tidak?"

"Iya, iya" William mengusap rambut Azhalea gemas.
"Tenang saja, kalau kita tidak sekelas aku akan sering berkunjung ke kelasmu" laki laki itu tersenyum lembut, Azhalea menatap matanya mencoba mencari kebohongan dari ucapan yang baru saja ia sampaikan.
"Atau aku harus didemo didepan kantor kepsek agar kita bisa satu kelas?"

"Kau ini"

William tertawa, diangkatnya kepalanya dan menatap lurus kedepan papan tulis. Azhalea yang merasa kepalanya telah pusing karena cukup lama dalam posisi itupun mengikuti jejaknya.

"Sebebarnya aku tidak suka kelas XII" gumam Azhalea

"Kenapa?"

"Bukankah itu artinya kita akan segera lulus? Aku tidak mau berpisah denganmu"

"Kalau begitu kita menikah saja?"

"A--apa?"

.....

"Adelwis,"panggil Junior saat melihat gadis itu berjalan menyusuri loker.

Adelwis mengernyitkan dahi bingung. Kali ini, Junior tampak berbeda dengan gaya rambut barunya. Hal yang setahu Adelwis, laki laki itu tak pernah mau mengganti gaya rambut yang gadis itu rasa sudah sangat ketinggalan Zaman. Tapi, entah apa yang terjadi pada Junior.

Junior masih tersenyum sumringah kearahnya. Dari balik punggungnya Adelwis dapat melihat Gio yang sedari tadi melihat kesana kemari entah mencari apa dan akhirnya melambaikan tangan saat melihanya.

Gadis yang disapa itupun turut berbalik melambaikan tangannya dengan riang. Merasa bukan untuknyalah lambaian tangan Adelwis tertuju, perlahan Junior menengok kebelakang.

"Tunggu sebentar Junior, aku harus kesana dulu"bisik Adelwis yang terdengar seperti nyanyian pilu di telinganya.

Junior menggeleng cepat, tak ingin mengalah untuk entah yang keberapa kali, ia mencekal tangan Adelwis. Mencegah gadis itu pergi dari sisinya.
"Aku yang memanggilmu lebih dulu"

"Tapi..."

"Dia lebih penting dari pada aku?"

Adelwis bergeming, seakan tersihir dengan apa yang baru saja diucapkan Junior. Jantungnya berlomba lagi, tapi ia yakin ini berbeda dengan detakan yang ia rasakan saat bersama Gio. Kali ini, degup jantungnya diiringi rasa takut. Bukan karena perlakuan Junior tapi, apa yang ia akan katakan.

Berulang kali Adelwis merasakan hal berbeda dari sikap pria didepannya itu, berkali kali juga ia berusaha mengelaknya mati matian. Bukannya ia tak menghargai perasaan Junior, ia hanya tak bisa menalar hatinya sendiri. Ia tau, sungguh. Tapi tak mungkin karena ia telah menjatuhkan pilihan lebih dulu. sebelum ia menyadari hal yang sebenarnya tak ingin dia sadari.

Junior melangkahkan kakinya dengan tetap menggenggam tangan Adelwis menuju ruang musik dan menutup pintunya. Menjauh sejenak dari keramaian dan orang itu.

"Kenapa kau mengatakan hal semacam itu?"tanya Adelwis

"Apa arti aku dimatamu?"

"Kau Sahabat terbaikku"

"Bagaimana kalau aku meminta yang lebih dari itu?"

Dengan susah payah Adelwis meneguk saliva yang terasa tersangkut ditenggorokannya.
"Maksudmu?"

"Ayolah Adelwis, kau gadis pintar" Junior maju selangkah, hanya menyisakan sedikit jarak diantara mereka.
"Bukankah sangat mudah bagimu untuk mengambil kesimpulan?"

"A...aku benar benar tidak mengerti"

"Kau hanya berpura pura tidak mengerti"

"Junior hentikan"

"I don't care you are my mate or not, because you are what i always strive for"

Mata Adelwis berkaca kaca, ia tau saat ini akan tiba.
"Sejak kapan?"

"Lama, lama sekali"

"Kenapa kau baru mengatakannya sekarang?" Tanyanya nanar.

"Aku perlu waktu Adelwis"Junior mundur selangkah, ia tau gadis pujaannya perlu sedikit lebih banyak lagi ruang untuk bernafas.
"Aku rela menjadi pendaki tangguh yang kau impikan itu, menjadi satu satunya orang yang paling beruntung karena memilikimu. Seberapa beratpun jalurnya. Untuk setangkai Edelweiss ditempat tertinggi yang tak terjangkau."

Adelwis menangis sesegukan
"Tapi aku,"ia menghapus air mata yang mengalir membentuk dua anak sungai dipipinya.
"Terlanjur menyerahkan hatiku pada orang lain"

Junior tersentak meski sebenarnya ia telah mengetahui hal itu. Hatinya tetap perih.

"Seperti bunga Edelweiss yang telah terlanjur hidup abadi di Alpen"

Ruangan itu menjadi hening. Junior tergugu dalam lamunnya. Sedang Adelwis tetap setia pada tangisan tersembunyinya, yang walaupun kini tak terlihat lagi aliran air matanya dan tak terdengar lagi sedu sedannya.

Queena mengintip dari balik pintu yang tak tertutup rapat. Semenjak tadi ia menyaksikan semuanya dari sana. Saat keluar dari perpustakaan, matanya tak sengaja menangkap bayangan sosok Junior yang melangkah cepat seraya menarik lengan Adelwis menuju ruang itu.

"Maaf"lirih Adelwis, kakinya melangkah gusar menuju luar
Membuka pintu dengan tangan bergetar. Tak sengaja matanya bertemu pandang dengan Queena yang tertangkap basah tengah menguping. Adelwis tak terlalu menghiraukannya. Tanpa bertanya sepatah katapun ia berlari pergi meninggalkan Queena dengan jantung yang berpacu tak beraturan.

Sementara itu laki laki didalam sana menyandarkan tubuhnya didinding dan menatap kosong tanpa menyadari eksistensi seorang gadis yang saat ini masih diam memperhatikannya dengan pilu.

To Be Continue

A/N

Cerita ini hanya fiktif belaka, udah dikonsep sejak lama biar jadi gini. Jadi kalau ada kesamaan nama, tempat, kejadian, atau suasana. Itu adalah sebuah ketidaksengajaan.

Yaelahh kaya sinetron.

Aku sedang berusaha menamatkan cerita ini. Sebenarnya endingnya udah aku aku pikirin sejak lama. Bahkan sebelum cerita ini mencapai part ke 3. Tapi aku masih bingung gimana caranya supaya ***** jadi **** hehe :) :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top