15.Decides Spem


"Kita tidak bisa terus terusan seperti ini"kata Queena memulai pembicaraan di antara teman temannya.

Hari ini, pertama kalinya dalam sejarah. Mereka berkumpul di kebun Junior untuk membahas masalah kelas yang terasa kian runyam. Namun, tanpa disadari telah menyatukan orang orang yang dulunya sama sama acuh seperti tak memerlukan satu sama lainnya.

"Aku juga keberatan, ini namanya deskriminasi dan aku tidak suka itu"tambah Adelwis.

"Bagaimana kalau kita membuatnya keluar dari sekolah?"William mengeluarkan idenya yang langsung mendapat tatapan aneh dari yang lain.
"Kenapa? Bukankah semua masalah ini karena Mrs.Vania? Jika ia tak ada, masalah selesai!"

"Kau pikir mudah mengeluarkan guru dengan predikat terbaik di sekolah, huh?"Gio buka suara diikuti anggukan teman temannya.

"Lagipula, kau mau pakai cara seperti apa? Merengek rengek pada ibumu seperti anak SD?" Tambah Queena

"Hei kau jangan meremehkan kemampuan ibuku"bela William.

"Tak akan berhasil"komentar Azhalea.

Amarylis berhenti menatap gundukan tanah subur tempat tumbuhnya tomat yang sedari tadi menarik perhatiannya.
"Lalu bagaimana?"tanyanya ikut ambil alih dalam diskusi.

"Aku punya ide gila"kata Adelwis yang duduk diayunan menarik perhatian teman temannya karena semenjak tadi hanya berdiam diri menyimak pembicaraan mereka.

"Apa?"

"Dia tidak akan bisa kita lawan, jadi...bagaimana kalau kita turuti saja apa yang ia mau?"

"Apa maksudmu? Itu sama saja berpangku tangan dan tak melakukan apapun kan?"kata Azhalea

Adelwis menggeleng dan beranjak dari tempatnya.
"Coba kalian ingat lagi, kenapa Handphone-mu disita Azhalea?"

Azhalea mendelikkan matanya keatas, mencoba mengingat lagi kejadian hari itu.
"Karena, aku membawanya ke dalam kelas saat pelajaran berlangsung"

"Lalu kenapa Sketboard-mu diambil dan tak dikembalikan sampai sekarang William?"

"Aku membuat onar dan memicu perdebatan"aku William

"Lantas Kenapa aku, Queena, Gio, dan William dihukum membersihkan lorong sekolah?"

"Karena kita lupa membersihkan kaca jendela"jawab Queena.

"Dan sekarang kenapa kalian yang menggantikan tugas piket kelas?"tunjuk Adelwis pada Azhalea, Abraham, dan William bergantian.

"Karena nilai kami yang paling rendah diantara yang lain"

"Lalu, menurut kalian bagaimana kalau kita tidak melakukan kesalahan kesalahan itu?"

"Hukumannya tidak akan pernah terjadi"kata Junior mengambil kesimpulan.

"Jadi, ayo lakukan seperti yang dia inginkan"Adelwis membagi pandangannya pada mereka satu persatu.
"Jangan melanggar peraturan, membersihkan kelas, bersikap baik, dan belajar!"

Azhalea membuka mulutnya hendak menyela perkataan Adelwis namun ia kalah cepat, karena gadis yang tengah berorasi itu sudah lebih dulu mengeluarlan kalimat sanggahan.

"Aku akan bantu kalian, kita pasti bisa"

"Aku juga akan bantu"tawar Amarylis

"Jika aku saja bisa, kenapa kalian  tidak?"tambah Junior, kali ini ia sendiri yang menjadikan dirinya sebagai bahan perbandingan.

"Dan kau Abraham, berhentilah berpura pura bodoh"Adelwis mendelik kearah Abraham.
"Sebenarnya ini keuntungan bagiku karena aku tidak perlu lagi bersaing denganmu, tapi setelah kupikir pikir ini tidak seru"

"Aku bukannya berpura pura, hanya sedang malas belajar saja"elak Abraham santai.

"Kalau begitu, ayo kita mulai belajar!"

....

Azhalea merapikan dasi William dan menelisik kembali pakaian laki laki itu. Ia tersenyum puas saat merasa semuanya telah beres.

Queena memeriksa lagi tempat duduk yang kini telah berjejer rapi dan jendela jendela tanpa debu sedikitpun, kemarin mereka telah membersihkannya bersama sama.

"Jangan biarkan dia mempunyai celah sedikitpun"kata gadis itu seraya menyunggingkan senyuman.

Amarylis mengalihkan pandangannya pada Abraham yang selalu membaca bukunya. Dengan cekatan ia mengambil secarik kertas, melipat, dan melemparkan sebuah pesawat kertas kearah laki laki itu. Baru saja kertas itu melayang diudara Gio sudah lebih dulu menjangkaunya dan melirik kesal pada Amarylis.

"Hei, kau mau menggagalkan rencana kita ya?"Gio mengayun ayunkan pesawat kertas itu ditangannya.
"Jangan membuang sampah sembarangan"

"Itu bukan sampah"elak Amarylis.

Abraham beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri Gio.
"Berikan padaku, biar aku yang buang"

Abraham memutar matanya saat melihat Gio yang tampak ragu untuk menyerahkan pesawat kertas itu.
"Sebaiknya kau urus yang itu"tunjuk Abraham kedepan kelas.

Gio mengangguk dan pergi mengahampiri Adelwis yang tengah membersihkan papan tulis bersama Junior. Amarylis menghela nafas lega melihatnya menjauh.

"Emm, Abraham..."panggilnya
"Itu bukan sampah"

"Aku tau"balasnya singkat seraya membuka kertas itu ditempat duduknya

aku ingin dapat nilai yang sama sepertimu hari ini...

Tanpa melihat kearah Amarylis lagi, Abraham menggangguk pelan.

"Menurutmu, kita akan satu kelas lagi tahun depan?"tanya Junior

"Kuharap begitu"

"Adelwis, jika..."

"Hei, apa yang kalian lakukan? Kurasa papan tulis ini sudah cukup bersih"

"Kami hanya memastikannya sekali lagi"kata Adelwis beralih merapikan meja guru.

"Sepulang sekolah, apa kau sibuk?"tanya Gio

Adelwis tampak berfikir sejenak.
"Kurasa tidak, kenapa?"

"Sebenarnya aku----"

"Hei, sudah hampir jam tujuh, ayo duduk ditempat kalian masing masing"perintah Junior seraya menyeringai puas kearah Gio yang hanya bisa memberengut.

...

Mrs.Vania memasuki ruang kelas dan menatap aneh murid muridnya saat melihat mereka tersenyum penuh arti padanya.

"Baiklah, seperti yang kujanjikan sebelumnya kita akan adakan tes lagi kali ini untuk mencari petugas piket minggu depan"

"Iya, Mrs"jawab Siswa siswi bersemangat karena mereka sudah mempersiapkan segala sesuatunya.

Azhalea telah berulang kali membenarkan tempat duduk dan menetralkan detak jantungnya. Meski telah berulang  kali pula diyakinkan Queena ia tetap saja merasa gugup nenghadapi tes ini.

satu persatu Mrs.Vania membagikan kertas soal tepat dimeja para muridnya. Seperti biasa ia hanya memasang wajah monoton tanpa ekspresi, sekalipun telah berulang kali para siswi mengucap terima kasih seraya menyunggingkan sebuah senyuman.

Mrs.Vania kembali ketempat duduknya dan mempersilahkan mereka menjawab soal yang baru saja ia berikan. Matanya tak pernah lelah mengawasi tiap gerak gerik dari anak didiknya yang sebentar lagi akan naik kelas itu. Ada sebuah perasaan aneh dalam hatinya kala melihat mereka yang tampak serius mengerjakan tes kali ini.

Dedaunan diluar sana gemerisik tertiup angin. Diiringi suara kepakan sayap dari beberapa ekor burung yang tadinya hinggap didahan pohon itu. Matahari pagi ini, mengingatkannya akan hari itu

Vania berhenti memainkan tuts tuts piano itu saat seorang laki- laki dengan seragam yang sama sepertinya memasuki ruangan dan bertepuk tangan riuh.

"Permainanmu bagus"pujinya yang entah mengapa selalu berhasil membuat pipi gadis itu bersemu merah.

"Terima kasih, Kalva"

Laki laki yang disebut Kalva itu tersenyum manis madu, dengan langkah pasti kedua tangannya menyibakkan tirai merah yang menutupi jendela kaca dalam ruangan musik yang sedang mereka tempati. Sontak saja, cahaya matahari berebutan masuk. Kalva beranjak menuju saklar dan mematikan lampu yang tadinya menjadi sumber pencahayaan tempat ini.

"Aku tidak suka gelap, cahaya matahari lebih menenangkan"
Kalva duduk dilantai tanpa alas apapun sambil memandang keluar jendela yang hampir setengah dinding itu
"Kau, suka matahari Vania?"

"A...apa? A--aku suka"
Gadis yang ditanya itu tergagap, karena semenjak tadi ia bahkan tak terlalu menghiraukan apa yang dikatakan lelaki didepannya dan lebih memilih menatap punggung Kalva yang entah sejak kapan menjadi objek favoritnya.

"Apa suka matahari karena ia seperti mimpiku, menerangi banyak orang..." Kalva memejamkan matanya, mencoba membayangkan lagi mimpi mimpinya.
"aku berharap bisa membangun sebuah sekolah, tempat dimana semua mimpi dan harapan terkumpul"

Vania beranjak kesamping Kalva, ia tak boleh melewatkan pemandangan ini. Melihat lelaki itu menutup matanya dan bercerita tentang impian, membuatnya merasa bahagia.

"Apa mimpi terbesarmu Vania?"

Memilikimu

Vania ingin sekali mengatakannya, tetapi logikanya berkata lain.
"Jika kau akan punya sebuah sekolah, maka aku akan menjadi guru disana... membantumu"

Mata Kalva berbinar mendengar ucapan Vania.
"Ide bagus" kata Kalva mengangguk antusias seraya meraih tangan gadis itu dan menggenggamnya erat tanpa tau debarab jantung sekencang apa yang telah ia sebabkan pada Vania.
"Kau akan bisa menjadi guru bahasa inggris yang hebat"komentarnya lagi.

Vania mengangguk pelan, ia berusaha keras menetralkan detak jantungnya dengan mengalihkan pandangan. Namun, wajah Kalvin terlalu sulit ia abaikan.

"Menurutmu, apa yang cocok untuk menjadi nama sekolah itu nanti?"

"Namanya...."

....*.....

Mrs.Vania menatap muridnya lekat lekat. Menghela nafas berat dan melepaskan kaca matanya perlahan. Setelah selesai memeriksa semua hasil tes muridnya yang tak ada mendapat nilai jelek.

"Apa kalian tau, kenapa sekolah ini dinamakan Decides Spem?"

Murid murid menggeleng bingung, awalnya mereka pikir Mrs.Vania akan membahas masalah nilai mereka tapi rupanya dugaan mereka meleset.
"Decides Spem, diambil dari bahasa latin yang artinya 'seribu harapan' bisa kalian tebak kenapa pendirinya menamainya begitu?"

Mrs.Vania menatap kosong keujung ruangan kelas, seakan tempat itu menyimpan kenangan baginya.
"Itu karena, ia menggantungkan harapan besar disini"Amarylis dapat melihat matanya yang berkaca kaca.

"kalian pasti memiliki harapan masing masing saat menginjakkan kaki ditempat ini pertama kali, dan sekolah ini turut menjadi saksi perjalanan kalian menuju mimpi"

Mrs.Vania beranjak menuju jendela yang sudah seperti tanpa kaca itu, menerawang jauh menghadap gedung gedung pencakar langit di kota itu. Mrs.Vania tertawa sekilas, Adelwis tercekat melihat tawa tulus itu.
"Bukankah kita ini mempunyai banyak persamaan?"

Angin menderu diluar sana. Queena merasakan atmosfer berbeda yang tengah menyelimuti kelas ini.

"Beberapa orang memilih berjuang sendirian, tapi kalian memilih jalan persahabatan"
Mrs.Vania berbicara tanpa melihat kearah para siswanya.
"Kalian mungkin tidak suka dengan caraku mengajar, aku berbeda dari guru lain. Kalian mungkin tidak sadar kalau yang aku lakukanlah yang membuat kalian seperti sekarang"
Matanya masih terus terpaku pada pemandangan diluar sana.
"Belajar tanpa memicu rasa keingintahuan sama halnya seperti memalu besi dingin... jika aku memberi pelajaran, kalian hanya akan belajar dikelas, tapi jika aku memberi setetes rasa penasaran kalian akan belajar sampai mendapatkan jawabannya...dan itu dia yang dinamakan pengajaran"

"Menurutmu apa yang membuatmu bertahan dikelasku?"tanya Mrs.Vania pada William
"Bukankah kau bilang bisa sukses tanpa sekolah sekalipun?"

"Aku..."William mencoba mencari alasan yang tepat tapi ia malah menemukan jawaban yang dibisikkan dari lubuk hatinya.
"Aku ingin tau sampai kapan anda akan bertahan pada pemberontakanku"

"Kau penasaran?"Mrs.Vania mengangkat sebelah alisnya skeptis.
"Aku akan berhenti saat telah sukses, dan kesuksesan seorang guru terletak pada keberhasilan seorang murid, jika kalian gagal mendapat nilai bagus maka itu artinya aku gagal dalam mengajar"

Amarylis mengangguk mengerti, yang lain masih mendengarkan dengan seksama. Tak jarang mereka terbingung-bingung melihat Mrs.Vania yang tak segan lagi melemparkan senyumnya.

"Lalu kenapa kalian mulai berlaku baik?"

"Karena kami pensaran apa yang akan anda lakukan"

"Nilai kalian membuatku merasa berhasil, meski sebenarnya ini memang kerja keras kalian sendiri"

"Nilaimu meningkat William, meski pas pasan...tapi ini kerja keras yang layak mendapat apresiasi" wanita itu mendaratkan sebuah tepukan lembut dipundak William yang kini tersenyum simpul.
"Kali ini tak ada yang mendapat nilai dibawah rata rata, menurut kalian siapa yang akan membersihkan kelas ini?"

"Kita lakukan sistem yang seperti semula saja"saran Adelwis

"Baik jika itu yang kalian mau"Mrs.Vania menghembuskan nafas pelan lalu beranjak keluar kelas.
"Minggu depan kita akan mengadakan ulangan semester, Fighthing" katanya sebelum menghilang dibalik pintu seraya mengepalkan tangannya keudara diiringi senyuman.

Sedang para muridnya menatap tak percaya

.....

To be Continue

A/N

3 oktober 2017 , it's Special day
This is my Sweet Seventeen

Sebelumnya maaf ya kalau aku lama baru update, jangan jangan kalian udah lupa lagi sama plotnya? Hehe.

Cieeee Mrs.Vania sudah bisa senyum ya?! Kenapa nih ? Udah mau tamat ya Neiss? Tau!

Eh, ini aku Update tiga cerita sekaligus loh...baca juga ya ceritaku yang lain.

-Salju Yang Merona
-Oase : Kulihat Fatamorgana di Matamu

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top