Extra Part
ExtraPart
Semua orang tidak berhenti tersenyum. Tawa mengiringi cerita yang di dengarnya ketika Gigih mengulang cerita pertemuan mereka berdua seolah membawanya kembali ke masa lalu.
"Bu, aku belum cerita. Aku hampir pingsan hari terakhir ospek kemarin," katanya pada Nina yang langsung berhenti dan menoleh ke arah anaknya dengan mata membelalak tidak percaya. "Hampir, Bu ... hampir."
"Terus kalau hampir, enggak bakalan buat ibu kuatir?" tanya Nina yang terlihat menahan marah. "Ibu sudah bilang, kan! Jangan makan pedas, kandani ngeyel!"
Yanti mendekati ibunya, memeluk lengan dan mencium pipi wanita yang selalu menguatirkannya setiap kali keinginan untuk mekan pedas muncul hampir setiap bulan. Ia selalu ingin ngidam makanan pedas seperti wanita hamil, meski perutnya perih. Sayang, efeknya muncul saat ia masih dikampus. Sendirian, tidak ada yang dikenal kecuali tiga orang yang saat itu ada di masjid, meninggalkannya sendiri.
"Ada kakak kelas yang bantu aku ke posko. Mereka kasih aku obat, kok, Bu." Meski jawabannya tak membuat kerut di kening Nina berkurang. "Orangnya baik, tapi agak ngeselin. Matanya itu adem, ibu ngerti kan maksudku?" Ia kembali terdiam mengingat pria yang bercokol di pikirannya sejak pertemuan pertama mereka. "Dia tipe mahasiswa yang punya banyak penggemar. Tipe cowok bermulut manis dan bahaya buat cewek. Ibu ngerti, kan?"
Yanti terbiasa menceritakan apapun pada ibunya, karena ia tak memiliki seseorang. Meski ada beberapa yang ia sembunyikan dari ibunya, tapi ia selalu menceritakan sesuatu yang membuatnya tak bisa tenang. Gigih memiliki bad boy vibe insaf yang tidak bisa ia indahkan begitu saja.
"Hati-hati!" kata Nina tegas.
"Hati-hati kenapa?" tanyanya membatalkan meraih tahu goreng yang baru saja ibunya letakkan. Peringatan yang terdengar jelas membuatnya ragu pada dirinya sendiri. "Bu," katanya ketika Nina tak segera menjawabnya.
"Hati-hati, ntar malam jatuh cinta."
"Ibu bener," gumamnya pada diri sendiri ketika melihat Gigih tertawa pada apapun yang ibunya katakan. Wajah keduanya terlihat bersinar dan sesekali keduanya memandangnya. Ia tahu saat ini sedang menjadi pokok pembicaraan keduanya, dan itu membuatnya lega. Dulu, hanya Nina keluarganya, dan sekarang ada Gigih yang resmi menjadi bagian dari hidupnya.
"Enggak kering tuh gigi? Dari tadi senyum mulu," ucap Dara yang berdiri berdampingan dengan Kenes. "Ternyata nikah bikin gigi kering. Kamu yakin mau nikah?" Yanti tak mendengarkan sindiran yang terdengar jelas, karena saat ini, ia tak bisa memikirkan lainnya kecuali tentang suaminya. Pria yang saat ini melangkah ke arahnya tanpa menyembunyikan senyum di bibirnya. "Halah ... kalau ada Gigih, kita enggak ada apa-apanya, wis."
Yanti tak mendengarkan apapun yang dikatakan keduanya. Ia hanya mendengar suara Gigih memanggilnya Sayang. Ia hanya melihat melihat suaminya yang tersenyum lega memandangnya. Saat ini, tidak ada yang penting kecuali pria yang menggenggam tangannya. Menjaganya. Melindungi dan mencintainya.
"Apa yang ibu dan kamu bahas tadi, Mas?" tanyanya ketika Gigih menariknya masuk dalam pelukan. "Aku ngerti pasti bahas aku. Iya, kan?!"
Gigih tertawa. "Ibu bilang kalau dulu. Dulu banget, pernah ingetin kamu hati-hati bisa jatuh cinta." Tawaku terlontar begitu saja, karena beberapa saat lalu aku mengingat kejadian yang terjadi sepuluh tahun lebih.
"Waktu itu aku bilang ibu kalau dibantu kakak kelas. Orangnya ganteng, baik tap agak ngeselin. Bad boy vibe-kuat banget. Penggemarnya banyak banget, bahaya buat cewek." Yanti menceritakan sambil menahan senyum di bibirnya. "Ibu bilang hati-hati ntar jatuh cinta. Ternyata beneran enggak sengaja jatuh cinta."
Yanti masih ingat revisi syarat yang Gigih ajukan beberapa saat lalu. Membuatnya tidak sengaja jatuh cinta padanya, dan itu berhasil. Saat ini—meski bukan karena tidak sengaja—ia jatuh cinta pada Gigih, lagi. Pria yang hilang dan muncul kembali setelah sepuluh tahun membuat kepalanya penuh dengan pertanyaan.
"Aku pernah bertanya. Bukan pernah, bahkan sering." Yanti teringat malam-malamnya mempertanyakan pilihan hidupnya. "Kenapa aku enggak bisa ngelupain kamu? Kenapa aku selalu membandingkan siapapun yang dekat denganku sama kamu? Kenapa kamu bertahan di kepala dan hatiku? Semua pertanyaan yang enggak pernah bisa kujawab, sampai kamu datang sepuluh tahun kemudian dan membuatku enggak bisa bernapas." Sepanjang Yanti mengatakan itu semua, Gigih tak melepas pandangan darinya. Mengenggam tangan. Menahan diri untuk tidak tersenyum seperti orang bodoh. "Ternyata jawabannya hanya satu, karena aku terlalu mencintaimu. Benar-benar mencintaimu."
"Adasaatnya aku juga bertanya pada diri sendiri," kata Gigih. "Kenapa saat itu akumemilih untuk meninggalkanmu, meski terkadang ada pikiran harusnya aku bisatetap bersamamu."
Sampuuuuun ....
Mas Gigih dan Mbak Yanti udah ketemu happy endingnya, meski harus nunggu sepuluh tahun.
Next story, kita ketemu teman mereka berdua.
Matur nuwun sanget
Love, ya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top